Bambang Kussriyanto
Bumi adalah ruang hidup (biosfer) bagi kita. Pada kenyataan, tidak dapat dibantah bahwa
kita hidup di bumi, entah di desa, entah di kota; di lembah, di gunung, atau di
pesisir. Kita menghirup nafas dari udara yang ada di bumi. Kita mendapatkan
makanan dari bahan-bahan yang dihasilkan bumi. Rumah kita adalah di bumi. Tidak
sendiri saja, tetapi lebih dari 6,5 milyar sesama kita manusia dari segala
bangsa tinggal di bumi. Maka dapatlah kita katakan bahwa bumi adalah “rumah
kita bersama” (United Nations, 1992,
1). Dan karena merupakan rumah kita bersama, sudah selayaknya kita merawat dan
memelihara bumi sebaik-baiknya.
Ensiklik Paus Fransiskus yang diedarkan 18 Juni 2015, Laudato Si,
merupakan seruan mutakhir yang bersifat mondial atau global untuk memerhatikan dan
memelihara keadaan bumi; seruan itu dimaksudkan untuk mendorong kita melakukan
tindakan nyata. Ensiklik ditujukan pertama-tama kepada umat katolik di seluruh
dunia, tetapi juga kepada siapa yang berkehendak baik untuk bersama-sama
memelihara bumi, rumah kita bersama.
Jika kita kenang kembali, sebenarnya perhatian
pada bumi sudah menggejala ketika dunia mulai merasakan kerusakan bumi sejak akhir tahun
1960-an. Yaitu ketika derap rekonstruksi dan
pembangunan marak di mana-mana, dalam usaha mengganti kerusakan kota-kota
dan aneka prasarana yang parah akibat Perang Dunia II. Sementara itu
perang-perang kecil berkecamuk di mana-mana, ketika di mana-mana timbul
nasionalisme, dan bangsa-bangsa yang terjajah berusaha memerdekakan diri. Di
mana pun perang, walau dalam skala kecil, selalu menghancurkan dan memporak-porandakan,
termasuk wilayah bumi setempat. Apalagi perang besar. Bumi sudah mengalami
kerusakan hebat dari dua kali Perang Dunia. April 1961-Oktober 1962 konfrontasi
Cuba-A.S. menyeret Uni Soviet ke dalam kancah sehingga dua kekuatan nuklir
dunia berhadap-hadapan (Beschloss, 1991,5). Mengingat kerusakan hebat akibat
perang besar itu, Paus Santo Yohanes XXIII, ketika menyadari bahwa dunia berada
di ambang perang nuklir di masa itu, dengan suatu ensiklik menyerukan perlunya
negara-negara mengusahakan perdamaian di bumi dengan membentuk kerjasama
internasional antar negara untuk
pembangunan bagi masyarakat (Paus Yohanes
XXIII, 1963; lihat juga Paus
Fransiskus, 2015, art 3).
Di dunia kemudian ternyata ada banyak upaya-upaya perbaikan di bidang ekonomi di
kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang, terutama melalui Revolusi Hijau,
untuk menggenjot peningkatan hasil pertanian, dengan penggunaan luas pupuk
kimia, pestisida, herbisida, fungisida, insektisida dan sebagainya, serta
perubahan besar-besaran tata-guna tanah. Di balik usaha itu ada promosi
penggunaan teknologi dan produk-produk teknologi kimia yang semena-mena
terhadap bumi. Beban penderitaan bumi bertambah. Zat-zat kimia merusak tanah.
Tanah menjadi kedap pada air. Pestisida dan insektisida mengorbankan banyak
keragaman hayati. Tidak mudah dicerna, terbawa air, masuk ke sungai dan
mencemarinya. Mematikan biota sungai. Penderitaan bumi berdampak kepada
berkurangnya kesejahteraan manusia. Kekeringan terjadi di mana-mana, wabah
penyakit meluas; banjir terjadi di tempat lain, juga hama tanaman yang
menyebabkan kegagalan panen. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, sedang
barang-barang langka.
Dalam situasi seperti itu, anehnya,
muncul banyak “orang kaya baru” (OKB), sedang jumlah orang miskin meluas dan
menunjukkan ketimpangan sosial, terutama di Asia (Gunnar Myrdal, 1968).
Mengusahakan bumi yang subur dengan
menempuh jalan revolusi pertanian juga, menggunakan pupuk dan pestisida kimia, Indonesia
yang ketinggalan kereta karena krisis politik berkepanjangan setelah merdeka
tahun 1945, baru memulai Pembangunan Lima Tahun I (1969-1974). Tujuan pembangunan adalah memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan
menyediakan infrastruktur terutama untuk sektor pertanian (sawah, bendungan,
jaringan irigasi). Perekonomian Indonesia
pada waktu itu berada dalam keadaan yang sangat
menyedihkan. Maka tugas
utama pemerintah adalah untuk menghentikan
proses kemerosotan ekonomi (stabilisasi) dan
membina landasan yang sehat
demi pembangunan lebih lanjut. “Adapun
sasaran pembangunan jang hendak ditjapai sangatlah sederhana, jaitu : pangan,
sandang, perbaikan prasarana, perumahan Rakjat, perluasaan lapangan pekerdjaan
dan kesedjahteraan rochani. Dalam melaksanakan pembangunan ini maka titik beratnja dipusatkan pada bidang pertanian.
Dengan demikian medan- djuang jang dipilih adalah medan pertanian.Disinilah
sasaran-sentral diletakkan, ichtiar dipusatkan dan hasil diharapkan.
Pilihan pada sektor
pertanian bukanlah sekedar
pilihan belaka. Pilihan didasarkan pada
strategi pembangunan untuk mendobrak keterbelakangan ekonomi kita
melalui proses pembaharuan dibidang
pertanian. Keadaan iklim, tanah dan persediaan tenaga kerdja memungkinkan
adanja kemadjuan pesat dibidang pertanian. Lebih-lebih berkat adanja
tehnologi baru, bibit-bibit baru, dan
tjara-tjara baru” [Departemen Penerangan, 1969, 15]. Dalam hal pendanaan pembangunan,
salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah menggalakkan penanaman modal baik
dalam negeri maupun asing yang difasilitasi dengan Undang-undang (UU PMA dan UU
PMDN). Maka sejak awal pembangunan ekonomi Indonesia sudah diwarnai oleh skema
korporatisasi, yang nanti menghasilkan perusahaan-perusahaan lokal maupun
patungan dan mengundang multi-nasional yang beramai-ramai mengeruk kekayaan
alam bumi Indonesia.
Dasawarsa
1970-an
1970-1974
Memerhatikan bagian dari bumi, Badan
Perlindungan Lingkungan (Environmental
Protection Agency) di Amerika Serikat didirikan pada masa Presiden Nixon
pada 1970. Berlanjut nanti di tahun 1972 ketika di AS diundangkan UU Federal
tentang Insektisida, Fungisida dan Rodentisida (Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act). [Hynes, 1989,
47–8, 148–163]. Peristiwa-peristiwa
itu diyakini disebabkan oleh sebuah buku berjudul ‘Silent Spring’ oleh Rachel Carson yang menyoroti masalah dampak wilayah tanah
dan dampak pada manusia yang ditimbulkan oleh pestisida kimia. Mula-mula dimuat
sebagai artikel bersambung di majalah The
New Yorker, Juni, 1962, ulasan Carson menyebabkan Presiden John F. Kennedy
memerintahkan penelitian dengan cermat yang hasilnya adalah dikeluarkannya
larangan atas dichloro-diphenyl-trichloroethane
(DDT) dan pestisida kimia lainnya [NRDC, 2013].
Sejak itu meluaslah perhatian kepada
bumi lingkungan alam. Terlebih ketika di bumi terjadi bencana yang meminta
banyak korban jiwa, seperti topan Bhola mengamuk di Pakistan Timur (waktu itu,
sekarang Bangladesh) sehingga sekitar 350.000 jiwa menjadi korban pada tahun
1970.
Sekitar 20.000 orang menjadi korban
gunung runtuh HuascarĂ¡n yang disebabkan oleh gempa Ancash di Peru.
Hujan dan banjir tak dapat ditahan
tanggul dan bendungan sehingga jebol.
Sekitar 100.000 jiwa
menjadi korban dalam banjir bandang Hanoi dan Delta Red River, Vietnam Utara,
1971. Bencana alam bukan saja merusak dan mengubah kontur fisik bumi, melainkan lebih-lebih merupakan
penderitaan manusia.
Perhatian pada kerusakan bumi bukan
hanya menyoroti sektor kegiatan pertanian saja, tetapi juga sektor usaha pertambangan
dan industri oleh badan-badan usaha yang mencari keuntungan, yang merusak
kontur bumi, menyerap hasilnya habis-habisan,
dan menyebabkan pencemaran. Paus Beato Paulus VI pada gilirannya
menyebut keprihatinan ekologis pada masa itu sebagai "suatu konsekuensi
tragis" dari aktivitas manusia yang tak terkendali: "akibat
eksploitasi alam yang acak-acakan, yang menimbulkan risiko menghancurkan dan
pada gilirannya manusia sendiri menjadi korban pengrusakan ini " [Paus Paulus VI, 1971, art. 21)]. Paus
Beato Paulus VI berbicara tentang hal yang sama dalam Organisasi Pangan dan
Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang potensi "bencana
ekologis di bawah ledakan efektif peradaban industri ", dan menekankan
"keperluan mendesak untuk perubahan radikal tindakan manusia ",
karena "sekalipun kemajuan ilmiah yang paling luar biasa, kemampuan teknis
yang paling menakjubkan, pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan, jika tidak
disertai kemajuan sosial dan moral yang otentik, akan pasti berbalik melawan
manusia " [Pidato untuk ulang tahun
ke-25 FAO (16 November 1970), 4; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art. 4].
Untuk situasi yang lebih baik di bumi,
atas permintaan Maurice Strong, deputi Sekjen PBB dari Canada waktu itu, ekonom
berpengaruh Margaret Ward (yang memimpin International Institute
of Environment and Development) dan ahli mikrobiologi Rene Dubos (yang
menemukan kata-kata “Berpikir secara Global Bertindak secara Lokal, Think Globally and Act Locally”) menulis buku yang mengingatkan bahwa kita hanya punya satu bumi, sebuah planet
kecil yang perlu dipelihara [Barbara
Ward and Rene Dubos (1972), Only
One Earth: the care and maintenance of a small planet]. Dikatakan bahwa
sementara kerusakan lingkungan bumi di negara industri disebabkan oleh
pola-pola produksidan konsumsi, kerusakan lingkungan bumi di tempat-tempat lain
terutama disebabkan oleh keterbelakangan dan kemiskinan. Maka diserukan agar
negara-negara kaya menyumbangkan dana untuk membantu negara-negara miskin
supaya dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang layak dan karenanya juga dapat
memelihara lingkungan alam buminya, yang tentunya juga akan menguntungkan
negara-negara maju juga sebab merekalah yang akan menangguk hasil alam
negara-negara itu melalui impor. Para penulis di dalam bukunya menorehkan nada
optimis, bahwa manusia dapat bersama-sama mengatasi tantangan kerusakan alam bumi
yang dihadapi. Pada Kata Pengantar
bukunya, Barbara Ward menulis bahwa PBB harus memberikan tugas kepada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang akan diselenggarakan di Stockholm untuk
merumuskan apa yang harus dilakukan untuk membuat bumi tempat tinggal yang
menyenangkan bukan hanya sekarang, tetapi juga untuk generasi-generasi
mendatang. Kata-kata ini menjadi inspirasi bagi konsep “pembangunan
berkelanjutan” 17 tahun berikutnya (Komisi Brundtland) dan tahun-tahun
selanjutnya.
KTT Bumi (Earth
Summit) pertama diselenggarakan PBB tahun 1972 dengan mengusung tema “Hanya
Satu Bumi” sebagai Lingkungan Hidup Manusia (Human Environment), di Stockholm, Swedia, pada 5 sampai 16 Juni 1972, dengan peserta 113
negara, 21 organisasi PBB, 16 IGO dan 258 NGO. Satu-satunya pembicara kunci
adalah Perdana Menteri India, Indira
Gandhi, yang mengemukakan kaitan antara perhatian kepada lingkungan hidup dan
upaya pengentasan kemiskinan.
Enam topik bahasan dalam konferensi
adalah (1). Pemukiman Manusia. (2). Pengelolaan Sumber Daya Alam. (3).
Identifikasi Zat Pencemaran. (4). Pendidikan dan Informasi. (5). Pembangunan
dan Lingkungan. (6). Implikasi Keorganisasian.
Para peserta dibagi dalam tiga komisi,
yang masing-masing bertugas membahas dua topik, yaitu ;
(a). Komisi I membahas topik nomor 1
(satu) dan 4 (empat). (b). Komisi II membahas topik nomor 2 (dua) dan 5 (lima).
(c). Komisi III membahas topik nomor 3 (tiga) dan 6 (enam).
KTT kemudian menggabungkan hasil-hasil
bahasan dan mensintesiskannya dalam
1. Deklarasi Stockholm, yang terdiri
dari 7 pernyataan dan keyakinan akan 26 prinsip
sekitar tanggungjawab manusia dan negara-negara, untuk memelihara, menjaga dan
memerbaiki lingkungan hidup manusia, baik yang alami maupun buatan manusia
sendiri secara seimbang, demi menopang generasi sekarang dan generasi masa depan.
2. 109 Rencana Aksi.
3.
Rekomendasi mengenai Kelembagaan dan Keuangan.
Kemudian, konferensi ini menyepakati
beberapa hal, a.l ; (1). Ditetapkannya 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup
Sedunia. (2). Tentang Uji Senjata Nuklir. (3). Tentang Konvensi UNEP
selanjutnya. (Lihat UN-Secretariate,
1972)
Club of
Rome dan Massachusett Institute of Technology (MIT) kemudian tergerak bekerjasama
melakukan penelitian atas berbagai
variabel perkembangan dan kecenderungannya dan mendapatkan kesimpulan
visioner adanya “batas-batas pertumbuhan” di bumi (The Limits to Growth). Lima variabel diselidiki – penduduk dunia,
industrialisasi, polusi, produksi pangan dan terkurasnya sumberdaya – dan
menemukan kecenderungan tiap-tiap variabel yang mengarah kepada kehancuran
lingkungan, ekonomi dan sosial. Buku itu
tampaknya mendahului zaman dalam analisis dan uraiannya, sehingga mendapat
tolakan kritik yang luas secara politik dan ekonomi.
Minyak bumi memicu krisis energi tahun 1973,
yang berdampak pada resesi berkepanjangan di dunia. Inti kejadian itu adalah
bahwa hasil bumi diubah dijadikan senjata politik dan secara moral merupakan
suatu perang besar. Awalnya memang perang sungguhan, yaitu Yom Kippur, perang 20 hari yang dilancarkan Israel
membalas Perang Suez-Sinai ketika negara-negara Arab menyerang dan menduduki
daerah yang diklaim sebagai wilayah Israel (dalam Perang Enam Hari 1967 pasukan
Israel berhasil memukul pasukan gabungan negara-negara Arab, bahkan berbalik
menduduki tanah-tanah mereka). Dalam analisis negara-negara Arab, kemenangan
Israel disebabkan oleh bantuan persenjataan negara-negara barat, khususnya
Amerika Serikat. Maka mereka (negara-negara Arab) yang tergabung dalam
organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC) menghukum negara-negara
barat dan Amerika dengan melakukan embargo minyak bumi, tidak menjual minyak
bumi ke Amerika dan Eropa, sejak Oktober 1973. Karena embargo ini pasar gelap
minyak bumi laku keras, dan harga minyak melonjak empat kali lipat dalam
sebulan. Negara-negara industri kalang kabut karena krisis minyak bumi ini
(terjadi kemerosotan GDP 4% di AS, 2% di Eropa dan 7% di Jepang), namun mereka bertahan
dan mengadakan penyesuaian-penyesuaian [Edward
R. Fried dan Charles L. Schultze, 1975, 29]. Akibat
lain dari krisis ini adalah bahwa orang dapat mengatur lagi konsumsi energinya
lebih efisien, inovasi berkembang untuk menciptakan produk-produk peralatan
yang hemat energi. Sumber-sumber minyak di luar Arab dicari orang terutama dari
negara-negara Amerika Latin (Teluk Mexico), dan Indonesia menangguk dollar yang
mengalir melalui penanaman modal untuk eksplorasi dan produksi minyak bumi di
Indonesia. Peningkatan konsumsi minyak
bumi setidaknya memberi gambaran meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil yang
menyumbang pada emisi CO2 ke udara.
Produksi
dan Konsumsi Minyak Dunia 1971-1975 dan Produksi Indonesia
|
1971 |
1972 |
1973 |
1974 |
1975 |
Produksi
Minyak Dunia (MBPD)*) |
|
|
|
|
|
Amerika Serikat |
11,3 |
11,2 |
10,9 |
10,5 |
10,1 |
OPEC |
22,8 |
26,4 |
29,9 |
29,7 |
26,2 |
Negara-negara Lain |
14,0 |
16,1 |
17,7 |
18,4 |
19,5 |
Total
Seluruh Dunia |
48,1 |
53,7 |
58,5 |
58,6 |
55,8 |
Konsumsi
Minyak Dunia (MBPD) |
|
|
|
|
|
Amerika Serikat |
14,7 |
16,4 |
17,3 |
16,6 |
16,3 |
Negara-negara Lain |
30,8 |
35,2 |
38,4 |
38,3 |
38,2 |
Total
Seluruh Dunia |
45,5 |
51,6 |
55,7 |
54,9 |
54,5 |
|
|
|
|
|
|
Produksi
Minyak Bumi Indonesia |
0,89 |
1,08 |
1.33 |
1,37 |
1,30 |
*) MBPD = million
barrel per day = juta barel per hari
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2013
(London: BP, 2013) dan angka Indonesia dari BP
Statistical Review of the World Oil Industry, 1979.
Melanjutkan penggarapan buminya, Indonesia menerapkan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) II (1974-1979) dengan menangguk dan
memanfaatkan berkah dari minyak bumi. Melanjutkan pembangunan lima tahun
tahapsebelumnya, dengan trilogi pemerataan-pertumbuhan ekonomi-stabilisasi: Mencukupi pangan merupakan salah satu sasaran
primer untuk stabilisasi keadaan. Pertanian masih menjadi primadona. Khususnya untuk
menggenjot produksi padi/beras. Produksi beras telah meningkat dari 11.666 ribu
ton tahun 1968 menjadi 14.702 ribu ton
pada tahun 1973, atau suatu kenaikan sebesar rata-rata 4,8% setahun. Kenaikan hasil
rata-rata per ha terutama disebabkan oleh perluasan program intensifikasi
selama 5 tahun terakhir dengan penambahan areal tanam melalui program Bimas dan
Inmas dari 1,6 juta ha pada tahun 1968, menjadi kurang lebih 4 juta ha pada
tahun 1973. Peningkatan hasil rata-rata
per ha juga ditunjang oleh penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk dan
penggunaan pestisida secara intensif. Dalam semangat Revolusi Hijau, hal
yang terakhir itu dipuji tanpa memahami kerusakan atas tanah sebagai akibatnya
: “Meningkatnya
penggunaan bibit unggul, pupuk, dan pestisida mencerminkan sudah meningkatnya
kesadaran para petani akan manfaat dari ketiga macam sarana produksi modern tersebut”
(Bappenas, 1974, 25). Repelita II
akan melanjutkan proses dan capaian-capaian Repelita I dan diharapkan sekalian menyempurnakan
kekurangan- kekurangan dan “diharapkan” sejauh mungkin menghindarkan
akibat-akibat negatif yang timbul bersama dengan hasil-hasil tersebut.
Sementara itu perhatian kepada keadaan
bumi berlanjut untuk melaksanakan deklarasi Stockholm dalam rangka dasawarsa pembangunan dunia II
(1972 – 1982).
Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES), diselenggarakan di Washington 1973. Konvensi ini dimaksudkan untuk
menangkal perdagangan spesies flora dan fauna langka di dunia. Ada lebih dari 35.000 spesies
langka digolongkan dalam spesies yang kini dilindungi CITES. 80 negara
mengikuti CITES yang kemudian efektif bekerja tahun 1975.
UN
World Food Conference, diselenggarakan tahun 1974, di Roma.
Menerbitkan 23 resolusi. Menurut FAO pada tahun 1968 sekitar 38% dari penduduk
dunia terpapar bahaya kelaparan. Maka disarankan agar produksi pangan dikuatkan dan arus distribusinya ke
seluruh dunia terjamin. Meluaskan konsep
“keamanan pangan” (food security).
1975-1979
Convention
on Wetlands of International Importance yaitu
Waterfowl Habitat (Ramsar-Iran, 1971) dinyatakan berlaku sebagai hukum
internasional pada tahun 1975 dan pada 1976 berkenaan dengan panduan aksi
nasional dan kerjasama internasional mengenai
ekologi , kegunaan ekonomis, budaya, keilmuan dan rekreasional tanah
becek (wetland), diserahkan menjadi
tanggungjawab UNESCO. (Lihat juga
pandangan dari segi pembentukan hukum Hardjasoemantri, 1995 ; 43).
UN
World Water Conference, diselenggarakan di Mar del Plata
(Argentina), 1977. Bicara tentang taksiran sumber-sumber air; air untuk
pertanian; persediaan air untuk masyarakat; Polusi, lingkungan dan kesehatan;
kebijakan, perencanaan dan pengelolaan air; dan bencana alam.
First
Intergovernmental Conference on Environmental Education, diselenggarakan
UNESCO di Tbilisi, Georgia, pada tahun 1977, untuk mendukung kesadaran umum
mengenai bumi lingkungan hidup melalui karya pendidikan.
The United
Nations Conference on Desertification diselenggarakan di Nairobi Agustus- September 1977. Kekeringan
menyebabkan masalah ekonomi dan sosial yang berat bagi mereka yang mendapat
penghasilan dan pangan dari hasil pertanian. Kekeringan alami yang berdaur
ulang sering diperberat oleh sebab-sebab dan faktor-faktor dari manusia seperti
pembabatan hutan, penggembalaan dan penggunaan tanah yang tanpa memerhatikan
kelangsungannya di masa depan. Hasilnya adalah hilangnya zat hara di permukaan tanah dan hilangnya kesuburan.
Maka meluaslah tanah kering bagai padang pasir. Masalah ini menjadi sangat akut
ketika kekeringan parah melanda kawasan dataran Sahel-Sudan yang mencapai
tingkat “bencana” 1973. Sidang
Umum PBB mencatat dan memerhatikan dengan sangat prihatin dampak kekeringan itu
dan meminta bantuan masyarakat internasional. Suatu Rencana Tindakan yang
komprehensif untuk memerangi meluasnya tanah kering (desertifikasi) diperlukan.
Sementara itu bumi berduka untuk 229.000 jiwa yang melayang, ketika karena
topan Nina hujan badai menerjang, menyebabkan banjir dan 62 dam, antara lain yang terbesar Dam Banqiao, jebol di China
1975.
Antara 650.000 dan 679.000
orang meninggal karena gempa bumi Tangshan di China pada 28 Juli 1976.
Paus Santo Yohanes Paulus II dengan sangat
prihatin mengikuti kejadian-kejadian yang berkenaan dengan lingkungan alam.
Dalam Ensiklik beliau yang pertama,
beliau mengeluh memperingatkan bahwa manusia tampak "tidak melihat
arti lain dari lingkungan alam mereka kecuali dari kegunaannya dan
penggunaannya secara langsung" [Paus
Yohanes Paulus II, 1979, art. 15; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art 5]. Dalam merenungkan “tanda-tanda zaman”,
Paus memandang “manusia masa kini
tampaknya selalu terancam oleh apa yang dihasilkannya sendiri, buah
pekerjaannya, hasil akalbudi dan kecondongan kehendaknya…. Eksploitasi bumi,
rumah manusia, menuntut perencanaan yang wajar dan adil… Ketika eksploitasi
bumi bukan hanya untuk industri tetapi juga untuk militer… terbawalah ancaman
pada lingkungan alam manusia, yang justru menjauhkannya dari alam,
menyingkirkannya dari alam…. Padahal menurut kehendak Sang Pencipta, seharusnya
manusia berhubungan dengan alam sebagai “guru” dan “penjaga” yang penuh
pengertian dan luhur, bukan sebagai penghisap dan perusak yang gegabah. [Paus Yohanes Paulus II, opcit].
Badan-badan dunia, World Meteorological Organization (WMO), United Nations Environment Programme (UNEP) dan International Council of Scientific Unions
(ICSU) pada 1979 menyelenggarakan Konferensi Dunia yang pertama mengenai iklim
di Geneva, menyatakan perubahan iklim sebagai persoalan yang mendesak di dunia
dan mengingatkan pemerintah-pemerintah agar mengantisipasi kemungkinan bencana
yang berhubungan dengan iklim. Disusunlah suatu Program Dunia mengenai Iklim
melalui suatu panitia antar-pemerintah negara-negara.
Dunia mengalami Krisis Minyak Bumi kedua di
tahun 1979. Pemicunya adalah Revolusi Iran. Karena kekisruhan politik tahun
1978 produksi minyak Iran jatuh pada 1979 (setara 7% permintaan dunia) dan itu
menjadi peluang OPEC untuk mengisi suplai yang kosong sembari menaikkan harga. Resesi
dunia terpicu lagi sejak 1980, diperparah oleh Perang Iran-Irak 1980-1981, yang
menyebabkan produksi minyak kedua negara yang sibuk berperang anjlok dan
memperburuk tingkat persediaan minyak dunia. Besaran produksi minyak bumi pada
kurun 1978-1982 mengandung potensi penggunaan bahan bakar fosil dalam
melepaskan CO2 ke udara.
Produksi
Minyak Bumi Dunia 1978-1982 (dalam Juta Barel Per Hari) dan Indonesia
|
1978 |
1979 |
1980 |
1981 |
1982 |
Negara-negara OPEC |
30,25 |
31,45 |
27,44 |
23,38 |
19,92 |
Negara-negara Lain |
18,60 |
19,83 |
20,50 |
21,14 |
22,15 |
Total
Produksi Dunia |
48,85 |
51,28 |
47,94 |
44,52 |
42,07 |
|
|||||
Produksi
Indonesia |
1,63 |
1,59 |
1,57 |
1,68 |
1,41 |
Sumber: BP Statistical Review of Energy, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar