Daftar Blog Saya

Senin, 14 November 2022

KITAB WAHYU YOHANES

 


Kitab Wahyu adalah kitab terakhir dalam Kitab Suci khususnya Perjanjian Baru, juga dikenal sebagai Apokalip. Isi yang sangat penuh dengan gambaran simbolis dan misterius menimbulkan tafsiran yang tak terbilang banyaknya mengenai drama hari terakhir.

      Walaupun terdapat ayat-ayat apokaliptik serupa di dalam Perjanjian Baru (misalnya Mat 24), Wahyu merupakan satu-satunya kitab yang secara formal apokaliptik dalam Perjanjian Baru. Wahyu juga serupa namun sekaligus tetap unik berbeda dengan karya-karya apokaliptik Yahudi yang timbul beberapa abad sebelum dan sesudah kedatangan Kristus. Kitab ini menyatakan diri sebagai “Wahyu” dan menyebut nama pengarangnya (Why 1:1), sementara karya-karya apokaliptik lainnya menggunakan nama samaran, dan menyebutkan sebagai nama pengarangnya tokoh-tokoh sejarah Kitab Suci yang sudah lama meninggal dunia seperti Henokh, Abraham dan Ezra. Dalam isinya, kitab Wahyu termasuk di dalam kelas yang berbeda karena menggunakan kidung-kidung liturgis (bdk Why 4:8.11; 5:9-10 dst) dan jelas berfokus pada Yesus Kristus sebagai Anak Domba (bdk 5:6-8; 7:10; 14:1-4).

 

I. PENGARANG DAN WAKTU PENULISAN

II. ISI

III. MAKSUD DAN TEMA

IV. KITAB WAHYU SEBAGAI LITURGI

A. KONTEKS

B. ISI

 

I. PENGARANG DAN WAKTU PENULISAN

Pengarang kitab Wahyu menyatakan kepada pembacanya empat kali bahwa namanya adalah “Yohanes” (Why 1;1.4.9; 22:8). Ia juga menyebut dirinya “hamba” Tuhan (Why 1:1) dan menunjukkan bahwa ia diasingkan di pulau Patmos (Why 1:9) di mana ia mendapat penglihatan-penglihatan dan menuliskannya seperti yang diperintahkan (Why 1:11.19; 2:1.8.12.18. dst). Tradisi menganggap pengarang “Yohanes” itu adalah rasul Yohanes, putera Zebedeus  (Mrk 3:17). Kesaksian yang paling awal tentang i ni berasal dari Yustinus Martir sekitar tahun 140. Yustinus diikuti oleh St Ireneus (abad kedua), Oriegenes (awal abad ketiga), Santo Klemens dari Aleksandria (awal abad ketiga) dan banyak lagi lainnya.

      Keyakinan itu dilawan oleh beberapa penulis dari Timur, antara lain Santo Dionisius dari Aleksandria (pertengahan abad ketiga) yang menolak rasul Yohanes sebagai pengarang kitab Wahyu berdasarkan gaya tulisan yang sangat khas dalam kitab ini. Utamanya, bahasa Yunani yang digunakan dalam kitab Wahyu  jelas sangat berbeda dari yang ada dalam Injil dan surat-surat Yohanes, sehingga kitab Wahyu diduga berasal dari seorang pengarang lain.

      Banyak ahli modern mengikuti pandangan para penulis Timur itu dan menolak Yohanes Rasul sebagai pengarang kitab Wahyu. Sebaliknya, mereka mengajukan berbagai kemungkinan lain, termasuk penulis Injil Yohanes Markus, Yohanes Pembaptis, Yohanes Penatua, dan seorang nabi dari Palestina bernama Yohanes yang tidak begitu dikenal, dan seorang penulis tanpa nama yang menggunakan  nama Yohanes sebagai samarannya.

      Namun pernyataan yang melawan kepengarangan rasul Yohanes Rasul atas kitab Wahyu tidak begitu kuat, dan ada sejumlah hal yang mendukung tradisi utama. Pertama perbedaan gaya di antara kitab Wahyu dan tulisan-tulisan lain bisa disebabkan oleh ragam sastra yang digunakan: yang satu ragam sastra Injil, yang lain ragam sastra surat, dan akhirnya ragam sastra apokaliptik. Kedua, ada beberapa keserupaan di antara Injil Yohanes dan Wahyu, seperti menyebut Yesus sebagai “Firman” (Yoh 1:1; Why 19:13) dan Maria sebagai “Perempuan” (Yoh 19:26; Why 12:1), menggambarkan Yesus sebagai “Anak Domba” (Yoh 1:29; Why 5:6) dan penggunaan gagasan “air hidup” (Yoh 7:38; Why 7:17). Lebih luas lagi, lokasi ketujuh Gereja di Asia dalam Why 2-3 jelas terkait dengan kawasan  yang dikenal sebagai daerah kerja rasul Yohanes.

      Kitab Wahyu ditulis pada masa penganiayaan, dan dua masa kejadian itu terdapat dalam abad yang pertama: pada masa pemerintahan kaisar Nero (54-68 M) dan pada masa kaisar Domitianus (81-96 M). Atas dasar dua alternatif ini, para ahli memperkirakan kitab ini dituliskan baik pada tahun 60-an atau pada tahun 90-an; banyak ahli condong pada tahun 90-an, yang dikuatkan oleh berbagai penulis, termasuk St Viktorinus Pettau (akhir abad ketiga), Eusebius dari Kaisarea, St Hieronimus (abad keempat) dan mungkin St Ireneus (akhir abad kedua).

      Dukungan di luar kitab Wahyu untuk waktu penulisan tahun 60-an didasarkan pada versi-versi kitab Wahyu Siria kuno dan mungkin juga dari Tertulianus, yang menyatakan dalam tulisannya mengenai penganiayaan di Roma pada zaman Nero, bahwa Yohanes dibuang ke suatu pulau sesudah orang Roma tidak berhasil membunuhnya dengan memasukkannya ke dalam minyak mendidih – Yohanes keluar lagi dari minyak tanpa cacae. Bukti internal dari kitab Wahyu sendiri untuk penulisan pada zaman Nero diketemukan dalam penyebutan kaisar Roma dalam Why 17:9 sebagai kaisar kelima. Selanjutnya bilangan binatang, 666, berasal dari nilai perhitungan nama Nero Caesar. Masa penulisan kitab ini sering dipastikan pada akhir tahun 60-an M, tak lama sebelum Roma menghancurkan Yerusalem pada tahun 70 M.

 


II. ISI

i. Yang Tampak

A. Pengantar (Why 1:1-8)

B. Penglihatan Awal (1:9-20)

ii. Apa yang Ada

A. Surat-surat untuk Jemaat-jemaat di Efesus, Smirna, Pergamus dan Tiatira (Why 2:1-29).

B. Surat-surat untuk Jemaat-jemaat di sardis, Filadelfia dan Laodikea (Why 3:1-22).

iii. Apa yang akan Terjadi

A. Penglihatan tentang Allah dan Anak Domba (Why 4:1-5:14)

B. Tujuh Meterai (Why 6:1—8:5)

C. Tujuh Sangkakala (Why 8:6—11:19)

D. Tujuh Tokoh (Why 12:1—14:20)

E. Tujuh Cawan Amarah (Why 15:1—16:21)

F. Jatuhnya Kota Pelacur (Why 17:1—18:24)

G. Jamuan Kawin Anak Domba (Why 19:1-10)

H. Penglihatan tentang Hukuman : Binatang, Iblis, Orang Mati (Why 19:11-20:15)

I. Surga Baru, Bumi Baru, dan Yerusalem Baru (Why 21:1—22:5)

I. Epilog (Why 22:6-21).

 

III. MAKSUD DAN TEMA

Kitab Wahyu bisa dikatakan kitab yang paling menantang dalam keseluruhan Kitab Suci, karena cara pelukisan dan bahasa apokaliptik yang menjadikannya suatu mahakarya sastra. Kompleksitas perlambangan di dalamnya membuat penafsiran menjadi sulit sekali. Bahkan St Hieronimus yang sangat ahli menyatakan bahwa kitab Wahyu ”mengandung misteri sebanyak kata-katanya” (Epit, 53.9). Para ahli terbagi di dalam pendekatan mereka mengenai isi dan maksud kitab Wahyu, namun pada umumnya ada empat pendapat mengenai tafsir kitab Wahyu yang mendapat dukungan bertahun-tahun, yang umumnya disebut tafsir futuristik (ke arah masa depan), tafsir preteristik (ke arah masa lalu), tafsir historis (kesejarahan), dan tafsir idealis (rohani).

 ■ Pandangan futuristik mengambil pendirian bahwa kitab Wahyu merupakan nubuat yang sangat kuat mengenai akhir dunia – suatu masa yang sarat dengan pencobaan, diikuti Kedatangan Kedua dari Yesus, Hukuman Terakhir dan kejayaan atas iblis. Maka, nubuat ini masih akan dipenuhi. Mungkin pandangan ini merupakan pandangan yang paling populer atas kitab Wahyu.

 ■ Pandangan preteristik mengandaikan peristiwa-peristiwa di dalam kitab Wahyu merupakan sejarah masa lalu, sudah terjadi pada abad pertama M. Banyak ahli memandang kitab Wahyu sebagai penafsiran atas benturan Kekristenan dengan Roma pagan pada akhir abad pertama. Preteris yang lain membaca kitab Wahyu dengan tabir di belakangnya Perang Yahudi hingga jatuhnya Yerusalem. Jika menurut pandangan preteris yang pertama yang tampak di panggung adalah situasi politik Roma akhir abad pertama, menurut pandangan preteris yang kedua Gereja mendapat visi teologis mengenai berakhirnya Perjanjian Lama dan berbagai faktor yang memungkinkannya.

 ■ Pandangan historis menganggap kitab Wahyu membeberkan panorama besar dan luas sejarah Gereja, dari abad pertama sampai akhir zaman. Tetapi pernyataan bahwa kemajuan Gereja di dunia dipaparkan di situ sulit untuk diterima karena kurangnya konsensus mengenai peristiwa-peristiwa mana yang dianggap diceritakan.

 ■ Pandangan idealis menyatakan bahwa kitab Wahyu merupakan gambaran yang hidup dari hidup rohani. Tanda-tanda dan lambang-lambang digunakan untuk memberi dorongan kepada jemaat Kristen yang di dunia ini menghadapi penganiayaan dan kerja keras. Konflik antara yang baik dan yang jahat tidak terikat waktu, dan setiap umat Kristen pada zaman manapun menghadapi pencobaan yang serupa.

 


Masing-masing pandangan mengandaikan bahwa Yesus datang untuk meluruskan apa yang salah dan secara definitif memperbarui dan mengubah ciptaan, dan masing-masing pandangan menyumbangkan sesuatu bagi para pembaca kitab Wahyu. Namun tidak ada pandangan tunggal yang memberikan kepada kita penjelasan menyeluruh yang memuaskan. Arah yang mungkin dapat dimengerti adalah menerima sebagian aspek dari masing-masing pandangan. Misalnya, ahli historis yang membuka pandangan para membaca untuk melihat peranan Gereja dalam sejarah keselamatan yang terus berkelanjutan; ahli preteris yang menambahkan konteks waktu di mana kitab Wahyu disusun; ahli idealis yang memfokuskan pembaca pada ajaran rohani yang dalam dari kitab ini; dan akhirnya ahli futuristik yang dengan setia mengarahkan pandangan pada Kedatangan Kedua dari Kristus, harapan dari semua orang Kristen. Sesungguhnya, janji dan nubuat-nubuat terpenuhi dalam pola spiral yang bergerak naik: sebagaimana suatu peristiwa dalam PL merupakan tipologi dalam PB, begitu pula kejadian-kejadian sekarang bisa menjadi tipologi kejadian-kejadian di masa datang.

 

IV. KITAB WAHYU SEBAGAI LITURGI

Para ahli modern memberikan perhatian yang bertambah-tambah pada dimensi liturgi dari kitab Wahyu, baik di dalam konteks maupun dalam isi kitab.

 

A. KONTEKS

Yohanes menerima penglihatan tentang Hari Tuhan, yaitu hari ketika umat Kristen di mana-mana merayakan ibadat (Why 1:10). Ada “firman” dari Tuhan yang disampaikan kepada berbagai jemaat dan dimaksudkan agar dibacakan dalam himpunan ibadat. Dalam Why 1:3 misalnya, “yang membacakan” dan “yang mendengarkan” mengingatkan kita pada lektor dan para pendengarnya dalam liturgi Sabda.

 

B. ISI

Ibadat sekaligus merupakan bagian dari alur dan tindakan utama kitab ini. Kepada kita kitab Wahyu menyampaikan ibadat Kristen yang ditujukan baik kepada Allah (bab 4) maupun kepada Anak Domba [Allah] (Bab 5).

      Penglihatan itu penuh dengan pemandangan dan bunyi-bunyian ibadat Israel. Yohanes melihat Bait Allah di surga dengan tabut perjanjian (Why 11:19) dan sebuah mezbah pedupaan (Why 8:3), dian lampu dari emas, busana imam, batu suci, gulungan kitab, sangkakala, ranting-ranting palma, harpa, dupa wewangian dan bejana percikan, dan di pusat segalanya adalah Anak Domba korban (Why 5:6). Ada lagu pujian: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, dahulu, sekarang dan selama-lamanya!” (Why 4:8).

            Semua pemandangan, bunyi-bunyian dan bahkan aroma dupa sangat akrab dengan ibadat Israel kuno: mereka adalah padanan surgawi dari realitas duniawi. Tindakan liturgis yang sama berlanjut dalam Gereja Kristen: kitab Wahyu menunjukkan kepada kita bahwa liturgi Kristen pada Hari Tuhan merupakan suatu peran serta dalam liturgi ilahi yang kekal yang tiada hentinya di surga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar