Pada bulan November umat Katolik diajak merenungkan tentang hidup yang terkait dengan kematian, tetapi juga hidup sesudah kematian dan perspektif "kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya, yang disebut Hari Tuhan, dan datangnya Kerajaan Allah. Tujuannya adalah agar kita berdoa memohon kepada Tuhan supaya kesetiaan dan harapan kita ditambah.
Sifat pemerintahan
Allah adalah adil. Dengan adil Ia memberikan pahala atau hukuman.
Dari awal mula, Kitab Suci menyatakan
dengan jelas bahwa manusia mempunyai tanggungjawab atas segala tindakannya.
Ketika Allah memberikan perintahnya yang pertama kepada Adam, Ia juga
menyatakan adanya konsekuensi: “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah
engkau akan mati” (Kej 2:17). Sepanjang Kitab Suci, entah dalam cerita atau
dalam hukum, terdapat prinsip dasar yang berlaku, “apa yang ditabur orang, itu
juga yang akan dituainya” (Gal 6:7). Karena Allah pada hakekatnya adalah adil,
keputusannya selalu adil (Kej 18:25; Ul 1:9-18; Yer 11:20). Seluruh tindakan
manusia tunduk pada keadilan ilahi, pikiran kita (1 Kor 4:5), perkataan (Mat
12:36), dan perbuatan kita (2 Kor 5:10).
Tetapi dasar keputusan keadilan Allah
bukanlah menghukum. Melainkan terutama mendidik. Tujuannya adalah mengubah
pribadi manusia. Di dalam Im 26, misalnya, Allah mengawali dengan menyatakan
akibat positif dari melaksanakan perintahnya (Im 26:3-12). Jika orang gagal, ia
akan berhadapan dengan suatu balasan “tujuh kali lipat”[1] – serangkaian
hukuman yang bertambah-tambah beratnya. Yang pertama adalah teguran lembut (Im
26:14-17) yang berfungsi sebagai panggilan agar bertobat. Jika pendosa tetap
melakukan pelanggaran, maka konsekuensi yang dihadapi akan lebih besar (Im
26:18-20), namun sasarannya tetap sama: pertobatan. Jika ia masih nekat juga,
hukumannya akan semakin berat lagi (Im 26:21-22). Namun Allah masih
mengharapkan mereka bertobat. Hanya dengan situasi kutuk dari Im 26:27-39 Ia
mengarah pada pembinasaan. Sekalipun begitu, ketika orang kehabisan asa,
“apabila mereka ada di negeri musuh mereka, Aku tidak akan menolak mereka dan
tidak akan muak melihat mereka, sehingga Aku membinasakan mereka dan
membatalkan perjanjianKu dengan mereka, sebab Akulah Tuhan, Allah mereka” (Im
26: 44).
Dengan demikian, balasan “tujuh kali
lipat” itu sebenarnya adalah belas kasih pengampunan “tujuh kali lipat”. Hakim
yang adil sangat sabar, keputusannya korektif membangun, ditujukan lebih pada perbaikan ketimbang menyakitkan.
Allah tentu saja juga memberikan hukuman
pada manusia, tetapi selalu dengan didahului peringatan yang didasari belas
kasihan. Para nabi sering mengumumkan datangnya semacam “hari Tuhan” (misalnya
Am 5:18-20; Zef 1:14-16), yaitu campur tangan Allah secara desisif menentukan
dalam sejarah manusia. Lebih-lebih lagi, para nabi sering memohonkan ampunan
bagi para pendosa, dengan harapan agar dapat menunda Allah turun tangan
menjatuhkan hukuman (mis Kej 18). Dan jika hari semacam itu datang juga, Allah
menghukum yang jahat, bukan orang benar, yang dari jenisnya dipertahankan
“sisa-sisa”.
Di dalam PB prerogatif ilahi ini,
pengadilan, ada di tangan Yesus. Dalam Mat 24-15, Yesus menyatakan diri sebagai
hakim bagi Yerusalem, dan kemudian hakim untuk seluruh umat manusia. Dalam
Injil Yohanes dengan lugas Ia menyatakan: “Aku datang ke dalam dunia untuk
menghakimi....” (Yoh 9:39), dan, “Bapa....menyerahkan penghakiman itu
seluruhnya kepada Anak” (Yoh 5:22). Di dalam Kisah Para Rasul, Paulus juga
mengenal Kristus sebagai “seorang” yang telah ditentukan oleh Allah “dengan
adil akan menghakimi dunia” (Kis 17:31). Kristus sendiri akan menghakimi
orang-perorangan berdasarkan perbuatannya: “Sebab kita semua harus menghadap
takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut
diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya, baik ataupun
jahat” (2 Kor 5:10, lihat juga Rm 2:6).
Keputusan keadilan Tuhan terpetakan di dalam
sejarah dan pada pelaksanaan sejarah. Sifatnya historis (misalnya kehancuran
Yerusalem yang telah dinubuatkan); liturgis (misalnya 1 Kor 11:28-32), dan
eskatologis (misalnya Mat 25; Why 20:11-12). Di dalam sejarah, Yesus membagikan
kuasa keadilanNya itu kepada hirarki Gereja: “apabila Anak Manusia bersemayam
di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas
dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28; lih juga
Luk 22:30).
Yohanes melukiskan pengadilan Tuhan dengan
serangkaian paradoks atau kontradiksi yang jelas. Ia menyatakan: “Allah
mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk
menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:17; bdk juga Yoh 12:47). Pada waktu yang
sama, Yesus menyatakan: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya
barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang
dapat melihat, menjadi buta” (Yoh 9:39). Sepertinya, Tuhan tidak menghakimi (Yoh
5:22) tetapi jelas Tuhan adalah hakim (Yoh 8:50); Yesus menyatakan bahwa Ia
tidak menghakimi (Yoh 8:15; 12:47) tetapi juga menyatakan bahwa Bapa tidak
menghakimi karena telah menyerahkan wewenang penghakiman itu kepada Anak (Yoh
5:22).
Kontradiksi-kontradiksi itu hanya
tampaknya saja; Yohanes menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang menentukan
hasil dari penghakimannya sendiri. Ayat-ayat kuncinya adalah di dalam Yoh
3:16-21, yang menyatakan kepada kita bahwa Yesus tidak menghakimi dunia
melainkan menyelamatkannya (bdk Yoh 8:15 dan 12:47). Tetapi serentak dengan
itu, Yesus datang ke dunia membawa pengadilan. Dosa “penguasa
dunia ini” telah dihukum (Yoh 16:11). Mereka yang tidak percaya – yang menolak
keselamatan yang diberikan oleh Yesus – menjatuhkan hukuman atas dirinya
sendiri (Yoh 3:18). Iman adalah anugerah dari Tuhan (Yoh 6: 37, 44) yang secara
bebas diterima atau ditolak (Yoh 6:66-70). Dunia dihukum pada saat ini juga, di
dalam penolakan atas Yesus, dan Yesus merupakan titik fokus pilihan, dasar dan
tujuan pengadilan. Maka sungguh dapat kita katakan bahwa Allah tidak
menghakimi, namun orang yang tidak percaya tetap dihukum oleh tindakannya
sendiri yang tidak percaya (Yoh 3:18; 5:24).
Pengadilan
juga merupakan tema utama di dalam Kitab Wahyu. Pengadilan dalam Kitab Wahyu
sering menakutkan, kaya dengan simbol-simbol, perutama pengadilan, binatang
buas, pengadilan iblis, pengadilan orang mati (Why 19:11—20:15). Pengadilan
dunia dimulai dengan dibukanya tujuh meterai (Why 6:1
– 8:5), yang berisi gambaran-gambaran yang hidup tentang empat penunggang kuda,
yang merupakan simbol pengadilan ilahi atas perang (kuda putih), pertumpahan
darah (kuda merah), kelaparan (kuda hitam), dan kematian (kuda hijau-kuning)
(Why 6:1-8). Siklus pengadilan dilengkapkan dengan ketujuh sangkakala (Why
15:1-16:21), yang memuncak dengan Pengadilan Terakhir (Why 20: 11-15; bdk Mat
25:32-46) (KGK 633-635; 677; 1038-1041).
Akhirnya, sementara Perjanjian Baru dengan jelas
berbicara tentang Pengadilan Terakhir, ia juga bicara tentang suatu jenis
pengadilan yang khusus: langsung setelah kematian, keputusan kekal atas setiap
jiwa yang terpisah ditentukan oleh keadilan Tuhan. Perumpamaan tentang Lazarus
yang miskin dan kata-kata Kristus kepada pencuri yang baik di atas Salib jelas
merujuk kepada jenis pengadilan khusus itu (Luk 16:22; 23:43; Mat 16:26; 2 Kor
5:8; Flp 1:23; Ibr 9:27; 12:23; bdk Kis 1:25; Why 20:4-6, 12-14) (KGK
1021-1022).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar