Daftar Blog Saya

Senin, 19 Desember 2022

BERBAGI BACAAN ULANG

 

Pagi ini saya bangun terlambat. Cucu-cucu tidak membangunkan saya ketika mereka siap-siap untuk sekolah. Mungkin cucu yang terbesar melarang adik-adiknya membangunkan diriku untuk pamitan karena ia tahu semalam kakeknya begadang setelah nonton bola, dan harus memberi kesempatan kakeknya tidur cukup dalam ukuran delapan jam.

Ketika bangun rasanya masih malas untuk bangun karena badan lemas. Maka setelah sedikit berdoa aku raih buku sekenanya untuk membaca. Yang kebetulan kuraih adalah buku Timothy Radcliffe OP "I Call You Friends", buku terbitan tahun 2001. Aku telah membaca buku itu berkali-kali sebelum aku menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia tahun 2004, berkali-kali ketika sedang menerjemahkan, dan berkali-kali sesudah kuterjemahkan, hingga sekarang Aku senang membacanya. Barangkali karena aku menyukai gaya Tim yang kocak, jujur, seadanya, tapi juga humoris. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa ia menyampaikan pengalaman hidup dan kesaksian. Hari ini aku senang membacanya sehubungan dengan undangan Ikafite untuk bicara tentang Tahun Orientasi Pastoral calon imam. Dan aku ingin berbagi bacaan ulang yang sedang saya nikmati.


Saya membagikan bagian yang sudah saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia, karena teman-teman lebih suka berbahasa Indonesia.

Panggilan

 


 

 Bagaimana peralihan dari iman kanak-kanak menjadi iman dewasa yang kamu alami?

 Ketika aku masih sekolah, sekalipun aku senang dengan indahnya liturgi, aku sama sekali bukan anak yang saleh. Aku bukan suatu contoh yang baik. Aku hanyalah seorang anak lelaki yang suka memanjat pagar tembok asrama dan pergi ke warung, pub, untuk merokok dan minum. Aku hampir dikeluarkan gara-gara ketahuan membaca buku novel Lady Chatterley’s Lover sewaktu ibadat Pujian! Aku selalu percaya kepada Tuhan. Itu merupakan bagian dari napasku. Sama seperti aku tidak meragukan adanya pohon-pohon dan awan-awan. Keberadaan Tuhan sangat jelas. Tetapi aku tidak begitu memikirkan agama.

            Aku ingin cuti belajar setahun sebelum masuk universitas untuk mendapatkan pengalaman yang lebih luas. Aku mendapat pekerjaan di suatu kantor di London. Di sana, untuk yang pertama kalinya, aku mendapatkan teman-teman yang bukan katolik. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan berat mengenai imanku. Mereka bertanya mengapa aku begitu percaya. Itu merupakan salah perubahan bagiku. Untuk kali yang pertama aku menghadapi pertanyaan: Apakah imanku benar? Jika benar, maka iman itu pasti sangat penting bagi hidupku. Jika tidak benar, mungkin aku harus meninggalkannya. Jadi, keluar dari suatu lingkungan Katolik yang sangat terlindung dan berjumpa dengan orang-orang bukan-katolik yang membuatku shock justru mengantarku pada kedewasaan iman.

 Apakah kemudian kamu menyadari apa yang sungguh kamu percayai?

 Bukan hanya aku menjadi sungguh yakin, tetapi iman ini pasti sentral bagi hidupku. Dan pada waktu itulah aku memikirkan Ordo Dominikan. Sebenarnya, yang kutahu hanyalah bahwa ada suatu Ordo yang punya moto: Veritas, Kebenaran. Tapi aku tak tahu Ordo yang mana. Aku menelepon seorang teman biarawan Benediktin yang memberi tahu aku siapa mereka dan bagaimana menghubungi mereka. Aku membuat janji-temu dengan Provinsial Ordo Dominikan. Hanya lima menit bertemu dengan biarawan Ordo Dominikan pertama dalam hidupku, aku sudah menyatakan bahwa aku ingin bergabung dengan Ordo itu. Pertemuan pertama itu merupakan suatu kejutan, soalnya sang Provinsial mengajak aku bicara tentang sepakbola, sedang aku sama sekali tidak punya minat pada sepakbola, dan aku tidak sabar ingin bicara tentang teologi. Aku lalu pergi berkunjung ke novisiat di Woodchester, yang sungguh mengesan bagiku. Aku sangat tersentuh oleh kesederhanaan hidup mereka. Rumahnya sungguh usang. Jamur tumbuh di langit-langit kamar tamu yang kutempati. Hal kedua yang memikatku adalah semangat mereka yang besar untuk berdiskusi, tentang apa saja, mulai dari soal komunisme sampai soal sakramen. Misalnya, aku ingat seorang bruder menjelaskan bagaimana hidup sakramental Gereja merasuk sampai ke setiap aspek ragawi dalam hidup kita; memberikan berkat pada kelahiran kita, kematian kita, makan dan minum, dan dalam seksualitas kita. Belum pernah ada orang yang bicara seperti itu kepadaku tentang agama, dan aku sangat takjub. Ketika aku hendak pergi di akhir kunjunganku itu, aku mengajukan permohonan untuk bisa masuk Ordo. Aku bertanya kepada pimpinan novisiat apa yang harus kubaca sebagai persiapan. Aku mengharap suatu karya teologi yang saleh. Tapi eh, dia menyodorkan karya Plato: Dialog. Sebenarnyalah mereka menawarkan suatu persiapan yang sangat bagus untuk memilih suatu kehidupan religius. Maka dalam beberapa minggu berikutnya, aku membaca Perjanjian Baru di dalam kereta ketika berangkat bekerja, dan membaca Plato sewaktu pulang dari kerja.

 Sebelum pertemuan itu, benarkah kamu tak punya hubungan dengan anggota biara Dominikan?

 Benar. Tapi baru belakangan ini saja aku mengetahui suatu hubungan yang lebih dalam. Salah seorang kakek buyutku, George Lane-Fox, menjadi seorang katolik, dan segera dicoret dari daftar ahli waris oleh ayahnya. George pergi ke Roma dan masuk novisiat internasional di Santa Sabina[i], di mana ia sekarang berada. Tampaknya ia lebih suka menyelinap pergi meninggalkan novisiat mengunjungsi restoran bersama dengan kerabat yang datang menengok, sehingga asistem pemimpin novis mengatakan kepadanya bahwa ia tidak punya panggilan, maka ia pergi. Tapi dialah rahib Hyacinth Cormier, yang sesudahnya malah menjadi Pemimpin Ordo. Jadi memang tidak ada kontak sebelum aku bergabung dengan Ordo, tetapi ternyata aku punya seperdelapan dari susunan genetikku berkaitan dengan Pemimpin Ordo.

 Sebelum umurmu sembilan belas, apakah kamu tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang pastor atau biarawan?

 Tidak pernah. Bukannya karena imam atau biarawan sesuatu yang asing bagiku, tidak. Aku dekat dengan banyak anggota biara Benediktin. Aku tidak menganggap mereka sebagai mahluk dari planet lain, melainkan orang biasa yang menjadi teman-temanku, dan sering menjadi relasiku. Tetapi gagasan menjadi biarawan tidak pernah terlintas dalam pikiranku,

 Tidakkah guru-guru sekolah Benediktin, misalnya, pernah menyarankannya?

 Tidak. Mungkin karena aku punya kesan bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh....

 Pekerjaan apa yang bagimu menarik ketika muda dulu?

 Anehnya aku juga tidak pernah memikirkan bagaimana aku akan bekerja untuk hidup. Tapi aku ingat, ketika umurku sepuluh, aku mendengar percakapan tentang penanaman pohon untuk mengerem meluasnya gurun Sahara. Aku punya kesan bahwa gagasan itu bagus sekali, dan untuk beberapa waktu aku ingin dapat bertumbuh besar dan menjadi ahli kehutanan. Kemudian aku tertarik pada bidang penerbitan, dan aku pernah makan siang dengan Rupert Hart Davies membahas minat itu. Maka aku tertarik oleh keinginan menanam pohon dan membendung meluasnya gurun dan sekaligus menebang pohon untuk membuat kertas bagi buku-buku. Kukira aku selalu punya keinginan akan hal-hal yang bertentangan.

 Ketika kamu membuat keputusan mendadak untuk menjadi biarawan, apakah kamu merasakan suatu panggilan dari Tuhan?

 Aku tidak akan mengatakannya dengan cara seperti itu. Aku sungguh percaya akan gagasan mengenai panggilan. Aku yakin semua orang mendapat panggilan dari Tuhan. Setidaknya panggilan untuk melakukan sesuatu dibanding dengan panggilan untuk menjadi sesuatu. Dalam Kitab Suci kamu bisa lihat bahwa tema Penciptaan dan panggilan terkait erat. Segalanya ada karena Allah memanggil namanya. “Tuhan telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku” (Yes 49:1). Kita semua terpanggil pada kepenuhan hidup.

            Jadi aku percaya akan gagasan tentang panggilan itu. Tuhan memanggil. Tetapi prosesnya tidak seperti mendengar dering telepon, mengangkat pesawatnya, lalu mendengar Allah di ujung sana berkata, “Kemarilah, Timothy.” Melainkan sungguh lebih bersifat ontologis; ada di dalam relung keberadaanmu. Jadi aku tidak mendengar suara apapun, tapi juga bukan karena aku berkata pada diriku sendiri “Nah, itu pekerjaan yang mau kulakukan.” Aku menemukan bagaimana caranya dan untuk jadi siapa aku dipanggil.

 Bagaimana reaksi orang-orang di sekeliling kamu?

 Teman-teman terkejut, tapi orangtuaku tidak. Aku ingat betul saat ayah kuberitahu. Aku berdiri di depan perapian di ruang keluarga. Ayahku sedang membaca The Financial Times. Katanya “Kami akan mendukungmu, apapun yang akan terjadi, apakah kamu bertahan atau tidak. Kamu harus bebas mencobanya dan bebas pula meninggalkannya. Kami tak akan menganggap itu suatu kegagalan.” Itu penting: mereka memberikan padaku kebebasan. Ayah hanya memberi aku saran, supaya aku mengenal kesulitan-kesulitannya, agar aku menghubungi salah seorang temannya, seorang mantan seminaris yang menjadi wartawan terkenal.

            Kukira orang tuaku tidak ada masalah jika aku menjadi seorang biarawan. Banyak teman dan kerabat kami yang hidup membiara. Nenekku berasal dari suatu keluarga dengan sembilan atau sepuluh anak. Tujuh di antaranya menjadi religius. Di pihak lain, mereka merasa aneh bahwa aku memilih menjadi seorang Dominikan.

 Mengapa?

 Di Inggris, Dominikan dipandang sebagai “sayap kiri”. Misalnya, mereka sangat terkenal karena pandangan-pandangan teologis mereka [yang berhaluan kiri], karena dialog mereka dengan Marxisme. Di koran-koran, di televisi, kamu lihat pada Dominikan melakukan demonstrasi anti Perang Vietnam, menentang apartheid di Afrika Selatan, anti senjata nuklir. Ayahku termasuk golongan Konservatif yang tidak dogmatik: mereka tak pernah menyukai Margaret Thatcher, tetapi kupikir berat juga bagi mereka melihat anak mereka bergabung dengan suatu Ordo yang dipandang terlalu kiri.

 Apakah secara pribadi kamu menyadari reputasi Dominikan sebagai “sayap kiri” itu?

 Bukan itu yang membuatku tertarik. Aku tertarik pada pengejaran mereka akan kebenaran, sikap hidup mereka yang miskin, kehidupan doa dan persaudaraan mereka. Tetapi aku terguncang ketika bergabung dengan Ordo karena aku satu-satunya novis dengan latar belakang seperti itu. Aku terus menerus jadi ejekan. Aku juga mendapat kesan bahwa semua keluargaku dicap kapitalis imoral yang mengekploitasi kaum pekerja. Itu sangat menyakitkan bagiku karena aku tahu mereka itu orang baik, banyak yang kuanggap orang suci. Jadi bulan-bulan pertama sungguh sangat sulit.

            Kemudian saudara-saudara seordo mulai mengerem kritik mereka, dan pandangan politikku sendiri mulai berubah, sekalipun pandanganku terhadap kebaikan kerabatku tetap sama [tertawa].

 Kamu masuk biara pada pertengahan tahun 1960-an. Jadi kamu mengucapkan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, sepenuhnya menentang arus zaman itu, yang memproklamasikan konsumerisme, kebebasan seks dan tantangan radikal terhadap penguasa....

 Ya, memang benar bahwa waktu itu merupakan periode yang sangat sulit bagi Ordo. Banyak yang pergi meninggalkan Ordo. Hidup membiara tradisional sepertinya sedang runtuh. Kami tidak tahu masa depan nanti akan seperti apa; kami bahkan bertanya pada diri sendiri, apakah masa depan itu ada. Kami beruntung mempunyai superior-superior yang hebat. Mereka pun tidak bisa melihat masa depan, tetapi mereka berpihak kepada kaum muda dan memberi keyakinan kepada kami. Aku ingat suatu percakapan dengan seorang Dominikan tua, Gervase Matthew, seorang cendekiawan terkenal. Aku berkata kepadanya, “Pasti sangat berat bagi Anda, Gervase, menyaksikan semua keadaan ini.” Ia menjawab, “Oh, situasi di abad keempat belas jauh lebih buruk lagi.” Suatu perspektif sejarah dapat merelatifkan begitu banyak drama. Pada waktu yang sama, masa disintegrasi hidup membiara tradisional memaksa kami untuk memulai renungan yang mendalam tentang hakekat yang sesungguhnya dari panggilan kami. Kami harus membina kembali hidup Dominikan kami, mulai dari fondasinya, memeriksa bagaimana cara kami melakukan pertemuan-pertemuan komunitas, bagaimana kami berdoa, apa artinya kaul-kaul kami, apa artinya belajar teologi, bagaimana caranya berkhotbah. Masa itu merupakan masa yang luar biasa kreatif. Kami melakukan banyak kesalahan, dan sering berakhir dengan menemukan kembali kebijaksanaan yang yang tadinya kami tolak, kebijaksanaan tradisi. Namun tahun-tahun yang penuh gejolak itu menghasilkan buah juga, sekalipun membingungkan dan menyakitkan.

 Mari kita bicarakan triprasetia: kemiskinan, kemurnian, ketaatan dengan mendetil.

 Kaul kemiskinan bukan masalah. Ordo kami miskin, dan pada umumnya hal itu berkesan sangat positif pada kami, walaupun tidak dengan mudah. Aku ingat ketika aku bergabung, mahasiswa-mahasiswa Dominikan hanya diberi uang saku tiga puluh shilling [£ 1.50] per bulan, hanya cukup untuk beberapa gelas bir saja. Kami protes, “Pastor-pastor diberi £ 2: ini tidak adil. Harusnya kami ditambah, atau mereka dikurangi.” Bisa kamu bayangkan, uang saku kami ditambah. Tetapi kaul kemiskinan  memberikan kepada kami kebebasan hati dan pikiran yang besar. Jika kami melakukan perjalanan, sebagian dari kami selalu mencari tumpangan (hitch-hiking). Aku secara pribadi menikmati sikap miskin itu, yang sangat berbeda dari hidupku di masa lalu. Aku ingat suatu ketika aku mengunjungi salah seorang pamanku di Yorkshire. Ketika tiba waktunya untuk pamit, ia bertanya kepadaku, jam berapa keretaku berangkat. Aku menjelaskan bahwa aku akan mencari tumpangan untuk kembali ke London. Ia mau membelikan aku tiket kereta, tapi aku menolak. Akhirnya kami mencapai kompromi: sopirnya akan mengantar aku dengan Roll-Royce beberapa kilometer dari rumah dan meninggalkan aku untuk mendapatkan tumpangan. Ketika aku menemukan tempat yang baik untuk mencari tumpangan, aku minta sopir menurunkan aku. Ia mengulurkan tasku, dan sebuah truk memberi tumpangan kepadaku. Kudapatkan mobilitas di antara dua dunia – Roll-Royce dan truk – membebaskan aku. Itulah kebebasan bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan serba enteng.

 Ketaatan?

 Aku tidak ingat adanya kesulitan dalam bidang ini. Dalam tradisi kami, ketaatan berkaitan dengan dialog dan persaudaraan. Di Oxford aku beruntung mendapatkan seorang Prior yang luar biasa selama sembilan tahun : Fergus Kerr, yang adalah seorang teolog terkenal. Ia memimpin pertemuan-pertemuan komunitas dengan sangat bijaksana. Itu sungguh-sungguh suatu pendidikan dialog dan tanggungjawab yang sangat dalam yang sangat kusyukuri.

 Akhirnya, kemurnian?

 Itu yang paling sulit, sungguh, karena kami tidak mendapat pendidikan di dalam menghadapi seksualitas kami. Kami hanya disuruh mandi air dingin atau lari maraton. Soal itu jadi semakin lebih berat lagi, karena kami tidak terpisah sama sekali dari kaum muda lainnya. Jadi kami berbuat kesalahan. Perlu waktu juga untuk bersama-sama menemukan kembali nilai-nilai kemurnian.

 Bagaimana kamu merumuskan nilai kemurnian?

 Pertama-tama, kemurnian memberi kami kebebasan yang luar biasa dalam arti kata yang paling harfiah. Hari-hari ini aku menggunakan sebagian besar dari waktuku dalam setahun untuk melakukan perjalanan, mengunjungi Provinsi-provinsi Ordo. Ini tak akan bisa kulakukan jika aku punya keluarga. Kupikir kemurnian juga memberi kesaksian akan cinta yang dalam, yaitu persahabatan. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Persahabatan inilah yang kami hayati di dalam dan di luar Ordo. Di dalam Injil dan di dalam Kitab Suci  ada dua model kasih:  kasih suami isteri yang penuh gairah, dalam Kidung Agung dan dalam Surat Efesus, dan kemudian kasih persahabatan, dalam Injil Yohanes. Jika kita hendak menjadi saksi Allah yang adalah kasih, kita perlu mendapatkan kedua cara kasih itu di dalam Gereja. Kita memerlukan pasangan-pasangan yang menikah dan kaum religius, dan tentu saja mereka yang hidup lajang, yang menunjukkan dengan cara yang berbeda misteri kasih yang satu.

 Apakah kamu tidak membayar terlalu mahal demi kebebasan yang berasal dari kemurnian ini?

 Aku yakin bahwa aspek yang paling sulit dari kemurnian bukanlah tidak adanya kegiatan seksual, tetapi lebih-lebih lagi adalah kurangnya keintiman, yaitu kesadaran bahwa kamu adalah satu-satunya yang penting bagi seseorang, yang adalah juga sama pentingnya bagi kamu. Ada saat dalam hidupku ketika umurku tigapuluh, aku merasakan hal itu sebagai penderitaan besar. Aku ingat, aku memimpikan punya suatu keluarga, punya anak-anak, merindukan keintiman dengan penuh hasrat... Tetapi dalam kehidupan membiara aku juga menemukan kebahagiaan, kegembiraan, persahabatan, gelak tawa, spontanitas dan suatu cara mengasihi yang luar biasa. Kupikir panggilan ini memanggilseseorang ke padang gurun, dengan menyadari bahwa di sana, seperti dikatakan dalam Kitab Suci, Tuhan akan berbicara kepadamu dengan lembut. Jika panggilanmu yang sebenarnya adalah untuk pergi ke padang gurun, kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati di sana, suatu kebahagiaan yang dalam.

 Kamu tadi berkata, ada banyak yang meninggalkan Ordo. Bagaimana kamu menjelaskan fakta bahwa kamu tetap bertahan di dalamnya?

 Aku tak pernah ragu bahwa aku dipanggil untuk tetap berada di dalam Ordo. Yang juga membantuku adalah bahwa aku begitu jatuh cinta pada studi, aku mendapatkan bahwa aku sangat bergairah memelajari Sabda Tuhan. Kita harus punya gairah: tak seorang pun dapat sungguh-sungguh hidup tanpa gairah. Digabungkan dengan penemuan akan persahabatan di antara saudara-saudara seordo, kukira itulah yang memampukan aku bertahan, bahkan bukan sekadar bertahan saja. Aku tahu bahwa aku tidak akan menjadi lebih bahagia jika melakukan apapun yang lain dari itu.

 

[i] Biara di Bukit Aventin di Roma, tempat kantor pusat administrasi Ordo Dominikan.




Pendidikan Selanjutnya

 Bagaimana pendidikan selanjutnya yang kamu terima di dalam Ordo?

 Berawal di Oxford, terutama di biara Blackfriars tetapi juga di Universitas, di mana aku mendapatkan suatu gelar dalam teologi. Aku beruntung belajar dengan seorang Dominikan yang bernama Cornelius Ernst. Ayahnya seorang Inggris-Belanda dan Anglikan. Ibunya orang Sri Lanka dan seorang yang beragama Buddha. Pada masa mudanya di Sri Lanka ia seorang komunis sampai ia ditendang dari partai karena perbedaan pandangan. Ia datang di Cambridge untuk belajar dan menjadi murid filsuf Wittgenstein. Ia salah seorang dari “para penyair muda Cambridge” saat itu. Akhirnya ia menemukan bahwa hanya di dalam agama Katolik-lah ia bisa leluasa menampung dan memadukan Anglikanisme ayahnya dan Buddhisme ibunya, komunisme dari masa mudanya dan filsafat yang dipelajarinya dari Wittgenstein. Ia mendapatkan rumahnya dalam Gereja. Cornelius memainkan peran yang sangat penting dalam pendidikanku. Selama hampir enam tahun kami bertemu seminggu sekali dalam rangka tutorial (bimbingan studi) – hanya berdua saja. Sebulan sekali aku membeli sebotol anggur dan kami bercakap-cakap pada suatu malam – bicara tentang teologi dan mendengarkan musik. Ia seorang yang punya wawasan dan minat yang sungguh luas, yang disimbulkannya dengan suatu kata-kata pembukaan dari suatu kuliah, ketika ia menyatakan bahwa ia merenungkan Pembukaan Injil Yohanes dalam terang puisi terakhir karya Rimbaud dan teori matematik yang mutakhir! Aku bengong tidak paham apa yang dikatakannya! Memang tidak gampang memahami dia; tulisan-tulisannya padat luar biasa. Tetapi ia memdukan pengertian yang dalam tentang Gereja dan tradisinya dengan pemahaman yang nyata akan modernitas dan persoalan-persoalannya. Dengannya, kudapatkan bahwa tradisi dan modernitas tidak perlu dipertentangkan. Dua hal sungguh membinaku di Oxford. Yang pertama, khotbah-khotbah para saudara seordo, terutama Herbert McCabe. Memang dari khotbah-khotbah merekalah aku belajar sebagian besar dari teologiku. Khotbah mereka menunjukkan kecintaan yang besar untuk menguraikan Kitab Suci; khotbah itu mengajarkan perhatian yang tercurah pada suatu teks. Serentak dengan itu, dalam tradisi Inggris, di dalamnya ada humor. Itu menunjukkan bahwa keseriusan dan tawa bisa berjalan seiring. Yang kedua adalah pengalaman mendapatkan Cornelius dan yang lain-lain sebagai tutor pembimbing. Setiap pekan kamu harus menulis sebuah esai untuk tutormu dan kemudian membela pendapatmu. Belajar tidak cuma duduk dan mendengarkan kuliah dari seseorang; juga ada debat. Pada waktu itu, di Oxford, hal itu merupakan kesukaanku.

 Kenangan apa yang ada padamu dari masa belajar di Paris?

 Aku mendapat kehormatan untuk tinggal setahun bersama dengan Yves Congar dan Marie-Dominique Chenu, dua orang Bapa Konsili Vatikan II, di biara Saint-Jacques. Ketika aku tiba di sana, orang pertama yang kujumpai adalah seorang tua yang memelukku dan kemudian menjambak rambutku. Kupikir dia seorang rahib tua yang eksentrik. Malamnya barulah kuketahui bahwa dia adalah Marie-Dominique Chenu yang beken itu. Sikapnya yang sangat manusiawi begitu menyentuh hatiku, begitu pula cita rasa persaudaraannya dan perhatiannya yang penuh kepada apa yang sedang dipikirkan orang lain. Ia adalah seorang yang sangat periang dan sekaligus selalu waspada. Ia selalu lapar belajar, untuk mengerti. Congar jelas lebih serius pendiam. Tapi orang akan dapat merasakan gairahnya yang menggebu mengagumkan dalam mencari kebenaran. Salah satu pengalaman yang paling luar biasa dalam hidupku adalah pergi bersamanya ke Chartres. Aku banyak melakukan pekerjaan terjemahan baginya, dan suatu hari ia berkata, “Sebagai terima kasihku, hari ini kita akan berkunjung ke Chartres”. Aku mendorong kursi rodanya berkeliling katedral itu, sementara dia merenungi teologi dari mozaik kaca-kaca. Di Paris, aku sangat tertarik pada karya-karya Charles Foucault. Aku sangat menentang dia dengan teorinya tentang disintegrasi subyek. Kupikir di keliru, dan dalam mencari sebab kekeliruannya, aku belajar banyak.

 Kamu juga pernah tinggal beberapa lama di Yerusalem....

 Hanya enam minggu. Tapi aku benar-benar jatuh cinta dengan Yerusalem. Pertama-tama Yerusalem adalah tempat perjumpaan orang dari kepercayaan yang berbeda, pusat tiga agama monoteis yang besar. Kamu bisa melihat ini di jalanan, dari pakaian orang di sana: ada Yahudi Hassidi, Muslim yang sedang melakukan rukun haji, Fransiskan, Dominikan, para imam Ortodoks, imam Armenia, dan sebagainya. Yerusalem juga tempat di mana seseorang akan sangat terkesan oleh realitas Inkarnasi, yang bukan ajaran abstrak; suatu kepercayaan yang mengguncangkan bahwa Allah menjadi salah seorang dari kita, dilahirkan di tempat tertentu, pada saat tertentu, dalam budaya tertentu. Aku dibantu melihat hal ini oleh dua komunitas yang berbeda dari Ordo kami di Yerusalem. Setiap hari aku pergi ke Ecole Biblique, di mana aku berkenalan dengan arkeolog besar Roland de Vaux, seorang cendekiawan yang hebat namun juga sangat sederhana. Ketika ia menngundang aku untuk mengunjungi situs penggalian ia menyatakan bahwa para arkeolog menjelaskan pelbagai hal dalam istilah-istilah yang bisa kumengerti. Di sini orang melihat jejak-jejak sejarah keselamatan digali dari dalam bumi. Dan yang kedua, aku tinggal di Wisma Yesaya. Suatu komunitas saudara-saudara yang melakukan dialog dengan agama Yahudi. Di sini aku melakukan perjumpaan pertamaku dengan saudara sepupu dalam iman, komunitas Yahudi di mana Yesus dulu dilahirkan. Aku berusaha keras untuk melantunkan Mazmur dalam bahasa Ibrani. Aku bekerja keras untuk menyanyikan Bapa Kami dalam bahasa Ibrani, dan masih harus terus belajar untuk bisa melakukannya!

 Pada tahun 1971, setelah kaul kekal, kamu ditahbiskan menjadi imam. Memangnya kamu ingin jadi pastor?

 Aku merasa terpanggil untuk menjadi biarawan. Aku ingin menjadi bruder, saudara di antara para saudara se-ordo yang lain. Aku tidak tertarik menjadi imam, sebab aku masih (bahkan sampai sekarangpun masih) risih dengan apa pun yang berbau klerikal. Ada pastor-pastor yang memberi kesan lebih unggul ketimbang yang lain. Aku tidak merasa lebih baik dari orang lain, dan memang begitu. Adanya jarak pemisah dalam imamat itu membuatku tidak nyaman. Aku menerima tahbisan karena para saudara meminta aku, karena menurut mereka itu baik bagi misi. Jadi aku mengiyakan. Hal itu merupakan bagian dari ketaatanku pada Ordo.

            Aku berangsur angsur memahami kebahagiaan sebagai imam, pertama-tama melalui sakramen pengakuan. Pada suatu hari aku bertanya kepada Garvese Matthew, “Di antara hal-hal yang telah Anda lakukan, apa yang yang paling penting? Apakah buku Anda tentang estetika Bizantin, ataukah riset arkeologis di Etiopia?” Ia menjawab, “Mendengarkan pengakuan dosa.” Aku mendapatkan bahwa itu benar. Jika kamu mendengarkan suatu pengakuan, kamu akan sadar kamu bukan seorang yang unggul, yang lebih baik, yang menyampaikan pengampunan Tuhan kepada seseorang yang lain. Jika kamu jujur, kamu akan menyadari bahwa dosa-dosa orang lain adalah dosa yang kamu lakukan sendiri, atau setidaknya dapat kamu lakukan dengan mudah. Semakin orang membukakan hatinya dan membagikan konflik batin yang mereka alami, semakin kamu rasakan bahwa kamu sendiri seperti dia, seorang manusia, lemah dan gampang rusak, yang memerlukan kesembuhan dan ampunan. Jika imam bisa memberikan dorongan semangat, itu adalah karena dia sendiri membutuhkan kata-kata itu bagi dirinya. Maka dalam pengakuan dosa, kamu dapat berbagi pengampunan Tuhan dengan orang lain, mendapatkan pengampunan itu bersama dengan mereka, di dalam ziarah penyembuhan bersama-sama. Setelah beberapa tahun, aku aku juga melajar mencintai perayaan Ekaristi. Di waktu Ekaristi itulah – yang menjadi pusat hidupku dan teologiku – kamu dapat menghayati peristiwa dramatis yang merupakan intisari hubungan Tuhan dengan manusia: Tuhan telah menyerahkan diri kepada kita sebagai anugerah mutlak. Peranan imam bukanlah mengambil tempat Yesus sebagai pusat perhatian. Dengan cara tertentu bagaimana pun imam harus hilang, ia tidak boleh menguasai ruang dan menunjuk pada diri sendiri. Keberadaannya di situ hanya untuk membantu menghadirkan peristiwa ketika Yesus menyerahkan diri sepenuhnya kepada kita. Suatu momentum kemurahan, karunia bebas, risiko yang sungguh besar, yang tiada habis-habisnya membuatku takjub.

 Apa yang kamu lakukan setelah menyelesaikan studi?

 Cornelius Ernst memintaku mengajar dogma. Aku sudah belajar dogma tanpa henti sejak umur delapan tahun. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan bisa menjadi teolog yang baik tanpa mendapatkan pengalaman pastoral dulu. Maka aku minta kepada Provinsial supaya membebaskan aku selama satu atau dua tahun. Aku ditawari menjadi pastor mahasiswa di suatu Universitas di London, membantu seorang pastor Benediktin dan seorang Yesuit dalam suatu tim, bersama dengan seorang suster. Suster itu banyak mengajarku melalui kemanusiaannya, kesederhanaannya, keramahtamahannya – dengan kata lain, semua yang harus diajarkan biarawan Dominikan kepada orang lain. Sebagai pembimbing rohani mahasiswa, aku tinggal di Universitas di asrama mahasiswa bersama dengan 120 mahasiswa. Satu-satunya perbedaan di antara kami adalah bahwa mereka punya uang lebih banyak. Itu merupakan pengalaman yang membina diriku. Ketika datang di sana aku yakin aku tahu caranya berkhotbah, tetapi dengan segera aku sadar bahwa khotbah-khotbahku tidak nyambung dengan mereka, atau mereka tidak memahaminya. Dan hanya melalui persahabatan dengan mereka sajalah aku bisa belajar bagaimana caranya berkhotbah. Kami biasa minum bersama sesudah Misa, dan mereka mencabik-cabik khotbahku, menjelaskan kepadaku mengapa aku keliru.... Mereka tetap menjadi sahabat baikku. Dua tahun yang lalu, enam belas di antara mereka mengunjungi aku di Santa Sabina.

            Lalu pemimpin studi di biara Blackfriars, Simon Tugwell, memintaku untuk kembali ke Oxford dan mengajar Kitab Suci. Seharusnya aku melanjutkan pastoral dan mengajar dogma, dan aku tidak punya pengetahuan khusus tentang Kitab Suci. Ia menjawab, “Kamu akan mendapatkannya sambil berkarya.” Itu adalah pendekatan yang sangat Inggris: asal kamu punya dasar pendidikan intelektual yang baik, kamu pasti bisa melakukannya. Maka aku terjun mengajar Kitab Suci, dan aku melakukannya selama dua belas tahun! Aku sungguh-sunggh mensyukuri tahun-tahun itu di mana aku menggeluti Sabda Allah. Aku mempelajarinya, merenungkannya, bergumul dengannya, mengunyahnya setiap hari. Sungguh suatu karunia dan berkat yang tak kuharapkan!

 Apakah kamu menulis suatu tesis?

 Tidak. Aku langsung mengajar. Tidak ada waktu untuk menyelesaikan doktoral, selain itu di masa itu gelar doktor belum diwajibkan seperti sekarang.

 Seandainya harus membuat tesis, apa yang akan kamu tulis?

 Ada satu pokok yang menarik hatiku dan tentang itu aku punya rencana untuk menulis sebuah buku ketika aku dipanggil ke Roma sini: yaitu hubungan di antara cara-cara berteologi dan konteks historis dan sosial. Misalnya, mengapa bagi Yesus jalan yang terbaik dalam berteologi adalah dengan menyampaikan perumpamaan, sedangkan bagi Paulus adalah menulis sebuah surat? Mengapa dalam waktu tertentu di dalam sejarah Gereja kita harus menemukan suatu cara baru untuk menyatakan iman kita dengan menuliskan Injil-injil? Dan mengapa pada masa yang lain kita berhenti menulis Injil dan mulai menyatukan berbagai teks dan membentuk kanon Perjanjian Baru? Adalah menarik sekali melakukan kajian bagaimana teologi selalu berakar pada konteks budaya dan sosial tertentu.

 



Memimpin

 

Pada tahun 1988 kamu terpilih sebagai Provinsial (Ordo Dominikan) Inggris. Bagaimana reaksimu pada tanggungjawab ini?

 

Sebelum pemilihan aku merasakan kebutuhan akan suatu tantangan baru. Aku sudah akan mengakhiri masa bakti yang kedua sebagai Prior biara Blackfriars, Oxford, dan sudah mengajar nyaris tiga belas tahun lamanya. Aku merasa membutuhkan sesuatu yang baru, tapi tidak tahu apa itu. Jadi aku merancang suatu surat yang akan kusampaikan kepada Provinsial yang baru, meminta kepadanya agar aku diberi suatu tugas baru. Yang sama sekali tidak pernah kubayangkan adalah bahwa yang terpilih menjadi Provinsial baru adalah aku sendiri....

            Tantanganku yang pertama adalah mengenal dan mencintai Provinsiku sendiri. Aku selalu mencintai sifat universal dari Ordo. Bagiku, menjadi seorang Dominikan adalah lebih berhubungan dengan citarasa Ordo secara keseluruhan daripada dengan Provinsiku di Inggris yang kecil ini. Yang sebenarnya adalah, aku tidak begitu mengenal Provinsiku sendiri. Aku hanya sedikit saja berhubungan dengan komunitas-komunitas di Manchester, Glasgow, Leicester.... Maka tantanganku yang pertama adalah mengetahui dan kemudian mencintai karya-karya para saudara dari Provinsiku sendiri. Aku ingat keliling berkunjung di paroki Newcastle dengan pastor paroki dan untuk pertama kalinya melihat indahnya karya pelayanan paroki.

            Yang paling berat adalah meninggalkan pekerjaan mengajar.Selama dua puluh tahun aku bekerja di perpustakaan setiap hari, menggumuli Sabda Tuhan. Aku tidak menyadari sejah mana studiku menjadi bagian dari hidupku bahkan dari doaku. Aku akan kehilangan kebiasaanku tenggelam dalam keheningan, renungan meditatif ini. Dan kemudian juga kegembiraan dalam mengajar, kegembiraan dari mencelikkan mata para mahasiswa pada Sabda Tuhan. Sulit sekali menyesuaikan diri dengan cara hidup yng penuh dengan perjalanan ke sana ke mari, menjawab surat-surat, melakukan rapat ini rapat itu, pertemuan-pertemuan. Aku sangat gelisah jika harus menugasi bruder-brudes pindah ke komunitas yang lain, atau meminta mereka meninggalkan komunitas tertentu, di mana mungkin saja ia bahagia dan merasa sudah mendapatkan segalanya di sana, lalu harus pergi ke tempat lain, ke tempat yang mungkin tidak disukainya. Para bruder sangat murah hati dan penuh pengertian juga. Karena mereka memilih aku, mereka juga mendukung aku. Itulah bagusnya sistem demokrasi.

 

Bagaimana kamu mengelola suatu Provinsi?

 

Pengelolaan di dalam keputusan Dominikan merupakan sesuatu yang sangat demokratis. Tapi bukan demokrasi model partai politik di Inggris yang dasarnya adalah persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. Demokrasi kami didasarkan pada perundingan para bruder di tingkat sektor (kapitel, Chapter) kami, dalam upaya mencari kebaikan bersama. Mengusahakan konsensus, permufakatan melalui musyawarah, merupakan upaya dasar, walaupun hal itu tidak selalu bisa dicapai.

            Dengan demikian rahasia dari pengelolaan yang baik adalah menciptakan kondisi di mana kami dapat sungguh-sungguh bicara satu sama lain; dan bersama-sama mencapai suatu keputusan demi kebaikan bersama. Ini lebih dari sekedar pemungutan suara untuk pengambilan keputusan secara praktis. Dituntut suatu pengertian timbal balik dan pemahaman akan persoalan yang paling penting bagi setiap bruder. Salah satu contohnya begini. Ketika terpilih menjadi Provinsial, kurasakan pertemuan Dewan Provinsial tidak berlangsung selancar yang kuharapkan. Kadang-kadang sulit sekali mencapai kesepakatan mengenai soal praktis yang kecil saja, misalnya memperbaiki atap rumah biara salah satu Prior. Aku merasakan bahwa diskusi kami dikeruhkan oleh soal-soal yang lebih dalam yang belum diselesaikan. Maka alih-alih hanya menggunakan waktu setiap pertemuan langsung mengikuti agenda, kami memulai pertemuan pada malam sebelumnya, dengan pembicaraan yang sifatnya lebih  informal mengenai hal-hal yang paling memprihatinkan kami, tanpa mengambil keputusan. Sekalipun kita tidak selalu sependapat, setidaknya kita bisa memahami satu sama lain, dan tanpa saling pengertian itu tak akan ada pengelolaan yang baik.

 

Prakarsa apa saja yang terutama kamu ingat dari masa-masa menjadi Provinsial Inggris itu?

 

Salah satunya adalah karya yang kita lakukan bagi para penderita AIDS. Karya itu dimulai tahun 1982, ketika aku masih menjadi Prior di Oxford. Aku membaca di suratkabar bahwa seorang pemuda mati karena AIDS di rumah sakit, mutlak sendirian saja. Staf rumah sakit begitu takut ketularan sehingga jatah makanan si sakit hanya ditinggalkan di luar pintu kamar. Si penderita harus turun dari ranjang dan mengambilnya sendiri. Aku terguncang membayangkan seseorang menghadapi kematian sendirian dan kesepian. Kami memutuskan bahwa kita harus merenungkan bagaimana cara Gereja menghadapi persoalan ini. Ini merupakan suatu ujian bagi Gereja: apakah kita akan membuka pintu bagi mereka yang sedemikian ditolak itu?

            Kami menyelenggarakan suatu konferensi kecil dengan mengundang para pembimbing rohani dari rumah sakit, para penderita AIDS, para dokter dan para perawat. Kami berharap yang hadir sekitar 40 orang, ternyata yang datang 120 orang. Itu merupakan petunjuk yang baik bahwa ada suatu kebutuhan nyata di sana. Aku ingat khususnya pada Misa penutupan konferensi itu. Seorang pemuda penderita AIDS yang bernama Benedict, maju ke altar untuk menerima kecupan salam damai dariku. Kemudian ia membagikan kecupan itu kepada seluruh hadirin. Pada waktu itu, hanya sedikit saja orang yang tahu benar akan penyakit itu, dan kami cemas jika kami semuanya terkena bencana! Tapi kami telah berhasil mematahkan suatu tabu!

            Beberapa waktu kemudian seseorang penderita AIDS menghubungi aku dan memohon, apakah dia boleh tinggal di biara Blackfriars kami untuk beristirahat. Aku bertanya kepada komunitas dan mereka memberikan dua jawaban kepadaku: yang pertama, “Ya’; dan yang kedua, “Kamu tak perlu lagi menanyakan soal itu kepada kami. Siapa pun yang mau datang ke sini, dipersilakan. Apakah mereka penderita AIDS atau tidak, bukan masalah.” Itu sangat berkesan bagiku; para bruder membuka hati mereka untuk orang-orang yang paling ditolak!

 

Pada tahun 1992, ketika kamu 46 tahun, Kapitel Jendral yang diadakan di Meksiko memilihmu menjadi Pemimpin Ordo untuk sembilan tahun. Bagaimana kok bisa begitu?

 

Pada bulan-bulan sebelum Kapitel Jendral itu utusan-utusan dari berbagai daerah – Afrika, Asia, Amerika Utara dll – melakukan pertemuan untuk membahas siapa saja yang menjadi bakal calon atau kandidat Pemimpin Ordo itu.

 

Apa artinya “bakal calon” atau kandidat dalam konteks ini?

 

Mereka adalah orang-orang yang akan dipertimbangkan para pemilih pada waktu pemilihan nanti. Sebenarnya sangat bertentangan dengan tradisi kami bahwa seorang saudara menyatakan harapannya agar dipertimbangkan sebagai seorang bakal calon atau kandidat. Kupikir bahkan bukan suatu yang baik menanyakan sebelumnya kepada seorang saudara apakah ia kan bersedia dipilih. Bagi kami, menerima pilihan adalah bagian dari ketaatan kepada saudara-saudara kami. Aku tahu namaku muncul dalam pertemuan-pertemuan itu, tapi aku tidak menanggapinya secara serius. Kupikir umurku masih terlalu muda, terlalu kacau, kurang berbobot seperti yang diperlukan.... Pada awal Kapitel Jendral itu para “bakal calon” diwawancarai berdasarkan kelompok-kelompok bahasa. Aku bicara sedikit Perancis, sepotong dua potong bahasa Spanyol dan tak ada sepatah kata Italia-pun, tapi aku membuat mereka tertawa.

            Para utusan menentukan tiga kriteria: Pemimpin yang akan datang harus pada masa baktinya yang kedua sebagai Provinsial, harus punya pengalaman pastoral, dan mengenal Dunia Ketiga. Kemudian para bakal calon diminta untuk berpidato mengajukan visinya mengenai Ordo. Ketika sampai pada giliranku, aku menolak. Terlalu mirip dengan kampanye presiden. Aku hanya berkata, “Aku sedang menjalani masa bakti pertama sebagai Provinsial. Aku tak pernah bekerja di paroki. Dan aku tidak pernah tinggal di Dunia Ketiga. Aku tidak memenuhi ketiga kriteria itu.” Aku berhenti di situ. Sesudah pidato, setiap bakal calon harus meninggalkan ruangan supaya panitia pemilihan dapat membahas dia. Hampir seketika, seseorang mendatangiku dan memintaku untuk kembali lagi ke dalam ruangan, karena tidak ada yang mau bicara apapun tentang aku. Aku agak kecewa. Walaupun aku tidak berharap terpilih, aku ingin setidaknya ada satu orang saja yang bicara tentang diriku! Tapi, yah, waktu itu aku lega sekali.

            Hari berikutnya diadakan pemilihan. Pemilih diundang dalam urutan waktu pendirian Provinsi-provinsi – Provinsi |Spanyol, Provinsi Toulouse db.nya – sampai pada Provinsi-provinsi yang baru saja didirikn di Eropa Timur dan Asia – maka setiap orang dapat mempunyai pengertian mengenai seluruh sejarah Ordo. Segera saja jelas bahwa akulah yang dipilih. Sungguh saat yang aneh sekali; mendadak saja aku merasa kosong sama sekali. Kata-kata pertamaku sesudah terpilih adalah mengingatkan bahwa ketika seorang Dominikan menngucapkan kaul prasetya, ia ditanya : “Apa yang kamu cari?” Dan ia menjawab, “Ampunan dari Tuhan dan dari Anda”. Itulah juga yang kuminta pada waktu itu. Dan itu selalu diberikan kepadaku.

            Namun ketika aku sampai di Santa Sabina dan berjalan melalui deretan foto ke-83 pengganti Santo Dominikus yang terdahulu, aku mendadak merasa kecil, tidak mampu dan seharusnya aku tidak diterima. Akhirnya aku menghibur diri dengan pikiran bahwa banyak dari pendahuluku dulu biasa-biasa saja dan segera dilupakan. Aku akan bekerja sebaik-baiknya, dan mungkin aku akan dilupakan juga. Doaku waktu itu hanyalah memohon supaya aku tidak diingat-ingat orang karena mengalami kegagalan yang luar biasa.

 

Bagaimana kamu menjelaskan pilihan yang jatuh kepadamu?

 

Aku tak pernah mengajukan pertanyaan itu. Di dalam peran seperti ini, jika kamu terlalu sadar-diri, bertanya-tanya mengapa kok dipilih dan apa yang dipikirkan orang, lalu kita bisa kehilangan spontanitas. Itu merusak. Kupikir orang sebaiknya mengembangkan sikap melupakan-diri-sendiri, dan lakukan saja apa yang harus dilakukan.

 

Apa yang dilakukan Pemimpin Ordo?

 

Setiap hari berbeda, tidak ada yang khas. Dua pertiga dari setiap tahun aku melakukan perjalanan keliling dunia mengunjungi Provinsi-provinsi, berjumpa dengan para saudara dan anggota keluarga Dominikan, para rahib, para suster kontemplatif, suster-suster dan awam Dominikan. Peranku adalah memberi dukungan kepada mereka, terutama yang hidupnya di tengah-tengah kesulitan, berhadapan dengan kekerasan, perang, kemiskinan dan penganiayaan. Gaya kepemimpinan kami menekan campur tangan hingga sesedikit mungkin. Jika aku berkunjung ke suatu provinsi, aku menemui setiap saudara secara pribadi. Aku berusaha menganalisis tantangan apa yang dihadapi provinsinya; aku tidak punya maksud  menyuruh mereka melakukan apa pun, melainkan membantu mereka memikul tanggungjawab mereka sendiri sepenuhnya.

            Jika aku berada di Roma, waktuku terutama untuk melakukan rapat-rapat, dan kemudian menulis surat-surat; banyak sekali! Pelan-pelan aku sadar bahwa menulis surat bukanlah semata-mata kegiatan administrasi belaka; menulis surat selalu merupakan kegiatan pastoral dan persaudaraan, bahkan kegiatan teologis. Setelah mengajar tentang Santo Paulus begitu lama, akhirnya aku mulai paham bahwa menulis surat juga merupakan suatu cara berteologi!

 

Ketika kamu melakukan perjalanan mengunjungi provinsi-provinsi, apakah kamu sendirian?

 

Tak pernah. Biasanya aku ditemani oleh asisten untuk wilayah yang kutuju. Ordo dibagi menjadi delapan wilayah. Untuk provinsi-provinsi besar, aku punya dua asisten. Tentu saja, setelah aku tidak lagi menjabat Pimpinan Ordo, aku harus memelajari lagi cara merencanakan suatu perjalananan, bagaimana caranya memesan tiket pesawat, mendapatkan visa, menukar uang valuta asing. Sekarang aku bisa melakukan perjalanan selama berminggu-minggu tanpa membawa sepeser uang pun di sakuku. Seperti anak-anak atau Ratu!

 

Perjalanan mana yang paling berkesan bagimu?

 

Pertama, Rwanda di tahun 1993, pada permulaan perang. Ketika dengan mobil menuju ke utara, kami dihentikan empat atau lima kali oleh rintangan jalan yang dijaga oleh orang-orang bersenjata dan bertopeng. Setiap kali, kami harus keluar dari mobil dan bertanya-tanya apakah kami akan mati di sini. Tak kan pernah kulupakan seorang pemuda bertopeng yang memegang lenganku dengan lembut tetapi menimang-nimang sebuah belati, paduan antara kelembutan dan kekerasan. Yang sangat menyentuhku adalah ketika mengunjungi suatu klinik yang penuh dengan anak-anak yang kehilangan tangan dan kaki atau mata karena terkena ranjau darat. Aku teringat seorang anak yang menggandengku dan mengantarku berkeliling ruangan-ruangan, melompat-lompat dengan satu kaki. Aku menyelinap di balik pepohonan dan menangis. Malam itu kami merayakan Misa dengan beberapa suster. Aku sadar bahwa kami tidak bisa bicara apa-apa berhadapan dengan kekerasan yang sedemikian dahsyat, tapi hanya bisa melakukan sesuatu. Ketika kata-kata terasa tidak memadai, kita menggunakan upacara, gerak-gerik, sebagai bahasa yang diberikan kepada kita.

            Suatu perjalanan lain yang sangat penting adalah di Irak, pada bulan Februari 1998. Suatu perjalanan pulang ke asal-usul kita, ke tanah Abraham. Sewaktu mengadakan kunjungan itu ada bahaya besar yang sedang mengancam, yaitu serangan Amerika dan – sungguh malu aku mengatakannya – pemboman oleh Inggris.[1] Kudapatkan para saudaraku bruder dan suster Dominikan Irak tidak begitu peduli kepada ancaman maut itu; mereka lebih terserap kepada persoalan yang lebih mendasar lagi: kebenaran Injil, kemenangan akhir dari Allah atas iblis. Tampaknya setelah hidup bersanding maut sekian lamanya menghadapkan mereka pada persoalan dasariah mengenai makna keberadaan manusia. Kendati situasi krisis, ribuan orang datang mendengarkan khotbah mereka setiap minggu, didorong oleh kelaparan akan makna. Tak pernah kulihat kerinduan pada Allah sebesar itu.

            Aku juga teringat suatu Natal di Filipina, yang dirayakan bersama orang-orang kusta. Di sana ada cabang dari keluarga Dominikan, Bruder-bruder St Martinus, yang membaktikan diri di kalangan orang kusta dan banyak dari mereka sendiri terkena kusta. Mereka merayakan Natal dengan menyanyi dan menari, dengan kegembiraan besar.

            Aku terutama sangat tersentuh ketika berjumpa dengan seorang wanita penderita kusta. Sepanjang hayatnya ia tinggal di kalangan para penderita kusta. Untuk suatu masa yang lama, bahkan sesudah ia sembuh pun, ia tidak berani keluar dari kalangannya. Ia takut dengan apa yang dilihatnya di mata orang lain ketika mereka melihat wajahnya yang rusak. Suatu ketika, ia memeroleh kekuatan untuk pergi dan menjumpai penderita kusta di seluruh Asia untuk memberi mereka semangat supaya tidak takut kembali ke dalam masyarakat. Ia sungguh seorang pengkhotbah!

            Akhirnya aku teringat pada suatu pertemuan besar tahun lalu, bersama keluarga Dominikan di Argentina. Ada sekitar seribu orang di sana. Kebetulan saat itu adalah Hari Malvinas![1] Jalan-jalan penuh dengan bendera Argentina, dengan slogan di mana-mana: “Mampuslah Inggris!” Namun bagaimanapun aku dapat merayakan hari yang penuh kegembiraan itu dengan para bruder dan suster. Mereka menyambutku dengan ramah dan murah hati, bahkan membawakan sebuah bendera Inggris Union Jack untukku! Kami mempersembahkan misa untuk kesejahteraan jiwa mereka yang gugur, baik dari pihak Argentina maupun Inggris!

 



[1] Memperingati Perang Malvinas di  tahun 1980-an antara Argentina dan Inggris sehubungan dengan status Pulau Malvinas yang diklaim sebagai bagian historis dari wilayah Argentina tetapi de facto merupakan kepunyaan Inggris.



[1] Operasi itu ditunda pada menit terakhir karena campur tangan Sekretaris Jendral PBB waktu itu, Kofi Anan.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar