Daftar Blog Saya

Selasa, 01 November 2022

Setia Janji Hingga Akhir Hayat

 

 Timothy Radcliffe OP 

Pada Perjamuan Terakhir Petrus terburu-buru berjanji kepada Yesus: “Aku akan memberikan nyawaku bagiMu.” Ini bukan suatu contoh yang baik untuk mengucapkan janji. Tidak ada petunjuk bahwa janjinya itu suatu keputusan yang penuh tekat dan matang. Suatu janji untuk menikahi seseorang yang dibuat serta merta dapat dengan mudah diingkari. Namun janji Petrus memberikan harapan kepada kita yang mengucapkan janji. Apa yang dilakukan Petrus menyatakan mengapa kita berani menjanjikan kesetiaan kepada seseorang, suami atau isteri kita, atau Tuhan.

            Di dalam masyarakat kita membuat janji tidak menimbulkan kredibilitas. Jika satu di antara tiga pernikahan berakhir dengan perceraian dan dalam suatu buku baru, Shattered Vows, dinyatakan bahwa imam-imam dan para religius meninggalkan kaul mereka beramai-ramai, lalu apakah kita bisa menerima janji-janji ini dengan serius? Sebagaimana dikatakan oleh Glynn de Moss ketika ia menikah untuk yang keduapuluh dua kalinya, “Perceraian tidak membuatku kecewa. Itu hanya ornamen hidup”. Apakah kita harus terus lanjut atau pura-pura saja? Janji Petrus menunjukkan mengapa kita berani bertindak seperti itu.

            Petrus berkata “Aku akan memberikan nyawaku bagiMu.” Dan menrut Santo Yohanes Yesus menjawab: “Kamu akan memberikan nyawamu bagiKu. Tetapi sesungguhnya aku berkata kepadamu, sebelum ayam berkokok kamu sudah menyangkal aku tiga kali.” Maka Petrus mengucapkan janji gila dan dalam beberapa jam kemudian ia sudah mengingkarinya. Tetapi pada akhirnya Tuhan membukakan suatu jalan untuknya kendati ia gagal.

            Petrus menghangatkan diri di dekat api arang di istana imam besar dan tiga kali ia menyangkal Kristus. Kemudian pada bab terakhir [Injil Yohanes] kita dapati dia sekali lagi di dekat api arang, memperbaiki penyangkalannya. Tiga kali Yesus bertanya kepadanya, “Petrus, apakah engkau mengasihi Aku?” Dan tiga kali Petrus mengurai kegagalannya dan mengakui bahwa ia mengasihi Tuhan. Lalu Yesus mengangkat janjinya pada waktu Perjamuan Terakhir dan mengikat Petrus dengan janjinya itu:

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.'' [Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah].

Kata-kata Petrus berlaku.



 

Martabat Manusia

Dalam tulisan ini sama sekali saya tidak bermaksud menghakimi mereka yang gugur janjinya, yang perkawinannya gagal, atau yang meninggalkan panggilan religiusnya. Bukan hak kita untuk menghakimi. Mungkin hanya sekedar mengajukan fakta, bahwa kadang-kadang janji menjadi mustahil dipertahankan. Kita harus jujur. Yang sebenarnya sayainginkan adalah menyatakan mengapa, sekalipun di dalam suatu masyarakat yang cenderung tidak menganggap janji itu sangat serius, janji adalah fundamental bagi martabat manusia, dan mengapa kita berani ambil risiko untuk mengikatkan diri.

            Alasan pertama mengapa kita harus mengucapkan janji adalah karena Allah melakukannya. Cerita tentang keselamatan kita adalah tentang Allah yang mewahyukan diri kepada kita sebagai yang membuat perjanjian. Sesudah Air Bah Ia menjumpai Nuh dan berjanji tidak akan lagi mendatangkan banjir besar hingga membinasakan manusia. Ia berjanji memberkati Abraham. Ia muncul di hadapan Musa dan menyatakan namaNya, Aku adalah Aku ada, dan Ia berjanji bahwa Ia akan membebaskan umatNya keluar dari perbudakan di Mesir.

            Mengucapkan janji bukan hanya sesuatu yang kebetulan dilakukan Tuhan, Janji-janji itu mengungkapkan siapa Dia. Aku akan membebaskan kamu. Dan kita saksikan sepenuhnya siapa Dia di dalam Yesus, pada siapa semua janjiNya terpenuhi.

            Maka alasan perdana mengapa kita harus dengan yakin berani berjanji – mungkin tidak sesegera Petrus jika kamu menginginkan suatu klausul pintu keluar di belakang hari nanti – adalah karena kita anak-anak Allah. Ini merupakan bagian dari martabat kita sehingga kita melakukan hal itu. Kucing dan anjing bisa loyal dan setia, tetapi mereka tidak bisa berjanji. Kita menunjukkan Tuhan kepada dunia dengan berani mengikuti teladan Bapa. Salah satu cara masyarakat menghancurkan martabat kita adalah dengan mengecilkan makna janji yang kita buat.

            Ketika Inggris membawa budak-budak untuk bekerja di perkebunan India Barat, secara sistematik perkawinan mereka dirusak. Pasangan-pasangan dipisahkan, upacara perkawinan dilarang, keluarga diceraiberaikan. Dan itu berarti bahwa dilakukan serangan pada budak-budak pada inti yang paling dalam, sebagai umat yang seperti Tuhan dan membuat janji. Tetapi budak-budak menolak penghinaan itu. Mereka tetap bertahan pada martabat mereka. Mereka menemukan upacara mereka sendiri. Mereka menunjukkan apa pun yang dipikir oleh pemilik perkebunan yang berkulit putih itu, mereka tetap anak-anak Tuhan dan diciptakan menurut gambar Tuhan. Masyarakat kita sendiri melakukan hal ini dengan lebih halus lagi melalui tekanan pekerjaan dan dengan penggambaran perkawinan dan seksualitas di dalam media. Lagu Elton John “Everybody needs a part time lover” [Setiap Orang Memerlukan Kekasih Paroh Waktu] tidak selaras dengan kesetiaan Allah Abraham, Ishak dan Yakub.

            Siapa saja yang mengucapkan janji akan segera mendapatkan diri mereka dalam situasi Petrus. Adalah situasi klasik bahwa tak lama sesudah seseorang menikah atau ditahbis mereka mengalami kekacauan. Bisa saja ini disebut sindroma Petrus. Menurut St Yohanes para prajurit datang dan akan menangkap Yesus.  “Siapa yang kamu cari?” tanya Yesus. Dan Yesus menjawab “Akulah Dia.” Dia tidak hanya berkata bahwa Dialah orang yang mereka cari. Dua kali Ia menggunakan nama ilahi, Aku adalah Aku ada, I AM. Inilah Tuhan yang menampakkan Diri kepada Musa yang berjanji akan membebaskan umat dari perbudakan Mesir. Dan ketika perempuan datang dan bertanya kepada Petrus bukankah dia salah seorang dari murid-murid Yesus, maka dua kali Petrus menjawab “I am not” (Aku bukan). Ia menyangkal bahwa dia adalah anak Allah yang membuat janji. Ia juga menyangkal dirinya sendiri. Ia menolak jatidirinya. Di dekat api bara di pantai, tiga kali ia boleh menyatakan kembali identitas itu, “Engkau tahu aku mengasihi Engkau”. Ia bukan sekedar dimaafkan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri lagi.

 Masa Depan

Salah satu alasan mengapa masyarakat kita cenderung tidak menganggap janji-janji sebagai sesuatu yang serius adalah karena sulit percaya bahwa janji itu menyentuh jati diri kita yang sedalam-dalamnya. Aku ingat seorang Provinsial suatu hari berkata kepadaku bahwa ia berbicara dengan seorang siswa yang mengucapkan kaul sementara dan akan mengucapkan kaul kekal, dan ia bertanya kepada siswa itu, “Bisakah kamu sungguh-sungguh berjanji untuk setia sampai mati?” dan siswa itu berkata:

“Itu tergantung apa maksudnya. Jika maksud Anda : Saya akan setia pada Anda tidak peduli apapun yang Anda minta dari saya, juga seandainya Anda meminta nyawa saya? Lalu jawabannya adalah Ya. Tapi jika maksud Anda: apakah saya akan terus menjadi Dominikan sampai mati? Wah, saya tidak tahu. Siapa yang tahu saya ini akan jadi apa?”

Ini mau mengatakan bahwa seseorang akan memberikan apa saja, memberikan seluruh dirinya sekarang, tetapi lain soal untuk berjanji berkelanjutan tahun demi tahun, apapun yang terjadi, siapapun yang akan dijumpai dan dengan siapapun ia jatuh cinta. Keraguan seperti itu lah yang menantang orang ketika ia hendak mengucapkan janji perkawinan. Mencintai seseorang sama saja dengan memberikan semua yang Anda punya dan seluruh diri Anda. Tetapi satu hal yang sering sulit dijanjikan adalah masa depan; kita bisa menjanjikan segalanya kecuali waktu, seluruh waktu kita. Mengapa bentuk komitmen ini begitu sulit dibuat?

            Sebagian adalah berbeda dari para leluhur, kita mungkin merasa bahwa kita akan berubah ketika kita bertumbuh menjadi tua, kita tidak sama seperti sebelumnya. Bagaimana aku mengikatkan seseorang yang belum ada, yang belum sungguh-sungguh eksis, pribadiku yang akan datang nanti?

            Jika Anda pernah berjumpa dan memberikan nasehat kepada orang yang perkawinannya sedang goyah, atau bruder, suster, pastor yang sedang mengalami saat-saat sulit, mereka mungkin berkata begini:

“Aku bukan orang yang sama yang dulu menikahi Jane atau Edward, atau yang mengucapkan kaul atau bejanji akan taat kepada uskup itu. Waktu itu aku masih muda dan naif; sesudahnya aku melakukan perjalanan, aku bertemu Mozart dan Madonna, punya pengalaman, punya gelar. Aku sudah lain dari anak muda idealis itu dulu, yang matanya cerah waktu umurnya duapuluh lima tahun. Aku tidak bisa terikat oleh janji yang diucapkan anak muda itu. Orang itu sudah tidak eksis lagi.”

Meminjam kata-kata [komponis/penyanyi lagu-lagu rakyat John] Donne “Kita sekarang bukan lagi orang-orang itu, yang adalah kita dulu.”

            Berjanji hanya punya makna jika orang percaya bahwa pribadi yang membuat janji itu masih tetap ada. Aku ini siapa tidak dikenal dengan seketika, tetapu ditemukan dalam seluruh riwayat hidupku. Janji-janji bagi Generasi Sekarang adalah suatu perayaan kedalaman komitmen bukan perluasannya dalam waktu. Pengertian kita tentang siapa kita ini, apa artinya bagiku menjadi diriku, cenderung hanya mengakar pada saat ini, dengan suka dukanya.

            Alasdair McIntyre menulis:

Modernitas mengungkung setiap orang menjadi suatu varietas segmen, masing-masing dengan norma-norma dan cara bertindak sendiri. Maka kerja dibedakan dari kesenangan, hidup pribadi dibedakan dari hidup publik, komunal lain dari yang individual. Maka baik masa muda dan masa tua tersisih dari hidup manusia selebihnya dan dijadikan realitas yang berbeda. Dan semua pemisahan terlaksana sedemikian sehingga kita diajar memikirkan kekhasan dari masing-masing bagian masa itu dan bukan kesatuan hidup orang yang melalui semua bagian-bagian masa itu.

Maka ada majalah untuk anak-anak, program TV untuk lansia (lanjut usia) yang berumur 80-an, program liburan untuk orang muda lajang. Di Amerika Serikat terdapat programa Televisi yang sama sekali baru, yang berkenaan dengan kehidupan cinta orang tengah baya (umur empatpuluhan). Jadi kapan saja kita tidak didorong untuk memikirkan diri kita sebagai orang yang hidupnya mempunyai makna di dalam keseluruhan, melainkan sekedar sebagai orang saat ini, waktu kini, pada usia ini. Dan itu berarti bahwa ketika hidup kita serasa tidak bermakna, maka kita mengalami semacam krisis, dan krisis itu tampaknya tak bisa kuatasi karena yang kupunya hanya saat ini saja! Bagi Generasi sekarang suatu krisis saat ini merupakan suatu krisis yang tak punya kemungkinan untuk bisa ditolong.

Cerita yang Lebih Panjang

 Yang disampaikan cerita Petrus kepada kita adalah suatu kisah yang lebih panjang, berawal dari panggilannya di Galilea, perjalanannya ke Yerusalem bersama Yesus, perasaan galau dan ketakutan, melewati pengkhianatan, hingga sampai pada pertemuan di pantai, di mana ia disembuhkan. Hanya jika menempatkan diri di dalam kisah yang panjang itulah kita dapat memahami janji-janji itu, sehingga kita dapat mengatasi berbagai kegagalan dan tidak remuk tergilas olehnya, dan dapat dibawa mengatasi kegagalan-kegagalan itu. Dalam rentang waktu yang lebih panjang, dari lahir hingga mati, dan akhirnya dari Penciptaan hingga Kerajaan Allah, dapat dipahami betapapun cepatnya terucapkan kata-kata: “Aku berjanji”. Kisah yang lebih panjang itulah yang kita ingat dalam perulangan tahun liturgi setiap tahunnya, yang membawa kita ke Taman Gethsemane, melintasi Jumat Agung, hingga Hari Paskah, dan pediangan yang lain lagi.

            Sementara seseorang yang masih berada dalam perjalanan, sering mustahil baginya untuk memahami makna janji. Pada Perjamuan Terakhir, Petrus berkata kepada Yesus: ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi?'' Jawab Yesus: ''Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.''  Kata Petrus kepada-Nya: ''Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!''



            “Ke manakah Engkau pergi?'' Petrus berjanji hendak mengikuti Yesus tetapi tidak tahu tujuannya ke mana. Seperti Pilatus ia tidak menunggu jawaban. Ia tak bisa memahami apa artinya janji yang dikatakannya. Pertanyaannya tetap tak terjawab hingga hampir akhir hayatnya. Suatu cerita dari abad kedua mengisahkan pada suatu hari, ketika terjadi penganiayaan, Petrus lari dari Roma untuk menyelamatkan diri, dan ia berpapasan dengan Kristus yang berjalan berlawanan arah dengannya.  Dan sekali lagi, untuk kedua kalinya, ia berkata kepada Yesus: ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi? Quo vadis?” Dan Yesus menjawab “Aku pergi ke Roma untuk mati”. Maka Petrus berbalik arah dan pada akhirnya memenuhi janjinya kepada Kristus. Hanya pada akhirnya ia mempunyai suatu jawaban bagi pertanyaannya sendiri.

            Kapan kita membuat janji, di dalam baptis, di waktu perkawinan atau kaul religius, kita tidak tahu di mana janji itu akan membawa kita. Setiap janji mengandung pertanyaan secara implisit dan belum bisa dijawab. Quo vadis? Kita tak dapat melihat ke depan dengan gamblang apa artinya berjanji kamu kepada suatu Ordo yang mengirim kamu ke Eslandia, atau memintamu belajar bahasa China, atau membiarkan kamu sendirian tanpa dukungan atau persahabatan. Itulah hakekat suatu janji yang merupakan kuk pada pertanyaan Petrus yang belum terjawab.

Bertahan

Tentu itulah sebabnya mereka yang mengucap janji kadang berasa percuma berusaha menepatinya. Apa yang mungkin bisa menjadi alasan untuk tetap menikah dengan lelaki itu? Apakah masuk akal untuk terus menjadi imam jika bersama Edwina akan jauh lebih memuaskan? Kita mungkin dapat membina suatu keluarga Katolik yang baik dan berbakti sekadarnya untuk Gereja dengan cara itu. Mungkin ada juga yang merasa punya kewajiban moral untuk meninggalkan kaul. Tetapi kita mungkin harus menjadi saksi Tuhan yang membuat janji-janji dan terus bertahan di sana, terus tergantung pada salib.

            Dalam hidup kita, akan kita menjumpai orang-orang yang padanya nyaris tak bisa kita katakan apa-apa; orang yang kehilangan isteri atau suami, menderita kehancuran hati; orang-orang yang miskin, tersisih dari masyarakat dan tak mendapatkan jalan kembali; orang yang mengemis makanan di pintu dan memohon sedikit harap. Apa yang bisa kita katakan? Apa yang bisa kita pahami dari pengalaman mereka? Kadang yang bisa kita sampaikan pada mereka hanyalah bahwa Tuhan telah memberikan janjiNya pada kita, akan menyembuhkan kita, akan membangkitkan kita dari mati, dan akan mendatangkan Kerajaan. Dan bagaimana kita bisa bicara tentang Tuhan yang memberikan semua janji itu jika tidak ada suatu tanda? Dan tanda itu adalah isteri dan suami yang memadu janji; rahib muda atau suster kontemplatif atau suster aktif dan para bruder yang mengucapkan kaul. Bisa juga lajang yang setia iman pada Tuhan, yang tetap menekuni janji baptisnya, dan tetap setia pada janji apa pun yang dibuatnya. Di dalam suatu masyarakat di mana ada jutaan orang kehilangan dasar untuk berharap, tak punya prospek untuk mendapat pekerjaan, terpuruk dalam pengangguran sepanjang hayat, maka Tuhan segala janji adalah satu-satunya Tuhan yang bisa kita khotbahkan.

 Kaul Kemiskinan

Baru-baru ini saya mengunjungi suatu komunitas suster-suster Little Sisters of Charles de Foucould yang tinggal di suatu barrio di pinggiran kota Lisbon, dekat bandara. Orang-orang yang tinggal di kawasan itu terutama pendatang dari Afrika, dari Mozambique, Guinea dan Angola, dan sebagian kaum gipsi, tanpa saluran air minum dan listrik dan terancam penggusuran. Ketika saya tiba di sana lantai rumah penuh dengan anak-anak yang sedang menggambar, sebab pekan depan ada pesta. Salah seorang suster akan kaul kekal. Setiap orang melibatkan diri dalam persiapan Misa dan perjamuan. Pada hari raya itu seribu orang datang memadati tenda yang dipinjam untuk kesempatan seperti itu. Hari itu adalah hari untuk mereka, di mana orang-orang Portugis, Afrika dan gipsi dapat menari dan menyanyi bersama. Lalu mengapa mereka semua, baik yang beriman maupun yang tidak begitu jelas apakah beriman, merayakannya? Sebab jika suster itu datang ke sana dan berbagi hidup dengan mereka, dan mengucapkan kaul kemiskinan menyertai mereka, lalu pasti ada harapan. Ini tentulah kesempatan yang menjelaskan apa artinya mengucapkan janji kaul.

            Suatu ketika Pemimpin Ordo Dominikan pergi untuk menerima prasetia kekal dari tiga rahib muda yang berada di dalam penjara di Brazil. Seluruh komunitas ditahan sebagai bagian dari penganiayaan atas Ordo oleh pihak yang kemudian menjadi pemerintah militer di sana, karena perjuangan mereka demi hak-hak asasi manusia. Mereka ditahan dengan tuduhan palsu  membantu rencana komunis. Penjara bukan tempat yang lazim bagi para rahib untuk mengucapkan kaul, tetapi mungkin itu mengungkapkan apa artinya mengucapkan janji prasetia, yaitu keyakinan akan Tuhan yang setia pada kita, yang telah menjanjian dunia yang adalah yang adalah Kerajaan Allah, dan yang setia pada janjiNya.

            Kata Ibrani untuk berjanji adalah dabar, mengucap sepatah kata. Tuhan yang membuat janji adalah Dia yang menyampaikan sepatah kata. Maka persoalannya adalah semata-mata : Apakah kata-kata kita bermakna? Apakah kata-kata berbobot?

 

Penyelenggaraan Tuhan

Mungkin terdengar seperti gambaran yang suram tentang kesetiaan. Setelah mengucapkan janji prasetia selayaknyalah seseorang bertahan hingga pasa kesudahan. Seseorang terikat terus pada suaminya atau isterinya atau hidup religius dan tidak ada gambaran lain di masa depan selain terus bertahan. Mungkinkah itu yang diminta Tuhan? Dan jika kita jujur, kadang-kadang tampak sulit dipercaya. Ada beberapa perkawinan yang sungguh-sungguh hancur dan tampaknya tidak ada jalan untuk terus maju. Namun secara implisit kita hanya dapat mengucapkan janji dengan kepercayaan akan penyelenggaraan Tuhan. Tuhan segala janji akan memberi pertolongan. Ketika Tuhan menyuruh Abraham membawa puteranya Ishak ke gunung dan menjadikan dia kurban persembahan, lalu Tuhan menyediakan domba untuk menggantikannya. “Di gunung itu, Tuhan akan menolong.” Maka suatu janji kaul bukanlah pernyataan akan kekutan kita sendiri, melainkan pernyataan harapan akan penyelenggaraan Tuhan. Petrus lemah dan ia gagal, tetapi Yesuslah yang memberikan pada dia jalan. Janji yang terburu-buru dari Petrus menggugurkan semua gambaran mengenai kaul yang didasarkan pada kekuatan tekat belaka. Petrus memilih pediangan di istana imam besar tetapi Tuhan menyediakan pediangan baginya di pantai. Bagai sementara orang tampaknya tak ada penyelenggaraan ilahi, dan aku hanya bisa minta maaf karena tidak memberi renungan atas dasar pengalaman mereka. Seseorang tidak bisa mengerjakan segalanya.

            Suatu butir terakhir: kaul Petrus adalah kaul untuk mati. “Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!'' Janji yang mengubah hidup kita, yang membuatnya terarah, suatu pola, bukan sekedar rentetan masa, adalah semua yang dibuat di hadapan maut. Dalam janji baptis kita bergabung dengan wafat Kristus, dalam perkawinan janji kita adalah “hingga kematian memisahkan kita”, dan janji religius adalah usque ad mortem, sampai mati. Janji-janji itu menghadapkan kita pada kematian kita sendiri. Mungkin salah satu alasan mengapa sekarang berat sekali untuk berpegang pada janji kaul adalah karena kita melarikan diri dari fakta bahwa kita harus mati. Masyarakat kita dibangun atas impian tentang kekuasaan, atas lingkungan kita, atas satu sama lain, namun kematian menunjukan batas kekuasaan kita. Kita bisa mengirim manusia ke bulan, tapi tetap saja kita harus mati.

            Dalam novel A Single Man karya Christopher Isherwood, seorang lelaki tengah baya memandang dirinya pada cermin:

Ia memandang dan terus memandang cermin itu dan tampak banyak wajah dalam wajahnya – wajah seorang anak, seorang remaja lelaki, seorang pemuda, dan seorang yang tidak muda lagi – semuanya tampak beku, diawetkan seperti fosil dari lapisan yang satu di bawah lapisan yang lain. Pesan mereka pada mahluk hidup yang akan mati adalah : Lihatlah kami – kami sudah mati – apa yang ditakutkan? Jawaban wajah yang satu adalah : Semuanya itu terjadi berangsur-angsur, dengan gampang. Aku takut terburu-buru.

             “Aku takut terburu-buru”. Tetapi kita tidak melakukan janji kaul sendirian. Kita mengucapkan janji kaul itu satu sama lain. Janji kaul adalah bersama dan di dalam suatu komunitas. Dan mungkin kita hanya berani melakukannya karena komunitas, teman-teman, para burder, para suster, membantu kita menghadapi dan merangkul kefanaan kita, bahwa kita akan mati. Maka kita berani berjalan terus.

            Setiap tindakan pengucapan janji kaul adalah tindakan kepercayaan. Di sana selalu ada pertanyaan yang tak terjawab dari Petrus, ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” dan paling akut jika seseorang berhadapan dengan kematian. Orang menyerahkan diri ke dalam tangan Tuhan, namun menurut D.H. Lawrence,  “Adalah hal yang sangat menakutkan berada di tangan Allah yang hidup. Tetapi jauh lebih menakutkan jika terlepas dari tanganNya.”

Artikel dalam Priest and People, Juli 1989, hal. 259-263. Diterjemahkan Bambang Kussriyanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar