Dalam Grup WAG Ikafite timbul wacana tentang pembangunan (gedung) gereja merespon blog tentang Bait Allah. Suatu komen: "SARANG PENYAMUN. RumahKu adalah rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun (Luk 19:46).Sudah rahasia umum, pembangunan rumah ibadat (apapun agamanya) menjadi proyek tempat org bisa korupsi, mark-up dsb, sejak tender, apalagi kalau nilainya M M-an". - "Di tempat kami ada yg mbangun gereja MM-an, setelah jadi nggak ada laporan keuangannya... sampai Uskup nggak mau memberkatinya... hehehe..." - "Di paroki tetangga kami, ada kontraktor yang bangun gereja paroki, duitnya sudah dibayar lunas, gedungnya tidak selesai. Saat saya singgung ke pastor parokinya beliau jawab: 3 pilihan, selesaikan, kembalikan dana atau...duel sama saya". - "Biasanya menggampangkan, hanya percaya shg tanpa kontrak perjanjian kerja" - "Nah itulah, diperlukan integritas untuk saling menjaga, apalagi kalau antar sesama katolik". - "Wah, keterlaluan itu... Kudu dibanding-bandingke dg pemborong lain." - "Hal yang paling awal untuk mengelola risiko adalah hal-hal yang bersifat administratif dibuat, didokumentasikan dengan baik. Ini mengingat bhw Dewan Pastoral Paroki menjadi wakil uskup dan umat sehingga perlu mempertanggungjawabkannya dengan baik. Dst..."- "Gereja jangan jadi sarang penyamun. Paling tidak pastornya jangan jadi penyamun" - "Apalagi ada perempuan di sarang penyamun. Ambyar!" - "Bagaimana kalau yang berkuasa ikut bermain?" - "Astaga just imagine make me sick" - "Menghadapi penyamun pastor juga harus cerdik agar tdk dikadali kontraktor atau DP yang kongkalikong dng kontraktor. Secara administratif mungkin ok krn kerjasama bendahara atau DP. Tanpa permisi" dan seterusnya.
Sebaiknya sih ada "sistem manajemen pembangunan" di setiap keuskupan. Proyek pembangunan prasarana gereja di paroki di keuskupan wajib menerapkan "sistem" itu. Adapun "sistem" itu berupa pedoman yang diberlakukan oleh sesuatu badan resmi keuskupan semisal Komisi Bangunan Keuskupan.
Tanpa bermaksud meremehkan perlunya memahami Manajemen Proyek Konstruksi yang disediakan oleh lembaga penyelenggara Kursus Manajemen misalnya mengikuti pola 40 jam atau 32 jam tatap muka, saya coba mengingat beberapa pokok.
Biasanya ada semacam Masterplan pembangunan. Didalamnya dirinci rencana keseluruhan dan rencana pelaksanaan bertahap.
Masterplan menjelaskan pihak-pihak yang berkepentingan dan mendefinisikannya. Siapa si pemilik (di kalangan Gereja biasanya BPGDA, Keuskupan, Seminari, Tarekat, Biara). Lalu dibentuk Panitia Pembangunan. Lazimnya ada ketentuan, pemilik dan anggota keluarganya tidak boleh merangkap menjadi Panitia Pembangunan untuk menghindari konflik kepentingan. Dewan Pastoral Paroki dalam hal ini tidak terlibat, tetapi boleh berfungsi sebagai tim pencari dana, yang hasilnya diserahkan kepada BPGDA.
Panitia lalu membuat rancangan bangunan, entah melalui arsitek atau biro perencana, bisa juga menyertakan konsultan konstruksi, untuk segi pelaksanaan teknis, sehingga tersedia gambar penampang maupun gambar detil.
Setelah itu dibuat perkiraan biaya berdasarkan penggunaan bahan (standar kualitas dan jumlahnya) dan tenaga kerja sesuai harga pasar. Diperkirakan pula sumber-sumber dana (keuskupan, paroki, donatur) dan jadwal aliran dana yang tersedia. Lalu dibuat anggaran proyek pembangunan menurut sistem yang lazim demi memudahkan kontrol.
Di dalam Panitia Pembangunan itu perlu ada salah satu seksi kontrol atau pemeriksa teknis yang secara berkala memeriksa kesesuaian jalannya pekerjaan menurut standar-standar teknis, tahapan dan jadwal kerja yang telah direncanakan.
Jika semua sudah siap, Komisi Bangunan Keuskupan perlu meneliti kebenaran masterplan itu dan memberi masukan kepada Uskup apakah bisa disetujui atau tidak. (Terutama jika sebagian dari anggaran bangunan disediakan Keuskupan).
Pada umumnya kemudian dilakukan lelang untuk pekerjaan borongan pembangunan menurut Masterplan yang telah disetujui. Setidaknya perlu tiga sampai tujuh pemborong peserta lelang untuk perbandingan penawaran harga dan cara pembayarannya. Syarat pelulusan biasanya bukan pemberi tawaran harga terendah, tetapi terbaik dengan meneliti contoh hasil karya mereka dari segi teknik pengerjaan dan kepuasan pelanggan. Karena biasanya dana pembangunan belum cukup tersedia lalu dipilih penawar yang memberi kelonggaran angsuran beberapa kali entah per termijn atau berdasar kemajuan pekerjaan. Misalnya ada yang mengajukan pembayaran per termijn, 4 x 25%, atau pembayaran berdasarkan kemajuan pekerjaan bulanan sampai bangunan selesai. Teknik pembayaran ini untuk mencegah terjadinya wan-prestasi. Bahkan 10% dari nilai kontrak ditahan untuk jaminan perbaikan-perbaikan hingga 40 hari setelah jadwal kontrak selesai. Dipilih mana yang sesuai dengan ketersediaan cash-flow pemilik.
Persetujuan penawaran harga kemudian dituangkan menjadi "Perjanjian Kerja" dengan akta notaris dengan berbagai syarat yang harus diikuti, termasuk kontrol atau pemeriksaan dan konsekuensinya, misalnya jika bahan yang digunakan tidak sesuai, atau jika pengerjaan tidak mengikuti prosedur teknis, atau jika waktunya meleset dari jadwal, biasanya ada denda.
Sistem yang dipetakan sebagai pedoman dalam proyek bangunan termasuk perjanjian kerja dengan semua persyaratan teknis dan keuangan dan adanya fungsi kontrol tentu akan sangat membantu penyelesaian pekerjaan secara wajar.
Tentu saja Panitia Pembangunan akan membuat dokumentasi Laporan Kemajuan Pekerjaan baik sisi teknis maupun keuangannya, biasanya mingguan, sampai gedung diserahkan dan diresmikan penggunaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar