Bagian II dari Petunjuk Untuk Katekese (Direttorio per la Catechesi) dari Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru Roma, 23 Maret 2020
1
PEDAGOGI
ILAHI DALAM SEJARAH KESELAMATAN
157. Wahyu
adalah karya agung pendidikan dari Allah. Sesungguhnya, Wahyu dapat ditafsirkan
juga dalam perspektif pedagogis. Di dalam Wahyu kita menemukan unsur-unsur
karakteristik yang dapat mengantar untuk mengidentifikasi pedagogi ilahi, yang
mampu mengilhami secara mendalam kegiatan edukatif Gereja. Juga katekese
mengikuti jejak pedagogi Allah. Sejak awal sejarah keselamatan, Wahyu Allah
dinyatakan sebagai inisiatif cinta yang terungkap dalam banyak perhatian yang
mendidik. Allah telah bertanya kepada manusia, kepada siapa Dia telah meminta
suatu jawaban. Dia telah meminta kepada Adam dan Hawa sebuah jawaban iman,
dalam ketaatan kepada perintah-Nya; dalam cinta-Nya, kendati ketidaktaatan mereka,
Allah terus mengomunikasikan kebenaran misteri-Nya sedikit demi sedikit, tahap
demi tahap, sampai kepada pemenuhan Wahyu dalam Yesus Kristus.
158. Tujuan
Pewahyuan adalah keselamatan setiap pribadi yang direalisasikan melalui
pedagogi Allah yang asali dan efektif sepanjang sejarah. Allah dalam Kitab Suci
menyatakan Diri sebagai seorang Bapa yang berbelas kasihan, Guru, Orang yang
bijaksana (bdk. Ul 8:5; Hos 11:3-4; Ams 3:11-12), yang menjumpai manusia dalam
kondisi di mana ia berada dan membebaskannya dari kejahatan, dengan menariknya
kepada Diri-Nya dengan ikatan cinta kasih. Secara bertahap dan dengan kesabaran
Dia menuntun umat terpilih menuju kematangan, dan dalam umat terpilih itu, setiap
orang yang mendengarkan Dia. Bapa sebagai Pendidik yang genius mengubah
peristiwa-peristiwa umat-Nya menjadi pelajaran kebijaksanaan (bdk. Ul 4:36-40;
11:2-7), dengan menyesuaikan Diri-Nya dengan usia dan situasi-situasi di mana
umat-Nya hidup. Dia menyampaikan ajaran-ajaran yang akan diteruskan dari
generasi ke generasi (bdk. Kel 12:25-27; Ul 6:4-8; 6:20-25; 31:12-13; Yos
4:20-24), juga menasihati dan mendidik melalui cobaan-cobaan dan penderitaan
(Am 4:6; Hos 7:10; Yer 2: 30; Ibr 12:4-11; Why 3:19).
159. Pedagogi
ilahi ini juga tampak dalam misteri inkarnasi ketika Malaikat Gabriel meminta
seorang gadis muda dari Nazaret partisipasi aktifnya dengan daya kuasa Roh
Kudus: fiat Maria adalah jawaban penuh terhadap iman (bdk. Luk 1:26-38). Yesus
melaksanakan misi-Nya sebagai Penyelamat dan mewujudkan pedagogi Allah. Para
murid telah mengalami pedagogi Yesus, yang ciri-ciri khasnya diceritakan oleh
Injil-Injil: penerimaan terhadap orang miskin, orang sederhana, pendosa;
pewartaan Kerajaan Allah sebagai kabar baik; cara cinta kasih yang membebaskan
dari kejahatan dan memajukan kehidupan. Kata dan keheningan, perumpamaan dan gambaran
menjadi pedagogi sejati untuk menyatakan misteri cinta-Nya.
160. Yesus
telah memperhatikan dengan penuh perhatian pembinaan para murid-Nya dari sudut
pandang evangelisasi. Dia menampilkan Diri-Nya kepada mereka sebagai Guru
satu-satunya dan, pada saat yang sama, sebagai Sahabat yang sabar dan setia
(bdk. Yoh 15:15; Mrk 9:33-37; Mrk 10:41-45). Dia telah mengajar kebenaran
melalui seluruh hidup-Nya. Dia telah menggerakkan mereka dengan
pertanyaan-pertanyaan (bdk. Mrk 8:14-21, 27). Dia telah menjelaskan kepada
mereka dengan cara yang lebih mendalam apa yang Dia maklumkan kepada orang
banyak (bdk. Mrk 4:34; Luk 12:41). Dia telah mengajar mereka berdoa (bdk. Luk
11:1-2). Dia telah mengutus mereka untuk bermisi tidak sendirian, tetapi
sebagai komunitas kecil (bdk. Luk 10:1-20). Dia telah menjanjikan mereka Roh
Kudus yang akan membimbing mereka kepada seluruh kebenaran (bdk. Yoh 16:13),
dengan membantu mereka pada saat-saat yang sulit (bdk. Mat 10:20; Yoh 15:26;
Kis
4:31). Dengan
demikian, cara Yesus berelasi ditandai dengan sikap-sikap mendidik yang sangat
istimewa. Yesus tahu bagaimana menerima dan menggerakkan wanita Samaria pada jalan penerimaan rahmat
secara bertahap dan kesediaan untuk pertobatan. Setelah bangkit, Dia mendekatkan
Diri-Nya kepada dua murid Emaus, berjalan bersama mereka, berdialog, dan
berbagi dengan penderitaan mereka. Pada saat yang sama, Dia menggerakkan mereka
untuk membuka hati, Dia mengantar kepada pengalaman akan Ekaristi dan membuka
mata mereka untuk mengenal[1]Nya;
akhirnya, Dia menarik diri untuk memberi ruang bagi inisiatif misioner para
murid.
161. Yesus
Kristus adalah «Sang Guru yang mewahyukan Allah kepada manusia dan manusia
kepada dirinya sendiri; Sang Guru yang menyelamatkan, menguduskan dan
membimbing, yang hidup, berbicara, membangunkan, menggerakkan, mengoreksi,
mengadili, mengampuni, dan hari demi hari menyertai kita menempuh perjalanan sejarah; Sang Guru yang datang dan masih akan datang dalam
kemuliaan.»1 Dalam berbagai sarana yang digunakan untuk mengajarkan siapa
Diri-Nya, Yesus telah membangkitkan dan menggerakkan jawaban pribadi dari semua
pendengar-Nya. Ini adalah jawaban iman dan, bahkan lebih dalam lagi, ketaatan
iman. Jawaban ini, yang diperlemah oleh dosa, memerlukan pertobatan
terus-menerus. Sesungguhnya, Yesus sebagai Guru yang hadir dan berkarya dalam
hidup manusia, mengajarnya dari kedalaman jiwa dengan membawa dia kepada
kebenaran tentang dirinya dan membimbingnya kepada pertobatan. «Sukacita Injil
memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus. Mereka yang menerima tawaran
penyelamatan-Nya dibebaskan dari dosa, penderitaan, kehampaan batin dan
kesepian. Bersama Kristus sukacita senantiasa dilahirkan kembali.»
162. Roh Kudus,
yang diwartakan oleh Putra sebelum Paskah (bdk. Yoh 16:13) dan dijanjikan
kepada semua murid, adalah anugerah dan pemberi anugerah dari semua anugerah.
Para murid telah dibimbing oleh Roh Penghibur (Parakletos) kepada pengenalan
akan kebenaran dan mereka telah memberi kesaksian «sampai ke ujung bumi» (Kis
1:8) tentang apa yang telah mereka dengar, lihat, renungkan dan sentuh tentang
Sabda kehidupan (bdk. 1Yoh 1:1). Karya Roh Kudus dalam diri manusia mendorongnya
untuk berpegang teguh kepada kebaikan sejati, kepada persekutuan dengan Bapa
dan Putra, dan mendukungnya dengan kegiatan yang berguna, supaya ia dapat menyesuaikan
dirinya dengan karya ilahi. Dengan berkarya dalam lubuk hati manusia dan
tinggal di dalamnya, Roh Kudus menghidupinya, menyelaraskannya dengan Sang
Putra dengan membawa kepadanya setiap anugerah rahmat dan meresapinya dengan rasa
syukur, bersama dengan penghiburan dan kerinduan untuk semakin mewujudkan
menyerupakan dirinya dengan Kristus.
163. Kesesuaian
dengan karya Roh Kudus menghasilkan pembaruan autentik dalam diri orang
beriman: setelah menerimakan pengurapan (bdk. 1Yoh 2:27) dan menyampaikan hidup
Sang Putra, Roh menjadikannya sebagai ciptaan baru. Sebagai putra-putri dalam
Sang Putra, orang-orang Kristiani menerima roh cinta kasih dan pengangkatan
sehingga mereka mengakui keputraan mereka, dan memanggil Allah sebagai Bapa.
Manusia, yang diperbarui dan dijadikan putra, adalah makhluk pneumatik,
rohaniah, komunal, yang membiarkan dirinya didorong oleh arus yang datang dari Tuhan
(bdk. Yes 59:19). Maka Allah, dengan menggerakkan dalam diri manusia «kemauan
dan pekerjaan» (Flp 2:13), memampukannya menyelaraskan diri dengan bebas kepada
kebaikan yang dikehendaki Allah. «Roh Kudus juga memberikan keteguhan hati
untuk mewartakan kebaruan Injil dengan keberanian (parrhesia) di setiap waktu
dan segala tempat, bahkan ketika menghadapi perlawanan.» Semua panggilan ini memampukan untuk
memahami nilai yang dimiliki oleh pedagogi ilahi untuk kehidupan Gereja, dan
betapa jelas keteladanannya juga tampak dalam katekese, yang dipanggil untuk
diilhami dan dijiwai oleh Roh Yesus dan, dengan rahmat-Nya, untuk membentuk
kehidupan iman orang beriman.
2
PEDAGOGI
IMAN DALAM GEREJA
164.
Kisah-kisah Injil membuktikan sifat-sifat hubungan edukatif dari Yesus dan
mengilhami kegiatan pedagogis Gereja. Sejak awal Gereja telah menghidupi
misinya, «sebagai kesinambungan yang kelihatan dan aktual dari pedagogi Bapa
dan Putera. Dia, sebagai “Bunda, adalah juga pendidik iman kita.” Inilah
alasan-alasan mendalam, mengapa komunitas Kristiani dalam dirinya sendiri
adalah katekese yang hidup. Oleh karena itu, jemaat Kristiani memaklumkan,
merayakan, melaksanakan, dan tetap sebagai tempat vital, sangat diperlukan dan utama dari katekese. Selama berabad-abad, Gereja telah menghasilkan harta
pusaka pedagogi iman yang tiada bandingnya: yang terutama adalah kesaksian para
katekis yang kudus; aneka cara dan bentuk-bentuk komunikasi religius yang asli,
seperti katekumenat, katekismus, perjalanan hidup Kristen; suatu warisan berharga
dari ajaran kateketik, budaya iman, institusi-institusi, dan pelayanan-pelayanan
katekese. Semua aspek ini membentuk bagian dari sejarah katekese, dan
berdasarkan hak, masuk ke dalam kenangan komunitas dan praksis katekis.»
165. Katekese
diilhami oleh ciri-ciri pedagogi ilahi, yang sudah dijelaskan. Dengan demikian,
katekese menjadi kegiatan pedagogis untuk pelayanan dialog keselamatan antara
Allah dengan manusia. Maka, penting bahwa sifat-sifat ini diungkapkan:
-
menghadirkan inisiatif cinta kasih Allah yang cuma-cuma;
-
menekankan tujuan universal keselamatan;
-
membangkitkan pertobatan yang diperlukan untuk ketaatan iman;
-
menerima prinsip kebertahapan Wahyu dan transendensi Sabda Allah, demikian juga
inkulturasinya dalam budaya-budaya manusia;
-
mengakui sentralitas Yesus Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia dan
menentukan katekese sebagai pedagogi inkarnasi;
-
menghargai pengalaman iman komunitas, sebagai milik umat Allah;
-
menyusun pedagogi tanda-tanda, di mana fakta-fakta dan kata-kata saling
berhubungan;
-
mengenangkan bahwa cinta kasih Allah yang tak terbatas merupakan alasan utama
dari segala sesuatu.
166. Perjalanan
Allah yang mewahyukan diri-Nya dan menyelamatkan, dan disatukan dengan jawaban
iman Gereja dalam sejarah, menjadi sumber dan model pedagogi iman. Katekese
digambarkan sebagai proses yang memungkinkan iman menjadi matang dengan
menghargai perjalanan pribadi setiap orang beriman. Katekese adalah pedagogi
dalam tindakan iman yang melaksanakan suatu karya terpadu: inisiasi, edukasi
dan ajaran, karena selalu memiliki kesatuan yang jelas antara isi dan cara
meneruskan ajaran iman. Gereja menyadari bahwa dalam katekese Roh Kudus
bertindak secara efektif: kehadiran ini menjadikan katekese sebagai pedagogi
iman yang sejati.
Kriteria
untuk pewartaan pesan Injil
167. Gereja,
dalam kegiatan kateketisnya, berusaha untuk setia kepada inti pesan Injili.
“Ada kalanya ketika mendengarkan bahasa yang sama sekali ortodoks, umat beriman
memperoleh sesuatu yang tidak sesuai dengan Injil Yesus Kristus yang autentik,
karena bahasa tersebut asing bagi cara mereka sendiri berbicara dan memahami
satu sama lain. Dengan niat suci menyampaikan kebenaran tentang Allah dan
kemanusiaan, kita kadang-kadang
memberi mereka dewa palsu atau cita-cita manusiawi yang tidak benar-benar
Kristiani. Dengan cara demikian, kita berpegang teguh pada suatu rumusan namun
gagal menyampaikan substansinya.» Untuk menghindari bahaya ini dan agar karya
pewartaan Injil dapat diilhami oleh pedagogi Allah, baiklah bahwa katekese
mempertimbangkan beberapa kriteria yang saling terkait dengan kuat, sebab
semuanya berasal dari Sabda Allah.
Kriteria trinitaris dan kristologis
168. Katekese
harus memenuhi kriteria trinitaris dan kristologis. «Misteri Tritunggal
Mahakudus adalah rahasia sentral iman dan kehidupan Kristen. Itulah misteri
kehidupan batin ilahi, dasar pokok segala misteri iman yang lain dan cahaya
yang meneranginya.» Kristus
adalah jalan yang menuntun ke dalam misteri mendalam Allah. Yesus Kristus tidak
hanya meneruskan Sabda Allah: Dia adalah Sabda Allah. Wahyu Allah sebagai
Trinitas merupakan hal vital untuk pemahaman bukan hanya keaslian satu-satunya Kristianisme
dan Gereja, melainkan juga konsep tentang manusia sebagai makhluk relasional
dan komunal. Tanpa suatu pesan Injili yang sungguh trinitaris, melalui Kristus
kepada Bapa dalam Roh Kudus, katekese akan mengkhianati kekhasannya.
169.
Kristosentrisme memberikan ciri khas yang mendasar kepada pesan yang diteruskan
oleh katekese. Pada tempat pertama hal ini berarti bahwa yang menjadi pusat
katekese adalah pribadi Yesus Kristus yang hidup, hadir dan berkarya. Pewartaan
Injil berarti menghadirkan Kristus dan segala sesuatu yang lain mengacu
kepada-Nya. Di samping itu, karena Kristus adalah «kunci, pusat dan tujuan
seluruh sejarah manusia» (GS 10), katekese membantu orang beriman untuk
terlibat secara aktif di dalamnya, dengan menunjukkan bagaimana Kristus menjadi
pemenuhan dan makna pokok hidupnya. Akhirnya, Kristosentrisme berarti bahwa
katekese berkomitmen untuk «meneruskan apa yang diajarkan Yesus tentang Allah,
manusia, kebahagiaan, kehidupan moral dan kematian», karena pesan Injil tidak berasal dari
manusia, tetapi merupakan Sabda Allah. Menekankan sifat Kristosentris dari
pesan itu meneguhkan jalan mengikuti Kristus dan persekutuan dengan Dia.
170. Katekese
dan liturgi, dengan mengambil iman para Bapa Gereja, telah membentuk suatu cara
khusus untuk membaca dan menafsirkan Kitab Suci, yang sampai hari ini masih
mempertahankan nilainya yang cemerlang. Cara ini dicirikan dengan
ditampilkannya kesatuan pribadi Yesus melalui misteri- misteri-Nya, yaitu sesuai dengan peristiwa-peristiwa
utama hidup-Nya yang dipahami dalam pengertian teologis dan spiritual yang
abadi. Misteri-misteri
ini dirayakan pada berbagai pesta dalam tahun liturgi dan ditampilkan dalam
rangkaian ikonografi yang menghiasi banyak gedung gereja. Dalam penyajian
tentang pribadi Yesus dipadukan data biblis dan Tradisi Gereja: cara membaca
Kitab Suci seperti ini sangat bermanfaat terutama dalam katekese. Katekese dan
liturgi tidak pernah membatasi diri untuk membaca kitab Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru secara terpisah, tetapi membacanya sebagai suatu kesatuan.
Dengan membaca keduanya secara bersama ini menunjukkan bahwa hanya pembacaan
Kitab Suci tipologislah, yang memampukan kita untuk memahami sepenuhnya makna peristiwa-peristiwa
dan teks-teks yang menceritakan satu-satunya sejarah keselamatan. Cara
pembacaan ini menunjukkan kepada katekese suatu jalan berkelanjutan, yang masih
sangat relevan hingga saat ini, yang memungkinkan orang yang bertumbuh dalam
iman memahami bahwa tak satupun detil perjanjian lama ditiadakan oleh Kristus,
tetapi di dalam Dia semua menemukan kepenuhannya.
Kriteria
sejarah keselamatan
171. Arti nama
Yesus, «Allah menyelamatkan», mengingatkan kita bahwa semua yang merujuk pada
Dia diselamatkan. Katekese tidak pernah boleh mengabaikan misteri paskah yang
dengannya keselamatan telah diberikan kepada umat manusia dan yang merupakan
dasar dari semua sakramen dan sumber dari setiap rahmat. Penebusan, pembenaran,
pembebasan, pertobatan dan keputraan ilahi merupakan aspek-aspek penting dari karunia
besar keselamatan. «Ekonomi keselamatan memiliki ciri historis, karena itu
diwujudkan dalam waktu. […] Gereja, dalam meneruskan pesan kristiani, mulai
dengan kesadarannya yang hidup tentang hal itu, serta memiliki kenangan yang
tetap akan peristiwa-peristiwa keselamatan pada masa lampau, dengan
menarasikannya. Gereja menafsirkan dalam terang peristiwa-peristiwa sejarah
umat manusia sekarang ini, di mana Roh Allah terus-menerus membarui muka bumi,
dan Gereja menantikan kedatangan Tuhan dengan iman.» Maka, penyampaian iman,
akan mempertimbangkan fakta-fakta dan kata-kata yang dengannya Allah telah
mewahyukan diri-Nya kepada manusia melalui tahap-tahap besar Perjanjian Lama,
kehidupan Yesus Putra Allah dan sejarah Gereja.
172. Dalam daya
kuasa Roh Kudus, sejarah manusia di mana Gereja berada di dalamnya juga
merupakan sejarah keselamatan yang berlangsung sepanjang waktu. Sesungguhnya,
Tuhan Yesus mewahyukan bahwa sejarah itu bukan tanpa tujuan sebab ia membawa
dalam dirinya kehadiran Allah. Gereja, dalam peziarahannya sekarang menuju
penggenapan Kerajaan Allah, merupakan tanda yang berdaya guna dari tujuan ke mana
dunia diarahkan. Injil, dasar pengharapan bagi dunia seluruhnya dan umat manusia
sepanjang zaman, memberikan suatu pandangan yang mencakup kepercayaan kepada
cinta kasih Allah. Maka, pesan Kristiani selalu disampaikan dalam hubungan
dengan makna kehidupan, kebenaran dan martabat
pribadi manusia. Kristus telah datang untuk keselamatan kita, supaya kita
mempunyai hidup dalam kepenuhan. «Sesungguhnya, hanya dalam misteri Sabda yang
menjelmalah misteri manusia menemukan terang sejati» (GS 22). Sabda Allah, yang
yang diantarakan oleh katekese, menerangi hidup manusia, memberinya maknanya
yang terdalam dan menemani manusia pada jalan-jalan keindahan, kebenaran dan
kebaikan.
173. Pewartaan
Kerajaan Allah mencakup pesan pembebasan dan kemajuan umat manusia, yang
terkait erat dengan pemeliharaan dan tanggung jawab kepada seluruh ciptaan.
Keselamatan, yang diberikan oleh Tuhan dan diwartakan oleh Gereja, menyangkut
semua persoalan kehidupan sosial. Maka, perlulah mempertimbangkan kompleksitas
dunia kontemporer dan hubungan erat yang ada antara budaya, politik, ekonomi, pekerjaan,
lingkungan, mutu kehidupan, kemiskinan, kekacauan sosial, peperangan.10 «Injil
memiliki prinsip totalitas yang intrinsik: Injil tidak akan berhenti menjadi
Kabar Baik selama belum diwartakan kepada semua orang, selama belum
menyembuhkan dan menguatkan setiap aspek kemanusiaan, selama belum menyatukan
semua manusia di meja per[1]jamuan
Kerajaan Allah.» Bagaimanapun juga, perspektif akhir pewartaan keselamatan
adalah selalu kehidupan kekal. Hanya di dalamnya komitmen kepada keadilan dan
kerinduan untuk pembebasan akan terlaksana sepenuhnya.
Kriteria
keunggulan rahmat dan keindahan
174. Kriteria
lain visi hidup Kristiani adalah keunggulan rahmat. Seluruh katekese perlu
menjadi «katekese rahmat, karena oleh rahmat kita diselamatkan dan hanya oleh
rahmat perbuatan-perbuatan kita dapat menghasilkan buah kehidupan abadi.» Maka,
kebenaran yang diajarkan bertolak dari prakarsa Allah yang penuh kasih dan
berlanjut dengan jawaban manusia yang berasal dari sikap mendengarkan dan
selalu merupakan buah rahmat. «Komunitas yang mewartakan Injil mengetahui bahwa
Tuhan telah mengambil prakarsa, Dia terlebih dahulu mengasihi kita (bdk. 1Yoh
4:10.19), sehingga kita dapat bergerak maju, berani mengambil prakarsa».13
Meskipun sadar bahwa hasil katekese tidak bergantung pada kemampuan untuk
melaksanakan dan merencanakan, Allah tentu meminta suatu kerja sama dengan
rahmat-Nya, dan dengan demikian mengundang
untuk
menggunakan, dalam pelayanan demi Kerajaan Allah, semua sumber daya kecerdasan
dan keterampilan kerja yang diperlukan dalam kegiatan kateketis.
175.
«Mewartakan Kristus berarti menunjukkan bahwa percaya kepadaNya dan
mengikuti-Nya bukan hanya sesuatu yang tepat dan benar, melainkan juga sesuatu
yang indah, yang mampu memenuhi hidup dengan semarak yang baru dan sukacita
yang mendalam, bahkan di tengah-tengah kesulitan-kesulitan.»14 Katekese perlu
selalu meneruskan keindahan Injil yang bergema dari bibir Yesus untuk semua:
orang-orang miskin, orang-orang sederhana, para pendosa, para pemungut pajak
dan pelacur, yang merasa diterima, dimengerti dan dibantu, diundang dan dididik
oleh Tuhan sendiri. Sesungguhnya, pemakluman cinta kasih Allah yang berbelas kasihan
dan cuma-cuma yang dinyatakan secara penuh dalam diri Yesus Kristus, yang wafat
dan bangkit, adalah inti dari kerygma. Ada juga aspek-aspek pesan Injili yang secara umum
sulit untuk dipahami, khususnya di mana Injil memanggil kepada pertobatan dan
pengakuan dosa. Meski demikian, katekese bukan terutama penyampaian moral,
melainkan pemakluman keindahan Allah, yang dapat dialami, yang menyentuh hati dan
budi, dengan mengubah hidup.
Kriteria
ekklesialitas
176. «Iman
perlu memiliki bentuk gerejawi, diakui dari dalam Tubuh Kristus, sebagai
persekutuan konkret kaum beriman.» Sesungguhnya, «bila katekese meneruskan
misteri Kristus, iman seluruh umat Allah bergema dalam pesannya sepanjang
perjalanan sejarah: iman yang diterima oleh para Rasul dari Kristus sendiri dan
di bawah karya Roh Kudus; iman para martir yang telah memberikan kesaksian
tentang imannya dan masih memberikan kesaksian itu dengan darah mereka; iman
para kudus yang telah mereka hayati secara mendalam; iman para Bapa dan
Pujangga Gereja yang telah mereka ajarkan dengan gemilang; iman para misionaris
yang tanpa henti mereka maklumkan; iman para teolog yang membantu untuk
memahaminya dengan lebih baik; iman para gembala yang dengan semangat dan cinta
memeliharanya dan menafsirkannya secara autentik. Sesungguhnya, dalam katekese
terdapat iman semua orang yang percaya dan membiarkan diri dituntun oleh Roh
Kudus.» Selain itu, katekese mengantar umat beriman kepada misteri persekutuan
yang hidup, bukan hanya dalam hubungan dengan Bapa melalui Kristus dalam Roh,
melainkan juga dalam komunitas kaum/umat beriman melalui karya Roh yang sama. Dengan
mendidik kepada persekutuan, katekese mendidik untuk hidup dalam Gereja dan
sebagai Gereja.
Kriteria
kesatuan dan integritas iman
177. Iman, yang
diteruskan oleh Gereja, hanya satu adanya. Orang-orang kristiani tersebar di
seluruh dunia, namun mereka membentuk hanya satu umat. Juga katekese, meskipun
menjelaskan iman dengan bahasa-bahasa budaya yang sangat berbeda satu sama
lain, tidak melakukan apa pun kecuali menegaskan kembali satu-satunya
pembaptisan, dan satu-satunya iman (bdk. Ef 4:5). «Dia yang menjadi murid
Kristus memiliki hak untuk menerima sabda iman yang tidak dipenggal-penggal,
tidak dipalsukan, tetapi yang komplet dan integral, dengan semua kekerasan dan kehebatannya.»
Maka, suatu kriteria fundamental katekese adalah juga mengungkapkan pesan yang
utuh, dan menghindari penyampaiannya yang parsial atau tidak sesuai.
Sesungguhnya, Kristus tidak memberikan beberapa pengetahuan rahasia kepada
sedikit orang yang terpilih dan istimewa (pengetahuan yang disebut gnosis), tetapi ajaran-Nya ditujukan semua
orang, sejauh setiap orang cakap untuk menerimanya.
178.
Penyampaian integritas kebenaran-kebenaran iman harus memperhitungkan prinsip
hierarki kebenaran (bdk. UR 1): sesungguhnya, «semua kebenaran yang diwahyukan
berasal dari sumber ilahi yang sama dan harus dipercayai dengan iman yang sama,
namun beberapa di antaranya lebih penting untuk mengungkapkan secara langsung
intisari Injil.» Kesatuan organis
iman membuktikan esensi utamanya dan memperbolehkan iman itu untuk diwartakan
dan diajarkan dengan segera, tanpa mengurangi dan memperkecilnya. Ajaran,
meskipun bertahap dan dengan penyesuaian-penyesuaian terhadap orang-orang dan
keadaan, tidak mempengaruhi kesatuan dan kepaduannya.
3
PEDAGOGI
KATEKETIK
179. Berhadapan
dengan tantangan-tantangan saat ini, kesadaran akan hubungan timbal balik antara
isi dan metode menjadi semakin penting, baik dalam evangelisasi maupun dalam
katekese. Pedagogi iman yang orisinil diilhami oleh kerelaan Allah yang secara
konkret akan dihasilkan dari ketaatan ganda –kepada Allah dan kepada manusia–
dan dengan demikian dari penjelasan atas sintesis yang bijaksana antara dimensi
teologis dan antropologis kehidupan iman. Dalam program katekese, prinsip mengevangelisasi
sambil mendidik dan mendidik sambil mengevangelisasi mengingatkan antara lain, bahwa karya
dari katekis terdiri dari menemukan dan menunjukkan tanda-tanda tindakan Allah
yang sudah hadir dalam kehidupan orang-orang dan, dengan terlibat bersama
mereka, menawar[1]kan
Injil sebagai kekuatan yang berdaya ubah dalam seluruh kehidupan dan memberikan
arti yang penuh kepada kehidupan. Pendampingan kepada seseorang dalam suatu
perjalanan pertumbuhan dan pertobatan harus ditandai oleh kebertahapan, karena
tindakan untuk percaya melibatkan suatu penemuan bertahap akan misteri Allah
dan suatu keterbukaan serta kepercayaan kepada-Nya yang berkembang seiring
waktu.
Hubungan
dengan ilmu-ilmu kemanusiaan
180. Katekese
adalah suatu kegiatan yang pada dasarnya mendidik. Katekese selalu dilaksanakan
dalam kesetiaan kepada Sabda Allah dan dalam perhatian dan interaksi dengan
praksis pendidikan budaya. Berkat penelitian dan refleksi atas ilmu-ilmu
kemanusiaan telah muncul teori-teori, pendekatan-pendekatan dan model-model
yang membarui secara mendalam praksis edukatif dan memberikan suatu sumbangan
penting untuk suatu pengetahuan mendalam tentang manusia, hubungan-hubungan manusiawi,
masyarakat, dan sejarah. Sumbangan ilmu-ilmu kemanusiaan sangat fundamental.
Khususnya pedagogi dan didaktika memperkaya proses-proses edukatif katekese.
Bersamaan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan psikologi juga bernilai penting,
terutama karena membantu memahami dinamisme motivasional, struktur kepribadian,
unsur-unsur yang berhubungan dengan gangguan dan patologi, berbagai tahap perkembangan dan tugas-tugas
evolusioner, dinamika pendewasaan religius dan pengalaman-pengalaman yang
membuka manusia kepada misteri
yang suci. Selain itu, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu komunikasi, membuka
kepada pengetahuan tentang konteks sosio-budaya di mana orang hidup dan setiap
orang dipengaruhi olehnya.
181. Katekese
harus menghindari menyamakan tindakan Allah yang menyelamatkan dengan perbuatan
pedagogis manusiawi; demikian juga, ia berhati-hati untuk tidak memisahkan atau
mempertentangkan proses-proses
itu. Dalam logika inkarnasi, kesetiaan kepada Allah dan kesetiaan kepada
manusia saling kait-mengait secara mendalam. Maka, patut dipahami bahwa
inspirasi iman itu sendiri membantu suatu penghargaan yang tepat terhadap
sumbangan-sumbangan dari ilmu-ilmu kemanusiaan. Pendekatan-pendekatan dan
teknik-teknik yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki nilai sejauh
ditempatkan untuk pelayanan penerusan dan pendidikan iman. Iman mengakui
otonomi dari realitas duniawi dan juga ilmu-ilmu pengetahuan (bdk. GS 36) dan
menghormati logika-logika mereka yang, jika autentik, terbuka kepada kebenaran manusia;
namun pada saat yang sama iman memasukkan sumbangan-sumbangan itu ke dalam cakrawala Wahyu.
keren
BalasHapus