Timothy Radcliffe OP
Pada Perjamuan
Terakhir Petrus terburu-buru berjanji kepada Yesus: “Aku akan memberikan
nyawaku bagiMu.” Ini bukan suatu contoh yang baik untuk mengucapkan janji.
Tidak ada petunjuk bahwa janjinya itu suatu keputusan yang penuh tekat dan matang. Suatu janji untuk
menikahi seseorang yang dibuat serta merta dapat dengan mudah diingkari. Namun
janji Petrus memberikan harapan kepada kita yang mengucapkan janji. Apa yang
dilakukan Petrus menyatakan mengapa kita berani menjanjikan kesetiaan kepada
seseorang, suami atau isteri kita, atau Tuhan.
Di dalam masyarakat kita membuat
janji tidak menimbulkan kredibilitas. Jika satu di antara tiga pernikahan
berakhir dengan perceraian dan dalam suatu buku baru, Shattered Vows, dinyatakan bahwa imam-imam dan para religius
meninggalkan kaul mereka beramai-ramai, lalu apakah kita bisa menerima
janji-janji ini dengan serius? Sebagaimana dikatakan oleh Glynn de Moss ketika
ia menikah untuk yang keduapuluh dua kalinya, “Perceraian tidak membuatku
kecewa. Itu hanya ornamen hidup”. Apakah kita harus terus lanjut atau pura-pura
saja? Janji Petrus menunjukkan mengapa kita berani bertindak seperti itu.
Petrus berkata “Aku akan memberikan
nyawaku bagiMu.” Dan menrut Santo Yohanes Yesus menjawab: “Kamu akan memberikan
nyawamu bagiKu. Tetapi sesungguhnya aku berkata kepadamu, sebelum ayam berkokok
kamu sudah menyangkal aku tiga kali.” Maka Petrus mengucapkan janji gila dan
dalam beberapa jam kemudian ia sudah mengingkarinya. Tetapi pada akhirnya Tuhan
membukakan suatu jalan untuknya kendati ia gagal.
Petrus menghangatkan diri di dekat
api arang di istana imam besar dan tiga kali ia menyangkal Kristus. Kemudian
pada bab terakhir [Injil Yohanes] kita dapati dia sekali lagi di dekat api
arang, memperbaiki penyangkalannya. Tiga kali Yesus bertanya kepadanya,
“Petrus, apakah engkau mengasihi Aku?” Dan tiga kali Petrus mengurai
kegagalannya dan mengakui bahwa ia mengasihi Tuhan. Lalu Yesus mengangkat
janjinya pada waktu Perjamuan Terakhir dan mengikat Petrus dengan janjinya itu:
Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat
pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika
engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan
mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.'' [Dan
hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan
memuliakan Allah].
Kata-kata Petrus
berlaku.
Martabat Manusia
Dalam tulisan ini sama
sekali saya tidak bermaksud menghakimi mereka yang gugur janjinya, yang
perkawinannya gagal, atau yang meninggalkan panggilan religiusnya. Bukan hak
kita untuk menghakimi. Mungkin hanya sekedar mengajukan fakta, bahwa
kadang-kadang janji menjadi mustahil dipertahankan. Kita harus jujur. Yang
sebenarnya sayainginkan adalah menyatakan mengapa, sekalipun di dalam suatu
masyarakat yang cenderung tidak menganggap janji itu sangat serius, janji
adalah fundamental bagi martabat manusia, dan mengapa kita berani ambil risiko
untuk mengikatkan diri.
Alasan pertama mengapa kita harus
mengucapkan janji adalah karena Allah melakukannya. Cerita tentang keselamatan
kita adalah tentang Allah yang mewahyukan diri kepada kita sebagai yang membuat
perjanjian. Sesudah Air Bah Ia menjumpai Nuh dan berjanji tidak akan lagi
mendatangkan banjir besar hingga membinasakan manusia. Ia berjanji memberkati
Abraham. Ia muncul di hadapan Musa dan menyatakan namaNya, Aku adalah Aku ada,
dan Ia berjanji bahwa Ia akan membebaskan umatNya keluar dari perbudakan di
Mesir.
Mengucapkan janji bukan hanya
sesuatu yang kebetulan dilakukan Tuhan, Janji-janji itu mengungkapkan siapa
Dia. Aku akan membebaskan kamu. Dan kita saksikan sepenuhnya siapa Dia di dalam
Yesus, pada siapa semua janjiNya terpenuhi.
Maka alasan perdana mengapa kita
harus dengan yakin berani berjanji – mungkin tidak sesegera Petrus jika kamu
menginginkan suatu klausul pintu keluar di belakang hari nanti – adalah karena
kita anak-anak Allah. Ini merupakan bagian dari martabat kita sehingga kita
melakukan hal itu. Kucing dan anjing bisa loyal dan setia, tetapi mereka tidak
bisa berjanji. Kita menunjukkan Tuhan kepada dunia dengan berani mengikuti
teladan Bapa. Salah satu cara masyarakat menghancurkan martabat kita adalah
dengan mengecilkan makna janji yang kita buat.
Ketika Inggris membawa budak-budak
untuk bekerja di perkebunan India Barat, secara sistematik perkawinan mereka
dirusak. Pasangan-pasangan dipisahkan, upacara perkawinan dilarang, keluarga
diceraiberaikan. Dan itu berarti bahwa dilakukan serangan pada budak-budak pada
inti yang paling dalam, sebagai umat yang seperti Tuhan dan membuat janji.
Tetapi budak-budak menolak penghinaan itu. Mereka tetap bertahan pada martabat
mereka. Mereka menemukan upacara mereka sendiri. Mereka menunjukkan apa pun
yang dipikir oleh pemilik perkebunan yang berkulit putih itu, mereka tetap
anak-anak Tuhan dan diciptakan menurut gambar Tuhan. Masyarakat kita sendiri
melakukan hal ini dengan lebih halus lagi melalui tekanan pekerjaan dan dengan
penggambaran perkawinan dan seksualitas di dalam media. Lagu Elton John
“Everybody needs a part time lover” [Setiap Orang Memerlukan Kekasih Paroh
Waktu] tidak selaras dengan kesetiaan Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
Siapa saja yang mengucapkan janji
akan segera mendapatkan diri mereka dalam situasi Petrus. Adalah situasi klasik
bahwa tak lama sesudah seseorang menikah atau ditahbis mereka mengalami
kekacauan. Bisa saja ini disebut sindroma Petrus. Menurut St Yohanes para
prajurit datang dan akan menangkap Yesus.
“Siapa yang kamu cari?” tanya Yesus. Dan Yesus menjawab “Akulah Dia.” Dia
tidak hanya berkata bahwa Dialah orang yang mereka cari. Dua kali Ia
menggunakan nama ilahi, Aku adalah Aku ada, I AM. Inilah Tuhan yang menampakkan
Diri kepada Musa yang berjanji akan membebaskan umat dari perbudakan Mesir. Dan
ketika perempuan datang dan bertanya kepada Petrus bukankah dia salah seorang
dari murid-murid Yesus, maka dua kali Petrus menjawab “I am not” (Aku bukan).
Ia menyangkal bahwa dia adalah anak Allah yang membuat janji. Ia juga
menyangkal dirinya sendiri. Ia menolak jatidirinya. Di dekat api bara di
pantai, tiga kali ia boleh menyatakan kembali identitas itu, “Engkau tahu aku
mengasihi Engkau”. Ia bukan sekedar dimaafkan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri
lagi.
Masa Depan
Salah satu alasan
mengapa masyarakat kita cenderung tidak menganggap janji-janji sebagai sesuatu
yang serius adalah karena sulit percaya bahwa janji itu menyentuh jati diri
kita yang sedalam-dalamnya. Aku ingat seorang Provinsial suatu hari berkata
kepadaku bahwa ia berbicara dengan seorang siswa yang mengucapkan kaul sementara
dan akan mengucapkan kaul kekal, dan ia bertanya kepada siswa itu, “Bisakah
kamu sungguh-sungguh berjanji untuk setia sampai mati?” dan siswa itu berkata:
“Itu
tergantung apa maksudnya. Jika maksud Anda : Saya akan setia pada Anda tidak
peduli apapun yang Anda minta dari saya, juga seandainya Anda meminta nyawa
saya? Lalu jawabannya adalah Ya. Tapi jika maksud Anda: apakah saya akan terus
menjadi Dominikan sampai mati? Wah, saya tidak tahu. Siapa yang tahu saya ini
akan jadi apa?”
Ini mau mengatakan bahwa seseorang akan memberikan apa saja, memberikan seluruh dirinya sekarang, tetapi lain soal untuk berjanji berkelanjutan tahun demi tahun, apapun yang terjadi, siapapun yang akan dijumpai dan dengan siapapun ia jatuh cinta. Keraguan seperti itu lah yang menantang orang ketika ia hendak mengucapkan janji perkawinan. Mencintai seseorang sama saja dengan memberikan semua yang Anda punya dan seluruh diri Anda. Tetapi satu hal yang sering sulit dijanjikan adalah masa depan; kita bisa menjanjikan segalanya kecuali waktu, seluruh waktu kita. Mengapa bentuk komitmen ini begitu sulit dibuat?
Sebagian adalah berbeda dari para
leluhur, kita mungkin merasa bahwa kita akan berubah ketika kita bertumbuh
menjadi tua, kita tidak sama seperti sebelumnya. Bagaimana aku mengikatkan seseorang
yang belum ada, yang belum sungguh-sungguh eksis, pribadiku yang akan datang
nanti?
Jika Anda pernah berjumpa dan
memberikan nasehat kepada orang yang perkawinannya sedang goyah, atau bruder,
suster, pastor yang sedang mengalami saat-saat sulit, mereka mungkin berkata
begini:
“Aku
bukan orang yang sama yang dulu menikahi Jane atau Edward, atau yang
mengucapkan kaul atau bejanji akan taat kepada uskup itu. Waktu itu aku masih
muda dan naif; sesudahnya aku melakukan perjalanan, aku bertemu Mozart dan
Madonna, punya pengalaman, punya gelar. Aku sudah lain dari anak muda idealis
itu dulu, yang matanya cerah waktu umurnya duapuluh lima tahun. Aku tidak bisa
terikat oleh janji yang diucapkan anak muda itu. Orang itu sudah tidak eksis
lagi.”
Meminjam kata-kata [komponis/penyanyi lagu-lagu rakyat John] Donne “Kita sekarang bukan lagi orang-orang itu, yang adalah kita dulu.”
Berjanji hanya punya makna jika
orang percaya bahwa pribadi yang membuat janji itu masih tetap ada. Aku ini
siapa tidak dikenal dengan seketika, tetapu ditemukan dalam seluruh riwayat
hidupku. Janji-janji bagi Generasi
Sekarang adalah suatu perayaan kedalaman
komitmen bukan perluasannya dalam
waktu. Pengertian kita tentang siapa kita ini, apa artinya bagiku menjadi
diriku, cenderung hanya mengakar pada saat ini, dengan suka dukanya.
Alasdair McIntyre menulis:
Modernitas
mengungkung setiap orang menjadi suatu varietas segmen, masing-masing dengan
norma-norma dan cara bertindak sendiri. Maka kerja dibedakan dari kesenangan,
hidup pribadi dibedakan dari hidup publik, komunal lain dari yang individual.
Maka baik masa muda dan masa tua tersisih dari hidup manusia selebihnya dan
dijadikan realitas yang berbeda. Dan semua pemisahan terlaksana sedemikian
sehingga kita diajar memikirkan kekhasan dari masing-masing bagian masa itu dan
bukan kesatuan hidup orang yang melalui semua bagian-bagian masa itu.
Maka ada majalah untuk anak-anak, program TV untuk lansia (lanjut usia) yang berumur 80-an, program liburan untuk orang muda lajang. Di Amerika Serikat terdapat programa Televisi yang sama sekali baru, yang berkenaan dengan kehidupan cinta orang tengah baya (umur empatpuluhan). Jadi kapan saja kita tidak didorong untuk memikirkan diri kita sebagai orang yang hidupnya mempunyai makna di dalam keseluruhan, melainkan sekedar sebagai orang saat ini, waktu kini, pada usia ini. Dan itu berarti bahwa ketika hidup kita serasa tidak bermakna, maka kita mengalami semacam krisis, dan krisis itu tampaknya tak bisa kuatasi karena yang kupunya hanya saat ini saja! Bagi Generasi sekarang suatu krisis saat ini merupakan suatu krisis yang tak punya kemungkinan untuk bisa ditolong.
Cerita yang Lebih Panjang
Sementara seseorang yang masih berada
dalam perjalanan, sering mustahil baginya untuk memahami makna janji. Pada
Perjamuan Terakhir, Petrus berkata kepada Yesus: ''Tuhan, ke manakah Engkau
pergi?'' Jawab Yesus: ''Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku
sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.'' Kata Petrus kepada-Nya: ''Tuhan, mengapa aku
tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!''
“Ke manakah Engkau pergi?'' Petrus
berjanji hendak mengikuti Yesus tetapi tidak tahu tujuannya ke mana. Seperti
Pilatus ia tidak menunggu jawaban. Ia tak bisa memahami apa artinya janji yang
dikatakannya. Pertanyaannya tetap tak terjawab hingga hampir akhir hayatnya.
Suatu cerita dari abad kedua mengisahkan pada suatu hari, ketika terjadi
penganiayaan, Petrus lari dari Roma untuk menyelamatkan diri, dan ia berpapasan
dengan Kristus yang berjalan berlawanan arah dengannya. Dan sekali lagi, untuk kedua kalinya, ia
berkata kepada Yesus: ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi? Quo vadis?” Dan Yesus menjawab “Aku pergi ke Roma untuk mati”. Maka
Petrus berbalik arah dan pada akhirnya memenuhi janjinya kepada Kristus. Hanya
pada akhirnya ia mempunyai suatu jawaban bagi pertanyaannya sendiri.
Kapan kita membuat janji, di dalam
baptis, di waktu perkawinan atau kaul religius, kita tidak tahu di mana janji
itu akan membawa kita. Setiap janji mengandung pertanyaan secara implisit dan
belum bisa dijawab. Quo vadis? Kita
tak dapat melihat ke depan dengan gamblang apa artinya berjanji kamu kepada
suatu Ordo yang mengirim kamu ke Eslandia, atau memintamu belajar bahasa China,
atau membiarkan kamu sendirian tanpa dukungan atau persahabatan. Itulah hakekat
suatu janji yang merupakan kuk pada pertanyaan Petrus yang belum terjawab.
Bertahan
Tentu itulah
sebabnya mereka yang mengucap janji kadang berasa percuma berusaha menepatinya.
Apa yang mungkin bisa menjadi alasan untuk tetap menikah dengan lelaki itu?
Apakah masuk akal untuk terus menjadi imam jika bersama Edwina akan jauh lebih
memuaskan? Kita mungkin dapat membina suatu keluarga Katolik yang baik dan
berbakti sekadarnya untuk Gereja dengan cara itu. Mungkin ada juga yang merasa
punya kewajiban moral untuk meninggalkan kaul. Tetapi kita mungkin harus
menjadi saksi Tuhan yang membuat janji-janji dan terus bertahan di sana, terus
tergantung pada salib.
Dalam hidup kita, akan kita
menjumpai orang-orang yang padanya nyaris tak bisa kita katakan apa-apa; orang
yang kehilangan isteri atau suami, menderita kehancuran hati; orang-orang yang
miskin, tersisih dari masyarakat dan tak mendapatkan jalan kembali; orang yang
mengemis makanan di pintu dan memohon sedikit harap. Apa yang bisa kita
katakan? Apa yang bisa kita pahami dari pengalaman mereka? Kadang yang bisa
kita sampaikan pada mereka hanyalah bahwa Tuhan telah memberikan janjiNya pada
kita, akan menyembuhkan kita, akan membangkitkan kita dari mati, dan akan
mendatangkan Kerajaan. Dan bagaimana kita bisa bicara tentang Tuhan yang
memberikan semua janji itu jika tidak ada suatu tanda? Dan tanda itu adalah
isteri dan suami yang memadu janji; rahib muda atau suster kontemplatif atau
suster aktif dan para bruder yang mengucapkan kaul. Bisa juga lajang yang setia
iman pada Tuhan, yang tetap menekuni janji baptisnya, dan tetap setia pada
janji apa pun yang dibuatnya. Di dalam suatu masyarakat di mana ada jutaan
orang kehilangan dasar untuk berharap, tak punya prospek untuk mendapat
pekerjaan, terpuruk dalam pengangguran sepanjang hayat, maka Tuhan segala janji
adalah satu-satunya Tuhan yang bisa kita khotbahkan.
Baru-baru ini saya mengunjungi suatu komunitas suster-suster Little
Sisters of Charles de Foucould yang tinggal di suatu barrio di pinggiran kota Lisbon, dekat bandara. Orang-orang yang
tinggal di kawasan itu terutama pendatang dari Afrika, dari Mozambique, Guinea
dan Angola, dan sebagian kaum gipsi, tanpa saluran air minum dan listrik dan
terancam penggusuran. Ketika saya tiba di sana lantai rumah penuh dengan
anak-anak yang sedang menggambar, sebab pekan depan ada pesta. Salah seorang
suster akan kaul kekal. Setiap orang melibatkan diri dalam persiapan Misa dan
perjamuan. Pada hari raya itu seribu orang datang memadati tenda yang dipinjam
untuk kesempatan seperti itu. Hari itu adalah hari untuk mereka, di mana
orang-orang Portugis, Afrika dan gipsi dapat menari dan menyanyi bersama. Lalu
mengapa mereka semua, baik yang beriman maupun yang tidak begitu jelas apakah
beriman, merayakannya? Sebab jika suster itu datang ke sana dan berbagi hidup
dengan mereka, dan mengucapkan kaul kemiskinan menyertai mereka, lalu pasti ada
harapan. Ini tentulah kesempatan yang menjelaskan apa artinya mengucapkan janji
kaul.
Suatu ketika Pemimpin Ordo Dominikan
pergi untuk menerima prasetia kekal dari tiga rahib muda yang berada di dalam
penjara di Brazil. Seluruh komunitas ditahan sebagai bagian dari penganiayaan
atas Ordo oleh pihak yang kemudian menjadi pemerintah militer di sana, karena
perjuangan mereka demi hak-hak asasi manusia. Mereka ditahan dengan tuduhan
palsu membantu rencana komunis. Penjara
bukan tempat yang lazim bagi para rahib untuk mengucapkan kaul, tetapi mungkin
itu mengungkapkan apa artinya mengucapkan janji prasetia, yaitu keyakinan akan
Tuhan yang setia pada kita, yang telah menjanjian dunia yang adalah yang adalah
Kerajaan Allah, dan yang setia pada janjiNya.
Kata Ibrani untuk berjanji adalah dabar, mengucap sepatah kata. Tuhan yang
membuat janji adalah Dia yang menyampaikan sepatah kata. Maka persoalannya
adalah semata-mata : Apakah kata-kata kita bermakna? Apakah kata-kata berbobot?
Penyelenggaraan Tuhan
Mungkin terdengar
seperti gambaran yang suram tentang kesetiaan. Setelah mengucapkan janji
prasetia selayaknyalah seseorang bertahan hingga pasa kesudahan. Seseorang
terikat terus pada suaminya atau isterinya atau hidup religius dan tidak ada
gambaran lain di masa depan selain terus bertahan. Mungkinkah itu yang diminta
Tuhan? Dan jika kita jujur, kadang-kadang tampak sulit dipercaya. Ada beberapa
perkawinan yang sungguh-sungguh hancur dan tampaknya tidak ada jalan untuk
terus maju. Namun secara implisit kita hanya dapat mengucapkan janji dengan
kepercayaan akan penyelenggaraan Tuhan. Tuhan segala janji akan memberi
pertolongan. Ketika Tuhan menyuruh Abraham membawa puteranya Ishak ke gunung
dan menjadikan dia kurban persembahan, lalu Tuhan menyediakan domba untuk
menggantikannya. “Di gunung itu, Tuhan akan menolong.” Maka suatu janji kaul
bukanlah pernyataan akan kekutan kita sendiri, melainkan pernyataan harapan
akan penyelenggaraan Tuhan. Petrus lemah dan ia gagal, tetapi Yesuslah yang
memberikan pada dia jalan. Janji yang terburu-buru dari Petrus menggugurkan
semua gambaran mengenai kaul yang didasarkan pada kekuatan tekat belaka. Petrus
memilih pediangan di istana imam besar tetapi Tuhan menyediakan pediangan
baginya di pantai. Bagai sementara orang tampaknya tak ada penyelenggaraan
ilahi, dan aku hanya bisa minta maaf karena tidak memberi renungan atas dasar
pengalaman mereka. Seseorang tidak bisa mengerjakan segalanya.
Suatu butir terakhir: kaul Petrus
adalah kaul untuk mati. “Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!'' Janji yang mengubah
hidup kita, yang membuatnya terarah, suatu pola, bukan sekedar rentetan masa,
adalah semua yang dibuat di hadapan maut. Dalam janji baptis kita bergabung
dengan wafat Kristus, dalam perkawinan janji kita adalah “hingga kematian
memisahkan kita”, dan janji religius adalah usque
ad mortem, sampai mati. Janji-janji itu menghadapkan kita pada kematian
kita sendiri. Mungkin salah satu alasan mengapa sekarang berat sekali untuk
berpegang pada janji kaul adalah karena kita melarikan diri dari fakta bahwa
kita harus mati. Masyarakat kita dibangun atas impian tentang kekuasaan, atas
lingkungan kita, atas satu sama lain, namun kematian menunjukan batas kekuasaan
kita. Kita bisa mengirim manusia ke bulan, tapi tetap saja kita harus mati.
Dalam novel A Single Man karya Christopher Isherwood, seorang lelaki tengah
baya memandang dirinya pada cermin:
Ia
memandang dan terus memandang cermin itu dan tampak banyak wajah dalam wajahnya
– wajah seorang anak, seorang remaja lelaki, seorang pemuda, dan seorang yang
tidak muda lagi – semuanya tampak beku, diawetkan seperti fosil dari lapisan
yang satu di bawah lapisan yang lain. Pesan mereka pada mahluk hidup yang akan
mati adalah : Lihatlah kami – kami sudah mati – apa yang ditakutkan? Jawaban
wajah yang satu adalah : Semuanya itu terjadi berangsur-angsur, dengan gampang.
Aku takut terburu-buru.
Setiap tindakan pengucapan janji
kaul adalah tindakan kepercayaan. Di sana selalu ada pertanyaan yang tak
terjawab dari Petrus, ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” dan paling akut jika
seseorang berhadapan dengan kematian. Orang menyerahkan diri ke dalam tangan
Tuhan, namun menurut D.H. Lawrence, “Adalah
hal yang sangat menakutkan berada di tangan Allah yang hidup. Tetapi jauh lebih
menakutkan jika terlepas dari tanganNya.”
Artikel dalam Priest and People, Juli 1989, hal. 259-263. Diterjemahkan Bambang Kussriyanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar