SCOTT HAHN
Sakramen
Kitab
Ada suatu
tradisi kuno yang menceritakan kisah Santo Romanos Penggubah Lagu, komposer
homili dalam bentuk lagu dari abad keenam, dan bagaimana ia menerima
panggilannya.
Ia lahir di Siria, seorang anak
yang saleh yang mencintai rumah Allah. Sejak usia muda ia sudah melayani
Gereja, mula-mula sekedar untuk menyalakan lampu-lampu, dan menyiapkan dupa
untuk liturgi. Ketika bertambah besar, ia mengikuti pendidikan di Beirut, dan
di sana ia ditahbis sebagai diakon.
Romanos adalah tipe mahasiswa cum amore, yang bisa mendapat nilai baik karena para pengajar menghargai kegigihan
usahanya. Ia punya tekat kuat, dan tekatnya itu memampukan dia melaknakan
karya-karya baik kendati kecerdasannya hanya sedang-sedang saja. Sesudah tiga
tahun di Beirut, ia pindah melayani Gereja di ibukota kekaisaran,
Konstantinopel.
Ia cukup rendah hati mengakui kekurangannya,
dan ia menerima kekurangan-kekurangan itu. Sesungguhnya, ia menggunakan istilah
“yang hina” sebagai sebutan untuk dirinya. Namun ia ingin sekali memuliakan
Tuhan seperti para diakon yang adalah penyanyi-penyanyi yang lebih baik. Musik
merupakan bagian yang penting dalam liturgi suci, terutama di Gereja Timur.
Sedih hati Romanos sebab mutu musik dalam ibadat yang dipimpinnya begitu rendah
dibanding ibadat yang dipimpin teman-temannya.
Ia berdoa kepada Tuhan memohon agar
Tuhan menganugerahkan rahmat dalam hal ia punya kekurangan, baik karena kodrat
maupun dalam didikan. Pada suatu malam selagi berdoa ia jatuh tertidur, dan ia
bermimpi dikunjungi Santa Perawan Maria. Bunda Maria mengulurkan suatu gulungan
kitab dan berkata kepadanya: “Ambil dan makanlah!” Ia melakukan apa yang
diperintahkan kepadanya. Ia menyantap gulungan kitab itu. Lalu ia bangun, dan
dengan segera ia tahu apa yang harus dilakukan.
Ia mengenakan pakaiannya dan lari
ke Gereja. Ia naik ke atas mimbar dan mulai menyanyikan homili tentang
kelahiran Yesus. Lagu yang dinyanyikannya sekarang dikenal sebagai
“maha-karya”-nya – salah satu dari ribuan kalimat homili (kontakia) yang
digubahnya pada masa hidupnya. Seribu lima ratus tahun kemudian, karya-karyanya
masih dinyanyikan hingga sekarang di hari-hari raya Gereja.
****
Santap Sabda. Bahkan pembaca biasa pun mungkin
dapat mengenali penampakan yang dialami St Romanos sebagai kisah kejadian atau
gambaran yang biasa terdapat di dalam bacaan mistik. Dalam contoh yang lebih
tua lagi, nabi Yehezkiel (Yeh 2:9-3:4) mengungkapkan perjumpaan serupa dengan
malaikat ilahi:
Aku melihat, sesungguhnya ada tangan
yang terulur kepadaku, dan sungguh, dipegang-Nya sebuah gulungan kitab, lalu
dibentangkan-Nya di hadapanku. Gulungan kitab itu ditulisi timbal balik dan di
sana tertulis nyanyian-nyanyian ratapan, keluh kesah dan rintihan. Firman-Nya
kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini;
makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum
Israel." Maka kubukalah mulutku dan
diberikan-Nya gulungan kitab itu kumakan. Lalu firman-Nya kepadaku: "Hai
anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah
perutmu dengan itu." Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu
dalam mulutku. Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, mari, pergilah dan
temuilah kaum Israel dan sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka”.
Kisah demikian terjadi lagi dalam
Perjanjian Baru, dalam adegan Yohanes si pelihat yang berjumpa dengan “malaikat
yang kuat” yang turun dari surga, “berselubungkan awan, dan pelangi ada di atas
kepalanya”, mukanya “sama seperti matahari, dan kakinya bagaikan tiang api”
(Why 10:1dst).
Dalam tangannya ia memegang sebuah
gulungan kitab kecil yang terbuka…. Lalu aku pergi kepada malaikat itu dan
meminta kepadanya, supaya ia memberikan gulungan kitab itu kepadaku. Katanya
kepadaku: "Ambillah dan makanlah dia; ia akan membuat perutmu terasa
pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis seperti madu." Lalu
aku mengambil kitab itu dari tangan malaikat itu, dan memakannya: di dalam
mulutku ia terasa manis seperti madu, tetapi sesudah aku memakannya, perutku
menjadi pahit rasanya. Maka ia berkata kepadaku: "Engkau harus bernubuat
lagi kepada banyak bangsa dan kaum dan bahasa dan raja."
Memakan
kitab adalah suatu episode yang jelas ganjil, dan bertambah menakjubkan karena
terjadi bukan di satu teks kitab suci saja, tetapi di dua kitab. Tidak
mengherankan jika kemudian hal itu menarik perhatian banyak komentator di kalangan
jemaat Kristen di masa awal. Pada waktu mendapat penampakan, di tahun 518,
Romanos yang hidup di dalam suatu komunitas biara, tentulah sudah pernah
mendengar karya-karya para penafsir besar yang dibacakan berulang kali. Maka
tentulah ia sedikit pun tidak menyangsikan makna mimpinya.
Santo Hippolitus dari Roma, pada
abad ketiga, adalah salah seorang komentator kitab suci masa awal yang menghasilkan
banyak ulasan komentar tebal. Ia menulis bahwa gulungan kitab, yang ditulisi di
kedua muka, depan dan belakang, “menandakan nabi-nabi dan rasul-rasul. Pada
gulungan kitab itu Perjanjian Lama ditulis di satu muka, dan Perjanjian Baru di
sebaliknya”. Lebih dari itu, gulungan kitab itu menyimbolkan, “ajaran rohani
rahasia… Ada semacam hubungan antara membaca bagian muka dengan memahami sebaliknya”.
Maka ada hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan hanya orang
yang menyantapnya yang dapat melihat hubunga itu.
Bagi Santo Hieronimus, teks
Yehezkiel berisi pesan khusus untuk para pengkhotbah: “Tanpa menyantap buku
yang terbuka itu terlebih dahulu, kita tak dapat mengajar anak-anak Israel”.
Dalam generasi pasca-Romanos,
Santo Gregorius Agung mengalami ketakjuban serupa hingga berulangkali membaca
teks nabi Yehezkiel itu. Gregorius, yang
adalah seorang paus dan pembaharu liturgi, juga seorang ahli tafsir yang
mendalam. Dalam karyanya, Komentar atas Kitab Yehezkiel, ia menulis: “Apa yang
dijanjikan Perjanjian Lama, diwujudnyatakan Perjanjian Baru. Yang diwartakan
dengan cara tersembunyi oleh yang terdahulu, dinyatakan secara terbuka oleh
yang kemudian bahwa sudah hadir. Maka Perjanjian Lama merupakan nubuat
Perjanjian Baru; dan penjelasan terbaik untuk Perjanjian Lama adalah Perjanjian
Baru.”
Bagi para Bapa Gereja – mulai
dari Hippolitus sampai Romanos dan Gregorius – maknanya amat sangat jelas:
Keselamatan datang dalam rupa suatu Perjanjian (sama dengan bahasa Latin
Testamentum); dan perjanjian itu harus disantap agar dapat dibagikan.
*******
Bagi umat
kristiani Katolik pada abad pertama maupun pada abad ke duapuluhsatu,
kisah-kisah mistik selalu membangkitkan misteri sakramental. Dalam
contoh-contoh yang saya sampaikan sejauh ini tak ada bedanya. Kitab visioner
nabi Yehezkiel dan Wahyu Yohanes sangat kaya dengan lukisan liturgis. Yehezkiel
masih terfokus pada Bait Allah. Sedang Yohanes memandang baik surga maupun
sejarah dalam hal liturgi kurban: altar dan imam, piala dan pedupaan, terompet
dan lagu-lagu pujian, memuncak pada perjamuan suci. Di kedua kitab itu, adegan
menyantap kitab terjadi di tengah pengalaman akan ibadat surgawi.
Dalam tutur Yohanes, dan di
kemudian nanti dalam kisah Gereja tentang hidup Romanos, terdapat warna dasar
Ekaristi. Keduanya dipanggil dan disuruh “ambil” dan “makan”, dua kata kerja
yang terdapat dalam kisah penetapan Ekaristi sejak abad pertama (misalnya lih.
Mat 26:26). Mereka menerima perjanjian sebagai kata-kata, dan kemudian
mengambil dan memakan “sabda” sebagai makanan, santapan.
Pada abad ketiga, Origenes, guru
besar dari Aleksandria, telah berbicara mengenai pernyataan alkitabiah itu
sebagai analog dari komuni sakramental:
Kalian yang terbiasa menghadirkan misteri ilahi tentu tahu, bagaimana
ketika menerima tubuh Tuhan, kalian menjaganya dengan sangat hati-hati dan
hormat, agar tidak ada remah sekecil apapun yang tercecer, agar tidak ada
bagian dari anugerah suci itu hilang. Sebab kalian sendiri yakin bahwa kalian
bersalah, dan memang demikian, jika ada remah yang jatuh karena sikap kalian
yang kurang hati-hati. Namun jika kalian begitu cermat dan hati-hati menjaga
tubuh-Nya, dan sungguh demikian, mengapa kalian mengira tidak begitu bersalah
jika melalaikan sabda Allah, jika dibanding dengan melalaikan tubuh-Nya?
Bagi
Origenes, ada kualitas sakramen pada gulungan kitab. Kitab itu harus dipegang
dan disantap dengan rasa hormat dan kehati-hatian yang sama seperti roti
Ekaristi – namun juga disertai rasa lapar sejati.
Baik pada roti maupun pada sabda
terdapat kehadiran nyata. Baik dalam pewartaan maupun dalam sakramen, kerajaan
datang bersama dengan sang Raja sendiri. Paus Emeritus Benediktus XVI menulis, “Maka kita
semakin tumbuh dalam kesadaran, yang sudah begitu jelas bagi para Bapa Gereja,
bahwa pewartaan sabda isinya adalah Kerajaan Allah (bdk Mrk 1:14-15), yang
dalam istilah Origenes yang tak terlupakan, adalah pribadi Yesus sendiri (autobasilea).”
Inilah kebenaran yang dikenal
Romanos da Hieronimus, Gregorius Agung dan yang dialami oleh Yohanes Rasul,
serta yang dinubuatkan Yehezkiel. Keselamatan datang dalam rupa perjanjian –
suatu perjanjian yang terwujud dalam Sabda, Sabda yang menjadi manusia, Sabda
yang dimakan.
Para nabi dan pelihat berbicara
kepada kita menggunakan gambaran-gambaran, dan gambar yang mereka lukiskan itu
membawa misteri di dalamnya. Begitu kita mendekat pada pemahaman akan misteri
itu, kita harus menggunakan kata-kata untuk bicara tentang mereka. Allah
menciptakan kita untuk berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata. Ia sendiri
menciptakan aspek kodrati manusia ini dan memanfaatkannya ketika Ia mengilhami
Kitab Suci – yang secara harafiah adalah hai
graphai, “tulisan-tulisan”. Bagi Yehezkiel dan Yohanes Rasul, Allah
memateri sabda-Nya pada suatu gulungan kitab sebelum mengundang mereka untuk
memakannya.
Allah mewahyukan diri dan
memberikan diri-Nya dalam gulungan kitab. Namun, apa yang dulunya dimulai
sebagai puisi, kini kita biarkan saja berubah menjadi jargon; dan begitulah
maka istilah-istilah Yunani-Latin “covenant”, testament,” (keduanya =
perjanjian), “liturgi” dan “Ekaristi”, semuanya adalah kata-kata biasa
sehari-hari yang dulunya mampu menggerakkan para leluhur kita untuk menyanyi,
sekarang bahkan turun lagi martabatnya sebagai jajaran kosa-kata teknis belaka.
Boleh jadi hal ini bukan soal
baru, namun sudah merupakan cobaan berabad-abad lamanya. Namun penemuan kita
akan “kebaruan” kata-kata itu, New Testament,
New Covenant, Perjanjian Baru, terutama sangatlah penting dan
mendesak sekarang, ketika Gereja sedang mulai melancarkan upaya Evangelisasi Baru.
Evangelisasi merupakan suatu
proses yang dinamis, di mana kita membagikan Injil (Kabar Baik) kepada orang
lain. Namun kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki lebih dulu.
Nabi Yehezkiel lebih dahulu memakan kata-kata untuk pesan-pesan kenabiannya.
Begitu pula Yohanes Rasul mengambil dan memakannya. Romanus memakan gulungan,
mencernanya, dan menjadikannya bagian dari dirinya; baru kemudian ia membagikan
kepada orang lain apa yang telah diterimanya. Mereka itulah orang-orang pertama
yang mengenal komuni Sabda, dan hanya dengan demikian mereka mampu mewartakan
Sabda itu ke seluruh dunia.
Kita semua perlu merasakan lagi
apa yang dulu dirasakan oleh Nabi Yehezkiel, citarasa perjamuan Yohanes Rasul,
citarasa nyanyian Romanos. Itulah alasannya mengapa saya menulis buku ini:
untuk memelajari beberapa istilah Kristiani yang sifatnya mendasar, untuk mendapatkan
makna istilah-istilah itu menurut para penulis suci, para rasul pengkhotbah,
dan para pendengar mereka yang pertama. Jika kita menyantap Sabda sesuai dengan
yang mereka maksudkan ketika mereka dulu melayani Sang Sabda, niscayalah kita
pun dapat diubah sebagaimana para murid perdana dulu telah diubah, dan kemudian
mungkin dunia kita pun dapat dijadikan kembali dan diperbarui sebagaimana dunia
para murid perdana dulu telah dijadikan kembali dan diperbarui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar