Beberapa waktu yang lalu banyak orang bicara tentang Metaverse. Juga di lingkungan Gereja. Terutama ketika pandemi Covid19 memaksa orang WFH, kerja dari rumah, anak sekolah menggunakan Zoom atau Google Meet, dan Gereja melalukan ibadat on-line. Karena keharusan "jaga jarak" agar menghentikan penularan virus, lalu kehadiran fisik dan realitas fisik diubah menjadi kehadiran virtual dan realitas virtual demi berlangsungnya aktivtitas dan hidup. Dalam sektor kehidupan tertentu situasi itu semakin memajukan gagasan tentang Metaverse.
Secara umum orang menggambarkan Metaverse sebagai internet masa depan. Disebut masa depan karena keberadaan Meteverse sekarang masih embrio. Metaverse masih sedang berkembang membentuk diri mau jadi seperti apa. Pembentukan wujudnya masih mengandaikan kerjasama dari banyak pihak. Diperkirakan masih perlu antara 10-15 tahun untuk mengembangkan Metaverse mencapai bentuknya yang relatif matang.
Ketika di kalangan Gereja seseorang bertanya kepada saya apa Metaverse itu bagi Gereja, saya menjawab begini, Metaverse adalah dunia imajiner sensual canggih melalui internet yang "dapat" menghadirkan Gereja "dekarnasi" (maksud saya tanpa daging fisik) melawan realitas "inkarnasi" Tuhan dengan modal kacamata augmented virtual (AV) atau augmented reality (AR) dan sarung tangan haptic untuk ekstensi indera-indera asli kita, sebagai tempat pengungsian kita selama dunia nyata berada dalam ancaman. Jika saya dikejar, apa artinya "melawan realitas 'inkarnasi' Tuhan? Saya ingin menjawab dengan serial postingan renungan tentang Spiritualitas Inkarnasi, Allah yang menjadi manusia, sebagai inti pewartaan Natal, dalam blog ini.
BACA JUGA : SPIRITUALITAS INKARNASI
Tidak perlu buru-buru menghakimi kreativitas Metaverse, yang dalam proses sedang "menjadi", namun kita diajak "berjaga" untuk mengikuti perkembangannya. Siapa tahu nantinya Metaverse dapat menjadi "alat" yang berharga bagi kehidupan kita, termasuk bagi hidup rohani.
Metaverse saya tangkap sebagai upaya menghadirkan "versi Meta" dari realitas fisik dan inderawi kita. "Meta" itu bisa diterjemahkan " di atas" atau "melampaui" realitas sebenarnya, dengan cara "augmented". Maka merupakan dunia "augmented virtual" atau "augmenteg reality". Ketika nanti kita masuk di dalamnya, kita meninggalkan "realitas" diri kita sendiri dan mengenakan "realitas Meta" kita berupa avatar. Lalu, di dalam dunia Meta kita berinteraksi tiga dimensi dengan pertolongan kacamata AV/AR yang harganya sekarang sekitar AS$ 300 sebuah dan sebuah sarung tangan haptic (entah berapa harganya), menggunakan layar sentuh komputer atau TV atau HP. Tanpa beranjak dari kursi tempat kita duduk di rumah, kita bisa hadir di mana-mana (bahkan pada saat yang sama) mengutus avatar kita ke kantor/pabrik (bekerja), ke kampus/sekolah (belajar), ke toko (berbelanja), ke tempat remang-remang (kencan), ke stadion (nonton bola), ke konser (menonton), ke gereja (beribadat). Seolah diri kita dapat dipecah (splitted) menjadi beberapa semau kita, sejauh diizinkan perangkat teknologi.
Untuk sementara dunia Meta itu sudah disajikan kepada kita melalui "game" komputer semacam Minecraft (2011), Roblox (2012), Fortnite (2017), Decentraland (2020), Friday Night Funkin (2020). Oleh sebab itu embrio Metaverse diakrabi oleh Gen Z, Gen Milienial yang menyukai game. Semakin tua generasinya, semakin sedikit yang mengenal dunia Meta (Gen X, Gen Baby Boom). Generasi spekulan muda yang kaya dengan menggunakan uang kripto masuk dalam Decentraland sejak 2020 berinvestasi membeli tanah maya, bangunan maya, yang diperjualbelikan. Intinya adalah simulasi virtual.
Cucu-cucu saya ABG kelahiran 2010-an sudah mengenal embrio Metaverse (Minecraft, Roblox, Friday Night Funkin) dan fasih menggunakan avatar. Dua anak (kelahiran sekitar 1990) dari empat anak saya menggunakan avatar masuk Decentraland. Dua yang lain (kelahiran 1980an) tidak peduli. Saya dan isteri saya hanya mendengarkan cerita cucu-cucu..... Di usia 66 tahun (isteri) dan 70 tahun (saya) seperti anak-anak kecil menghadapi Metaverse seperti mendengarkan cerita dongeng....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar