Daftar Blog Saya

Senin, 28 November 2022

POKOK-POKOK KATEKESE IMAN KITA 1

Bambang Kussriyanto 

Mungkin berguna untuk membantu para katekis dan pewarta. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya aktif dalam Seksi Pewartaan Paroki, saya menulis karangan tentang pokok-pokok iman kita. Sasaran saya katekumen selepas SMA.  Saya sampaikan kepada teman-teman, barangkali bisa dimanfaatkan dan diperkaya. Semoga.

Allah: Pengarang Iman Kita

Pada awal abad ini, Grace Davie, seorang sosiolog agama, menyatakan bahwa banyak orang haus akan spiritualitas dan ingin beriman (Religion in Modern Europe: A Memory Mutates, 2000). Sebagian besar dari mereka itu adalah anak-anak muda yang sedang mencari makna hidup (Yves Lambert, “A Turning Point in Religious Evolution in Europe”, dalam The Journal of Contemporary Religion, XIX/1, 2004). Gejala itu ditangkap sebagai musim semi baru dalam hidup keagamaan. Telah tumbuh tunas-tunas baru minat dan keinginan untuk mendapatkan informasi mengenai kerohanian dan iman.

            Timothy Radcliffe OP menulis: “Ada dua buku yang paling populer di Eropa baru-baru ini, yaitu: Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran (karya Eric-Emmanuel Schmitt, Paris 2003, “Tuan Ibrahim dan bunga-bunga Qur’an”), dan Oscar et la dame rose (juga hasil karya Eric-Emmanuel Schmitt, Paris 2004 , “Oscar dan ibu yang tegar”). Terjual dengan tiras lebih dari 400.000 buah hanya dalam tahun pertama saja kedua buku itu termasuk dalam bilangan buku best seller di Perancis, Belgia, Jerman, Spanyol dan Italia. Buku-buku itu dirancang sebagai bagian dari suatu trilogi di mana tokoh-tokohnya adalah orang Buddha, Yahudi, Muslim dan Kristiani. Buku-buku itu mengenai anak-anak yang sedang mencari Tuhan. Oscar yang berumur sepuluh tahun melakukan pencariannya di tempat tidur dalam minggu terakhir hidupnya. Dengan pertolongan seorang Kristiani tua, Mamie Rosa, ia membombardir Tuhan dengan pertanyaan-pertanyaan. Momo, yang adalah seorang anak Yahudi, melakukan ziarah pencariannya dengan mengunjungi rumah seorang guru Sufi. Mereka mencari suatu tradisi agama untuk membantu perjalanan mereka mencari Tuhan (Timothy Radcliffe OP, 2007, What Is the Meaning of Being a Christian?).

            Kerinduan seperti itu juga dirasakan di mana-mana di seluruh dunia. Seperti buku-buku di atas, dengan metode dan gaya yang berbeda, karangan ini juga bermaksud menanggapi kerinduan umum dengan menyampaikan kebenaran dari iman Katolik dengan cara yang mudah dibaca dan hidup. Seperti Kitab Suci, bahan  katekese ini berusaha menyampaikan cerita tentang Allah dan hubungan kasih-Nya dengan umat manusia, dan rencana-Nya untuk mempersatukan kita dengan-Nya selama-lamanya dalam suka-cita sorga.

            Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1 menguraikan hubungan Allah dengan manusia, yang diawali dari prakarsa Allah, dan menyatakan betapa pada manusia terdapat kecenderungan untuk mengenal dan menjalin relasi dengan Allah : “Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas. Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat semata-mata karena kebaikan, Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari dan menemukan-Diri-Nya, untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala daya kekuatan.”

            Bahwa Allah dalam Diri-Nya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas dipahami dari kenyataan alam semesta yang diciptakan oleh-Nya. Penulis kuno menggambarkan bahwa bagi Allah lautan adalah bagaikan air di dalam lekuk tangan-Nya, langit diukur hanya dengan jengkal, bumi diukur dengan takar, gunung-gunung dan bukit-bukit begitu kecil hingga ditimbang dengan neraca. Allah mahatahu dan tidak memerlukan petunjuk, Ia mahaadil dan tidak memerlukan penasehat. Ia mencipta, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan:

“Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca? Siapa yang dapat mengatur Roh Tuhan atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat? Kepada siapa Tuhan meminta nasihat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar Tuhan untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian? Sesungguhnya, bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya, pulau-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya. Lebanon tidak mencukupi bagi kayu api dan margasatwanya tidak mencukupi bagi korban bakaran.  Segala bangsa seperti tidak ada di hadapan-Nya, mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia saja. Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia? Patungkah? Tukang besi menuangnya, dan pandai emas melapisinya dengan emas, membuat rantai-rantai perak untuknya. Orang yang mendirikan arca, memilih kayu yang tidak lekas busuk, mencari tukang yang ahli untuk menegakkan patung yang tidak lekas goyang. Tidakkah kamu tahu? Tidakkah kamu dengar? Tidakkah diberitahukan kepadamu dari mulanya? Tidakkah kamu mengerti dari sejak dasar bumi diletakkan? Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi yang penduduknya seperti belalang; Dia yang membentangkan langit seperti kain dan memasangnya seperti kemah kediaman!” (Yes 40:12-22).

 

            Gereja Katolik di dalam Konsili Vatikan I (1869-1870) menyatakan bahwa Allah “adalah Allah yang esa, benar dan hidup, Pencipta langit dan bumi, mahakuasa, kekal, tiada batas, mengatasi pemahaman, mahatahu dan kehendak-Nya tiada terperi, sempurna segalanya.... Roh yang tiada duanya, sangat sederhana dan tak berubah... pada hakekatnya sungguh berbeda dari dunia, sepenuhnya mulia dalam diri-Nya sendiri dan dari diri-Nya sendiri, dan niscaya jauh lebih tinggi dari segala sesuatu lainnya yang ada, atau yang dipikirkan, terpisah dari Dia.”

            Allah menciptakan manusia sebagai mahkota dari segala ciptaan karena kebaikan-Nya. Pemazmur menggubah syairnya: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:3-6). Sekalipun kemudian berulang kali manusia memberontak terhadap Allah sang Pencipta, dan karena itu tercerai berai, namun Allah tetap setia pada kasih-Nya pada manusia. “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer 31:3).

            KGK melanjutkan pernyataannya tentang Allah: “Ia memanggil semua manusia yang sudah tercerai-berai satu dari yang lain oleh dosa ke dalam kesatuan keluarga-Nya, yakni Gereja. Ia melakukan seluruh usaha itu dengan perantaraan Putera-Nya, yang telah Ia utus sebagai Penebus dan Juru Selamat, ketika genap waktunya. Dalam Yesus Kristus dan oleh Dia, Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-anak-Nya dalam Roh Kudus, dan dengan demikian mewarisi hidup-Nya yang bahagia.”

            Untuk itulah Yesus Kristus datang di dunia, mengajar dan menyembuhkan, mengalami sengsara, wafat, bangkit dari mati dan naik ke surga. Namun setelah itu, apa yang telah dilakukan-Nya menyampaikan panggilan Allah tetap terus berlanjut.

            “Supaya panggilan ini didengar di seluruh dunia, Kristus mengutus para Rasul yang telah dipilih-Nya, dan memberi mereka tugas untuk mewartakan Injil (Mat 28:19-20). Berdasarkan amanat perutusan ini mereka pergi memberitakan Injil ke segala penjuru dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya (Mrk 16:20)”(Bdk KGK 2).

            Gereja Katolik timbul dan berkembang dari hasil kegiatan Yesus Kristus dan keduabelas rasul-Nya mewartakan Injil. Kristus berkata: “...firman yang kamu dengar itu bukan berasal dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku” (Yoh 14:24). Yesus menyebut Allah sebagai Bapa.

            Maka umat Katolik percaya, bahwa sumber utama dari ajaran Katolik, atau “pengarang” dari iman Katolik, adalah Allah sendiri, yaitu sumber dan asal dari semua kebenaran dan kebaikan. Dari kebenaran ini, ajaran Gereja Katolik memperoleh dasarnya dari wewenang yang tertinggi dan tak diragukan keandalannya.

            Kebenaran ini diwariskan, diajarkan dan diteruskan dari generasi ke generasi di dalam Gereja Katolik oleh siapa saja yang telah dibaptis, terutama oleh orangtua kepada anak-anak. “Siapa pun yang dengan rahmat Allah telah menerima panggilan iman ini dan telah menyetujuinya secara bebas, niscaya  juga didorong oleh cinta kepada Kristus untuk mewartakan Kabar Gembira itu kepada seluruh dunia. … Semua orang yang beriman kepada Kristus dipanggil untuk melanjutkan Kabar Gembira itu dari generasi ke generasi, dengan mewartakan iman dan menghayatinya dalam persekutuan persaudaraan, dan dengan merayakannya dalam liturgi dan dalam doa” (bdk KGK 3).

            Masalahnya : Allah tidak kelihatan. Tak seorang pun melihat Allah. Dalam penyampaian iman ada pertanyaan yang meragukan pewarta: Bagaimana seseorang bisa tahu dengan pasti tentang Allah yang dikatakan sempurna dan bahagia tanpa batas itu, dan bagaimana ia mengetahui kehendak Allah atas umat manusia?

 

Keberadaan Allah

Memang Allah tidak kelihatan. Memang tak seorang pun manusia biasa melihat Allah. Bagaimana orang mencari dan menemukan Allah yang tidak kelihatan? Friedrich Nietzche, seorang filsuf Jerman (1844-1900), di dalam bukunya Die Frochliche Wissenschaffe yang terbit seabad yang lalu menggambarkan orang yang mencari Allah demikian: “Alkisah di zaman dulu – suatu zaman yang jauh berbeda dari zaman kita, namun juga suatu masa yang mungkin pernah menjadi masa kita sendiri – ada sebuah kota yang sama dengan kota-kota lainnya. Kota itu punya pasar alun-alun di tengahnya, di mana orang bertemu satu sama lain dan melakukan jual beli. Pada suatu hari di tengah siang bolong, ketika matahari sedang tinggi dan semuanya sedang sibuk dan melakukan jual beli, seorang bagaikan orang-gila bergegas memasuki pasar alun-alun itu membawa lentera yang menyala sambil berteriak-teriak: ‘Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!’ Orang-orang terganggu tetapi juga heran : ‘Apakah Allah sudah hilang? Apakah dia bersembunyi? Apakah dia seperti anak kecil yang hilang tersesat?’ mereka bertanya. Tetapi orang itu terus menuju ke tengah pasar alun-alun”. Kerinduan untuk bertemu dengan Allah terus berkobar di hati, menggerakkan orang. KGK 27 menyatakan: “Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya.” Mungkin saja Allah itu bagi banyak orang adalah Allah yang tidak dikenal (bdk Kis 17:22-23), yang disembah tanpa nama, dan dicari karena dorongan hati yang tersembunyi.

            Manusia mengalami daya tarik dari “yang Ilahi” dengan “merasakan” manifestasi “yang Ilahi”, hierofani, pada alam kehidupannya. Mereka membedakan ruang-ruang dalam kategori sakral dan profan dan menentukan ambang batasnya. Sebagai contoh, setiap kali mendirikan bangunan tertentu kelompok masyarakat tertentu mendahuluinya dengan permohonan keselamatan. “Batu penjuru” dipancangkan sebagai titik sakral lahan bangunan. Pada akhirnya, ketika membangun “atap” atau penutup bangunan, juga dilakukan upacara selamatan. Tempat-tempat tinggi dianggap kediaman “yang Ilahi”, transenden, mengatasi segala sesuatu dan sehubungan dengan itu dilakukan ritual penyucian tempat. Mereka merasakan kekacauan (chaos) sebagai representasi yang jahat dan lebih menyukai keteraturan dan keselarasan tempat (kosmos) mereka berada, dan untuk itu mereka pun mengadakan ritual untuk menghubungi pusat “aturan” dan situasi “laras” itu (lih. Mircea Eliade, The Sacred and the Profane).

            Di kalangan rakyat dalam pelbagai kebudayaan terdapat ungkapan-ungkapan khas dari usaha mereka menemukan Allah dan ungkapan sikap-sikap batin kepadaNya, yang secara teknis disebut religiositas (cita-rasa keagamaan), atau malahan religio (agama) rakyat (lih. EN 48). Sehubungan dengan ini Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan Kedua menyatakan: “Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya" (GS 19).

            Salah satu metode menemukan Allah adalah Teologi kodrati, yaitu cabang filsafat yang memelajari keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya dengan penalaran akal-budi, tanpa semata-mata mengandalkan ayat-ayat Kitab Suci, tradisi dan institusi agama. Pada suatu masa Teologi kodrati dikenal sebagai Filsafat Ketuhanan. Pada abad ke-18, dengan pergeseran nuansa fokusnya (pada kemalangan yang dialami umat yang percaya kepada Allah, dalam kaitan dengan kemahakuasaan Allah) disebut Teodise, mengikuti buku karangan Leibniz, Theodicy (1710). Matematikawan dan fisikawan John Polkinghorne yang adalah seorang Kristiani, dan sebagian dari rekan-rekannya yang ilmuwan bukan-Kristiani yang bersama-sama dengan dia, berkecimpung di dalam teologi kodrati. John Polkinghorne menyatakan percaya pada partikel yang tidak kelihatan dan peristiwa-peristiwa, seperti quark [partikel dasar dalam inti atom yang membentuk proton dan mengandung muatan listrik, yang sejak 1969 melahirkan para pemenang Hadiah Nobel di bidang fisika: Murray Gell Mann (1969), Burton Richter (1976), Samuel C.C. Ting (1976), Makoto Kobayashi (2008) dan Toshihide Maskawa (2008)], dan quasar [singkatan dari quasi-stellar, benda langit hipotetis seperti bintang yang menjadi sumber gelombang radio dan memancarkan sinar biru terang dan ultra-violet].



            Bagi Polkinghorne fenomena hipotetis percaya pada adanya partikel yang tak kelihatan itu juga menjadi cara terbaik untuk memaknai fenomena lainnya, seperti lecutan elektron. Polkinghorne yakin bahwa adalah mungkin “untuk menggunakan strategi semacam itu sehubungan dengan realitas yang tidak kelihatan dari Allah. Keberadaan Allah membuat banyak aspek dari pengetahuan dan pengalaman kita punya makna” (Lih John Polkinghorne, Quarks, Chaos, and Christianity, hal 99). Setelah tiga puluh tahun bergiat sebagai ilmuwan, John Polkinghorne kemudian menjadi pastor Gereja Anglikan.

            Juga dapat disebutkan di sini nama Paul Davies, yang menulis tentang rancangan penciptaan (The Cosmic Blueprint, 1988). Setelah ledakan besar “Big Bang”, dalam situasi kacau, ia mendapatkan kesan mulai ada rancangan yang rumit, rapi dan terarah di dalam semesta. Karyanya itu melengkapi karya Sir Fred Hoyle, seorang dom dari Cambridge yang menulis  tentang suatu prinsip antropik yang tampak dalam alam semesta (dalam bukunya yang terbit lebih dahulu: The Intelligent Universe, 1983) – yaitu bahwa kosmos ini tampaknya dirancang sedemikian sehingga dapat dicerap oleh pemahaman umat manusia. Ia menyatakan bahwa peluang suatu sel sederhana untuk berevolusi menjadi bentuk kehidupan yang lebih tinggi adalah satu dibanding 10 pangkat 40.000, sama dengan peluang suatu tornado menyapu suatu lapangan timbunan rongsokan dan berhasil merakit suatu pesawat Boeing 747 dari material yang ada di sana. Seorang Kristiani lainnya, Arthur Peacock, dalam buku God and the New Biology dan banyak buku lain melakukan penalaran yang serupa memelajari bukti-bukti dari organisme yang hidup.



            Santo Paulus menulis: “Dari karyanya sejak dunia diciptakan, apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran” (Rm 1:20). Tuhan sendiri tidak kelihatan, namun “jelas” dapat diketahui dari karya-karya-Nya yang tampak.

            Santo Paulus mengukuhkan keniscayaan dari teologi kodrati, yang sudah dilaksanakan selama beberapa abad sebelum Kristus oleh para filsuf, dari zaman Plato dan Aristoteles. Para apologet Gereja awal sering membangun dalih-dalih mereka berdasarkan fondasi yang telah digelar oleh para filsuf kuno yang belum mengenal Tuhan itu. Maka teologi kodrati jelas niscaya. Ia terbukti efektif dan dapat meyakinkan, jauh sebelum Kristus. Teologi kodrati juga dikukuhkan dengan tegas oleh Gereja Katolik sebagai suatu metode. Konsili Vatikan yang Pertama menyatakan soal ini dengan pasti: “Bunda Gereja yang kudus memegang teguh dan mengajar bahwa Allah, asal dan tujuan segala mahluk, dapat dikenali dengan pasti dari merenungkan segala ciptaan, dengan daya-daya kodrati akal budi manusia...” (KGK 36; Konsili Vatikan I, DS 3004).

Maka marilah kita lihat sebagian dari cara-cara pikiran manusia yang bergerak (atau mengarah) pada suatu tatanan untuk mencapai iman kepercayaan yang bermotivasi dan masuk akal, yaitu iman akan keberadaan Tuhan. Bagian uraian tentang Teologi Kodrati di sini sebagian besar bersumber dari Scott Hahn, Reasons to Believe, 2007, hal 27-35.

 

Tentang Dalih Positif

Selama berabad-abad, para filsuf dan orang kudus mengajukan berbagai-bagai petunjuk tentang keberadaan Tuhan. Sebagian orang menyebutnya “bukti” atau “argumen” (dalih). Mungkin yang paling terkenal adalah yang berasal dari Santo Tomas Aquinas, yang biasanya disebut “Lima Jalan”, dalam bahasa Latin disebut Quinquae Viae.

            Santo Tomas Aquinas sendiri bukanlah orang pertama yang menunjukkan (dari akal budi dan pengalaman) cara bagaimana kita mengenal keberadaan dan sifat-sifat Tuhan; dan “Lima Jalan” yang ditunjukkannya itu juga tidak menepiskan pelbagai kemungkinan dan keniscayaan cara yang lainnya. Peter Kreeft dan Ronald Tacelli SJ malah menyampaikan dua puluh dalih untuk keberadaan Tuhan dalam buku mereka; dan jumlah itupun juga hanyalah beberapa percontoh yang mewakili saja (lih. Handbook of Catholic Apologetics, Bab 3, 2009).

            Kita perlu ingat pula bahwa banyak dari petunjuk tentang keberadaan Tuhan sampai kepada kita dari suatu masa di mana para filsuf mengandaikan adanya kepercayaan universal pada “yang Ilahi”. Melalui sejarah, kebanyakan orang yang waras mengakui adanya “yang Ilahi”. Bisa saja mereka bersikap agnostik terhadap sifat-sifat atau hakekat “yang Ilahi” itu; namun mereka mengakui keniscayaan dari keberadaan Allah atau ilah-ilah (dewa-dewa, misalnya). Ini berlaku baik bagi orang-orang bukan-Kristiani maupun orang Kristiani juga. Santo Tomas Aquinas menyusun Lima Jalan berdasarkan landasan yang telah dibentangkan oleh Plato dan Aristoteles, yang sama-sama orang Yunani yang tidak mengenal Tuhan, dan hidup empat abad sebelum Yesus Kristus. Mereka itulah (bukan Kitab Suci) yang mempunyai wibawa atau wewenang primer bagi Santo Tomas Aquinas di dalam menunjukkan cara untuk mengetahui keberadaan Allah. Di dalam dunia kuno, kata ateisme menyatakan lingkup terbatas  penyangkalan akan Allah yang ortodoks (atau para dewa). Barulah pada abad kesembilan-belas istilah itu dengan serius mengungkapkan lingkup penyangkalan mutlak terhadap setiap keilahian; dan penyangkalan itu mengakibatkan hilangnya banyak sekali iman – tentu saja termasuk hilangnya setiap pengertian akan Allah.

            Keberadaan Allah sekurang-kurangnya masuk akal –  malahan bisa dikatakan “dengan sendirinya jelas”, – dan pada umumnya kita dapat melalukan penalaran yang baik dari apa yang disebut “bukti-bukti” atau “petunjuk”. Semua petunjuk dapat disurutkan menjadi, entah pengalaman inderawi (“melihat berarti percaya”), entah apa yang disebut bukti quia (indikatif), yaitu dalih-dalih nalar yang melakukan runutan, pelacakan, bergerak mundur ke balik suatu bukti, dari akibat-akibat kepada suatu sebab yang niscaya dari akibat-akibat itu, seperti yang mungkin dilakukan sekelompok detektif  di tempat kejadian perkara – dengan akal budi melacak seorang pencuri dari adanya jejak kaki, sidik jari, dan jejak-jejak lain yang ditinggalkannya. Karena “tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah” (1 Yoh 4:12), semua petunjuk mengenai keberadaannya merupakan petunjuk quia (indikatif).

 Cara yang Ditempuh

Santo Tomas Aquinas, teolog, pujangga Gereja, 1225-1274, mengawali Lima Jalan dengan “argumen gerakan” (untuk suatu bahasan yang bagus mengenai pemahaman St Tomas akan preambula fidei atau pengantar iman, lihat Ralph McInerny, 2006, Preambula Fidei: Thomism and the God of the Philosophers. CUA Press). Kita juga dapat menyebutnya argumen “perubahan”. Mulainya dari suatu fakta sederhana: segala sesuatu di dunia yang kita alami dan kita ketahui mengalami perubahan, bergerak dari potensi menjadi wujud nyata. Segala sesuatu bergerak atau berubah. Namun tak ada yang bergerak atau berubah sendiri. Semua yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu yang sudah bergerak. Namun rangkaian penggerak itu tidak bisa dirunut mundur sampai tak terhingga. Pasti ada suatu permulaan yang tidak bergerak. Penggerak pertama  (prime mover) yang tidak bergerak itu kita sebut Tuhan.



            Suatu analogi (contoh persamaan): bayangkan Anda sedang berkendara sampai di suatu persilangan dengan jalan kereta api, dan melihat suatu rangkaian kereta melintas. Anda melihat gerbong demi gerbong, belasan gerbong. Anda sampai di tempat itu ketika kereta sudah berjalan, sehingga Anda tidak melihat mesin lokomotifnya. Tetapi Anda tentu yakin bahwa kereta itu pasti punya mesin; karena jika Anda melihat suatu kereta bergerak, Anda tahu ada sesuatu yang menggerakkannya. Suatu mesin lokomotif menariknya. Jika Anda berusaha memecahkan masalah dengan menempatkan fakta serangkaian gerbong yang tak ada habisnya itu sebagai dasar argumen, Anda tidak perlu menghentikan jalannya kereta itu untuk menjelaskan gerakannya. Maka Anda memperluas masalah Anda (dari bagian yang Anda lihat sampai lokomotif di ujungnya), sampai tak tertingga juga. Jika Anda menyangkal adanya mesin itu, maka Anda memperbesar lagi lingkup permasalahan Anda itu, untuk mendapatkan penyebab yang jauh lebih besar lagi dan luar biasa dari gerakan rangkaian gerbong yang sedemikian panjang itu.

            Analogi kereta itu mengantar pada Jalan St Tomas Aquinas yang kedua: argumen penyebab efisien. Argumen ini sama dengan argumen yang pertama. Mulainya dengan memperhatikan bahwa setiap akibat punya suatu sebab. Namun, rangkaian sebab-akibat tidak dapat melampaui rangkaian gerak dalam hal ketidak-berhinggaannya. Namun setiap sebab dalam rangkaian itu tidak dapat dianggap sebagai permulaan yang paling ujung; sebab, jika kita menyangkal adanya akibat yang sekaligus sebab, kita menihilkan seluruh rangkaian akibat itu. Kita tidak dapat mundur sampai tak terhingga merunut sebab-sebab, kita harus menempatkan suatu argumen dasar tentang sebab pertama yang tidak ada penyebabnya lagi, dan sebab pertama itu adalah Allah.

            Jalan yang ketiga berdasarkan kemungkinan dan keniscayaan. Kita memperhatikan semua hal berubah. Keberadaannya berasal dari suatu yang lain. Semua yang kita lihat di dunia ini tidak muncul tiba-tiba dari ketiadaan, melainkan berasal dari sesuatu yang lain, terkait dengan keberadaan sesuatu yang lain itu. Dan sekali lagi, rantai asal-muasal yang tak terhingga adalah tak terpikirkan, absurd. Tidaklah cukup menyatakan suatu rangkaian keberadaan, yang masing-masing dan semuanya, membutuhkan adanya suatu sebab. Jika keberadaan-keberadaan bersifat bergantung pada yang lain, maka harus ada keberadaan terakhir yang tidak berubah dan tidak bergantung pada yang lain, namun niscaya – berada dalam dan dari dirinya sendiri. Dan keniscayaan ini kita sebut Allah.

            Dalam ketiga “Jalan” pertama ini St Tomas Aquinas mengemukakan argumen kosmologis (berhubungan dengan alam dunia). Ia melakukan penalaran dari bukti fisik. Dalam dua “Jalan” selanjutnya, ia mengalihkan dasarnya, dari penalaran kosmologis kepada penalaran teleologis (berhubungan dengan tujuan akhir), dari pemikiran tentang asal-muasal kepada pemikiran tentang maksud dan tujuan akhir.

            Jalan keempat berkenaan dengan derajat kesempurnaan. St Tomas Aquinas memperhatikan bahwa kita semua menilai segala sesuatu punya tingkatan kesempurnaan lebih atau kurang dari yang lain. Kita mengatakan sesuatu lebih benar atau kurang benar, lebih bagus atau kurang bagus, dan sebagainya. Pengukuran semacam itu mengandaikan adanya suatu ukuran standar (baku) yang mutlak. Suatu pita pengukur tentu menunjukkan jarak di antara kedua ujung. Kadarnya – mungkin dalam inci (atau sentimeter), kaki, yar (atau meter), atau mil (atau kilometer) – dicantumkan pada pita itu berkaitan dengan standar yang mutlak atau konstan (tetap). Ini berlaku untuk segala kualitas. Namun pasti ada semacam standar yang sempurna yang merupakan dasar pengukuran segala kualitas itu. Dan kepenuhan segala kesempurnaan itu kita sebut Allah.



            Jalan yang kelima adalah argumen rancangan atau finalitas (dengan kata lain “tindakan cerdas”). St Tomas mengawalinya dari pengamatan bahwa semua yang kekurangan pengertian tetap bekerja menuju maksud tertentu. Tampaknya mereka punya tujuan tertentu dan mengikuti pola tertentu, “hukum” alam tertentu – hukum gravitasi, termodinamika, dan sebagainya – dan semua hukum yang banyak ragamnya ini tampaknya bekerja dengan suatu tatanan yang teratur. Sehubungan dengan makna finalitas atau rancangan yang lebih rinci, bisa dilihat Benedict M. Ashley, 2006, The Way Toward Wisdom: An Interdisciplinary and Intercultural Introduction to Metaphysics, hal 322-381. Jika kita menerapkan bukti-bukti ini pada fisika modern, kita berdiri dalam suatu kosmos yang menakjubkan, yang berfungsi dengan cara yang stabil dan dapat diperkirakan kendati ada peristiwa-peristiwa kesalahan (anomali) yang terjadi terus menerus dalam tingkatan sub-atomik (di bawah tingkatan atom). Sejak tahun 1993 muncul wacana tentang  ‘rancangan cerdas’ dan ‘kompleksitas yang tidak dapat direduksi’ dalam tatanan ciptaan. Michael Behe, seorang ahli biologi sel dalam bukunya Darwin’s Black Box (2006) menyatakan bahwa ada struktur-struktur yang rumit yang tidak dapat dijelaskan dengan teori evolusi, dan harus diakui sebagai ‘kompleksitas yang tidak dapat direduksi’, yang sejak semula terjadi karena ‘rancangan cerdas’ Sang Pencipta. Kendati ada bermacam-macam teori evolusi – dan beberapa komentator yang mendukung teori evolusi berusaha menentang rancangan cerdas itu – namun sebenarnya hanya menegaskan “Jalan” kelima itu. Bagi Charles Darwin (ahli biologi dari Inggris, 1809-1882, yang terkenal dengan karyanya The Origin of Species [1859] tentang evolusi dan menjadi perintis aliran pemikiran Darwinime) dan bagi Tomas Aquinas, alam mengikuti hukum besi tertentu dan mengejar tujuan tertentu dalam tatanan yang teratur dan dapat diramalkan. Sekalipun dalam Darwinisme (lih Etienne Gilson, From Aristotle to Darwin and Back again: A Journey in Final Causality, Species, and Evolution, 1984) alam mengikuti suatu proses seleksi; yang terkuat akan bertahan. Semua ini menyiratkan adanya tujuan, tatanan, standar dan akhir.

            Bahkan hal-hal yang tidak cerdas pun turut berfungsi dalam suatu cara yang mencerminkan maksud yang sudah tertata. Ada suatu desain, suatu rancangan. Dan jika ada suatu rancangan, tentu ada perancangnya.

            Ambillah suatu analogi : Anda berjalan-jalan di suatu pantai dan Anda melihat sesuatu yang berkilat-kilat terkena sinar matahari. Anda membungkuk dan memungutnya: suatu benda logam kecil, bulat dan permukaannya dilapisi kaca. Anda memperhatikan ada suara tik-tik-tik-tik-tik, dan Anda melihat di balik kaca itu ada gigi-gigi, per, sekrup dan tanda-tanda ukuran. Semua benda itu digabungkan dengan tepat dan kompak. Nah, apakah benda itu? Dan bagaimana proses keberadaannya? Apakah karena hasil dari gelombang yang tak terbilang banyaknya yang melanda pantai, menggerus karang jadi pasir – pasir yang kemudian dibentuk kembali oleh angin dan kemudian menghasilkan konfigurasi yang bergerak dengan sangat tepat itu?

            Dapatkah otak manusia membayangkan proses semacam itu? Ya, tetapi proses seperti itu tidak mungkin. Dengan cara yang sama, ketika Anda mempelajari ciptaan, Anda melihat bukti desain, dan desain itu merujuk pada seorang desainer. Mata merupakan suatu sistem dari kompleksitas yang tidak dapat direduksi, yang terdiri dari suatu retina, kornea, lensa, pelumas yang mengandung air dan bersifat seperti kaca. Mata seperti itu tidak mungkin menjadi hasil dari suatu proses yang sembarangan. Mata diciptakan dengan suatu desain tertentu, dan dibuat untuk melihat; dan masing-masing bagiannya mengandaikan berfungsinya seluruh bagian yang lain. Apakah organ itu melayani tahap-tahap hipotetis sebelumnya – sebelum organ itu bisa melihat? Sama sekali tidak. Mata itu dibuat dengan mengingat tujuannya : untuk melihat. Segala sesuatu juga mengandung kebenaran seperti itu, dari partikel sub-atomik dan sel-sel sampai pada sistem dan galaksi matahari. Ilmu empiris menjadi mungkin karena semesta ini teratur, terpola, simetris, dapat dicermati, dan (sekurang-kurangnya dalam derajat tertentu) dapat diukur dan dapat diduga.

            Kita dapat menyimpulkan dengan nalar bahwa alat yang kita temukan di pantai itu berasal dari suatu pabrik pembuatan, dan pabrik pembuatan itu punya tujuan ketika membuatnya. Sebuah jam tentu memerlukan pembuat jam. Dengan demikian, semesta yang teratur juga memerlukan adanya pencipta yang cerdas; dan kita menyebut pencipta itu Allah.

            Menurut Kitab Suci: “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia,  dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja (Adam), Ia (Allah) telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 17:24-28).

            Sekalipun ada banyak orang mempunyai kecenderungan kodrati yang merindukan atau mencari Allah, namun sebagian yang lain ada yang ragu apakah Allah itu ada, atau ragu bahwa kita dapat mengenal atau bisa mengetahui sesuatu tentang Allah dengan pasti. Bahkan orang yang menyebut diri Kristiani-pun, termasuk para religius sekali pun, masih bisa punya keraguan, dan kadang-kadang mempertanyakan hakekat dan bahkan keberadaan Allah.

 [Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar