Daftar Blog Saya

Senin, 19 Desember 2022

WAHYU ALLAH DALAM KITAB SUCI

 



Katekese Pokok2 Iman Kita #7

Kitab Suci (dari bahasa Yunani biblia, artinya “kitab-kitab”, “buku-buku”) adalah kumpulan tujuh puluh tiga kitab yang diyakini Gereja sebagai pernyataan wahyu Allah yang tertulis. Untuk mewahyukan diri, Allah dalam kebijaksanaan dan kebaikanNya menyapa kita dalam bahasa manusia (KGK 101). “Karena di dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih datang menjumpai anak-anakNya dan berbicara dengan mereka” (DV 21). Sabda Allah yang agung, Yesus Kristus, diungkapkan dalam kata-kata yang telah dipercayakan penulisannya kepada berbagai penulis suci. Maka dalam Kitab Suci "Sabda Allah yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dahulu Sabda Bapa yang kekal dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi telah menjadi serupa dengan manusia" (DV 13). Semua “kitab-kitab” dihimpun membentuk satu “Kitab” saja, sebab Allah adalah pengarang ilahi dari mereka semuanya, secara bersama-sama mereka memberi kesaksian akan satu rencana keselamatan dari Allah.

Baca Juga : Pentradisian Wahyu Ilahi

            Secara keseluruhan isi Kitab Suci adalah Yesus Kristus. Melalui kata-kata Kitab Suci, Allah hanya menyampaikan satu kata saja: yaitu Sabda-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia, Allah mengungkapkan Diri seutuhnya. Menurut Santo Agustinus: "Sabda Allah yang satu dan sama berada dalam semua Kitab; Sabda Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut semua penulis Kitab yang suci. Dan karena sejak awal Ia adalah Allah pada Allah, Ia tidak membutuhkan suku-suku kata, karena Ia tidak bergantung pada waktu" (Psal. 103,4,1). (KGK 102).

            Kitab Suci terus menerus memberikan santapan dan kekuatan kepada Gereja, sebab Gereja menerimanya bukan sebagai kata-kata manusia, “tetapi – dan memang sungguh-sungguh demikian – sebagai Sabda Allah” (1Tes 2:13). “Dari sebab itu Gereja selalu menghormati Kitab-Kitab Suci sama seperti Tubuh Kristus sendiri” (DV 21). Gereja setiap hari tak putus-putusnya menyajikan kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima baik dari meja Sabda Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus, dalam Ekaristi (KGK 103). Ketika kita mengucapkan doa Bapa Kami dan memohon agar Allah memberi kita “rejeki hari ini”, kita juga berdoa untuk menerima Yesus, sang Roti Hidup, dan makanan yang diperlukan tubuh kita (lih Yoh 16:27). Dan dengan demikian, dari Kitab Suci Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya karena di dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi Sabda Allah (KGK 104), yaitu Yesus, sang Roti Hidup.

 


Inspirasi atau Ilham Ilahi

"Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2Tim 3:16; 2Ptr 1:19-21; 3:15-16), dan dengan Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaan demikian diserahkan kepada Gereja" (DV 11; KGK 105). Pengertian ilham ilahi menunjukkan posisi Allah sebagai pengarang Kitab Suci ditegaskan oleh Gereja beberapa kali sejak Konsili Vatikan I. Misalnya, pada tahun 1893, melalui Ensiklik Providentissimus Deus art 41 dari Paus Leo XIII, pada tahun 1920 dalam Ensiklik Spiritus Paraclitus art 3, dari Paus Benediktus XV, pada tahun 1943 dalam Ensiklik Divino Afflante Spiritu art 1 dari Paus Pius XII, dan lagi pada tahun 1965, dalam Konstitusi Konsili Vatikan II, Dei Verbum art 11.

            Defisini ilham ilahi itu ditentukan untuk menangkal pengertian yang tidak benar. Antara lain pandangan para teolog abad kesembilanbelas D. Haneburg dan J. Jahn. Haneburg menyatakan suatu teori mengenai persetujuan berikutnya, di mana Kitab Suci mula-mula ditulis oleh pengarang manusia, dengan cara yang sepenuhnya manusiawi, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Gereja. Teori yang ditolak Gereja ini, mengartikan ilham ilahi bukan merupakan unsur intrinsik di dalam teks Kitab Suci, melainkan sesuatu yang diberikan oleh Gereja. Di pihak lain, Jahn menyatakan suatu teori tentang bantuan negatif, artinya Tuhan mencegah para pengarang Kitab Suci menyatakan sesuatu apapun yang tidak benar dalam tulisan mereka. Teori ini juga ditolak oleh Konsili bukan karena Kitab Suci mengandung hal-hal yang salah, tetapi karena di dalam teori itu kepercayaan Gereja bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan  tidak diperhitungkan. Tulisan manusia yang tidak mengandung kesalahan tetap saja merupakan tulisan manusia, dan atas dasar alasan tak ada kekeliruan itu saja, orang tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan bersabda dan mengungkapkan kehendakNya dalam Kitab Suci (Scott Hahn, Catholic Bible Dictionary, 2010).

            Adalah fakta bahwa Kitab Suci sungguh ditulis dengan pena oleh pengarang manusia di bawah pengaruh Roh Kudus. Maka ilham ilahi lebih penuh digambarkan sebagai suatu misteri kepengarangan ganda – bahwa Tuhan dan manusia bersama-sama [secara tandem] menyusun teks Kitab Suci. Namun telaah-telaah modern semakin memberikan perhatian kepada sumbangan manusia. “Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis Kitab Suci. ‘Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya - sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka - semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh’ (KGK 106; DV 11). Rahmat yang memberi ilham dari Roh Kudus tidak menindas kebebasan dan kesadaran pribadi para penulis suci, mereka juga bukan sekedar  pasif, bertindak sebagai juru steno yang mencatat apa yang didiktekan. Sebaliknya, para pengarang manusia adalah benar-benar mengarang Kitab Suci dan secara aktif terlibat di semua tahap penyusunan karyanya. Kebenaran dari pengamatan ini ditampilkan pada gaya yang khas dan temperamen dari para pengarang Kitab Suci. Misalnya, tak ada yang meragukan jejak kepribadian Paulus yang tertuang dalam surat-suratnya, dan bahwa gaya pribadi itu jelas berbeda dari pengarang lain seperti Matius atau Yohanes atau Petrus atau Yudas.

            Sebagian teolog yang menulis sesudah Konsili Vatikan I masih mengajukan lingkup ilham ilahi yang sempit. Teori yang diajukan A. Rohling (1872), membatasi ilham ilahi hanya pada pernyataan-pernyataan mengenai iman dan moral; F. Lenormant (1880) membatasi ilham ilahi pada pemaparan ajaran yang tidak dikenal akal budi; dan dari Kardinal J.H. Newman (1884) menyatakan bahwa ilham ilahi tidak meliputi komentar-komentar sambil lalu (obiter dicta) yang tidak mempunyai muatan ajaran atau moral.

            Namun Gereja menolak semua usaha-usaha yang membatasi ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja. Paus Leo XIII pada tahun 1893 membuat penjelasan: “Namun sungguh keliru dan terlarang baik untuk menyempitkan ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja atau mengakui bahwa para penulis suci sudah melakukan kesalahan. Demi cara kerja dari mereka yang, di dalam rangka melepaskan diri dari kesulitan, tidak ragu menyatakan bahwa ilham ilahi hanya menyangkut soal iman dan ajaran dan tidak menyangkut yang lain, maka (karena mereka berpikir keliru) dalam mempersoalkan kebenaran atau kekeliruan suatu ayat, kita tidak begitu mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan melainkan apa maksud dan tujuan yang dipikirkanNya dalam menyatakannya – maka cara kerja itu tidak bisa diterima (Provindentissimus Deus art 40).

            Alih-alih menerima pengertian ilham ilahi sebagian, Paus justru menegaskan kembali ilham ilahi yang menyeluruh. Ini adalah keyakinan bahwa seluruh isi Kitab Suci diilhami ilahi – semuanya maupun setiap bagiannya, tidak peduli apapun yang dibahas atau dikatakan.

            Akhirnya ada persoalan apakah ilham ilahi yang menyeluruh itu juga meliputi ilham atas kata- kata sepenuhnya.  Dengan kata lain, apakah Roh Kudus membimbing para pengarang Kitab Suci di dalam memilih tiap-tiap kata untuk Kitab Suci? Suatu jawaban yang negatif datang kembali dari teolog abad kesembilan belas, kardinal J.B. Franzelin. Ia mengajukan suatu teori yang kadang-kadang disebut “ilham atas isi”, yang menguraikan bahwa Roh Kudus membekali penulis suci dengan gagasan pokok yang harus disampaikan dalam Kitab Suci tetapi menyerahkan kepada si penulis pertimbangan-pertimbangan untuk mengungkapkan gagasan itu dengan kata-kata yang tepat. Menurut pandangan ini, Kitab Suci menyampaikan suatu pesan atas ilham ilahi dalam bahasa yang tidak terilhami. Kardinal menyatakan bahwa Roh Kudus dengan cara negatif mencegah pengarang manusia dalam penggunaan kata-kata yang tidak sesuai, namun pilihan positif atas kata-kata pada dasarnya masih merupakan pilihan manusia.

            Teori Franzelin mengenai ilham non-verbal itu dengan cepat dihadang oleh banyak kritik pada permulaan abad kedua puluh, sehingga hanya mempunyai sedikit pengikut saja. Dan walaupun Gereja tidak pernah secara resmi menolak atau membahas pandangan itu secara eksplisit, namun pada umumnya pandangan itu disikapi sebagai teori tentang ilham ilahi yang mempunyai kekurangan mendasar, yaitu yang secara simplistis dan artifisial memisahkan kata dan gagasan.

 


Tidak Mengandung Kekeliruan

Ada banyak akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis. Yang paling banyak diperdebatkan sebagai akibat dari ilham ilahi adalah soal “tidak mengandung kekeliruan”, yaitu keyakinan bahwa Kitab Suci benar dan bisa dipercaya, tidak mengandung sesuatu yang salah, sesat atau menyesatkan. Ini merupakan akibat logis dari Allah sebagai Pengarang Kitab Suci – jika Allah adalah pengarang utama Kitab Suci, dan Alllah sendiri adalah kebenaran yang sempurna, maka seluruh pernyataan Kitab Suci tentulah amat sangat benar. Gereja purba percaya mengenai hal ini dengan mutlak. Pada awal abad kedua para teolog menyatakan bahwa Kitab Suci seluruhnya sempurna (Santo Ireneus, Adversus Haereses, 2.28.2) dan benar (Santo Klemens dari Roma, 1 Klem 45.2). Kendati ada tegangan-tegangan yang nyata di dalamnya, tidak ada yang kontradiktif  (Santo Yustinus Martir, Dial, 65). Perasaan yang sama dikemukakan disepanjang masa patristik dan abad tengah, hingga sampai zaman Pencerahan di Eropa, ketika seluruh tradisi konsensus Kristen pertama kalinya mendapat tantangan serius.

            Timbulnya tantangan ini dipicu oleh lahirnya kritik historis dalam penafsiran Kitab Suci, yang mengarahkan sorotan kepada berbagai kesenjangan ketika Kitab Suci bersentuhan dengan persoalan sejarah, geografis, keilmuan dan moral. Jika demikian bagaimana kita dapat mencocokkan sifat alkitab yang tanpa kekeliruan dengan perbedaan-perbadaan yang tampak atau kontradiksi dalam Kitab Suci? Misalnya, keempat Injil menyajikan cerita yang berbeda (dan kadang-kadang bertentangan) tentang kapan dan di mana sesuatu terjadi dalam pelayanan umum Yesus dan sesudah kebangkitanNya. Masalah yang sama dapat diajukan sehubungan dengan sifat tanpa kekeliruan dari Perjanjian Lama.  Kadang-kadang pertanyaan itu menyangkut akurasi sejarah. Kadang-kadang cerita yang berbeda dari peristiwa yang sama dicantumkan, semisal tentang penciptaan dalam Kej 1:1 – 2:3 dan di dalam Kej 2: 4-25, atau cara Allah menyibakkan Laut Merah dalam Kel 14:21 dan Kel 14:22-29. Secara historis semua ini dipandang sebagai “kesenjangan yang nyata”, kesulitan-kesulitan yang diharapkan Tuhan tetap ada dalam Kitab Suci untuk menimbulkan kerendahan hati para pembacanya. Tentu saja sudah makin banyak upaya yang dilakukan untuk memecahkan teka-teki yang terdapat pada ayat-ayat yang bermasalah itu, tetapi tak seorang pun di masa Kristen kuno yang punya anggapan bahwa Kitab Suci keliru. Namun pada abad ketujuhbelas dan kedelapan belas para ahli dengan berbagai cara dan pendekatan mulai meragukan Kitab Suci karena mengandung “kesenjangan yang nyata” baik dalam hal fakta maupun perspektif.

            Di tengah-tengah krisis yang timbul itu, Paus Leo XIII menerbitkan suatu pernyataan yang kuat dan menentukan mengenai ketidak-keliruan Kitab Suci, menegaskan kembali tradisi Gereja yang sudah lama berlaku. Bertolak dari anggapan bahwa Allah adalah pengarang Kitab Suci, ia menyatakan: “Maka semua Kitab-kitab yang oleh Gereja diyakini suci dan kanonik, ditulis semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya karena didiktekan Roh Kudus. Dengan demikian sungguh tidak mungkin ada kesalahan di dalamnya yang berdampingan dengan ilham ilahi, sebab ilham ilahi itu pada dasarnya bukan saja tidak setara dengan kesalahan, tetapi juga menyisihkannya dan menolaknya secara absolut dan niscaya, sebagaimana mustahil Tuhan sendiri yang adalah Kebenaran Tertinggi mengucapkan sesuatu yang tidak benar” (Povidentissimus Deus, art 40).

            Ini merupakan pernyataan resmi Gereja yang pertama mengenai sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan secara tidak terbatas. Namun, karena beberapa ahli merasa bahwa ajaran Paus itu tidak memadai, maka muncullah sejumlah teori mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang terbatas dari Kitab Suci yang menyatakan, misalnya, bahwa kesalahan-kesalahan bisa timbul dari pengarang manusia, bukan dari pengarang ilahi Kitab Suci, atau, jika tidak, mereka membatasi sifat tidak keliru Kitab Suci itu ada di bidang kebenaran agama, namun tidak dalam hal pernyataan-pernyataan realitas yang merujuk kepada soal-soal profan. Untuk itu, Paus Benediktus XV dengan kuat menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII bahwa Kitab Suci “mutlak bebas dari kekeliruan” dan menambahkan, “Kita tidak pernah menyatakan bahwa ada satu kekeliruanpun dalam Kitab Suci” (Spiritus Paraclitus, art 5). Begitu pula Paus Pius XII menegaskan lagi ajaran Leo XIII bahwa Kitab Suci bebas dari “kekeliruan apapun” dan menyatakan bahwa kebenarannya tidak terbatas “hanya pada soal iman dan moral” (Divino Afflante Spiritu art 1). Sesungguhnya, karena berlangsungnya perlawanan pada ajaran ini, Pius terpaksa mengulas persoalan itu lagi dalam tempo tak sampai satu dasa warsa kemudian, ketika ia mengeluh, “Ada yang keterlaluan... mengemukakan lagi pendapat yang sudah begitu sering dikecam, yang menyatakan bahwa Kitab Suci bebas dari kekeliruan hanya pada bagian-bagian Kitab Suci yang menyangkut perlakuan kepada Tuhan, atau soal moral dan keagamaan saja” (Humani Generis, art 22).

            Pernyataan yang paling baru mengenai Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan dikeluarkan Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, pada tahun 1965. Anehnya, perkataan dalam dokumen utama ini yang pada dasarnya menyarikan ajaran Gereja tentang Kitab Suci dan Tradisi Suci, oleh banyak orang dikatakan menjauh dari ajaran klasik mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang dikemukakan oleh para paus. Pernyataan yang terkait berbunyi sebagai berikut: “Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami ilahi atau para penulis suci, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (DV 11; dikemukakan kembali dalam KGK 107).

            Persoalan yang timbul dari pernyataan itu adalah: apakah Konsili Vatikan II menegaskan kembali suatu doktrin tentang sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas, melanjutkan ajaran para paus yang terdahulu, ataukah suatu pendirian mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, yang dengan demikian berbeda dari tradisi ajaran dari semua abad sebelumnya? Banyak yang menyatakan bahwa Konsili Vatikan II menunjukkan suatu perubahan inovatif di dalam perspektif Wewenang Mengajar Gereja di dalam frasa “demi keselamatan kita”. Pernyataan bahwa kebenaran disampaikan “dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan” hanyalah sejauh mengenai hal-hal yang langsung berkaitan dengan soal “keselamatan kita”. Konon atas dasar frasa ini Gereja membebaskan diri, dari soal-soal kebenaran yang tidak ada kaitannya dengan soal keselamatan di dalam Kitab Suci. Sebagai implikasinya, pernyataan-pernyataan tentang sejarah, geografi dan berbagai soal bukan agamis lainnya kini dikatakan berada di luar jangkauan  sifat tidak mengandung kekeliruan itu.

            Walaupun banyak ahli membela tafsiran ini dan akhirnya mengikuti pandangan mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, ada alasan untuk menganggap bahwa ini merupakan salah pengertian atas maksud Konsili. Memang ada beberapa indikasi bahwa rumusan Konsili Vatikan II melanjutkan ajaran para Paus sebelumnya mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Kata dari Konstitusi  itu menunjukkan maksud dari sifat tidak mengandung kekeliruan itu, bukan luas cakupannya. Dei Verbum memberikan suatu catatan kaki atas bagian yang memuat frasa penting itu, dengan mengutip ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu – satu-satunya catatan kaki yang terpanjang di seluruh dokumen Konstitusi itu. Dei Verbum merupakan puncak dari pernyataan para Paus selama satu abad mengenai sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci. Di dalamnya terdapat pernyataan dari Santo Agustinus, Santo Tomas Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, dan Paus Pius XII, yang kesemuanya menegaskan ilham ilahi atas Kitab Suci dan sifat sama sekali tidak mengandung kekeliruan.  Paus Leo XIII menyebut ajaran tentang sifat tidak mengandung kekeliruan yang tanpa batas adalah “iman Gereja sejak awal dan tidak berubah” (Providentissimus Deus 41). Ini merupakan pandangan patristik dan teolog abad pertengahan, dan pandangan itu diajarkan dengan kewenangan Paus Leo XIII, Benediktus XV dan Pius XII. Maka terdapat garis kesinambungan dari kekristenan awal hingga abad pertengahan sampai pada abad keduapuluh mengenai apa artinya Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan. Maka tentu para Bapa Konsili Vatikan II tidak benar-benar mengubah pendirian dari ajaran klasik Katolik mengenai soal ini.

            Dengan menimbang semua kemungkinan itu maka ajaran resmi Katolik tetap berkenaan dengan sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Konsili Vatikan II tidak menerbitkan perubahan apapun mengenai ajaran ini namun dapat dikatakan memberikan suatu penekanan baru dalam hubungan dengan frasa “demi keselamatan kita”.

            Sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas diyakini sebagai sifat Kitab Suci yang sepenuhnya dan seluruhnya benar di dalam semua pernyataan maksudnya. Di dalam halaman-halamannya tidak ada yang secara faktual keliru, atau yang berdusta atau menyesatkan. Dalam hal isinya, Kitab Suci mencerminkan pikiran Allah, yang adalah kebenaran sempurna.

            Apa artinya ini pada tingkat praktis membutuhkan penjelasan. Menurut ajaran Katolik dalam hal ilham ilahi dan sifat tidak mengandung kekeliruan, Kitab Suci tidak membuat pernyataan yang sifatnya ilmiah.

            Disarankan agar memelajari konteks naskah alkitab ini dengan cermat, dengan menggunakan disiplin metode yang tepat, kita dapat memeroleh pengertian yang lebih dalam akan makna teks itu. Para sarjana kitab suci Katolik memerhatikan bahwa para penulis Injil mempunyai alasan pengajaran dan teologis tertentu sehubungan dengan cara dan susunan penempatan peristiwa-peristiwa dalam hidup Yesus yang mereka ceritakan. Komisi Kitab Suci Kepausan dalam dokumen “The Historicity of the Gospel”, 21 April 1964, menjelaskan bahwa “pengarang Injil merasakan tugas kewajibannya menceritakan kisahnya sendiri menurut petunjuk Allah dalam ingatannya. Setidaknya ini benar bagi naskah yang cara penyusunannya tidak mempengaruhi wibawa atau kebenaran dari Injil. Bagaimanapun, Roh Kudus membagikan karuniaNya kepada masing-masing orang yang dipilihNya. Karena buku-buku ini harus punya wibawa, tak pelak lagi Dia pasti membimbing dan mengarahkan para penulis suci ketika mereka memikirkan hal-hal yang akan mereka tulis; namun Dia mungkin mengizinkan tiap penulis itu untuk menyusun kisahnya sejauh dianggapnya tepat. Maka siapapun yang cukup cermat niscaya dapat menyingkapkan tata-susunan ini dengan bantuan  Allah.”

            Misalnya fakta bahwa editor terakhir dari teks itu menempatkan dua cerita yang secara historis berbeda berdampingan tanpa penjelasan atau penyesalan, mestinya menyatakan sesuatu kepada kita.  Yaitu bahwa persoalan akurasi sejarah tampaknya bukanlah hal (yang mereka yakini) yang dikehendaki Allah untuk dinyatakan dalam cerita-cerita itu. Sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci tidak harus dipermasalahkan oleh perbedaan seperti itu. Suatu masalah yang lebih menekan pada zaman sekarang adalah apakah Kitab Suci “tidak keliru” jika tampaknya mengajarkan hal-hal yang berbeda dengan hasil temuan ilmu eksperimental yang modern.

            Ajaran dalam Dei Verbum bahwa “dengan teguh dan setia serta tanpa kesalahan buku-buku Kitab Suci mengajarkan kebenaran yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita.” Kata-kata “demi keselamatan kita” itu sangat penting untuk memahami hal ini dengan tepat..

            Sebagai contoh dari prinsip ini, Santo Agustinus menyatakan bahwa “walaupun para penulis suci itu mungkin mengenal ilmu perbintangan, namun Roh Kudus tidak menghendaki menyatakan melalui ilmu perbintangan itu kebenaran apa pun terpisah dari apa yang berguna bagi keselamatan.” Ia menambahkan bahwa ini mungkin menyangkut ajaran iman atau moral yang harus dilakukan.

            Paus Yohanes Paulus II menyebut suatu “kekeliruan” dari para teolog di masa lalu

...ketika mengira bahwa pengertian kita akan tata-susunan dunia fisik kita ini dengan cara tertentu dituntun oleh makna kata-kata Kitab Suci... Sesungguhnya, Kitab Suci tidak menyibukkan diri dengan rincian dunia fisik itu, dan pemahaman atas dunia fisik adalah merupakan bidang kompetensi pengalaman dan akal budi manusia. Ada dua bidang pengetahuan, yang salah satunya bersumber pada wahyu, dan yang lain harus diungkapkan oleh akal budi dengan dayanya sendiri. Bidang pengetahuan yang terakhir ini terutama menjadi kancah bagi sains eksperimental dan filsafat. Perbedaan di antara kedua bidang pengetahuan ini tidak harus dipandang berhadapan dengan berlawanan. Kedua bidang pengetahuan ini bukannya sama sekali asing satu sama lain, karena ada titik-titik hubungan di antara mereka. Metodologi masing-masing memungkinkannya menyembulkan berbagai aspek yang berbeda dari kenyataan (Pidato di hadapan Akademi Sains Kepausan, “Iman Tak Pernah Bertentangan Dengan Akal Budi”, Faith Can Never Conflict With Reason, dalam L’Osservatore Romano, Edisi Bahasa Inggris, 4 November 1992, hal 2, no. 12.)

 

            Gereja Katolik mengenali prinsip ini dari renungan dan pengalaman yang panjang. Pada waktu munculnya astronomi modern, misalnya, Gereja Katolik secara keliru mengutuk ajaran ilmiah dari Galileo-Galilei bahwa matahari, bukan bumi, adalah pusat sistem galaktika kita. Teori Galileo tampak tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci dalam hal ini. Sejak itu ilmu modern mekar berkembang dengan dukungan dan dorongan semangat dari Gereja Katolik, dan suatu pengertian yang lebih jelas tentang saling-kaitan antara ilmu, sejarah, dan iman Kristiani dikembangkan.

            Paus Yohanes Paulus II menyatakan: “Dalam abad yang lalu dan pada permulaan abad kita, berbagai kemajuan dalam ilmu sejarah telah memungkinkannya untuk mendapatkan suatu pemahaman baru atas Kitab Suci dan atas dunia alkitabiah. Konteks rasionalis di mana data ini sering diajukannya tampaknya membuat mereka membahayakan iman Kristiani. Orang tertentu, yang sungguh berniat membela iman, merasa perlu menolak kesimpulan-kesimpulan yang punya dasar historis kuat. Ini merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan menyedihkan. Karya seorang pionir seperti Pastor Lagrange dapat membuat penimbangan yang perlu atas dasar kriteria yang dapat diandalkan.” (Pidato di hadapan Akademi Sains Kepausan, dalam L’Osservatore Romano, Edisi Bahasa Inggris, 4 November 1992, hal 2, no.8). Pastor Lagrange OP yang disebut di atas adalah peneliti Kitab Suci dan pendiri École de Jerusalem yang menghasilkan Jerusalem Bible.

            Dengan mengakui otonomi ilmu-ilmu pengetahuan manusia, Gereja Katolik sekarang yakin bahwa sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci (dan otoritas mengajar dari Gereja) harus tetap berlaku atas ilmu atau sejarah dengan suatu pemahaman yang benar akan teks yang bersangkutan dan pemahaman akan tujuan ilahi di dalam perwahyuan. Allah mengilhami Kitab Suci  terutama untuk mewahyukan diri-Nya, rencana-Nya atas segala alam ciptaan dalam hubungan dengan diri-Nya. Sifat bebas dari kekeliruan Kitab Suci menunjukkan bagaimana hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita satu sama lain di dunia untuk melaksanakan rencana ilahi dan mendapatkan keselamatan kekal. Kitab Suci sungguh-sungguh bebas dari kesalahan ketika berbicara tentang hal-hal ini. Mungkin ada kebenaran lain yang terkandung dalam Kitab Suci, namun Gereja Katolik yakin bahwa semua ini hanya luput dari kekeliruan semata-mata berkat inspirasi ilahi pada Kitab Suci.

            Bahkan dalam hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan, iman dan moral, Gereja Katolik jarang merumuskan makna yang tegas sekali dari perikop tertentu Kitab Suci (seolah-olah menyatakan bahwa perikop itu hanya menyatakan ini saja dan bukan yang lain). Dengan demikian selalu ada ruang tersedia bagi sumbangan para kudus, para sarjana alkitab dan yang lain-lain yang seraya berdoa merenungkan makna perikop Kitab Suci itu.

            Di dalam Surat Ensiklik Divino Afflante Sipritu dari tahun 1943, Paus Pius XII mengajar bahwa “dalam persoalan doktrin ajaran mengenai iman dan moral… oleh karenanya tetap ada banyak hal yang amat sangat penting yang masih ramai dibicarakan dan di dalam hal itu kemampuan dan kecerdasan para komentator Katolik dapat dan harus digunakan sebebas-bebasnya, seupaya dengan demikian dapat memberi sumbangan dari pihaknya demi kebaikan semua orang, bagi kemajuan yang berlanjut dari ajaran suci dan bagi pembelaan dan wibawa Gereja.”( Divino Afflante Sipritu  47).

            Sementara Gereja Katolik menyemangati mereka yang berusaha mencari makna yang benar dari Sabda Allah dalam Kitab Suci, Gereja juga menerbitkan peringatan dan teguran. Surat Ensiklik Paus Pius XII Humani Generis (1950) memperingatkan mereka yang semata-mata mengandalkan akal budi saja dalam menafsirkan Kitab Suci dan menekankan pentingnya mempertimbangkan “analogi iman dan Tradisi Gereja” (Humani Generis, 22). Seperti yang telah kita sebutkan, Gereja juga menegur prasangka-prasangka rasionalis yang menyangkal kemungkinan campur tangan ilahi dalam sejarah dengan cara yang ajaib.

            Mereka yang ingin belajar lebih banyak tentang makna Kitab Suci harus berusaha membaca buku-buku dan pengarang yang menggunakan metode-metode dan disiplin terbaik dalam telaah alkitabiah, bersama dengan para Bapa dan para Pujanggga Gereja, dalam kerangka kesetiaan kepada jabatan mengajar Gereja Katolik dalam hal terjadi tafsiran yang menjadi perdebatan (Lih DV 12).

            Akhirnya, ajaran tentang sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan tanpa batas bukannya untuk menyangkal adanya kesulitan-kesulitan di dalam penafsiran kita atas Kitab Suci. Ada banyak ayat yang kelihatannya kontadiktif satu dengan yang lain, banyak yang sungguh senjang dari sumber-sumber di luar Kitab Suci, bahkan ada beberapa yang terkesan bagi kita kurang pantas sehubungan dengan sifat Tuhan. Namun semua ayat yang bermasalah ini bukanlah pernyataan yang keliru mengenai kebenaran yang digambarkan. Mereka lebih merupakan undangan untuk bersikap rendah hati. Santo Agustinus dengan bijaksana menyatakan bahwa seseorang menemukan adanya sesuatu kekurangan dalam Kitab Suci, ia harus beranggapan bahwa mungkin teks itu keliru dikutip, atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan, atau si penafsir sungguh tidak bisa memahami maknanya (lihat Epist 82). Dalam keadaan apapun adalah tepat menyatakan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan.

            Sehubungan dengan itu KGK 108 mengingatkan: “iman Kristen bukanlah satu ‘agama buku’. Agama Kristen adalah agama ‘Sabda’ Allah, ‘bukan sabda yang ditulis dan bisu, melainkan Sabda yang menjadi manusia dan hidup’ (Bernardus, hom. miss. 4,11). Kristus, Sabda abadi dari Allah yang hidup, niscaya membuka pikiran kita dengan penerangan Roh Kudus, ‘untuk mengerti maksud Alkitab’ (Luk 24:45), supaya Alkitab tidak tinggal huruf mati.”



Menafsirkan Kitab Suci

Yesus pernah menegur para ahli kitab yang tekun memelajari Kitab Suci, kataNya: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah....” (Mat 22:29-32). Kesulitan membaca dan memahami Kitab Suci juga dialami sida-sida dari Etiopia, sampai ia mendapat penjelasan dari Filipus (Kis 9:26-38). “Bagaimana aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Filipus yang didorong oleh Roh Kudus membantunya. Dalam membaca Kitab Suci, agar bisa mengerti dan tidak sesat, diperlukan bantuan komunitas penafsir.

            Tidak sebarang komunitas, tentunya. Tetapi komunitas di mana Yesus dan Roh Kudus berada dan diimani. Dan komunitas itu adalah Gereja, yang memberikan pedoman dan bimbingan penafsiran. Di masa sekarang, Gereja Katolik mengenali dua pendekatan umum yang keliru di dalam menafsirkan Kitab Suci. Keduanya adalah rasionalisme dan literalisme (semata-mata harfiah), yang harus dihindari.

            Rasionalisme membatasi makna Kitab Suci pada apa yang umumnya dianggap masuk akal atau mungkin. Sikap ini menepiskan cara penafsiran Kitab Suci misalnya yang menyatakan bahwa Allah melakukan hal-hal yang luar biasa (karya ajaib atau “mujizat”) yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah dan bukan merupakan bagian dari pengalaman manusia pada umumnya dalam hidup sehari-hari. Kaum rasionalis berusaha memberikan tafsiran yang rasional, “bukan-mujizat” atas naskah alkitabiah berdasarkan pra-anggapan bahwa Allah tidak campur tangan dalam sejarah dengan cara yang luar biasa atau ajaib.

            Pra-anggapan ini tentu saja sudah menyisihkan paham tradisional Kristiani mengenai inkarnasi Sabda Allah, kebangkitan Yesus dari mati dan kenaikanNya ke surga, dan semua cerita Injil tentang ”mujizat” Yesus atau karya ajaibNya.

            Literalisme (harfiah semata) di pihak lain berusaha menafsirkan Kitab Suci tanpa memerhitungkan maksud  yang sebenarnya dari si pengarang, atau kebudayaan di mana teks itu ditulis. Para pengikut literalisme yakin bahwa Kitab Suci “bermakna harfiah seperti yang dikatakannya” – dan banyak yang melakukan hal ini tanpa menghargai Allah sebagai pengarangnya, “tafsiran” mereka berbeda-beda sekali, dan dalam banyak kasus juga sama sekali tidak mengindahkan maksud asli dari si pengarang.

            Misalnya, masing-masing dari keempat Injil agak berbeda dalam mengisahkan penemuan makam Yesus yang kosong. Di dalam Matius, seorang malaikat menggulingkan batu penutup (Mat 28:2); dalam Markus ada seorang anak muda berpakaian putih di dalam makam (Mrk 16:5); di dalam Lukas, ada dua orang dengan pakaian yang berkilat-kilat (Luk 24:4); dan dalam Yohanes ada dua malaikat berpakaian putih (Yoh 20:12). Ceritanya juga berbeda dalam detil yang lainnya.

            Pengikut pendekatan literalisme akan menyatakan bahwa masing-masing cerita itu dari sudut sejarah adalah akurat, dan karena itu perbedaan yang ada harus dapat dipadukan – dibuktikan cocok, baik secara faktual maupun historis. Pengikut pendekatan rasionalisme akan menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak relevan karena cerita itu tidak historis; cerita itu ditulis untuk mewartakan iman Gereja bahwa Yesus tidak ada lagi di dalam makam, karena Ia sudah bangkit. Gereja Katolik akan mempertimbangkan baik tradisinya maupun sumbangan pendekatan sarjana modern dalam memahami Kitab Suci sebagaimana diterangkan di bawah nanti. Umat katolik mengakui kesamaan fakta dasar dari cerita-cerita itu (yang berbeda dalam detilnya saja), dan juga titik pusat dari pesan para saksi berpakaian putih: bahwa makam itu kosong dan Yesus sudah bangkit!

            Sebaliknya, ketika penulis Kitab Suci berbicara mengenai alam, mereka menggunakannya sebagai “gambaran kiasan” atau secara “fenomenologi”, yaitu menurut cara-cara yang dapat dipahami. Misalnya sehubungan dengan timbulnya matahari gambaran Kitab Suci bukan merupakan pernyataan ilmiah bahwa bumi ini tetap berada di tempatnya dan matahari mengikutinya dengan pola gerak naik dan turun. Ungkapan seperti itu didasarkan pada persepsi inderawi dan pengalaman biasa, dan masih banyak digunakan orang hingga sekarang. “Akal sehat juga perlu digunakan. Jika penulis suci mengatakan ‘matahari telah bangkit’, kita tidak menyimpulkan bahwa Kitab Suci mengajar kepada kita bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari dan matahari mengelilingi bumi. Jika Kitab Kejadian menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan dalam enam hari, kita tidak menyimpulkannya sebagai enam kali dua puluh empat jam, karena Kitab Kejadian juga menggunakan bentuk sastra tertentu yang menyerupai syair, untuk menyampaikan kebenaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan dan memberikan tata susunan pada alam ciptaan.” (Karl Keating, What Catholics Really Believe). Santo Agustinus yang pandangannya diserap dalam ajaran para paus modern yakin bahwa Kitab Suci tidak dituliskan bagi kita sehubungan dengan “hakekat segala sesuatu yang tampak di alam raya” (Gen Litt 9.20, dikutip dalam Providentissimus Deus 39 dan Divino Afflante Spiritu  3). Maka, karena Kitab Suci tidak bermaksud menyajikan pernyataan ilmiah, maka tidak bisa dituduh mengajarkan kekeliruan sehubungan dengan hal-hal ilmiah.

            Situasinya lain sehubungan dengan hal-hal sejarah. Kitab Suci membuat pernyataan yang tak terbilang banyaknya tentang peristiwa-peristiwa yang terjasi di zaman lampau, dan ini tentu saja termasuk lingkup sifat tidak mengandung kekeliruan. Untuk sebagian, ini karena kata-kata dan karya tindakan Allah di dalam sejarah secara rumit dikaitkan bersama dalam Kitab Suci; yaitu, Allah mengungkapkan diriNya sendiri dan melaksanakan keselamatan kita melalui karya-karya historis maupun melalui kata-kata tertulis dan lisan (lihat DV 2). Catatan tentang peristiwa-peristiwa itu sudah barang tentu harus bisa dipercaya dan benar, sebab jika tidak, wahyu Allah tidak bisa dikomunikasikan secara berhasil. Begitu pula, orang tidak bisa berusaha memisahkan sejarah keselamatan dari sejarah profan dalam Kitab Suci, sebab semua kejadian yang ada di dalam Kitab Suci diatur dengan ilham ilahi untuk tujuan keselamatan kita. Karena itu ajaran Gereja secara konsisten mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan dalam menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah. Paus Benediktus XV misalnya mengecam mereka yang menyatakan bahwa “bagian sejarah dari Kitab Suci tidak didasarkan pada kebenaran mutlak dari fakta-fakta”, sebab mereka yang berpendirian demikian ”tidak sejalan dengan ajaran Gereja” (Spiritus Paraclitus 6). Gagasan dasarnya adalah bahwa  ilham ilahi menjamin akurasi faktual pernyataan-pernyataan historis Kitab Suci sejauh maksud historiografis dari si penulis dapat diperlihatkan.

            Maka Gereja Katolik mengajar bahwa untuk menentukan apa maksud dari Sabda Allah bagi kita di dalam Kitab Suci, pertama-tama kita harus mengetahui apa yang mau dikatakan oleh si pengarang yang mendapat ilham ilahi melalui bahasa yang khusus, kebudayaan, situasi historis dan jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis (lih. KGK 109-110. Lih. juga DV 11-12). Untuk itu diperlukan telaah yang bersungguh-sungguh dan kebijaksanaan, selain doa dan memohon penerangan dari Roh Kudus “agar melihat, .... apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka”.

            Sejak diterbitkannya Surat Ensiklik Paus Pius XII pada tahun 1943, Divino Afflante Spiritu, Gereja Katolik memberi dorongan positif kepada para sarjana Kitab Suci untuk menggunakan metode-metode modern dalam mencermati Kitab Suci secara kritis untuk dapat memahami lebih penuh dimensi manusiawi dari Kitab Suci dan susunannya. Dei Verbum meneguhkan lagi dorongan ini, sekaligus secara tersirat juga mengingatkan bahwa temuan-temuan para sarjana Kitab Suci yang menerapkan apa yang disebut metode kritik-historis atau pendekatan ilmiah modern lainnya terhadap Kitab Suci tidak dengan sendirinya memadai untuk menentukan makna autentik dari Sabda Allah itu. Konstitusi Konsili Vatikan Kedua itu juga menyatakan bahwa “Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan menurut Roh Kudus sebab dalam Roh itulah Kitab Suci dituliskan” (DV 12), prinsip lain yang tidak kurang pentingnya guna penafsiran yang tepat, karena tanpa itu Kitab Suci akan tinggal huruf mati saja.

            Di bagian depan telah dikatakan bahwa Allah memasuki sejarah kita sebagai manusia, yaitu Yesus dari Nazaret. Namun tidaklah mungkin mengenali siapa Yesus tanpa penerangan dari Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus. Santo Paulus menulis bahwa “tidak ada seorang pun yang dapat mengaku ‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh  Roh Kudus” (1Kor 12:3). Begitu pula, hanya Roh Kuduslah yang memungkinkan kita mengenal dan menyebut Allah sebagai “Abba, ya Bapa” (lih Rm 8:15,16; Gal 4:6).

            Sebelum naik ke surga Yesus berkata kepada para muridNya, bahwa dengan kepergianNya itu Dia akan mengirimkan Roh Kudus kepada mereka.

“Masih banyak yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:12-13).

            Karena itulah kita percaya bahwa Roh Kudus-lah yang akan menyingkapkan wahyu Allah dengan setia di dalam Gereja. Roh Kudus akan mengingatkan segala perkataan dan ajaran Yesus (Yoh 14:26). Dia akan “mengajarkan segala sesuatu kepadamu” (Yoh 14:26), dan “akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan  datang” (Yoh 16:13).

            Roh Kudus mengungkapkan kebenaran Allah Kitab Suci di dalam Gereja melalui saluran-saluran Tradisi dan Magisterium. Roh Kudus jugalah yang membimbing Gereja melalui saluran-saluran itu kepada kepenuhan kebenaran.

 


Tiga Prinsip Penafsiran Kitab Suci

Katekismus Gereja Katolik mengemukakan tiga kriteria yang diambil dari Konsili Vatikan II untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya.

  1. Memperhatikan dengan saksama “isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci” (KGK 112). Makna dari Kitab Suci, dan karenanya makna dari tiap-tiap bagian dari Kitab Suci dapat dipahami dengan benar hanya jika dipandang dari keseuruhan Kitab Suci dan kesatuannya. Ayat-ayat tidak dapat dipisahkan sendiri dari pesan keseluruhan Kitab Suci supaya dapat ditafsirkan dengan benar.
  2. Membaca Kitab Suci “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja” (KGK 113). Untuk memastikan bahwa Tradisi Gereja Katolik diperhitungkan di dalam menafsirkan Kitab Suci, Paus Pius XII (Divino Afflante Spiritu, 28, 29) sangat mendorong para Sarjana Kitab Suci agar memelajari baik-baik para Bapa dan Pujangga Gereja, serta para penafsir yang ternama dari abad-abad yang lalu. Sebab, walaupun mereka kurang mengerti ilmu-ilmu duniawi dan ilmu bahasa dibandingkan dengan para sarjana Kitab Suci dari zaman kita, namun karena jabatan yang dipercayakan kepada mereka oleh Allah di dalam Gereja, mereka itu menonjol karena pemahaman mereka yang dalam akan hal-hal rohani dan karena akal budi yang sungguh cerdas, yang memungkinkan mereka mencapai makna yang paling dalam dari sabda ilahi dan menjelaskan semua yang dapat membantu memahami ajaran Kristus dan memajukan hidup kudus.

            “Maka sungguh disesalkan bahwa khasanah yang sangat berharga dari masa lampau Kristen itu nyaris tidak dikenal oleh banyak penulis dari zaman sekarang, dan bahwa para pelajar sejarah eksegese belum dapat menyelesaikan apa yang penting bagi telaah dan penghargaan atas masalah semasa. Diharapkan banyak bantuan diperoleh untuk tujuan ini dengan  mencari pengarang tafsir Katolik atas Kitab Suci dan dengan tekun memelajari karya mereka, dan dari sana menimba kekayaan yang tiada habisnya yang tersimpan di sana, agar semakin hari semakin tampak, sejauh mana para pengarang itu memahami dan menjabarkan ajaran ilahi Kitab Suci, sehingga para penafsir zaman ini dapat mengambil contoh dan memeroleh pernyataan yang sesuai.”

                  Sinode Luar Biasa para Uskup Katolik pada tahun 1985 menyatakan bahwa “penafsiran makna asli dari Kitab Suci yang sangat dianjurkan oleh Konsili... tidak dapat dipisahkan dari tradisi hidup Gereja” (DV 10, “Final Report” dalam The Extra-ordinary Synod – 1985, bagian II, B, a,1., 1985). Semua ini semata-mata untuk mengakui bahwa pendekatan modern pada penelitian alkitabiah, sekalipun temuannya sangat berharga, tidaklah mencukupi untuk mengungkapkan makna yang sepenuhnya dari Kitab Suci.

  1. Memerhatikan analogi iman (lih Rm 12:6). Yang dimaksud dengan analogi iman adalah hubungan-hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama lain dan dalam keseluruhan rencana Wahyu (KGK 114).

 

Katekismus Gereja Katolik juga mendorong umat Katolik agar menyadari adanya arti ganda dalam Kitab Suci – dua macam atau tingkatan makna yang ada dalam teks Kitab Suci. Yang pertama adalah arti harafiah (“makna yang disampaikan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan dengan ilmu tafsir atau eksegese”) dan arti rohani. Sedangkan arti rohani selanjutnya dapat dibagikan menjadi tiga arti lagi:

  1. Arti alegoris, yaitu peristiwa-peristiwa atau gambaran dalam Kitab Suci yang menjadi tanda atau merujuk kepada realitas rohani, terutama Kristus;
  2. Arti moral, yaitu ajaran ilahi yang membimbing kita untuk berbuat adil; dan
  3. Arti anagogis, yaitu peristiwa dan gambaran yang dipandang sebagai tanda-tanda bagi kepenuhannya di surga, sehubungan dengan artinya yang abadi. (Lihat KGK 115-117).
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar