Daftar Blog Saya

Rabu, 02 November 2022

PERHATIAN PADA BUMI 1

 Bambang Kussriyanto

Bumi adalah ruang hidup (biosfer) bagi kita.  Pada kenyataan, tidak dapat dibantah bahwa kita hidup di bumi, entah di desa, entah di kota; di lembah, di gunung, atau di pesisir. Kita menghirup nafas dari udara yang ada di bumi. Kita mendapatkan makanan dari bahan-bahan yang dihasilkan bumi. Rumah kita adalah di bumi. Tidak sendiri saja, tetapi lebih dari 6,5 milyar sesama kita manusia dari segala bangsa tinggal di bumi. Maka dapatlah kita katakan bahwa bumi adalah “rumah kita bersama” (United Nations, 1992, 1). Dan karena merupakan rumah kita bersama, sudah selayaknya kita merawat dan memelihara bumi sebaik-baiknya.

Ensiklik Paus Fransiskus yang diedarkan 18 Juni 2015, Laudato Si, merupakan seruan mutakhir yang bersifat mondial atau global untuk memerhatikan dan memelihara keadaan bumi; seruan itu dimaksudkan untuk mendorong kita melakukan tindakan nyata. Ensiklik ditujukan pertama-tama kepada umat katolik di seluruh dunia, tetapi juga kepada siapa yang berkehendak baik untuk bersama-sama memelihara bumi, rumah kita bersama.

Jika kita kenang kembali, sebenarnya perhatian pada bumi sudah menggejala ketika dunia mulai  merasakan kerusakan bumi sejak akhir tahun 1960-an. Yaitu ketika derap rekonstruksi dan  pembangunan marak di mana-mana, dalam usaha mengganti kerusakan kota-kota dan aneka prasarana yang parah akibat Perang Dunia II. Sementara itu perang-perang kecil berkecamuk di mana-mana, ketika di mana-mana timbul nasionalisme, dan bangsa-bangsa yang terjajah berusaha memerdekakan diri. Di mana pun perang, walau dalam skala kecil, selalu menghancurkan dan memporak-porandakan, termasuk wilayah bumi setempat. Apalagi perang besar. Bumi sudah mengalami kerusakan hebat dari dua kali Perang Dunia. April 1961-Oktober 1962 konfrontasi Cuba-A.S. menyeret Uni Soviet ke dalam kancah sehingga dua kekuatan nuklir dunia berhadap-hadapan (Beschloss, 1991,5). Mengingat kerusakan hebat akibat perang besar itu, Paus Santo Yohanes XXIII, ketika menyadari bahwa dunia berada di ambang perang nuklir di masa itu, dengan suatu ensiklik menyerukan perlunya negara-negara mengusahakan perdamaian di bumi dengan membentuk kerjasama internasional  antar negara untuk pembangunan bagi masyarakat (Paus Yohanes XXIII, 1963; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art 3).  

Di dunia kemudian ternyata ada banyak  upaya-upaya perbaikan di bidang ekonomi di kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang, terutama melalui Revolusi Hijau, untuk menggenjot peningkatan hasil pertanian, dengan penggunaan luas pupuk kimia, pestisida, herbisida, fungisida, insektisida dan sebagainya, serta perubahan besar-besaran tata-guna tanah. Di balik usaha itu ada promosi penggunaan teknologi dan produk-produk teknologi kimia yang semena-mena terhadap bumi. Beban penderitaan bumi bertambah. Zat-zat kimia merusak tanah. Tanah menjadi kedap pada air. Pestisida dan insektisida mengorbankan banyak keragaman hayati. Tidak mudah dicerna, terbawa air, masuk ke sungai dan mencemarinya. Mematikan biota sungai. Penderitaan bumi berdampak kepada berkurangnya kesejahteraan manusia. Kekeringan terjadi di mana-mana, wabah penyakit meluas; banjir terjadi di tempat lain, juga hama tanaman yang menyebabkan kegagalan panen. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, sedang barang-barang langka.

Dalam situasi seperti itu, anehnya, muncul banyak “orang kaya baru” (OKB), sedang jumlah orang miskin meluas dan menunjukkan ketimpangan sosial, terutama di Asia (Gunnar Myrdal, 1968).

 

Mengusahakan bumi yang subur dengan menempuh jalan revolusi pertanian juga, menggunakan pupuk dan pestisida kimia, Indonesia yang ketinggalan kereta karena krisis politik berkepanjangan setelah merdeka tahun 1945, baru memulai Pembangunan Lima Tahun I (1969-1974). Tujuan pembangunan adalah memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyediakan infrastruktur terutama untuk sektor pertanian (sawah, bendungan, jaringan irigasi). Perekonomian   Indo­nesia pada waktu itu berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan.  Maka  tugas utama pemerintah adalah untuk  menghentikan  proses ke­merosotan ekonomi  (stabilisasi) dan membina landasan yang sehat  demi pembangunan lebih lanjut. “Adapun sasaran pembangunan jang hendak ditjapai sangatlah sederhana, jaitu : pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan Rakjat, perluasaan lapangan pekerdjaan dan kesedjahteraan rochani. Dalam melaksanakan pembangunan ini maka titik   beratnja dipusatkan pada bidang pertanian. Dengan demikian medan- ­djuang jang dipilih adalah medan pertanian.Disinilah sasaran-­sentral diletakkan, ichtiar dipusatkan dan hasil diharapkan. Pilihan  pada  sektor  pertanian  bukanlah  sekedar   pilihan belaka. Pilihan didasarkan pada  strategi  pembangunan   untuk mendobrak keterbelakangan ekonomi kita melalui  proses pembaharuan dibidang pertanian. Keadaan iklim, tanah dan persediaan tenaga kerdja  memungkinkan  adanja kemadjuan pesat dibidang pertanian. Lebih-lebih berkat adanja tehnologi baru, bibit-bibit baru, dan  tjara-tjara baru” [Departemen Penerangan,  1969, 15]. Dalam hal pendanaan pembangunan, salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah menggalakkan penanaman modal baik dalam negeri maupun asing yang difasilitasi dengan Undang-undang (UU PMA dan UU PMDN). Maka sejak awal pembangunan ekonomi Indonesia sudah diwarnai oleh skema korporatisasi, yang nanti menghasilkan perusahaan-perusahaan lokal maupun patungan dan mengundang multi-nasional yang beramai-ramai mengeruk kekayaan alam bumi Indonesia.

 


Dasawarsa 1970-an

1970-1974

Memerhatikan bagian dari bumi, Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat didirikan pada masa Presiden Nixon pada 1970. Berlanjut nanti di tahun 1972 ketika di AS diundangkan UU Federal tentang Insektisida, Fungisida dan Rodentisida (Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act). [Hynes, 1989, 47–8, 148–163]. Peristiwa-peristiwa itu diyakini disebabkan oleh sebuah buku berjudul ‘Silent Spring’  oleh Rachel Carson  yang menyoroti masalah dampak wilayah tanah dan dampak pada manusia yang ditimbulkan oleh pestisida kimia. Mula-mula dimuat sebagai artikel bersambung di majalah The New Yorker, Juni, 1962, ulasan Carson menyebabkan Presiden  John F. Kennedy memerintahkan penelitian dengan cermat yang hasilnya adalah dikeluarkannya larangan atas dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT) dan pestisida kimia lainnya [NRDC, 2013].

Sejak itu meluaslah perhatian kepada bumi lingkungan alam. Terlebih ketika di bumi terjadi bencana yang meminta banyak korban jiwa, seperti topan Bhola mengamuk di Pakistan Timur (waktu itu, sekarang Bangladesh) sehingga sekitar 350.000 jiwa menjadi korban pada tahun 1970.

Sekitar 20.000 orang  menjadi korban gunung runtuh HuascarĂ¡n yang disebabkan oleh gempa Ancash di Peru.

Hujan dan banjir tak dapat ditahan tanggul dan bendungan sehingga jebol.  Sekitar 100.000 jiwa menjadi korban dalam banjir bandang Hanoi dan Delta Red River, Vietnam Utara, 1971. Bencana alam bukan saja merusak dan mengubah kontur  fisik bumi, melainkan lebih-lebih merupakan penderitaan manusia.

 

Perhatian pada kerusakan bumi bukan hanya menyoroti sektor kegiatan pertanian saja, tetapi juga sektor usaha pertambangan dan industri oleh badan-badan usaha yang mencari keuntungan, yang merusak kontur bumi, menyerap hasilnya habis-habisan,  dan menyebabkan pencemaran. Paus Beato Paulus VI pada gilirannya menyebut keprihatinan ekologis pada masa itu sebagai "suatu konsekuensi tragis" dari aktivitas manusia yang tak terkendali: "akibat eksploitasi alam yang acak-acakan, yang menimbulkan risiko menghancurkan dan pada gilirannya manusia sendiri menjadi korban pengrusakan ini " [Paus Paulus VI, 1971, art. 21)]. Paus Beato Paulus VI berbicara tentang hal yang sama dalam Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang potensi "bencana ekologis di bawah ledakan efektif peradaban industri ", dan menekankan "keperluan mendesak untuk perubahan radikal tindakan manusia ", karena "sekalipun kemajuan ilmiah yang paling luar biasa, kemampuan teknis yang paling menakjubkan, pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan, jika tidak disertai kemajuan sosial dan moral yang otentik, akan pasti berbalik melawan manusia " [Pidato untuk ulang tahun ke-25 FAO (16 November 1970), 4; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art. 4].

 

Untuk situasi yang lebih baik di bumi, atas permintaan Maurice Strong, deputi Sekjen PBB dari Canada waktu itu, ekonom berpengaruh Margaret Ward (yang memimpin  International Institute of Environment and Development) dan ahli mikrobiologi Rene Dubos (yang menemukan kata-kata “Berpikir secara Global Bertindak secara Lokal, Think Globally and Act Locally”) menulis buku yang mengingatkan bahwa  kita hanya punya satu bumi, sebuah planet kecil yang perlu dipelihara [Barbara Ward and Rene Dubos (1972), Only One Earth: the care and maintenance of a small planet]. Dikatakan bahwa sementara kerusakan lingkungan bumi di negara industri disebabkan oleh pola-pola produksidan konsumsi, kerusakan lingkungan bumi di tempat-tempat lain terutama disebabkan oleh keterbelakangan dan kemiskinan. Maka diserukan agar negara-negara kaya menyumbangkan dana untuk membantu negara-negara miskin supaya dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang layak dan karenanya juga dapat memelihara lingkungan alam buminya, yang tentunya juga akan menguntungkan negara-negara maju juga sebab merekalah yang akan menangguk hasil alam negara-negara itu melalui impor. Para penulis di dalam bukunya menorehkan nada optimis, bahwa manusia dapat bersama-sama mengatasi tantangan kerusakan alam bumi yang dihadapi.  Pada Kata Pengantar bukunya, Barbara Ward menulis bahwa PBB harus memberikan tugas kepada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang akan diselenggarakan di Stockholm untuk merumuskan apa yang harus dilakukan untuk membuat bumi tempat tinggal yang menyenangkan bukan hanya sekarang, tetapi juga untuk generasi-generasi mendatang. Kata-kata ini menjadi inspirasi bagi konsep “pembangunan berkelanjutan” 17 tahun berikutnya (Komisi Brundtland) dan tahun-tahun selanjutnya.

KTT Bumi (Earth Summit) pertama diselenggarakan PBB tahun 1972 dengan mengusung tema “Hanya Satu Bumi” sebagai Lingkungan Hidup Manusia (Human Environment), di Stockholm, Swedia,  pada 5 sampai 16 Juni 1972, dengan peserta 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 IGO dan 258 NGO. Satu-satunya pembicara kunci adalah  Perdana Menteri India, Indira Gandhi, yang mengemukakan kaitan antara perhatian kepada lingkungan hidup dan upaya pengentasan kemiskinan.

Enam topik bahasan dalam konferensi adalah (1). Pemukiman Manusia. (2). Pengelolaan Sumber Daya Alam. (3). Identifikasi Zat Pencemaran. (4). Pendidikan dan Informasi. (5). Pembangunan dan Lingkungan. (6). Implikasi Keorganisasian. 

Para peserta dibagi dalam tiga komisi, yang masing-masing bertugas membahas dua topik, yaitu ; 

(a). Komisi I membahas topik nomor 1 (satu) dan 4 (empat). (b). Komisi II membahas topik nomor 2 (dua) dan 5 (lima). (c). Komisi III membahas topik nomor 3 (tiga) dan 6 (enam).

KTT kemudian menggabungkan hasil-hasil bahasan dan mensintesiskannya dalam

1. Deklarasi Stockholm, yang terdiri dari 7 pernyataan dan keyakinan akan  26 prinsip sekitar tanggungjawab manusia dan negara-negara, untuk memelihara, menjaga dan memerbaiki lingkungan hidup manusia, baik yang alami maupun buatan manusia sendiri secara seimbang, demi menopang generasi sekarang dan generasi masa depan.

2. 109 Rencana Aksi.

3. Rekomendasi mengenai Kelembagaan dan Keuangan.

Kemudian, konferensi ini menyepakati beberapa hal, a.l ; (1). Ditetapkannya 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. (2). Tentang Uji Senjata Nuklir. (3). Tentang Konvensi UNEP selanjutnya. (Lihat UN-Secretariate, 1972)

 Club of Rome dan Massachusett Institute of Technology (MIT) kemudian tergerak bekerjasama melakukan penelitian atas berbagai  variabel perkembangan dan kecenderungannya dan mendapatkan kesimpulan visioner adanya “batas-batas pertumbuhan” di bumi (The Limits to Growth).  Lima variabel diselidiki – penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi pangan dan terkurasnya sumberdaya – dan menemukan kecenderungan tiap-tiap variabel yang mengarah kepada kehancuran lingkungan, ekonomi dan sosial.  Buku itu tampaknya mendahului zaman dalam analisis dan uraiannya, sehingga mendapat tolakan kritik yang luas secara politik dan ekonomi. 

Minyak bumi memicu krisis energi tahun 1973, yang berdampak pada resesi berkepanjangan di dunia. Inti kejadian itu adalah bahwa hasil bumi diubah dijadikan senjata politik dan secara moral merupakan suatu perang besar. Awalnya memang perang sungguhan, yaitu Yom Kippur,  perang 20 hari yang dilancarkan Israel membalas Perang Suez-Sinai ketika negara-negara Arab menyerang dan menduduki daerah yang diklaim sebagai wilayah Israel (dalam Perang Enam Hari 1967 pasukan Israel berhasil memukul pasukan gabungan negara-negara Arab, bahkan berbalik menduduki tanah-tanah mereka). Dalam analisis negara-negara Arab, kemenangan Israel disebabkan oleh bantuan persenjataan negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat. Maka mereka  (negara-negara Arab) yang tergabung dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC) menghukum negara-negara barat dan Amerika dengan melakukan embargo minyak bumi, tidak menjual minyak bumi ke Amerika dan Eropa, sejak Oktober 1973. Karena embargo ini pasar gelap minyak bumi laku keras, dan harga minyak melonjak empat kali lipat dalam sebulan. Negara-negara industri kalang kabut karena krisis minyak bumi ini (terjadi kemerosotan GDP 4% di AS, 2% di Eropa dan 7% di Jepang), namun mereka bertahan dan mengadakan penyesuaian-penyesuaian [Edward R. Fried dan Charles L. Schultze, 1975, 29]. Akibat lain dari krisis ini adalah bahwa orang dapat mengatur lagi konsumsi energinya lebih efisien, inovasi berkembang untuk menciptakan produk-produk peralatan yang hemat energi. Sumber-sumber minyak di luar Arab dicari orang terutama dari negara-negara Amerika Latin (Teluk Mexico), dan Indonesia menangguk dollar yang mengalir melalui penanaman modal untuk eksplorasi dan produksi minyak bumi di Indonesia. Peningkatan konsumsi minyak bumi setidaknya memberi gambaran meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil yang menyumbang pada emisi CO2 ke udara.

Produksi dan Konsumsi Minyak Dunia 1971-1975 dan Produksi Indonesia

 

1971

1972

1973

1974

1975

Produksi Minyak Dunia (MBPD)*)

 

 

 

 

 

Amerika Serikat

11,3

11,2

10,9

10,5

10,1

OPEC

22,8

26,4

29,9

29,7

26,2

Negara-negara Lain

14,0

16,1

17,7

18,4

19,5

Total Seluruh Dunia

48,1

53,7

58,5

58,6

55,8

Konsumsi Minyak Dunia (MBPD)

 

 

 

 

 

Amerika Serikat

14,7

16,4

17,3

16,6

16,3

Negara-negara Lain

30,8

35,2

38,4

38,3

38,2

Total Seluruh Dunia

45,5

51,6

55,7

54,9

54,5

 

 

 

 

 

 

Produksi Minyak Bumi Indonesia

0,89

1,08

1.33

1,37

1,30

*) MBPD = million barrel per day = juta barel per hari

Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2013 (London: BP, 2013) dan angka Indonesia dari BP Statistical Review of the World Oil Industry, 1979.

Melanjutkan penggarapan buminya, Indonesia menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) II (1974-1979) dengan menangguk dan memanfaatkan berkah dari minyak bumi. Melanjutkan pembangunan lima tahun tahapsebelumnya, dengan trilogi pemerataan-pertumbuhan ekonomi-stabilisasi:  Mencukupi pangan merupakan salah satu sasaran primer untuk stabilisasi keadaan. Pertanian masih menjadi primadona. Khususnya untuk menggenjot produksi padi/beras. Produksi beras telah meningkat dari 11.666 ribu ton  tahun 1968 menjadi 14.702 ribu ton pada tahun 1973, atau suatu kenaikan sebesar rata-rata 4,8% setahun. Kenaikan hasil rata-rata per ha terutama disebabkan oleh perluasan program intensifikasi selama 5 tahun terakhir dengan penambahan areal tanam melalui program Bimas dan Inmas dari 1,6 juta ha pada tahun 1968, menjadi kurang lebih 4 juta ha pada tahun 1973. Peningkatan hasil rata-rata   per ha juga ditunjang oleh penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk dan penggunaan pestisida secara intensif. Dalam semangat Revolusi Hijau, hal yang terakhir itu dipuji tanpa memahami kerusakan atas tanah sebagai akibatnya : “Meningkatnya penggunaan bibit unggul, pupuk, dan pestisida mencerminkan sudah meningkatnya kesadaran para petani akan manfaat dari ketiga macam sarana produksi modern ter­sebut” (Bappenas, 1974, 25). Repelita II akan melanjutkan proses dan capaian-capaian Repelita I  dan diharapkan sekalian menyempurnakan kekurangan- kekurangan dan “diharapkan” sejauh mungkin menghindarkan akibat-akibat negatif yang timbul bersama dengan hasil-hasil tersebut.

 

Sementara itu perhatian kepada keadaan bumi berlanjut untuk melaksanakan deklarasi Stockholm  dalam rangka dasawarsa pembangunan dunia II (1972 – 1982).

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), diselenggarakan di Washington 1973. Konvensi ini dimaksudkan untuk menangkal perdagangan spesies flora dan fauna langka  di dunia. Ada lebih dari 35.000 spesies langka digolongkan dalam spesies yang kini dilindungi CITES. 80 negara mengikuti CITES yang kemudian efektif bekerja tahun 1975.

UN World Food Conference, diselenggarakan tahun 1974, di Roma. Menerbitkan 23 resolusi. Menurut FAO pada tahun 1968 sekitar 38% dari penduduk dunia terpapar bahaya kelaparan. Maka disarankan agar produksi  pangan dikuatkan dan arus distribusinya ke seluruh dunia terjamin.  Meluaskan konsep “keamanan pangan” (food security).

 

1975-1979

Convention on Wetlands of International Importance yaitu Waterfowl Habitat (Ramsar-Iran, 1971) dinyatakan berlaku sebagai hukum internasional pada tahun 1975 dan pada 1976 berkenaan dengan panduan aksi nasional dan kerjasama internasional mengenai  ekologi , kegunaan ekonomis, budaya, keilmuan dan rekreasional tanah becek (wetland), diserahkan menjadi tanggungjawab UNESCO.  (Lihat juga pandangan dari segi pembentukan hukum  Hardjasoemantri, 1995 ; 43).

UN World Water Conference, diselenggarakan di Mar del Plata (Argentina), 1977. Bicara tentang taksiran sumber-sumber air; air untuk pertanian; persediaan air untuk masyarakat; Polusi, lingkungan dan kesehatan; kebijakan, perencanaan dan pengelolaan air; dan bencana alam.

First Intergovernmental Conference on Environmental Education, diselenggarakan UNESCO di Tbilisi, Georgia, pada tahun 1977, untuk mendukung kesadaran umum mengenai bumi lingkungan hidup melalui karya pendidikan. 

The United Nations Conference on Desertification diselenggarakan di Nairobi Agustus- September 1977. Kekeringan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial yang berat bagi mereka yang mendapat penghasilan dan pangan dari hasil pertanian. Kekeringan alami yang berdaur ulang sering diperberat oleh sebab-sebab dan faktor-faktor dari manusia seperti pembabatan hutan, penggembalaan dan penggunaan tanah yang tanpa memerhatikan kelangsungannya di masa depan. Hasilnya adalah hilangnya zat hara  di permukaan tanah dan hilangnya kesuburan. Maka meluaslah tanah kering bagai padang pasir. Masalah ini menjadi sangat akut ketika kekeringan parah melanda kawasan dataran Sahel-Sudan yang mencapai tingkat  “bencana”  1973.  Sidang Umum PBB mencatat dan memerhatikan dengan sangat prihatin dampak kekeringan itu dan meminta bantuan masyarakat internasional. Suatu Rencana Tindakan yang komprehensif untuk memerangi meluasnya tanah kering (desertifikasi) diperlukan.

Sementara itu bumi berduka untuk 229.000 jiwa yang melayang, ketika karena topan Nina hujan badai menerjang, menyebabkan banjir dan 62 dam, antara lain yang terbesar Dam Banqiao, jebol di China 1975.

Antara 650.000 dan 679.000 orang meninggal karena gempa bumi Tangshan di China pada 28 Juli 1976.

Paus Santo Yohanes Paulus II dengan sangat prihatin mengikuti kejadian-kejadian yang berkenaan dengan lingkungan alam. Dalam Ensiklik beliau yang pertama,  beliau mengeluh memperingatkan bahwa manusia tampak "tidak melihat arti lain dari lingkungan alam mereka kecuali dari kegunaannya dan penggunaannya secara langsung" [Paus Yohanes Paulus II, 1979, art. 15; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art 5]. Dalam merenungkan “tanda-tanda zaman”, Paus memandang  “manusia masa kini tampaknya selalu terancam oleh apa yang dihasilkannya sendiri, buah pekerjaannya, hasil akalbudi dan kecondongan kehendaknya…. Eksploitasi bumi, rumah manusia, menuntut perencanaan yang wajar dan adil… Ketika eksploitasi bumi bukan hanya untuk industri tetapi juga untuk militer… terbawalah ancaman pada lingkungan alam manusia, yang justru menjauhkannya dari alam, menyingkirkannya dari alam…. Padahal menurut kehendak Sang Pencipta, seharusnya manusia berhubungan dengan alam sebagai “guru” dan “penjaga” yang penuh pengertian dan luhur, bukan sebagai penghisap dan perusak yang gegabah. [Paus Yohanes Paulus II, opcit].

Badan-badan dunia, World Meteorological Organization (WMO), United Nations Environment Programme (UNEP) dan International Council of Scientific Unions (ICSU) pada 1979 menyelenggarakan Konferensi Dunia yang pertama mengenai iklim di Geneva, menyatakan perubahan iklim sebagai persoalan yang mendesak di dunia dan mengingatkan pemerintah-pemerintah agar mengantisipasi kemungkinan bencana yang berhubungan dengan iklim. Disusunlah suatu Program Dunia mengenai Iklim melalui suatu panitia antar-pemerintah negara-negara.

Dunia mengalami Krisis Minyak Bumi kedua di tahun 1979. Pemicunya adalah Revolusi Iran. Karena kekisruhan politik tahun 1978 produksi minyak Iran jatuh pada 1979 (setara 7% permintaan dunia) dan itu menjadi peluang OPEC untuk mengisi suplai yang kosong sembari menaikkan harga. Resesi dunia terpicu lagi sejak 1980, diperparah oleh Perang Iran-Irak 1980-1981, yang menyebabkan produksi minyak kedua negara yang sibuk berperang anjlok dan memperburuk tingkat persediaan minyak dunia. Besaran produksi minyak bumi pada kurun 1978-1982 mengandung potensi penggunaan bahan bakar fosil dalam melepaskan CO2 ke udara.

Produksi Minyak Bumi Dunia 1978-1982 (dalam Juta Barel Per Hari) dan Indonesia

 

1978

1979

1980

1981

1982

Negara-negara OPEC

30,25

31,45

27,44

23,38

19,92

Negara-negara Lain

18,60

19,83

20,50

21,14

22,15

Total Produksi Dunia

48,85

51,28

47,94

44,52

42,07

 

Produksi Indonesia

1,63

1,59

1,57

1,68

1,41

Sumber: BP Statistical Review of Energy, 1988.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar