Daftar Blog Saya

Kamis, 24 November 2022

RUU P2SK DAN KOPERASI SIMPAN PINJAM/CREDIT UNION

 

Belakangan ramai dibicarakan Rencana Undang-undang Pengembangan & Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK). RUU ini bersumber dari prakarsa DPR. 

RUU P2SK diharapkan mampu mencapai ila sasaran yaitu meningkatkan akses ke jasa keuangan, memperluas sumber pembiayaan jangka panjang, meningkatkan daya saing & efisiensi, mengembangkan instrumen dan memperkuat mitigasi risiko, dan meningkatkan perlindungan investor&konsumen. Dari situ dibayangkan akan terjadi penguatan koordinasi, baik dalam pengembangan sektor keuangan Indonesia, maupun dalam kerangka penanganan permasalahan perbankan dan stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Menurut UU 13 Tahun 2022 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam rangka memastikan tersusunnya dan terselenggaranya Undang-Undang yang baik, diperlukan partisipasi masyarakat/publik. Masyarakat/publik yang berkepentingan dengan Undang-Undang itu memiliki kesempatan untuk didengar pendapatnya, aspirasinya, ataupun keinginannya. Seluruh masukan, baik itu asosiasi, industri, akademisi, atau masyarakat publik, memiliki hak untuk dipertimbangkan.

Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyelenggarakan Konsultasi Publik mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan & Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP), pada Senin (07/10) secara virtual. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan Asosiasi Profesi, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Forkopi, Perhimpunan Periset Indonesia (PPI), dan Akademisi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan ikut mengawasi koperasi simpan pinjam menurut RUU P2SK.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penguatan pengaturan dan pengawasan sektor keuangan juga terlihat dari mandat yang diberikan dalam ruu ini kepada OJK. "OJK diberi mandat untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap koperasi simpan pinjam," ujarnya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (10/11).

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menuturkan saat ini ada 30 juta UMKM yang belum bankable. Masih banyak UMKM yang belum bisa mengakses pembiayaan formal dengan persyaratan kolateral. Karenanya, dalam daftar inventaris masalah (DIM) RUU PPSK pihaknya akan mengusulkan ada kompartemen khusus untuk mengatur koperasi. Dengan begitu, prinsip dasar koperasi dapat terjaga, serta proses penyaluran pembiayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik. Di bawah RUU PPSK maka harus ada kompartemen khusus untuk koperasi dengan pengaturan tertentu di OJK.

Kepentingan makro nasional dalam fungsi pengawasan itu tampak positif, namun penerapannya pada sektor koperasi mempunyai potensi yang justru dianggap membuat fondasi dan prinsip koperasi keropos. OJK memiliki tugas untuk mengawasi lembaga jasa keuangan yang bertransaksi dengan masyarakat. Itu terkait misalnya dengan usaha mikrofnance seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang melayani masyarakat. Sedangkan Usaha Koperasi Simpan Pinjam tidak melakukan transaksi dengan masyarakat. Artinya, RUU menyamakan Koperasi dengan Bank, itu tidak tepat.

Di lain pihak Pasal 6 UU 21/2011 tentang OJK tidak menunjukkan wewenang tugas OJK untuk mengatur dan mengawasi usaha sektor keuangan koperasi, sehingga upaya baru pengaturan OJK ikut serta dalam mengatur dan mengawasi usaha simpan pinjam koperasi sudah melanggar tugas OJK menurut UU. 

Pusat Koperasi CU Indonesia menyatakan sikapnya dalam siaran pers 17 November 2022. 



"Ada tiga alasan mengapa kami menolak RUU PPSK.
Pertama, alasan filosofis, bahwa:
1. Koperasi merupakan self regulated organization yang menempatkan manusia lebih tinggi dibandingkan modal, supreme di atas modal dan material. Koperasi merupakan organisasi berbasis orang (people-based association) yang berbeda dengan korporasi berbasis kumpulan modal (capital based).
2. Gerakan Koperasi seluruh dunia mengakui bahwa prinsip otonomi dan demokrasi adalah merupakan kekuatan masyarakat sendiri untuk mengatur diri sendiri (self help regulated).
3. Koperasi sejak Tahun 2016 telah diakui oleh PBB sebagai warisan bukan benda (intangible herritage) yang merupakan gerakan menolong diri sendiri melalui kerja sama (self help through mutual).

Kedua, alasan empiris sosiologis. Koperasi justru memiliki ketahanan (resiliance) karena diakui otonom dan memiliki cara kerja demokratis. Contoh di Jerman yang selama 90 tahun tidak pernah meminta dana talangan uang negara (bailout) padahal mereka adalah pembayar pajak juga. Kenapa bisa, karena dengan demokrasi Koperasi justru anggota turut mengambil tanggung jawab terhadap risiko bisnis yang itu berbeda dengan korporasi perbankan.

Ketiga, alasan yuridis, yakni:
(1). Koperasi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan sesuai dengan demokrasi ekonomi seperti yang disebut dalam pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.
(2). Tidak adanya pengakuan terhadap Koperasi untuk mendapatkan fasilitas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap badan hukum Koperasi yang merupakan badan hukum ficta persona yang diakui oleh negara. Sehingga RUU PPSK tahun 2022 telah melanggar pasal 28 huruf b Undang Undang Dasar 1945.
(3). Perluasan kewenangan LPS menurut RUU PPSK tahun 2022 Bagian Ketiga Pasal 3A dan Pasal 4 yang memberikan penjaminan terhadap asuransi adalah merupakan bentuk ‘pelegalan perampokan’ uang negara untuk kepentingan korporasi asuransi kapitalis.
(4). RUU PPSK tahun 2022 ini menjadikan kekebalan hukum terhadap pengambil kebijakan yang jelas melanggar konstitusi.
(5). Bentuk intervensi terhadap Gerakan Koperasi adalah pelanggaran terhadap otonomi dan demokrasi Koperasi (Pasal 191, pasal 298-305 RUU PPSK tahun 2022)."

Dewan Koperasi Indonesia sudah mengusulkan perubahan Pasal XII RUU PPSK dengan menghapus pasal-pasal yang tidak sesuai dengan hakekat dan praktek Koperasi utamanya psl 185-195 yang terlalu dalam mencampuri otonomi internal Koperasi . 

Deputi bidang Koperasi Kementerian Koperasi selanjutnya mencermati pasal-pasal 180-184 dan 196-205 mencatat hal-hal aneh campur tangan OJK misalnya mengenai izin operasi Koperasi skala menengah besar dari OJK, iuran pungutan OJK, laporan berkala di media (seperti lembaga keuangan publik) dll. Semua ini karena UU Koperasi no 25/1992 tidak dibaca atau dicermati lebih dulu oleh pembuat RUU sebagai konsiderans. Pada dasarnya pengawasan Koperasi dipercayakan kepada Kementerian Koperasi, dan sejauh ini tidak ada wacana pembagian wewenang dengan institusi lain, sehingga pasal-pasal pengawasan oleh OJK menggoyang keberadaan Kementerian Koperasi, walaupun kerjasama teknis dimungkinkan,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar