Dari bacaan Kitab Yesaya 4:2-6 pada Hari Senin Pekan I Adven Tahun A kita mendengar/membaca tentang Yerusalem yang disucikan dan dilindungi. Mari kita lihat catatan tentang Yerusalem.
Yerusalem dihormati sebagai “kota suci” oleh tiga agama monoteis besar: agama Kristen, agama Yahudi, dan agama Islam. Yerusalem merupakan salah satu di antara kota-kota tertua di dunia. Pentingnya Yerusalem bisa diduga tanpa berlebihan: merupakan pusat berbagai kejadian yang berhubungan dengan Perjanjian Lama, dan terus penting secara teologis dalam Perjanjian Baru.
Selain dari fungsinya sebagai ibukota politis Israel, Yerusalem juga merupakan pusat keagamaan bangsa Israel, karena di dalamnya terdapat tempat kudus dari Tuhan, Bait Allah. Hancurnya kota itu oleh bangsa Babilonia pada tahun 586 SM mungkin merupakan bencana yang paling besar. Yerusalem dicintai sebagai lambang aspirasi keagamaan dan nasional Yahudi. Dalam Perjanjian Baru, kota itu merupakan tipologi dari Yerusalem surgawi yang baru (Why 21:2.10).
I. Nama
II. Geografi
III. Sejarah
IV. Nilai Teologis
A. Yerusalem dalam Perjanjian Lama
B. Yerusalem dalam Perjanjian Baru
I. Nama
Nama kota itu berasal dari
masa pra-Israel. Rujukan tulisan paling kuno yang dapat diketahui pada Teks
Eksekrasi Mesir dari abad kedelapan belas SM menyebut Rushalimun; Surat-surat [Tell] Amarna dari abad keempatbelas SM
menyebut Urushalim [Dalam bahasa
Akkadia. Meninggalkan jejak dalam bahasa Arab setempat yang menyebut Yerusalem Urshalim]. Nama Ibrani Yerusalaim mungkin merupakan pengucapan
yang asli (kadang-kadang diubah menjadi yerusalayim
[transliterasi resmi yang berlaku sekarang]). Ada yang memahami makna nama itu
sebagai “dasar dari Salem”. Salem adalah nama dewa Semit dalam mitologi Ugarit.
Namun akhirnya nama itu dikaitkan dengan kata Ibrani salom, “damai” (bdk Ibr 7:2). Kej 14:18 menyebut Melkisedek, raja
Salem (sebutan singkat Yerusalem), sebagai rujukan pertama Yerusalem dalam
Kitab Suci. Mzm 76:2 mengaitkan Salem dengan Sion sebagai tempat kediaman
Tuhan; Yerusalem disebut “Sion” ketika Daud merebut kota itu (2Sam 5:6-7)
menjadi miliknya.
Karena kota itu didiami oleh orang-orang Yebus hingga Daud
menaklukkannya, Yerusalem kadang-kadang disebut Yebus dalam sejarah penaklukan
Kanaan (Yos 15:8; 18:28; Hak 19:10; 1 Taw 11:4-5).
II. Geografi
Yerusalem terletak pada
suatu dataran tinggi kapur kira-kira 32 kilometer di sebelah barat Laut Mati
dan 48 kilometer sebelah timur pantai Laut Tengah pada suatu rangkaian paralel di
jajaran pegunungan tengah Palestina. Ketinggian rata-rata perbukitan sekeliling
Yudea adalah 2300 kaki atau 700 meter di atas permukaan laut. Kota itu dibatasi
oleh lembah-lembah curam di ketiga sisinya – Lembah Kidron di sebelah timur,
yang membagi kota dari Bukit Zaitun, dan Lembah Hinom di sebelah selatan dan
barat, yang berfungsi sebagai benteng pertahanan alamiah. Maka karena letaknya
itu Yerusalem sangat sulit ditaklukkan, karena hanya dapat diserbu dari utara.
III. Sejarah
Sejarah awal Yerusalem tidak
diketahui. Teks Eksekrasi Mesir setidaknya melacak keberadaan tempat itu hingga
abad kedelapan belas SM, maka kita tahu bahwa kota itu sudah ada pada awal
milenimum kedua SM. Arkeologi berhasil menegaskan adanya pemukiman-pemukiman
yang paling tua di sebelah timur bukit. Ada kemungkinan besar bahwa Salem yang
disebut dalam Kej 14:8 tidak lain adalah “puncak Moria”, tempat di mana Tuhan
memerintahkan Abraham untuk menjadikan anaknya, Ishak, sebagai korban
persembahan (Kej 22:2-4), dan tempat di mana Salomo membangun Bait Allah (2 Taw
3:1).
Dalam kitab Kejadian, Salem adalah kota dari Melkisedek (Kej
14:18; bdk Ibr 7:1.8). Salem sama dengan Yerusalem melalui paralel penggunaan
sebutan Sion (Mzm 76:3). Yosephus (Ant., 1.180) menyatakan bahwa Yerusalem adalah
sama dengan kota kuno Salem.
Pada masa penaklukan Kanaan, Yerusalem merupakan kota suku
Amorit di bawah Adonisedek. Raja itu membuat persekutuan untuk melawan Yosua,
tetapi koalisinya dikalahkan (Yos 10:1-11). Namun bangsa Israel tidak bisa
merebut Yerusalem, mungkin karena pertahanan alamiahnya. Orang-orang Yebus
tetap menguasai daerah itu pada tahun-tahun permulaan pendudukan Kanaan, tetapi
menurut Hak 1:8, setidaknya sebagian dari kota sudah jatuh ke tangan suku
Yehuda. Suku Benyamin berusaha mengusir orang-orang Yebus untuk selamanya namun
juga terpaksa harus hidup bersama dengan mereka (Hak 1:21).
Kekuasaan orang Yebus atas Yerusalem masih berlangsung pada
waktu Daud naik tahta atas Israel, tetapi kemudian Daud berhasil merebut kota
itu seluruhnya. Ini terlaksana, tampaknya dengan serangan mendadak yang
dipimpin Yoab “melalui saluran air” (2 Sam 5:6-9; 1 Taw 11:4-6). Setelah
merebut kota itu Daud menjadikannya sebagai ibukota. Dan keputusan itu tepat.
Bukan hanya karena kota itu kuat pertahanannya, tetapi letaknya juga tepat pada
perbatasan antara wilayah suku Yehuda dan suku Benyamin. Ini membuat kota itu
secara politik netral dan jauh ke tengah sehingga akan sulit direbut oleh
suku-suku utara.
Daud memperkuat pertahanan Yerusalem dan menjadikannya pusat
pemerintahan. Ia juga memindahkan tabut perjanjian ke Yerusalem, dan
memantapkan Yerusalem sebagai ibukota keagamaan Israel. Salomo menyelesaikan
perkembangan ini dengan membangun Bait Allah.
Ketika suku-suku utara mengalami kemunduran (lihat Kerajaan Israel), Yerusalem menjadi ibukota Yehuda. Lalu kota itu mengalami kesulitan karena keputusan-keputusan yang buruk dan ketidaksetiaan raja-raja Yehuda. Bait Allah dan istana dirusak oleh pasukan Mesir (1Raj 14:25-28), dan Yerusalem mendapat serangan dari Siria dan Israel, Kerajaan Utara (2Raj 14:11-14; 2Taw 25:21-24), gempuran dari Asyur (2Raj 18:13-19; 2Taw 32:1-22; Yes 36-37), dan akhirnya dilindas Babilonia (2 Raj 24:1-25:21). Beberapa raja seperti Uzia dan Hizkia berusaha memperkuat pertahanan dan memperbaiki persediaan air bagi kota. Yerusalem secara ajaib luput dan kehancuran dahsyat seperti yang menimpa kerajaan utara, tetapi bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Asyur, munculnya Babilonia menghadapkan ancaman baru yang bahkan lebih berat.
Yerusalem dikepung pertama kali oleh Nebukadnezar pada tahun 597 SM (2 Raj 24:10-17). Dan kemudian,
setelah melakukan kepungan selama delapan belas bulan, bangsa Babilonia
menguasai Yerusalem pada tahun 586 SM. Kota Yerusalem mengalami kerusakan yang
sangat parah karena konflik itu, dan Nebukadnezar membuang penduduknya yang
masih hidup, dan hanya meninggalkan sebagian kecil penduduk yang terdiri dari
para petani miskin (2 Raj 25:1-17).
Sesudah bangsa Persia menaklukkan Babilon pada tahun 539 SM, Koresh Agung mengizinkan orang Yahudi
pulang ke Yerusalem dan membangun Bait Allah yang baru pada tahun 538 SM (Ezr
1-7; Neh 1-4). Tembok kota diperbaiki lagi di bawah Nehemia pada tahun 445 SM.
Ptolemeus dari Mesir menguasai Yerusalem setelah Aleksander
Agung mati pada abad keempat SM, dan Palestina jatuh ke tangan Dinasti Seleukus
di bawah Antiokhus II Teos di tahun 198 SM. Orang Seleukus di bawah Antiokhus
IV Epifanes memasuki Yerusalem, menistakan Bait Allah dan meruntuhkan
tembok-temboknya; suatu pasukan Siria ditinggalkan untuk melakukan penjagaan.
Usaha agresif untuk menyebarkan pengaruh budaya Yunani, Helenisasi, atas
penduduk Yahudi menimbulkan pemberontakan Makabe. Bait Allah disucikan lagi
pada tahun 164 SM (1 Mak 4:36-59).
Setelah Makabe memeroleh kemerdekaan bagi orang Yahudi, Dinasti
Hasmona memerintah di Yerusalem sampai datangnya pasukan Roma pada tahun 63 SM.
Pada waktu itu, Pompeyus Agung merebut Yerusalem dan memulai pemerintahan Roma
yang akan berlangsung selama berabad-abad. Herodes
Agung dijadikan raja bawahan Roma dan bertanggungjawab atas pelaksanaan
beberapa proyek pembangunan besar di kota, termasuk suatu benteng tentara
(Antonia; Kis 21:34) dan terutama pembangunan Bait Allah baru (Yoh 2:20).
Pemberontakan Yahudi pada tahun 66 M berakhir dengan hancurnya
Yerusalem pada tahun 70 oleh pasukan Roma di bawah pimpinan Titus, putera
Kaisar Vespasianus. Dalam suatu pertempuran habis-habisan yang memakan banyak
korban, pasukan Roma meratakan kota dengan tanah. Bait Allah dihancurkan dan
tak pernah bisa dibangun kembali hingga hari ini.
Yerusalem sekali lagi menjadi medan pertempuran pada waktu
pemberontakan Simon Bar Kokhba (tahun 132-135) melawan Roma. Sesudahnya, di
atas puing-puing Yerusalem dibangun suatu kota yang baru, Aelia Capitolina,
suatu kota metropolis kafir yang dipersembahkan untuk dewa Jupiter Capitolinus.
Orang Yahudi dilarang masuk kota itu sampai zaman pemerintahan Konstantin Agung
(meninggal tahun 337 M). Sejak zaman Konstantin Yerusalem menjadi pusat peziarahan
umat Kristen, dihormati sebagai tempat sengsara dan kebangkitan Kristus.
IV. Nilai Teologis
A. Yerusalem dalam Perjanjian Lama
Yerusalem memang
kedudukannya sungguh penting, bukan hanya karena secara politik merupakan
tempat kedudukan Dinasti Daud, tetapi karena di situlah Bait Allah berada,
sehingga menjadi pusat ibadat Israel. Yerusalem merupakan kota kudus, tempat
yang dipilih Tuhan untuk berada di tengah-tengah umat: “Di Yerusalem Aku akan
menaruh nama-Ku” (2 Raj 21:4; bdk 1 Raj 11:13; 2 Raj 23:27). Maka ketika para
nabi berseru bahwa kota itu akan dihncurkan karena ketidak setiaan Israel,
mereka memandangnya lebih dari sekedar bencana manusia: mereka melihatnya juga
sebagai akhir yang dahsyat dari ibadat
kepada Tuhan (Yer 9:11; Yeh 4-5; Mi 3:12).
Nubuat-nubuat ini terjadi tetapi Yerusalem tetap ada di hati
bangsa Israel. Para nabi selama dan sesudah Pembuangan menyatakan harapan akan
suatu Yerusalem yang dipulihkan. Tuhan akan kembali dan sekali lagi berkenan
tinggal di BaitNya yang Kudus. Kota itu kan menjadi ibukota Kerajaan Mesias,
dan semua bangsa akan dihadapkan pada Tuhan (Yes 2:1-5; 49:14-18; 52:1-10; bab
60-62; 65:17-25; Yer 31:38-40; Mi 4:1-4; Hag 2:7).
B. Yerusalem dalam Perjanjian Baru
Bagaimana pentingnya
Yerusalem bagi Yesus tampak dalam Injil-injil, dan keempat penulis Injil
mencatat bahwa karya Yesus bergerak ke arah Yerusalem, kota kudus, sebagai
tempat bagi Sengsara, Wafat dan KebangkitanNya. Yesus memberitahukan
kematianNya di kota itu dengan kata-kata: “sebab tidaklah semestinya seorang
nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem. Yerusalem, Yerusalem, engkau yang
membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu!
Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam
mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Luk
13:33-34; bdk Mrk 10:32-34). Yesus menyatakan bahwa para nabi dibunuh di kota
itu dan membayangkan kota itu dikepung oleh tentara (Luk 21:20|) dan
dihancurkan oleh pasukan musuh (Luk 19:41-44).
Namun Yesus memasuki Yerusalem dengan jaya sebagai Mesias,
putera Daud (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-11; bdk Za 9:9). Kota kudus itu merupakan
titik sumber darimana Injil mulai diwartakan kepada seluruh dunia (Luk 24:47;
Kis 1:18). Yerusalem adalah tempat di mana Roh Kudus dicurahkan pada waktu
Pentakosta dan tempat di mana jemaat Kristen perdana terbentuk (Kis 2:1-13).
Visiun kenabian mengenai Yerusalem yang dimuliakan di dalam
Perjanjian Lama jauh melebihi realitas dari Yerusalem yang dipugar setelah
zaman Pembuangan. Maka kita diajak
untuk merenungkan realitas yang lebih besar lagi, suatu Yerusalem surgawi –
kota kudus sejati dan pusat ciptaan baru Allah – yang dilambangkan oleh kota Yerusalem duniawi tetapi tidak sama
dengannya. Sion duniawi itu merupakan model dari gunung surga yang di atasnya
Yerusalem Baru akan didirikan (Gal 4:26; Ibr 12:22), dan bersamaan kota itu
merupakan tempat mulia di mana orang-orang yang telah ditebus dihimpun di
hadapan Tuhan (Yes 4:2-6; Yl 3:17; Ob 21; Mi 4;1-7; Why 14:1). Yerusalem Baru
dilukiskan dalam Why 3:12 dan 21:1-22:5. Dalam Why 3:12 Yerusalem Baru
dijanjikan kepada jemaat kaum beriman Filadelfia jika mereka tetap setia kepada
Sabda Kristus (bdk Why 21:7). Dalam Why 21:1-22:5 Yerusalem mewakili Gereja,
Mempelai Anak Domba, yang dengannya Yesus mengikatkan Diri (Why 21:9-21; bdk Ef
5:25-26; Why 19:7-9). Kota surgawi yang
dibangun oleh Allah (bdk Ibr 11:10) mengizinkan Gereja yang memuji memadukan
suara dengan ibadat surga dalam memuliakan Allah dan Anak Domba (KGK 757, 865).
Marilah kita bangunkan Bait Suci Ketiga di puncak Gunung Moria
BalasHapus