Daftar Blog Saya

Rabu, 02 November 2022

SAKRAMEN KITAB

 SCOTT  HAHN

Sakramen Kitab

Ada suatu tradisi kuno yang menceritakan kisah Santo Romanos Penggubah Lagu, komposer homili dalam bentuk lagu dari abad keenam, dan bagaimana ia menerima panggilannya.

               Ia lahir di Siria, seorang anak yang saleh yang mencintai rumah Allah. Sejak usia muda ia sudah melayani Gereja, mula-mula sekedar untuk menyalakan lampu-lampu, dan menyiapkan dupa untuk liturgi. Ketika bertambah besar, ia mengikuti pendidikan di Beirut, dan di sana ia ditahbis sebagai diakon.

               Romanos adalah tipe mahasiswa cum amore, yang bisa mendapat nilai baik karena para pengajar menghargai kegigihan usahanya. Ia punya tekat kuat, dan tekatnya itu memampukan dia melaknakan karya-karya baik kendati kecerdasannya hanya sedang-sedang saja. Sesudah tiga tahun di Beirut, ia pindah melayani Gereja di ibukota kekaisaran, Konstantinopel.

                Ia cukup rendah hati mengakui kekurangannya, dan ia menerima kekurangan-kekurangan itu. Sesungguhnya, ia menggunakan istilah “yang hina” sebagai sebutan untuk dirinya. Namun ia ingin sekali memuliakan Tuhan seperti para diakon yang adalah penyanyi-penyanyi yang lebih baik. Musik merupakan bagian yang penting dalam liturgi suci, terutama di Gereja Timur. Sedih hati Romanos sebab mutu musik dalam ibadat yang dipimpinnya begitu rendah dibanding ibadat yang dipimpin teman-temannya.

               Ia berdoa kepada Tuhan memohon agar Tuhan menganugerahkan rahmat dalam hal ia punya kekurangan, baik karena kodrat maupun dalam didikan. Pada suatu malam selagi berdoa ia jatuh tertidur, dan ia bermimpi dikunjungi Santa Perawan Maria. Bunda Maria mengulurkan suatu gulungan kitab dan berkata kepadanya: “Ambil dan makanlah!” Ia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ia menyantap gulungan kitab itu. Lalu ia bangun, dan dengan segera ia tahu apa yang harus dilakukan.

               Ia mengenakan pakaiannya dan lari ke Gereja. Ia naik ke atas mimbar dan mulai menyanyikan homili tentang kelahiran Yesus. Lagu yang dinyanyikannya sekarang dikenal sebagai “maha-karya”-nya – salah satu dari ribuan kalimat homili (kontakia) yang digubahnya pada masa hidupnya. Seribu lima ratus tahun kemudian, karya-karyanya masih dinyanyikan hingga sekarang di hari-hari raya Gereja.

****



Santap Sabda. Bahkan pembaca biasa pun mungkin dapat mengenali penampakan yang dialami St Romanos sebagai kisah kejadian atau gambaran yang biasa terdapat di dalam bacaan mistik. Dalam contoh yang lebih tua lagi, nabi Yehezkiel (Yeh 2:9-3:4) mengungkapkan perjumpaan serupa dengan malaikat ilahi:

Aku melihat, sesungguhnya ada tangan yang terulur kepadaku, dan sungguh, dipegang-Nya sebuah gulungan kitab, lalu dibentangkan-Nya di hadapanku. Gulungan kitab itu ditulisi timbal balik dan di sana tertulis nyanyian-nyanyian ratapan, keluh kesah dan rintihan. Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel."  Maka kubukalah mulutku dan diberikan-Nya gulungan kitab itu kumakan. Lalu firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu." Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku. Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, mari, pergilah dan temuilah kaum Israel dan sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka.

 Kisah demikian terjadi lagi dalam Perjanjian Baru, dalam adegan Yohanes si pelihat yang berjumpa dengan “malaikat yang kuat” yang turun dari surga, “berselubungkan awan, dan pelangi ada di atas kepalanya”, mukanya “sama seperti matahari, dan kakinya bagaikan tiang api” (Why 10:1dst).

Dalam tangannya ia memegang sebuah gulungan kitab kecil yang terbuka. Lalu aku pergi kepada malaikat itu dan meminta kepadanya, supaya ia memberikan gulungan kitab itu kepadaku. Katanya kepadaku: "Ambillah dan makanlah dia; ia akan membuat perutmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis seperti madu." Lalu aku mengambil kitab itu dari tangan malaikat itu, dan memakannya: di dalam mulutku ia terasa manis seperti madu, tetapi sesudah aku memakannya, perutku menjadi pahit rasanya. Maka ia berkata kepadaku: "Engkau harus bernubuat lagi kepada banyak bangsa dan kaum dan bahasa dan raja."

 

Memakan kitab adalah suatu episode yang jelas ganjil, dan bertambah menakjubkan karena terjadi bukan di satu teks kitab suci saja, tetapi di dua kitab. Tidak mengherankan jika kemudian hal itu menarik perhatian banyak komentator di kalangan jemaat Kristen di masa awal. Pada waktu mendapat penampakan, di tahun 518, Romanos yang hidup di dalam suatu komunitas biara, tentulah sudah pernah mendengar karya-karya para penafsir besar yang dibacakan berulang kali. Maka tentulah ia sedikit pun tidak menyangsikan makna mimpinya.

               Santo Hippolitus dari Roma, pada abad ketiga, adalah salah seorang komentator kitab suci masa awal yang menghasilkan banyak ulasan komentar tebal. Ia menulis bahwa gulungan kitab, yang ditulisi di kedua muka, depan dan belakang, “menandakan nabi-nabi dan rasul-rasul. Pada gulungan kitab itu Perjanjian Lama ditulis di satu muka, dan Perjanjian Baru di sebaliknya”. Lebih dari itu, gulungan kitab itu menyimbolkan, “ajaran rohani rahasia… Ada semacam hubungan antara membaca bagian muka dengan memahami sebaliknya”. Maka ada hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan hanya orang yang menyantapnya yang dapat melihat hubunga itu.

               Bagi Santo Hieronimus, teks Yehezkiel berisi pesan khusus untuk para pengkhotbah: “Tanpa menyantap buku yang terbuka itu terlebih dahulu, kita tak dapat mengajar anak-anak Israel”.

               Dalam generasi pasca-Romanos, Santo Gregorius Agung mengalami ketakjuban serupa hingga berulangkali membaca teks nabi Yehezkiel itu.  Gregorius, yang adalah seorang paus dan pembaharu liturgi, juga seorang ahli tafsir yang mendalam. Dalam karyanya, Komentar atas Kitab Yehezkiel, ia menulis: “Apa yang dijanjikan Perjanjian Lama, diwujudnyatakan Perjanjian Baru. Yang diwartakan dengan cara tersembunyi oleh yang terdahulu, dinyatakan secara terbuka oleh yang kemudian bahwa sudah hadir. Maka Perjanjian Lama merupakan nubuat Perjanjian Baru; dan penjelasan terbaik untuk Perjanjian Lama adalah Perjanjian Baru.”

               Bagi para Bapa Gereja – mulai dari Hippolitus sampai Romanos dan Gregorius – maknanya amat sangat jelas: Keselamatan datang dalam rupa suatu Perjanjian (sama dengan bahasa Latin Testamentum); dan perjanjian itu harus disantap agar dapat dibagikan.

*******

Bagi umat kristiani Katolik pada abad pertama maupun pada abad ke duapuluhsatu, kisah-kisah mistik selalu membangkitkan misteri sakramental. Dalam contoh-contoh yang saya sampaikan sejauh ini tak ada bedanya. Kitab visioner nabi Yehezkiel dan Wahyu Yohanes sangat kaya dengan lukisan liturgis. Yehezkiel masih terfokus pada Bait Allah. Sedang Yohanes memandang baik surga maupun sejarah dalam hal liturgi kurban: altar dan imam, piala dan pedupaan, terompet dan lagu-lagu pujian, memuncak pada perjamuan suci. Di kedua kitab itu, adegan menyantap kitab terjadi di tengah pengalaman akan ibadat surgawi.

               Dalam tutur Yohanes, dan di kemudian nanti dalam kisah Gereja tentang hidup Romanos, terdapat warna dasar Ekaristi. Keduanya dipanggil dan disuruh “ambil” dan “makan”, dua kata kerja yang terdapat dalam kisah penetapan Ekaristi sejak abad pertama (misalnya lih. Mat 26:26). Mereka menerima perjanjian sebagai kata-kata, dan kemudian mengambil dan memakan “sabda” sebagai makanan, santapan.

               Pada abad ketiga, Origenes, guru besar dari Aleksandria, telah berbicara mengenai pernyataan alkitabiah itu sebagai analog dari komuni sakramental:

Kalian yang terbiasa menghadirkan misteri ilahi tentu tahu, bagaimana ketika menerima tubuh Tuhan, kalian menjaganya dengan sangat hati-hati dan hormat, agar tidak ada remah sekecil apapun yang tercecer, agar tidak ada bagian dari anugerah suci itu hilang. Sebab kalian sendiri yakin bahwa kalian bersalah, dan memang demikian, jika ada remah yang jatuh karena sikap kalian yang kurang hati-hati. Namun jika kalian begitu cermat dan hati-hati menjaga tubuh-Nya, dan sungguh demikian, mengapa kalian mengira tidak begitu bersalah jika melalaikan sabda Allah, jika dibanding dengan melalaikan tubuh-Nya?

Bagi Origenes, ada kualitas sakramen pada gulungan kitab. Kitab itu harus dipegang dan disantap dengan rasa hormat dan kehati-hatian yang sama seperti roti Ekaristi – namun juga disertai rasa lapar sejati.

               Baik pada roti maupun pada sabda terdapat kehadiran nyata. Baik dalam pewartaan maupun dalam sakramen, kerajaan datang bersama dengan sang Raja sendiri. Paus Emeritus Benediktus XVI menulis, “Maka kita semakin tumbuh dalam kesadaran, yang sudah begitu jelas bagi para Bapa Gereja, bahwa pewartaan sabda isinya adalah Kerajaan Allah (bdk Mrk 1:14-15), yang dalam istilah Origenes yang tak terlupakan, adalah pribadi Yesus sendiri (autobasilea).”

               Inilah kebenaran yang dikenal Romanos da Hieronimus, Gregorius Agung dan yang dialami oleh Yohanes Rasul, serta yang dinubuatkan Yehezkiel. Keselamatan datang dalam rupa perjanjian – suatu perjanjian yang terwujud dalam Sabda, Sabda yang menjadi manusia, Sabda yang dimakan.

               Para nabi dan pelihat berbicara kepada kita menggunakan gambaran-gambaran, dan gambar yang mereka lukiskan itu membawa misteri di dalamnya. Begitu kita mendekat pada pemahaman akan misteri itu, kita harus menggunakan kata-kata untuk bicara tentang mereka. Allah menciptakan kita untuk berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata. Ia sendiri menciptakan aspek kodrati manusia ini dan memanfaatkannya ketika Ia mengilhami Kitab Suci – yang secara harafiah adalah hai graphai, “tulisan-tulisan”. Bagi Yehezkiel dan Yohanes Rasul, Allah memateri sabda-Nya pada suatu gulungan kitab sebelum mengundang mereka untuk memakannya.

               Allah mewahyukan diri dan memberikan diri-Nya dalam gulungan kitab. Namun, apa yang dulunya dimulai sebagai puisi, kini kita biarkan saja berubah menjadi jargon; dan begitulah maka istilah-istilah Yunani-Latin “covenant”, testament,” (keduanya = perjanjian), “liturgi” dan “Ekaristi”, semuanya adalah kata-kata biasa sehari-hari yang dulunya mampu menggerakkan para leluhur kita untuk menyanyi, sekarang bahkan turun lagi martabatnya sebagai jajaran kosa-kata teknis belaka.

               Boleh jadi hal ini bukan soal baru, namun sudah merupakan cobaan berabad-abad lamanya. Namun penemuan kita akan “kebaruan” kata-kata itu, New Testament, New Covenant, Perjanjian Baru, terutama sangatlah penting dan mendesak sekarang, ketika Gereja sedang mulai melancarkan upaya Evangelisasi Baru.

               Evangelisasi merupakan suatu proses yang dinamis, di mana kita membagikan Injil (Kabar Baik) kepada orang lain. Namun kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki lebih dulu. Nabi Yehezkiel lebih dahulu memakan kata-kata untuk pesan-pesan kenabiannya. Begitu pula Yohanes Rasul mengambil dan memakannya. Romanus memakan gulungan, mencernanya, dan menjadikannya bagian dari dirinya; baru kemudian ia membagikan kepada orang lain apa yang telah diterimanya. Mereka itulah orang-orang pertama yang mengenal komuni Sabda, dan hanya dengan demikian mereka mampu mewartakan Sabda itu ke seluruh dunia.

               Kita semua perlu merasakan lagi apa yang dulu dirasakan oleh Nabi Yehezkiel, citarasa perjamuan Yohanes Rasul, citarasa nyanyian Romanos. Itulah alasannya mengapa saya menulis buku ini: untuk memelajari beberapa istilah Kristiani yang sifatnya mendasar, untuk mendapatkan makna istilah-istilah itu menurut para penulis suci, para rasul pengkhotbah, dan para pendengar mereka yang pertama. Jika kita menyantap Sabda sesuai dengan yang mereka maksudkan ketika mereka dulu melayani Sang Sabda, niscayalah kita pun dapat diubah sebagaimana para murid perdana dulu telah diubah, dan kemudian mungkin dunia kita pun dapat dijadikan kembali dan diperbarui sebagaimana dunia para murid perdana dulu telah dijadikan kembali dan diperbarui.

Diterjemahkan Bambang Kussriyanto dari Consuming the Word. The New Testament and The Eucharist in the Early Church. Bab I. Crown Publishing Group dari Random House, New York, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar