Daftar Blog Saya

Sabtu, 03 Desember 2022

Rahmat Menyempurnakan Kodrat

POKOK KATEKESE IMAN KITA 5 

Bambang Kussriyanto

Tujuan dari Wahyu itu – baik yang kodrati maupun yang ilahi – bukanlah supaya kita memahami Allah selengkap-lengkapnya. “Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi” – Dei Verbum (selanjutnya disingkat DV) – dari Konsili Vatikan II menyatakan :

Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya, Allah berkenan mewahyukan diriNya dan memaklumkan rahasia kehendakNya... Melalui perwahyuan ini... Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan kasihNya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabatNya dan tinggal di antara mereka, untuk mengundang mereka dan menyambut mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya (DV 2).

 

            Pernyataan ini menegaskan bahwa Allah menyingkapkan diri dan kehendak-Nya “dari kelimpahan kasih-Nya” dengan tujuan mengundang kita di dalam suatu hubungan persahabatan pribadi yang hidup dan persekutuan dengan Bapa dan Pencipta kita. Di sini kita menemukan makna dan kegembiraan hidup yang sejati. Santo Agustinus menyatakan, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan kami bagiMu sendiri. Hati kami gelisah sebelum kami menemukan ketenteraman dalam Dikau.”(Confessiones 1,1,1.)

            Menurut KGK 51: "Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi" (DV 2).

            Allah tidak hanya sekedar menyatakan rencana kasih-Nya. Ia juga bertindak menunjukkan kasih dan kerinduan-Nya untuk berada dalam hubungan yang mesra dengan kita, dengan datang berkunjung dan tinggal di antara kita sebagai seorang manusia – Yesus Kristus. Maka wahyu Allah itu bersifat pribadi karena datang kepada kita melalui pribadi Yesus.  Yesus mengundang masing-masing dari kita untuk mengenal Allah sebagai Bapa kita dan hidup dalam persekutuan dengan Dia. Wahyu mengantar pada hidup yang sejati, dengan segala kelimpahannya di dunia (lihat Yoh 10:10) dan hidup abadi bersama dengan Allah di masa yang akan datang.

            KGK 52 menyatakan: “Allah ‘yang bersemayam dalam terang yang tak terhampiri’ (1 Tim 6:16) hendak menyampaikan kepada manusia, … hidup ilahi-Nya sendiri, supaya melalui Putera-Nya yang tunggal Ia mengangkat mereka menjadi anak-anak-Nya. Dengan mewahyukan Diri, Allah hendak menyanggupkan manusia untuk memberi jawaban kepada-Nya, mengakui-Nya dan mencintai-Nya dengan cara yang jauh melampaui kemampuan manusia itu sendiri.”

            Hidup abadi bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh manusia karena jasa, atau akan diterima sebagai hak. Yesus menunjukkan bahwa banyak orang tidak akan mencapai hidup kekal, dan secara abadi terpisah dari Allah (lih Mat 7:13, 14). Namun Yesus tidak datang “untuk menghukum, melainkan untuk menyelamatkan dunia” (Yoh 12:47) dengan menyampaikan Sabda Bapa yang diberikan kepada-Nya untuk diwartakan. “Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman” (Yoh 12: 48). Kepenuhan dari Sabda yang amat-sangat penting ini di dalam Wahyu yang datang kepada kita dari Allah Bapa, adalah dalam pribadi Yesus Kristus.

 

Allah Berbicara Kepada Kita Melalui Sejarah

Dokumen Konsili Vatikan II Dei Verbum menjelaskan bahwa Allah mewahyukan diri baik melalui perbuatan maupun perkataan (DV 2). KGK 53 juga menegaskan bahwa keputusan wahyu ilahi itu diwujudkan "dalam perbuatan dan perkataan yang bertalian satu sama lain". Di dalamnya tercakup "kebijaksanaan mendidik" dari ilahi yang khas: Allah menyatakan Diri secara bertahap kepada manusia; Ia mempersiapkan manusia secara berangsur-angsur  untuk menerima wahyu diri-Nya yang adikodrati, yang mencapai puncaknya dalam pribadi dan perutusan Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia.

            Dengan menggunakan kiasan bahwa Allah dan manusia seakan-akan saling membiasakan diri satu sama lain, Santo Ireneus dari Lyon berulang kali berbicara tentang pedagogi ilahi ini. "Sabda Allah berdiam dalam manusia dan menjadi putera manusia, supaya manusia membiasakan diri untuk menerima Allah, dan Allah membiasakan diri untuk tinggal dalam manusia seturut perkenanan Bapa" (Haer. 3,20,2).

            Iman Kristiani dan Yahudi didasarkan pada kepercayaan bahwa Allah bertindak dengan cara yang unik dan khas dalam sejarah manusia, dan bahwa Dia juga berbicara kepada manusia dengan berbagai ragam cara.

            Proses perwahyuan mengalami perkembangan tahap demi tahap. KGK secara garis besar menggambarkan tahap-tahap Wahyu di mana Allah membiarkan diri dikenal pada awal mulanya dari lingkungan yang lebih sempit, kemudian melebar. Pada mulanya Ia mewahyukan diri kepada suatu pasangan (Adam dan Hawa), lalu kepada satu keluarga (Nuh), lalu kepada satu bangsa (Abraham), dan akhirnya kepada seluruh dunia (dalam dan oleh Yesus Kristus).

 


Perjanjian dengan Adam

            Maka "Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui Sabda-Nya (lih. Yoh 1:3) serta melestarikannya dalam mahluk-mahluk, senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rm 1:19-20). Dan karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan diri kepada manusia pertama" (DV3), Adam dan Hawa. Ia menghimpun mereka dalam suatu persatuan yang erat dengan diri-Nya di Taman Firdaus, menganugerahi mereka dengan rahmat dan keadilan (lih KGK 54).

            Kisahnya mulai dari Kitab Kejadian, ketika Allah memberi Adam “kekuasaan” atas “seluruh bumi” dan semua mahluk di dalamnya, mulai dari ikan dan burung hingga ternak dan serangga (Kej 1:26). Adam diciptakan dalam “citra” Allah dan dalam “keserupaan” dengan Allah, yang melukiskan hubungan bapa-putera, ayah-anak, dan suatu delegasi atau pelimpahan tanggungjawab rajawi. Lelaki dan perempuan diciptakan untuk mengabdi sebagai anak-anak sulung yang mewakili pemerintahan Allah.

            Allah “memahkotai” semua umat manusia dalam Adam dan memberikan “kekuasaan” dan “pengaturan” atas pasangan-pasangan awal dan keturunannya.

            Dalam penciptaan, kita lihat Allah menyelenggarakan dunia dan kemudian menetapkan manusia sebagai keluarga rajawi-Nya di atas bumi. Dengan meriah Ia memeteraikan ketentuan-Nya ini dengan mengadakan suatu perjanjian kekal.

            Salah satu syarat dari perjanjian Allah dengan bangsa manusia adalah kekuasaan (dominasi): Adam dan Hawa harus memenuhi bumi dan menguasainya. Dengan demikian Allah mengadakan kosmos untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia. Ia membuat kosmos ini dapat dipahami oleh manusia dengan suatu cara yang tidak diketahui binatang. Pengertian kita akan alam ciptaan berbeda dengan pengertian binatang, bukan hanya dalam derajatnya, tetapi juga macamnya. Pikiran manusia dengan demikian disesuaikan dengan alam ciptaan; dan alam ciptaan diselenggarakan untuk pikiran manusia. Ini merupakan prinsip antropik kosmis (manusia kosmis) dalam bentuk awalnya. Dan persyaratan perjanjian ini, piagam kekuasaan dan rajawi ini, bersama dengan pentingnya bahwa alam ciptaan itu dapat dipahami – memungkinkan sains tentang alam dan teknologi .

            Namun karena kesombongan dan ketidakpatuhan, Adam dan Hawa kehilangan status khusus mereka. Ketika iblis dalam rupa ular mencobai mereka, mereka melepaskan jabatan yang diberikan pada mereka oleh ilahi. Adam gagal menjaga kesucian taman dari penyusup yang mematikan; dan dengan memetik buah terlarang, ia dan Hawa menolak menyampaikan persembahan demi hasrat mereka akan barang-barang duniawi. Mereka juga menolak untuk melaksanakan kekuasaan mereka atas binatang yang diberikan pada mereka. Persatuan dengan Allah ini dirusak oleh kesalahan manusia pertama yang melawan ketentuan Allah.

            Tetapi Wahyu tidak putus oleh dosa leluhur kita. Karena sesudah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan Allah mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej 3:15). Tiada putus-putusnya Ia memelihara umat manusia, untuk mengaruniakan hidup kekal kepada semua yang mencari keselamatan dengan bertekun melakukan apa yang baik (lih. Rm 2:6-7) (DV 3, KGK 55). Tradisi doa menyatakan keyakinan “Ketika manusia kehilangan persahabatan dengan Dikau karena tidak setia, ia tidak Kaubiarkan merana di bawah kekuasaan maut. Berulang kali Engkau menawarkan perjanjian kepada mereka" (MR, Doa Syukur Agung IV, 118). Kitab Suci Perjanjian Lama menceritakan berbagai tindakan penyelamatan oleh Allah. Allah mewahyukan diri kepada Nuh, Abraham, Musa, para nabi, dan pria dan wanita dari Perjanjian Lama melalui mimpi, penglihatan, suara, malaikat utusan dan sarana-sarana lainnya.

 


Perjanjian dengan Nuh

Dalam bab-bab selanjutnya dari Kitab Kejadian, keluarga manusia menjadi makin ganas memberontak, mulai dari Kain yang membunuh saudaranya, Habel, dan berlanjut pada kemerosotan menyeluruh pada zaman Nuh. Allah menata ulang sebagian dari tatanan kosmis dengan menyelamatkan keluarga Nuh.

            Banjir besar yang diceritakan dalam Kej 6-9 yang meliputi semua daratan. Air bah membinasakan semua mahluk hidup karena kejahatan manusia (Kej 6:5). Hanya Nuh dan keluarganya saja yang diselamatkan karena “Nuh hidup bergaul dengan Allah dan Nuh adalah orang yang benar dan tidak bercela di antara sesamanya” (Kej 6:9). Nuh kemudian dipilih untuk menjadi pengantara perjanjian yang kedua dan ikut serta dalam penciptaan baru. Allah berjanji tidak akan menghancurkan mahluk hidup dengan air bah lagi. Persis seperti yang dilakukannya dengan Adam, Allah memerintahkan agar Nuh “beranak-cucu dan bertambah banyak memenuhi bumi, dan memberinya kuasa atas binatang, burung, dan ikan-ikan (Kej 9:2).

            “Dalam perjanjian yang Ia lakukan dengan Nuh sesudah air bah, kehendak keselamatan ilahi dinyatakan kepada 'bangsa-bangsa', artinya kepada manusia-manusia, yang tinggal di 'negerinya masing-masing dan mempunyai bahasa serta suku-sukunya sendiri' (Kej 10:5, KGK 56). Sebab kemudian dari anak keturunan Nuh lahirlah bangsa-bangsa yang sangat banyak yang pada awalnya dibuat daftarnya dalam kitab Kej 10. “ Itulah segala kaum anak-anak Nuh menurut keturunan mereka, menurut bangsa mereka. Dan dari mereka itulah berpencar bangsa-bangsa di bumi setelah air bah itu” (Kej 10:32).

            Oleh Allah, “Pengaturan bangsa-bangsa yang banyak, yang dipercayakan oleh penyelenggaraan ilahi kepada pengawalan para malaikat, adalah sekaligus kosmis, sosial, dan religius. Aturan ini dimaksudkan untuk membendung kesombongan umat manusia yang sudah jatuh, yang bersatu dalam cita-cita yang jahat, untuk membentuk dirinya menjadi kesatuan seturut model Babel (Kej 11). Tetapi karena dosa, maka aturan sementara ini selalu terancam dan dapat jatuh ke dalam penyimpangan kafir yakni politeisme dan pendewaan bangsa serta pemimpinnya” (KGK 57).

            Perjanjian dengan Nuh berlaku pada zaman bangsa-bangsa sampai kepada pewartaan Injil di seluruh dunia. (KGK 58).      Dengan demikian Kitab Suci menegaskan kesucian agung yang dapat dicapai oleh mereka yang hidup tekun sesuai dengan perjanjian Nuh sambil menantikan Kristus yang akan datang "untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai" (Yoh 11:52).

 


Allah Memilih Abraham

Dosa timbul lagi dalam dunia. Karena kesombongan pemujaan diri sendiri di Menara Babel yang hendak dibangun sampai ke langit, keluarga manusia sekali lagi terpencar berserakan, terasing dari Allah, bahkan dari satu sama lain. Angkatan-angkatan yang jahat ini semakin jauh dari panggilan Allah yang awal bagi manusia.

            Lalu datanglah Abraham, tokoh iman, pada siapa Allah menjanjikan pemulihan perjanjian kosmis di masa depan. Kepada Abraham dan keturunannya, Allah menjanjikan berkat untuk semua keluarga di bumi (Kej 12:3); tanah yang makmur (Kej 12:1); keturunan rajawi (Kej 17:6). Dan Allah memeteraikan setiap janji-Nya (lihat Kej 15; 17:4-8; dan 22:15-18), dengan demikian menyambung kembali ikatan kekerabatan di antara Allah dan keluarga manusia. Melalui Abraham inilah kita juga bertemu dengan seorang raja-imam, Melkisedek, raja Salem (Kej 14:18), yang memberkati Abraham dengan mempersembahkan korban anggur dan roti kepada Allah.

            Untuk mengumpulkan kembali umat manusia yang tercerai-berai, Allah memilih Abram dan memanggilnya keluar dari negerinya, dari kaum keluarganya  dan dari rumah bapanya, untuk menjadikannya Abraham yang berarti "bapa sejumlah besar bangsa" (Kej 17:5): "Karena engkau Aku akan memberkati semua bangsa di bumi" (Kej 12:3 LXX; lih juga KGK 59).

            “Keturunan dari Abraham menjadi pembawa janji yang Allah ikrarkan kepada para bapa bangsa” (KGK 60). Yang dimaksud para bapa bangsa adalah tokoh utama laki-laki dalam Kitab Kejadian, terutama Abraham, Ishak, dan Yakub.

            Riwayat utama para bapa bangsa diceritakan dalam Kej 12-50, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian besar dengan fokus kisah masing-masing pada Abraham (Kej 12-25), Ishak (Kej 25-26) dan Yakub serta anak-anaknya (Kej 27-50). Kitab Kisah Para Rasul juga memberikan gelar “bapa bangsa” kepada kedua belas anak-anak Yakub, antara lain Yusuf yang menjadi pemimpin di Mesir, dan kepada Raja Daud (Kis 2:29; lih juga KGK 61, 205).

            Para bapa bangsa adalah mereka yang lebih dahulu menerima janji-janji Allah bagi generasi-generasi berikutnya. Kej 12-50 menceritakan rangkaian episode yang terkait dengan janji, yang merunut sampai ke permulaannya rencana keselamatan dalam sejarah manusia. Kitab-kitab lain di dalam Kitab Suci selanjutnya memetakan pelaksanaan dari janji-janji ini yang memuncak di dalam pemenuhan final pada Yesus Kristus (KGK 704–706;  2570–2574). Para bapa bangsa dengan demikian lebih dari sekedar bapa-bapa dalam silsilah Israel. Mereka adalah para bapa rohani bagi umat beriman (Ibr 4:1-28). Maka iman kesalehan Abraham membuatnya menjadi “bapa semua orang yang percaya” (Rm 4:11; bdk Kej 12:2; 15:5-6). 

            Maka berdasar gambaran di atas dikatakan bahwa “Keturunan dari Abraham menjadi pembawa janji yang Allah ikrarkan kepada para bapa bangsa menjadi bangsa terpilih yang dipanggil dengan maksud mempersiapkan pengumpulan semua anak Allah dalam kesatuan Gereja. Bangsa ini menjadi akar pohon, yang padanya akan dicangkokkan orang-orang kafir, kalau mereka sudah percaya” (KGK 60). “Para bapa bangsa, para nabi dan tokoh-tokoh besar yang lain dalam Perjanjian Lama dari dulu dan terus dihormati dalam semua tradisi liturgi sebagai orang-orang kudus” (KGK 61).

 

Musa, Hakim-hakim dan Nabi-nabi : Allah Membentuk Bangsa-Nya Israel bagi Diri-Nya

Karena bahaya kelaparan, keturunan Yakub yang disebut Israel pindah, menetap dan bertambah banyak di Mesir, dan “orang-orang Israel beranak cucu dan tak terbilang jumlahnya; mereka bertambah banyak dan dengan dahsyat berlipat ganda, sehingga negeri itu dipenuhi mereka” (Kel 1:7). Tetapi nasib mereka berubah dramatis di bawah pemerintahan firaun-firaun baru yang tidak lagi mengenal semua kebaikan yang telah dibuat bapa bangsa Yusuf bagi Mesir, dan mereka menindas orang-orang Israel dan menjadikan mereka budak-budak, menjadikan mereka tenaga kerja paksa untuk membangun (atau membangun kembali) kota-kota Pitom dan Raamses.

            Musa dipilih oleh Tuhan untuk memimpin bangsanya keluar dari belenggu perbudakan. Ia menggunakan kuasa ilahi yang diberikan kepadanya untuk menghancurkan kekerasan kepala Firaun, demi kebebasan kaum Israel (Kel 6:1-5). Lalu kisahnya berlanjut dengan pertarungan antara Musa dengan imam-imam Mesir (Kel 7:11.22; 8:7.18) dan kemudian sepuluh tulah di Mesir (Kej 7:14-12:30; Mzm 78:42-51; 105:28-36) yang memuncak dengan peristiwa Paska.

            Dari Sukot iring-iringan orang Israel terus bergerak ke Etam (Kel 13:20) dan kemudian ke Pi-Hahirot di dekat laut (Kel 14:2). Dari tempat itu orang Israel yang terjepit di antara laut dan pasukan Mesir yang mengejar diberi jalan pelarian menyibak laut dengan mujizat dari Tuhan (Kel 14:21-31).

            Setelah menyeberangi laut teberau, orang Israel menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan atas pembebasan mereka (Kel 15) dan segera menuju ke gurun Sur selama tiga hari (Kel 15:22) dan akhirnya mencapai Elim (Kel 15:27). Dari sana, mereka melanjutkan ke Gurun Sin. “Pada hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir” (Kel 16:1) mereka mencapai Sinai.

            Tema pokok dari Keluaran dinyatakan oleh Tuhan kepada Musa: “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, Tuhan, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir. Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu; Akulah Tuhan" (Kel 6:7-8)

            Keluaran merupakan perluasan dari janji kepada Abraham bahwa Israel akan diberi tanah Kanaan (Kel 3:8; 6:8).

            Bagian kedua dari kitab Keluaran (Kel 19:1-40:38) berkaitan dengan perjanjian (Kel 19 -24), penjabaran ketentuan-ketentuannya menjadi Hukum Sinai diawali dengan Sepuluh Perintah Allah dan suatu kode hukum sosial dan etika agama (Kel  20-23).



            Maksud dari kitab Keluaran dan perjanjian dinyatakan Allah kepada Musa: “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel." (Kel 19:5-6). Israel ditampilkan oleh Allah, Bapanya, sebagai putera yang sulung (Kel 4:2) dari antara segala bangsa di dunia, dengan peran raja-imam sebagai saudara tertua bagi bangsa-bangsa lainnya. Hukum yang menjabarkan perjanjian dimaksudkan untuk mengubah konfederasi yang longgar di antara suku-suku menjadi bangsa Tuhan. Perjanjian dimeterai dengan meriah di antara Tuhan, Musa, Harun, Nadab, Abihu dan tujuh puluh penatua Israel dengan makan bersama di atas gunung (Kel 24:10).

            Katekismus menggariskan suatu ikhtisar: “Sesudah zaman para bapa bangsa, Tuhan menjadikan Israel bangsa-Nya. Ia membebaskannya dari perhambaan di Mesir, mengadakan perjanjian dengannya di Sinai, dan memberi kepadanya hukum-Nya melalui Musa, supaya mengakui diri-Nya sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan benar, sebagai bapa penyelenggara dan sebagai hakim yang adil, dan untuk menantikan Juru Selamat terjanji” (KGK 62).  “Israel adalah bangsa imam-imam Allah, yang telah diberkati dengan 'nama Allah' (Ul 28:10). Itulah bangsa orang-orang, 'yang menerima Sabda Allah sebelum kita' (MR, Jumat Agung, Doa umat meriah 6), bangsa 'kakak-kakak' dalam iman Abraham.” (KGK 63).

            Sayangnya, pemenuhan janji dari perjanjian Abraham ini tidak terlaksana di bawah perjanjian Musa, karena segera terjadi pelanggaran perjanjian Sinai dengan dibuatnya patung anak lembu jantan dari emas (Kel 32) untuk disembah. Insiden itu menentukan perlunya pengulangan pembuatan perjanjian Musa kembali (Kel 34:1-35) di mana imamat umum anak sulung bangsa Israel dipindahkan kepada suku Lewi (Kel 32:27-27-29; Bil 3:5-51) dan ada banyak lagi tambahan hukum lainnya (Kel 35-Im 27). Pemberontakan bangsa Israel lain yang terjadi di padang gurun (Bil 11, 12, 14, 16, 17), terutama penyembahan berhala dan perzinahan di Betpeor (Bil 2) sekali lagi menyebabkan pengulangan pembuatan perjanjian Musa yang dilukiskan dalam Kitab Ulangan. Ditetapkan di Betpeor di Dataran Moab (Ul 1:5; 3:29; 4:44-46) hampir empat puluh tahun sesudah peristiwa Sinai, perjanjian Ulangan (Deuteronomi) jelas merupakan suatu perjanjian yang berbeda yang meningkatkan perjanjian yang terdahulu dan yang yang diperbarui di Sinai (juga disebut Horeb, lihat Ul 29:1). Untuk yang pertama kalinya hukum yang diberikan kepada Israel mengizinkan adanya raja manusia (Ul 17:14-20), perang total (Ul 20:16-18), dan perceraian (Ul 24:1-4).

            Catatan sejarah Israel berikutnya di bawah perjanjian Musa belang-belang, tetapi rencana Allah bagi umatNya memuncak di bawah Daud dan awal pemerintahan Salomo (2Sam 5 sampai 1Raj 10). Daud mempersatukan bangsa di bawah suatu pemerintahan pusat yang kuat di ibu negerinya di Yerusalem (2Sam 5) dan membuat ibadat yang benar kepada Allah sebagai prioritas nasional (2Sam 6-7). Allah menganugerahkan kepada Daud suatu perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam 2Sam 7:5-16. Istilah perjanjian ini menjadikan Daud dan pewarisnya anak-anak Allah (2Sam 7:14; Mzm 89:26-27) dan raja-raja yang tinggi di bumi (Mzm 89:27; 2:6-9) yang pemerintahannya tak akan berakhir (2Sam 7:13.16) dan yang akan membangun Rumah Allah – yaitu Bait Allah (2Sam 7:13).

            Sesudah periode kemuliaan yang singkat di bawah raja Salomo, dalam mana janji-janji Allah tampaknya akan terpenuhi (1Raj 4-10), kerajaan Daud memasuki periode kemerosotan yang panjang, mulai dari pembagian Israel menjadi sepuluh kawasan suku-suku di utara dan selatan Yehuda (2Raj 12). Dalam situasi umat Allah yang terbelah-belah itu para nabi seperti Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel menyerukan akan datangnya suatu perjanjian baru (Yer 31:31; bdk Yes 55:1-3; 59:20-21; 61:8-9; Yeh 34:25; 37:26) yang akan berbeda dari perjanjian Musa yang gagal (Yer 31:32; bdk Yeh 20:23-28; Yes 61:3-4). Serentak dengan itu, perjanjian Daud akan diperbarui (Yer 33:14-26; Yes 9, 11, 55:3; Yeh 37:15-28).

            Katekismus menyampaikan ikhtisar demikian: “Dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsa-Nya di dalam harapan akan keselamatan, dalam menantikan satu perjanjian yang baru dan kekal, yang diperuntukkan bagi semua orang dan ditulis dalam hati mereka. Para nabi mewartakan pembebasan bangsa Allah secara radikal, penyucian dari segala kejahatannya, keselamatan yang mencakup semua bangsa. Terutama orang yang miskin dan rendah hati di hadapan Allah menjadi pembawa harapan ini. Wanita-wanita saleh seperti Sara, Ribka, Rahel, Miriam, Debora, Hana, Yudit, dan Ester tetap menghidupkan harapan akan keselamatan Israel itu; tokoh yang termurni di antara mereka adalah Maria” (KGK 64).

 


Yesus Kristus -  Perantara dan Pemenuhan Seluruh Wahyu

Dalam Sabda-Nya Allah telah Mengatakan Segala-galanya

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya" (Ibr l:l-2). Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia, adalah Sabda Bapa yang tunggal, yang sempurna, yang tidak ada taranya. Dalam Dia Allah mengatakan segala-galanya, dan tidak akan ada perkataan lain lagi. Hal ini ditegaskan dengan jelas oleh Santo Yohanes dari Salib dalam uraiannya mengenai Surat Ibrani 1:1-2: 'Sejak Ia menganugerahkan kepada kita Anak-Nya, yang adalah Sabda-Nya, Allah tidak memberikan kepada kita sabda yang lain lagi. Ia sudah mengatakan segala sesuatu dalam Sabda yang satu itu ... Karena yang Ia sampaikan dahulu kepada para nabi secara sepotong-sepotong, sekarang ini Ia sampaikan dengan utuh, waktu Ia memberikan kita seluruhnya yaitu Anak-Nya. Maka barang siapa sekarang ini masih ingin menanyakan kepada-Nya atau menghendaki dari-Nya penglihatan atau wahyu, ia tidak hanya bertindak tidak bijaksana, tetapi ia malahan mempemalukan Allah; karena ia tidak mengarahkan matanya hanya kepada Kristus sendiri, tetapi merindukan hal-hal lain atau hal-hal baru' (Carm. 2,22)” (KGK 65).

            Kitab Suci Kristiani (Perjanjian Baru) mengisahkan karya kuasa Yesus dalam menyembuhkan, mengusir setan dan akhirnya menebus umat manusia melalui wafat-Nya pada kayu salib. Perjanjian Baru menyatakan bahwa dalam Yesus Kristus, Allah berbicara kepada manusia dengan cara yang satu-satunya dan tiada taranya.  Perkataan Yesus dan ajaran-Nya  menyampaikan kepada kita wahyu yang sempurna dan murni dari Allah, karena “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (Kol 1:19). Injil-injil, terutama Matius dan Lukas, dengan jelas menggambarkan Yesus sebagai Putera (pewaris) Daud dan dengan demikian yang akan memulihkan perjanjian Daud (Mat 1:1-25; Luk 1:31-33.69; 2:4). Pada episode Perjamuan Terakhir, secara eksplisit Yesus menyatakan tubuh dan darahNya sebagai Perjanjian Baru (Luk 22:20; 1 Kor 11:25) yang dijanjikan oleh para nabi (Yer 31:31), sehingga jelas-jelas memenuhi janji Yesaya bahwa Hamba Tuhan tidak hanya membuat suatu perjanjian tetapi menjadi suatu perjanjian (Yes 42:6; 49:8). Menurut Surat Ibrani, Perjanjian Baru lebih unggul daripada yang lama (yaitu perjanjian Musa) karena dibuat oleh pengantara yang lebih baik (Kristus versus imam besar; Ibr 8:6; 9:25); didasarkan atas persembahan yang lebih baik (darah Kristus versus darah binatang; Ibr 9:12.23), di tempat suci yang lebih baik (surga  versus kemah duniawi; Ibr 9:11.24).

            Perjanjian Baru jauh lebih unggul daripada perjanjian Musa; memulihkan dan menyempurnakan perjanjian Daud. Yesus Kristus adalah Putera Daud yang akan memerintah selamanya dari Sion surgawi (Ibr 12:22-24) dan menyatakan pemerintahan-Nya atas Israel dan segala bangsa (Mat 28:18-20) melalui menteri utama, Petrus (bdk Mat 16:18-19; Yes 22:15-22, terutama 22) dan pejabat-pejabat lainnya, yaitu para rasul (Luk 22:32; Mat 19:28; bdk 1 Raj 4:7). Demikianlah Yakobus memandang pertumbuhan Gereja di antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain sebagai pemenuhan nubuat Amos bahwa Allah akan memulihkan ”kemah” yang rubuh (yaitu kerajaan) dari Daud (Kis 15:13-18; bdk Am 9:11-12).

            Perjanjian Baru meliputi pemenuhan perjanjian-perjanjian yang lain dalam sejarah keselamatan juga. Maka Yesus adalah seorang Adam yang baru (Rm 5:12-19) yang membuat kita ciptaan yang baru (2 Kor 5:17; Gal 6:15). Ia memenuhi semua janji-janji yang diberikan kepada Abraham (Luk 1:68-75, terutama 72-73), termasuk menjadi bangsa yang besar (Gereja; 1 Ptr 2:9); pemerintahan raja (Why 19:16), bapa segala bangsa (Rm 4:16-18) dan berkat bagi bangsa-bangsa dialami dalam pencurahan Roh Kudus kepada semua orang (Kis 3:25-26; Gal 3:6-9. 4-18). Bahkan perjanjian Musa, yang dalam bagian tertentu telah diubah (Gal 3:19-25), pada dasarnya juga terpenuhi oleh Perjanjian Baru yang menganugerahkan kepada kaum beriman kuasa Roh Kudus untuk memenuhi inti Hukum Musa, yaitu perintah kasih kepada Allah dan kepada sesama (Rm 8:3-4; 13:8-10; Mat 5:17; 22:37-40).

 


Roh Kudus Menyingkapkan Kebenaran Allah

Allah memasuki sejarah kita sebagai manusia, yaitu Yesus dari Nazaret. Namun tidaklah mungkin mengenali siapa Yesus tanpa penerangan dari Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus. Santo Paulus menulis bahwa “tidak ada seorang pun yang dapat mengaku ‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh  Roh Kudus” (1Kor 12:3). Begitu pula, hanya Roh Kuduslah yang memungkinkan kita mengenal dan menyebut Allah sebagai “Abba, ya Bapa” (lih Rm 8:15,16; Gal 4:6).

            Di dalam Injil Yohanes pada waktu Perjamuan Malam Terakhir Yesus menyatakan kepada para rasulNya bahwa demi merekalah Dia akan pergi, sebab dengan kepergianNya itu Dia dapat mengirimkan Roh Kudus kepada mereka.

Masih banyak yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran (Yoh 16:12-13).

 

            Karena itulah kita dapat mengatakan bahwa Roh Kudus-lah yang menyingkapkan semua itu, sumber perwahyuan Allah yang setia di dalam Gereja. Injil Yohanes menyatakan bahwa Roh Kudus akan mengingatkan semua perkataan dan ajaran Yesus (lih Yoh 14:26). Dia akan “mengajarkan segala sesuatu kepadamu” (Yoh 14:26), dan “akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan  datang” (Yoh 16:13).

            Gereja Katolik selalu menekankan bahwa sumber terakhir dari perwahyuan bukanlah sebuah buku (Kitab Suci), atau sesuatu (Tradisi), juga bukan sekelompok orang atau seseorang (Magisterium atau Paus), tetapi Allah sendiri, khususnya dalam pribadi Roh Kudus. Roh Kudus mengungkapkan kebenaran Allah melalui saluran-saluran yang telah disebutkan itu (Kitab Suci, Tradisi, Magisterium, Paus). Roh Kudus jugalah yang membimbing Gereja melalui saluran-saluran itu kepada kepenuhan kebenaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar