Bambang Kussriyanto
Mengenangkan
dinamika sikap manusia dalam hubungan dengan Allah, di dalam ensiklik Fides
et Ratio (Iman dan Akal Budi, 1998)
Paus Yohanes Paulus II menulis: “Baik di Timur maupun Barat kita dapat
menemukan jejak perjalanan manusia selama berabad-abad untuk menemukan dan
merangkul kebenaran yang semakin dalam. Perjalanan ini memaparkan dalam
cakrawala kesadaran diri, bahwa semakin manusia mengenal realitas dan dunia,
semakin mereka mengenal diri sendiri dalam keunikannya, persoalan makna segala
sesuatu dan keberadaan dirinya semakin dirasakan mendesak pula. Tinjauan
sekilas atas sejarah kuno dengan jelas menunjukkan betapa di berbagai bagian
dunia yang berbeda dengan budaya mereka, muncul pertanyaan-pertanyaan dasar
yang sama: Siapa aku? Dari mana asalku dan ke mana aku pergi? Mengapa ada
kejahatan? Ada apa sesudah hidup ini berakhir? Semua pertanyaan ini kita
dapatkan pada tulisan-tulisan suci, dalam puisi dan drama tragedi, juga dalam
tulisan-tulisan filsafat. Pertanyaan-pertanyaan itu timbul dari sumber yang
sama yang mencari makna dan bergolak di hati manusia. Sesungguhnya jawaban atas
pertanyaan itu menentukan ke mana arah tujuan hidup orang....” (FeR, 1-2)
Tetap tersedia jalan-jalan untuk
mengenal Allah. “Karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil
untuk mengenal dan mencintai Allah, ia menemukan ‘jalan-jalan’ tertentu dalam
pencariannya agar mencapai pengenalan akan Allah” (KGK 31).
Yohanes Paulus II selanjutnya
menyatakan: “Terdorong oleh hasrat menemukan kebenaran terdalam mengenai
keberadaannya, manusia berusaha menemukan unsur-unsur pengetahuan universal
yang memampukan mereka memahami diri sendiri dengan lebih baik dan memajukan
perwujudan dirinya. Unsur-unsur dasar ini berasal dari rasa pesona yang
timbul dalam diri mereka ketika merenungkan alam semesta: manusia mendapatkan
diri sebagai bagian dari dunia, dalam suatu tata hubungan dengan orang-orang
lain sesama mereka, berbagi situasi yang sama. Dari situlah kemudian dimulai
perjalanan yang mengantar mereka kepada penemuan-penemuan ambang-batas baru
pengetahuan.
....kemampuan berpikir yang khas
pada akal-budi manusia menghasilkan cara berpikir yang hebat, dan pada
gilirannya, melalui kesimpulan-kesimpulan yang logis dan kesatuan organik dari
isinya, dihasilkanlah pengetahuan yang sistematik. Di dalam konteks budaya dan
zaman yang berbeda, proses ini membuahkan berbagai sistem pemikiran yang asli”
(FeR 4).
Dalam pandangan Paus Yohanes Paulus
II, berbagai sistem pemikiran memajukan berbagai bidang pengetahuan dan memacu
perkembangan kebudayaan. Antropologi, logika, sains, sejarah, ilmu bahasa dan
sebagainya. “Namun seharusnya hasil-hasil positif yang dicapai tidak
mengaburkan fakta bahwa akal-budi, dalam tujuan sepihaknya untuk mencari jati
diri manusia, rupanya telah melupakan bahwa pria dan wanita selalu dipanggil
untuk mengarahkan langkah mereka pada kebenaran yang melampaui mereka. Terlepas
dari kebenaran transenden itu, manusia terkungkung dalam kriteria pragmatik
yang didasarkan pada data eksperimental, dalam keyakinan yang salah bahwa
teknologi bisa melakukan segalanya. Karena itulah maka akal budi bukan lagi
menyuarakan kerinduan manusia kepada kebenaran yang ilahi, namun terpuruk oleh
beban berat pengetahuan-pengetahuan pragmatik itu dan lambat laun tidak mampu
mengangkat pandangannya lebih tinggi, dan tidak berani menatap kebenaran
mengenai keberadaannya” (FeR 5).
Demi bentuk pengetahuan yang lebih
dalam, Paus Yohanes Paulus II mengingatkan perlunya kerendahan hati yang diperlihatkan praktek Umat Allah. “Jika
akal budi mau jujur, maka tentulah ia menghormati dasar-dasar tertentu. Yang
pertama adalah bahwa akal budi harus menyadari bahwa pengetahuan manusia adalah
suatu ziarah perjalanan yang tak pernah berhenti; yang kedua bahwa jalan
pengetahuan itu bukanlah untuk menyombongkan
diri bahwa semuanya adalah hasil perjuangan pribadi; yang ketiga adalah
bahwa pengetahuan itu berasal dari sikap “takut akan Allah” yang bersumber dari
pengakuan akal budi pada kuasa dan kasih penyelanggaraan ilahi yang mengatasi
segala sesuatu” (FeR 18).
Jika dasar-dasar itu ditinggalkan,
manusia terjerumus dalam apa yang di dalam Kitab Suci disebut “kebodohan” dan
menjadi ancaman bagi hidup manusia. Orang bodoh mengira sudah mengetahui banyak
hal, tetapi sesungguhnya ia tidak dapat mengarahkan pandangannya pada hal-hal
yang sungguh penting. Maka ia tidak bisa mengatur pikirannya sendiri dan tidak
bisa menempatkan diri dengan sikap yang tepat pada dirinya sendiri dn pada
dunia sekelilingnya (Ams 1:7). Maka jika ia berkata “Tidak ada Allah” (bdk Mzm
14:1) dengan sangat jelas ia memerlihatkan betapa kurang pengetahuannya, dan
betapa jauh ia dari kebenaran yang penuh dari segala sesuatu, sehubungan dengan
asal dan tujuannya.
Pada hal seharusnya, di dalam
berpikir mengenai segala sesuatu itu, manusia dapat sampai kepada Allah. “Sebab
orang dapat mengenal Sang Pencipta dengan membanding-bandingkan kebesaran dan
keindahan ciptaan-ciptaan-Nya” (Keb 13:5). Inilah Wahyu ilahi tahap pertama, di
mana “kitab alam kodrati” jika dibaca dengan tepat oleh akal budi manusia dapat
membawa mereka kepada pengetahuan akan Allah. Jika manusia dengan kecerdasannya
gagal mengakui Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, hal itu bukanlah karena
mereka kekurangan sarana, tetapi karena kehendak bebas dan dosa-dosa
menghalangi mereka” (FeR 19).
Maka bagaimana pun juga jalan
pertama menuju pengenalan akan Allah adalah dunia. Allah tidak dicari sama
sekali terpisah dari dunia, melainkan pada dan di dunia. “Dari gerak dan
perkembangan, dari kontingensi, dari peraturan dan keindahan dunia, manusia
dapat mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta” (KGK 32). Santo
Paulus menegaskan mengenai mereka yang tidak mengenal Allah: "Karena apa
yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah
menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak tampak daripada-Nya, yaitu
kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak kepada pikiran dari
karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih"
(Rm 1:19-20). Dan Santo Agustinus berkata: "Tanyakanlah keindahan bumi,
tanyakanlah keindahan samudera, tanyakanlah keindahan udara yang menyebar luas,
tanyakanlah keindahan langit .... tanyakanlah semua benda. Semuanya akan
menjawab kepadamu: Lihatlah, betapa indahnya kami. Keindahan mereka adalah satu
pengakuan [confessio]. Siapakah yang
menciptakan benda-benda yang berubah, kalau bukan Dia yang Indah yang tidak dapat berubah" (Serm.
241,2).
Ditinjau secara demikian, daya
kemampuan dan nilai akal budi janganlah dibesarkan lebih dari yang sewajarnya.
Hasil penalaran memang bisa benar, tetapi hasil-hasil ini hanya akan
mendapatkan maknanya yang sejati jika ditempatkan pada horison yang lebih luas
dari iman: “Langkah manusia ditetapkan oleh Allah, tetapi bagaimanakah manusia
mengerti jalan hidupnya?” (Ams 20:24)
Manusia mencapai kebenaran dengan
akal budi karena, diterangi oleh iman, mereka menemukan makna yang lebih dalam
dari segala sesuatu dan yang terutama dari keberadaan mereka sendiri [bdk. FeR
20].
Manusia juga dapat mencapai
pengetahuan akan Allah melalui pergaulan dengan sesamanya. Maka manusia (dan
masyarakat manusia) menjadi jalan pengetahuan akan Allah. “Dengan
keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan
kebaikan moral, dengan kebebasannya dan dengan suara hati nuraninya, dengan
kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan, manusia
bertanya-tanya tentang adanya Allah. Dalam semuanya itu ia menemukan
tanda-tanda adanya jiwa rohani padanya. ‘Karena benih keabadian yang ia bawa
dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja’ (GS 18,1),
maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber (KGK 33).
Manusia Sebagai Jalan Pengetahuan
Manusia
dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dan kemudian melalui kegiatannya
memasuki masyarakat. Sejak lahir mereka mengikuti tradisi bahasa dan budaya
yang mengenalkan berbagai kebenaran yang dipercaya nyaris secara naluri. Ketika
semakin dewasa, kebenaran-kebenaran tertentu diragukan, ditimbang secara
kritis, dipikirkan dan dirumuskan kembali. Namun ada lebih banyak kebenaran
yang diterima begitu saja dan dipercaya sebagai benar daripada yang mengalami
verifikasi. Ini berarti bahwa manusia yang mencari kebenaran, hidup berdasarkan
kepercayaan (FeR 31).
“Kita mempercayakan diri pada
pengetahuan yang diterima orang lain. Lalu ada tegangan. Di satu pihak,
pengetahuan yang didapat karena percaya bisa dirasakan sebagai pengetahuan yang tidak sempurna dan
perlu disempurnakan dengan mengumpulkan bukti-bukti, di pihak lain, kepercayaan
sering lebih kaya daripada sekedar bukti, sebab di dalam kepercayaan itu
tersangkut hubungan antar manusia yang menjadi ajang bekerjanya kemampuan orang
untuk mengetahui dan juga kemampuan yang lebih dalam untuk percaya kepada orang
lain dalam suatu hubungan yang akrab dan bertahan lama. Perlu ditekankan bahwa
kebenaran yang dicari dalam hubungan antar pribadi ini bukan pertema-tama
kebenaran empiris dan filosofis, melainkan kebenaran mengenai pribadi, yang
timbul dari penyingkapan diri. Dan dalam dinamika pemberian diri yang penuh
kepercayaan inilah seseorang menemukan kepastian dan keamanan” (FeR 32).
Secara berangsur-angsur kita
menyusun konsep-konsep masalah. Pada hakekatnya manusia mencari kebenaran.
Pencarian ini bukan hanya untuk mencapai kebenaran yang bersifat sebagian,
empiris dan ilmiah; juga tidak sekedar untuk mendasari tindakan pribadi di
dalam pengambilan keputusan. Mereka mencari kebenaran terdalam yang dapat
menjelaskan makna hidup. Suatu pencarian yang hanya akan mencapai tujuannya
jika telah mencapai kebenaran mutlak. “Syukurlah karena kemampuan berpikir yang
ada padanya, manusia dapat menjumpai dan mengakui kebenaran terakhir itu.
Kebenaran seperti itu – yang sangat menentukan dan penting bagi hidup – dicapai
bukan hanya melalui akal budi, tetapi juga dengan memercayai apa yang telah
dicapai pihak lain yang dapat menjamin autentisitas dan kepastian dari
kebenaran itu. Maka tak pelak, kemampuan untuk memercayakan diri satu sama lain
dan keputusan untuk bertindak demikian merupakan tindakan manusia yang
signifikan dan ekspresif” (FeR 33).
Tak boleh dilupakan bahwa
beroperasinya akal budi perlu ditopang oleh dialog yang diwarnai kepercayaan
dan persahabatan yang tulus. Diperlukan suatu institusi, suatu komunitas dengan
iklim tertentu di mana dialog dapat dilancarkan tanpa takut. Suasana prasangka
dan curiga akan sangat merugikan pencarian kebenaran dan dapat mematikan
dinamika pemikiran.
Katekismus selanjutnya menyatakan [KGK
34] bahwa baik: Dunia dan manusia memberi kesaksian bahwa mereka dalam dirinya
sendiri tidak memiliki sebab mereka yang pertama serta tujuan mereka yang
terakhir... Melalui "jalan-jalan" yang berbeda manusia dapat sampai
kepada pengertian bahwa ada satu realitas, yang adalah sebab pertama dan tujuan
akhir dari segala-galanya, dan realitas ini ‘dinamakan Allah oleh semua orang’
(Tomas Aqu., STh. 1,2,3).
Namun telah dikatakan di depan,
konsep-konsep pengertian bisa keliru disusun. Hal itu disebabkan karena
keterbatasan bahasa manusia dalam menggambarkan Allah yang tidak terbatas.
Bahkan konsep tentang Allah pun bisa keliru. Maka perlu sekali untuk tanpa
henti memurnikan bahasa kita tentang Dia dari segala gambaran keterbatasan dan
ketidaksempurnaan, dengan kesadaran bahwa kita tak akan pernah dapat memaparkan
sepenuhnya misteri Allah yang tiada terbatas. Seorang penulis menyampaikan
kritik: “Allah dialami dan dirujuk sebagai suatu agama, suatu gereja, suatu
filsafat moral, suatu pedoman bagi keutamaan pribadi, suatu tuntutan akan
keadilan, atau sebagai suatu nostalgia akan situasi yang benar. Bagi kebanyakan
dari kita, kepercayaan kepada Allah adalah seperti berikut ini: Tuhan adalah
agama, dan agama merupakan suatu cara hidup – pergi ke gereja, mendapat
bimbingan dari Kitab Suci; melakukan seks di dalam rangka perkawinan monogami;
tidak berdusta, berbohong atau mengumpat; prinsip demokrasi; estetika (cita
rasa seni) yang benar; ramah dan bersikap baik satu sama lain.
Maka bagi kebanyakan dari kita,
Allah lebih merupakan suatu prinsip moral dan intelektual dari pada sebagai
seorang pribadi, dan komitmen kita kepada prinsip ini berjalan mengikuti tangga
nada mulai dari semangat yang kuat, di mana orang bersedia mati untuk suatu
tujuan, lalu melemah loyo sampai pada suatu perasaan nostalgia yang
samar-samar, di mana Allah dan agama mendapatkan tipe status kedudukan dan
nilai kepentingan yang kurang lebih simbolis saja, sama seperti yang diberikan
kepada Ratu Inggris, yaitu sekedar sebagai jangkar simbolis bagai cara hidup
tertentu namun nyaris tidak penting dalam jalannya kehidupan sehari-hari. Ini
tidak sungguh-sungguh buruk, tetapi
menunjukkan bukti bahwa tak seorang pun sungguh-sungguh peduli pada
Tuhan. Kita tertarik pada soal-soal keutamaan, keadilan, cara hidup yang tepat,
atau mungkin di dalam membangun komunitas yang beribadat, yang bersedia saling
membantu, dan memerjuangkan keadilan, namun pada ujung-ujungnya ada begitu
banyak bukti yang menunjukkan bahwa filfasat moral, naluri manusia dan
kepentingan pribadi tampil lebih penting di dalam motivasi semua kegiatan ini
daripada kasih dan rasa syukur yang memancar dari hubungan pribadi dengan Tuhan
yang hidup” (Ronald Rolheiser, The Shattered Lantern)
Sesungguhnya: “Daya kemampuan
manusia me-mungkinkan-nya untuk mengenal Allah sebagai pribadi. Tetapi supaya
manusia dapat masuk ke dalam hubungan yang mesra dengan Allah, maka Allah berkenan
menyatakan diri kepada manusia dan memberikan rahmat kepadanya supaya dengan
kepercayaan dapat menerima wahyu ini” (KGK 35).
[BERSAMBUNG]