Seorang
imam adalah pengantara yang mendapat wewenang menyampaikan korban persembahan
kepada Allah atas nama orang lain. Kristus adalah imam yang sempurna sebab Ia
dipersatukan dengan Allah dalam kodrat ke-Allah-anNya, namun sepenuhnya satu
dengan kita dalam kodratNya sebagai manusia.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
Segala sesuatu yang sudah ditandakan sebelumnya dalam
imamat Perjanjian Lama, menemukan kepenuhannya dalam Yesus Kristus, yang adalah
"pengantara antara Allah dan manusia" (1 Tim 2:5). Melkisedek,
"imam Allah yang mahatinggi" (Kej 14:18), dipandang tradisi Kristen
sebagai "pratanda" imamat Kristus, "imam besar satu-satunya
menurut peraturan Melkisedek" (Ibr 5:10; 6:20). Kristus itu "kudus,
tanpa salah, tanpa noda" (Ibr 7:26), dan "oleh satu kurban saja... Ia
telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan" (Ibr
10:14), yaitu oleh kurban di salib-Nya, satu kali untuk selamanya. (KGK 1544).
I. Imamat dalam Perjanjian Lama
A. Zaman Bapa Bangsa
B. Israel, Bangsa Imamat
C. Imamat Lewi
II. Imamat dalam Perjanjian Baru
A. Imamat Kristus
B. Imamat Umum Kaum Beriman
C. Imamat Jabatan
I. Imamat dalam Perjanjian Lama
Bisa
kita lihat dua periode pokok keimaman di dalam Perjanjian Lama: pada masa para
Bapa Bangsa dan imamat Lewi. Periode para Bapa Bangsa terutama dalam Kitab
Kejadian, sedangkan periode imam-imam Lewi disajikan dalam bagian selebihnya
dari Pentateukh dan terentang sampai Kristus datang.
A. Zaman Bapa Bangsa
Ada
dua golongan imam sebagai profesi pada zaman sebelum imamat Lewi. Dasar agama
para Bapa Bangsa adalah susunan keluarga biasa. Dalam konteks ini, wewenang
dilimpahkan dari bapak kepada anak laki-kali, dan korban dipersembahkan bukan
di tempat-tempat lain, melainkan di tempat yang dikehendaki Bapa Bangsa, yang
menjalankan semacam agama alam. Tindakan suci meliputi pembuatan altar atau
mezbah (Kej 12:8), menanam pohon (Kej 21:33), menyampaikan korban persembahan
(Kej 8:20), dan mendirikan tugu peringatan (Kej 28:11-22).
Asal-usul jabatan imam dengan demikian
dapat dilacak dari wewenang rohani yang unik, fungsi perwakilan, dan pelayanan
keagamaan yang dilakukan para bapa keluarga. Serentak dengan itu, jabatan
rajawi terwujud dalam tugas kewajiban sekular para bapak keluarga, khususnya
peranannya dalam memimpin dan mengatur keluarga atau puak. Dengan demikian
imamat tidak terpisahkan dari posisi sebagai bapak (bdk Ayb 1:15).
Bentuk tipologi awal dari imam-raja pada
zaman para Bapa Bangsa adalah Melkisedek, raja (sekaligus) imam dari Salem (yaitu Yerusalem; Mzm 76:2). Tokoh
misterius ini adalah orang pertama yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai
imam (Kej 14:7-20); ia mempersembahkan roti dan anggur untuk Abram (Abraham) dan kemudian memberikan berkat
kepada Abraham dan para pengiringnya.
B. Israel, Bangsa Imamat
Perjanjian
Lama merunut perkembangan dosa dan dampaknya yang mengerikan pada keluarga
manusia – sejak dari jatuhnya Adam sampai dengan perbudakan Israel di Mesir,
yang digambarkan dalam permulaan kitab Keluaran. Kita lihat suatu pola yang
terus menerus di sepanjang kisahnya: tragedi dan dosa membuat para putra sulung
kehilangan hak warisnya (mis Kain, Ismael, Esau, Ruben, Er, Peres, Manasye).
Pola-pola yang terdapat pada orang perorangan itu kemudian diulangi di dalam
Israel sebagai suatu bangsa. Musa diberitahu di dekat semak yang bernyala:
“Israel adalah anakKu yang sulung” (Kel 4:22). Pentingnya putera sulung
diungkapkan pada waktu Paskah ketika anak-anak sulung Israel ditebus dengan
darah anak-domba Paskah. Maka setelah itu putera-putera sulung harus
dipersembahkan untuk melayani ibadat Tuhan (Kel 13:2; 22:29).
Tuhan memerintahkan Israel, “anakNya yang
sulung”, untuk melaksanakan panggilan dan tugas khusus menjadi suatu “bangsa
yang kudus dan kerajaan imam”, menjadi pengantara antara Bapa dengan keluarga
bangsa manusia. Namun status itu sepenuhnya bergantung pada syarat tertentu
(seperti yang ditunjukkan dalam contah-contoh di depan mengenai anak-anak
sulung yang kehilangan hak warisnya), yaitu pada kepatuhan Israel kepada
Perjanjian: “jika kamu
sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka
kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri …. Kamu akan menjadi bagi-Ku
kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Kel 19:5-6). Bangsa Israel cepat sekali
melanggar kesetiaan mereka pada Tuhan dengan beribadat kepada lembu emas, dan
berkat untuk anak sulung dengan demikian dialihkan kepada suku Lewi karena jasa
mereka membalaskan murka Tuhan seperti yang diperintahkan Musa (Kel 32:25-29; Lewi).
Kejadian ini menandai mulainya periode kedua imamat Perjanjian Lama, yaitu
imamat Lewi.
C. Imamat Lewi
Seperti
yang diungkapkan kitab Keluaran, kekejian Israel dengan insiden anak lembu emas
di Sinai memerlukan pembaruan Perjanjian – mula-mula dengan Musa sendiri (Kel
33-34), tetapi kemudian meluas dengan Israel dengan perintah untuk membuat Kemah Pertemuan dan menahbiskan Harun sebagai imam besar (Kel 35-40).
Tuhan kemudian hanya memerintahkan Musa berbicara mengenai macam-macam korban
persembahan (bakaran, penebusan dosa, pendamaian) yang pelaksanaan
persembahannya oleh Harun dan anak-anaknya atas nama umat Israel dan menurut
Kode Hukum Imamat (Im 1-16). Akhirnya kode hukum kekudusan diberikan kepada
para imam Lewi untuk diajarkan pada kedua belas suku Israel yang awam (Im
17-26).
Hasilnya adalah suatu sistem pengantaraan
imam yang sangat rinci berdasarkan tata susun hirarki Musa, Harun (dan
anak-anak keturunannya), suku Lewi dan keduabelas suku Israel (imam besar,
imam-imam keturunan Harun, dan Lewi) yang berlangsung terus (dengan beberapa
variasi kecil) di seluruh sejarah Israel: pada masa padang gurun, penaklukan
Kanaan, dan menetap di Kanaan, kerajaan, hingga masa sesudah Pembuangan.
Dampak dari penyelewengan Israel yang
kedua dalam penyembahan berhala di Bet-peor (Bil 25:1-3) adalah diberlakukannya
perjanjian Ulangan (Deuteronomis) atas keduabelas suku di dataran Moab, tempat
di mana mereka melakukan kekejian baru (Ul 3:29; 4:3). Ketika perjanjian
Ulangan ini disahkan, suatu struktur dua
perjanjian diterapkan atas keduabelas suku Israel (yos 8:30-35). Dari
ketentuan-ketentuannya, Israel ditempatkan di bawah supervisi administratif
kaum Lewi (Ul 27:9-26). Pihak Lewi terikat dengan “perjanjian Lewi” (Yer
33:17-26; Mal 2:4-8) yang dibuat bagi mereka oleh Musa di Sinai sesudah
peristiwa anak lembu emas. Perjanjian Lewi itu kemudian diperbarui lagi oleh
cucu Harun, Pinehas, pada akhir pengembaraan Israel selama empat puluh tahun di
padang gurun. Pinehas mendapatkan “suatu perjanjian imamat kekal” sebagai
penghargaan atas kesungguhannya dalam membalaskan murka Tuhan pada praktek
penyembahan berhala generasi kedua yang beribadat kepada Baal di Peor (Bil
25:13).
Pada masa sesudah menetap di Kanaan,
perjanjian yang diperbarui itu terus dilaksanakan dengan memengaruhi bentuk
imamat Perjanjian Lama, yang memuncak dengan jatuhnya keluarga imam Eli (1 Sam 2:27-36), terusirnya Abiatar dari jabatan imam besar (1 Raj
2:26-35), dan kemudian naiknya imam Zadok sebgai imam besar di Yerusalem (1 Raj 2:35). Yang penting dalam
perkembangan ini adalah bukti kepantasan keturunan dari Pinehas ada pada Zadok,
tetapi lenyap dalam Eli dan Abiatar (1 Sam 22:9-20). Jabatan imam besar
keturunan Zadok di Bait Allah Yerusalem menjadi salah satu ciri yang paling
unik dari masa kerajaan Daud, di mana suku Lewi mendapat tugas-tugas yang
semakin mengkhusus di dalam Bait Allah (musik ibadat, penyanyi, penjaga pintu,
pengurus harta benda Bait Allah dan sebagainya, 1 Taw 9:22-34; 23:2-28).
Pentingnya imam besar Israel sesudah zaman
Pembuangan memberikan bayangan awal visiun Yehezkiel tentang pemulihan
Yerusalem di bawah imam-imam besar (keturunan Zadok, Yeh 43-45). Situasi ini
merupakan salah satu alat untuk menjelaskan uraian yang kurang pas dari
Zakharia mengenai pemasangan mahkota raja yang dilakukan oleh imam besar Yosua (Za 6:9-13), bukan oleh Zerubabel keturunan Daud yang memainkan
peran penting dalam pembangunan kembali
Bait Allah (Ezr 5:2).
Selanjutnya pandangan ini tampaknya dipuji
Sirakh dalam catatannya atas tokoh-tokoh dari Harun hingga imam besar pada
zamannya, Simon, yang dihargai sebagai “pemimpin saudara-saudaranya dan
kebanggaan bangsanya” (Sir 50:1). Sumber-sumber di luar Kitab Suci selanjutnya
menggambarkan Mesias sebagai gabungan antara kualitas rajawi Daud dan wewenang imam
agung (Pseudografia: T Slm 7.13; T Lev 2:10-11; 5:2; 8:2-15; bdk
Mzm 110:1-4). Harapan dan pandangan Mesianik dalam abad pertama M di kalangan
Yahudi Kristen kiranya dipengaruhi oleh pandangan ini, dan pengarang Surat
Ibrani menjadikannya sebagai dasar dalihnya mengenai kedudukan imamat rajawi
Kristus “menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 7).
Jabatan imam besar keturunan Zadok
berlangsung di Yerusalem sampai Antiokhus IV Epifanes (masa dinasti Seleukus) mendepak Onias II pada tahun
175 SM dan menggantikannya dengan Yason (bekerja pada 175-172 SM). Para penguasa Seleukus kemudian menunjuk
imam-imam besar bukan dari keluarga Zadok sampai mereka dikalahkan pada tahun
153 SM oleh keluarga Hasmona, yang melanjutkan jabatan imam besar di luar
keluarga Zadok sampai datangnya orang-orang Roma dalam abad pertama SM.
Selanjutnya pengangkatan imam besar dilakukan hanya dengan persetujuan dinasti
Herodes dan pejabat Roma. Kebiasaan ini berlangsung sampai Bait Allah Yerusalem
dihancurkan pada tahun 70 M. Dengan peristiwa itu sinar terakhir imamat Lewi –
dan Perjanjian Lama – lalu padam (KGK 63.1539-1543).
II. Imamat dalam Perjanjian Baru
Dengan
kedatangan Kristus sebagai Anak Sulung Allah (Ibr 1:6) dan Imam Agung rajawi
(Ibr 2:2-17; 5:1-10), berakhirlah pemisahan kuasa antara imam dan raja. Dengan
mendirikan GerejaNya sebagai “jemaat anak-anak sulung” (Ibr 12:23), Kristus
menggabungkan lagi jabatan imam dan kuasa rajawi, dan memulihkan “kerajaan
imam” (1 Ptr 2:9) dari umat Allah, yang sekarang menjadi “Israel Allah” (Gal
6:12).
Imamat Yesus perlu dilihat dalam terang
imamat Perjanjian Lama, dan pengertian yang sepenuhnya tentang imamat
Perjanjian Baru niscaya berawal dari periode Bapa Bangsa dan tempat kedudukan
anak sulung. Luk 2:7 menyebut Yesus sebagai “yang sulung” yang menunjukkan
bahwa Yesus berhak menerima segala hak dan kedudukan sebagai anak sulung
menurut Hukum Musa (bdk Kel 13:2; Ul 21:15-17). Mungkin penting sekali
diperhatikan, bahwa ketika Yesus dipersembahkan di Bait Allah (Luk 2:23), uang
tebusan sebesar lima syikal (dengan mana seorang Lewi menggantikan anak sulung
dalam mengabdi Tuhan: Bil 8:15-16) tidak disebutkan. Jika demikian, sudah
ditunjukkan bahwa Yesus dipersembahkan untuk melayani Allah dan tidak “ditebus
kembali” oleh orangtuanya. Maka kemudian kita memandang Yesus dalam peranNya
sebagai seorang imam dalam kaitan dengan kedudukanNya sebagai anak sulung dalam
pengertian Bapa Bangsa.
A. Imamat Kristus
Surat
Ibrani memberikan kepada kita bahasan lengkap mengenai keimaman Kristus di
dalam Perjanjian Baru. Menurut pengarang Surat Ibrani, imamat Yesus dipahami
sehubungan dengan imamat Lewi dari Harun, namun dalam segala hal imamat Yesus
lebih unggul daripada imamat Lewi karena Yesus adalam imam yang tidak
berdosa (Ibr 4:15), sementara imam-imam Harun adalah pendosa dan harus
mempersembahkan korban bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain (Ibr
5:1-3). Yesus adalah imam yang kekal (Ibr 7:24), sementara imam-imam
Harun adalah fana dan harus digantikan oleh rentetan orang-orang lain yang
tidak ada habisnya (Ibr 7:23). Yesus adalah Imam Agung surga (Ibr 4:14;
8:1-2), sementara para imam Perjanjian Lama bekerja melayani di tempat suci
dunia (Ibr 8:4-5). Yesus adalah imam rajawi yang dijanjikan dengan sumpah dalam
|Mazmur Mesias, Mzm 110:4 (Ibr 5:6; 7:17) sementara para imam Lewi memangku
jabatan tanpa sumpah sama sekali (Ibr 7:21).
Sebagai imam yang lebih sempurna, Kristus
mempersembahkan kepada Bapa korban yang lebih sempurna daripada yang
dipersembahkan imam-imam Lewi: korban Kristus dipersembahkan sekali untuk
selamanya (Ibr 10:10), berlainan dengan rangkaian korban yang terus menerus
diharuskan menurut Perjanjian Lama (Ibr 10:11). Soalnya, korban Kristus sungguh
mendatangkan penghapusan dosa (Ibr 9:11-14.28; 10:12-18) sebaliknya korban
persembahan Lewi berfungsi mengingatkan akan dosa tanpa bisa membersihkan dosa
itu (Ibr 10:4.11).
Latar belakang pernyataan-pernyataan ini
adalah keyakinan, bahwa Yesus bukan imam yang berasal dari peraturan Harun,
melainkan dari zaman Bapa Bangsa menurut peraturan Melkisedek (Ibr 5:6; 6:20).
Gagasan ini dikembangkan lagi dalam Ibr 7 dengan berdasarkan Mzm 110, yang
memandang Mesias
baik sebagai Raja yang bertahta (Mzm 110:1) maupun sebagai imam Melkisedek (Mzm
110:4). Gagasannya adalah bahwa Kristus berasal dari angkatan imamat asli yang
dilaksanakan pada zaman sebelum imam-imam Lewi.
Dari sini jelas mengapa pengarang Surat
Ibrani begitu menekankan aspek keputeraan Yesus dalam hubungan dengan imamatNya
(Ibr 2:10; 5:5-10). Secara khusus, ia menekankan bahwa Kristus adalah “Anak
Sulung” dari Bapa (Ibr 1:6) yang mewakili umat beriman baik sebagai saudara
(Ibr 2:11-12) maupun sebagai sosok Bapa (Ibr 2:13-14). Malah boleh jadi
Melkisedek yang adalah pendahulu sekaligus gambaran awal, dipandang demikian oleh
pengarang surat dan para pembacanya yang mengenal tradisi Yahudi, disamakan
dengan Sem, anak sulung Nuh.
Aspek lainnya dari imamat Melkisedek juga
merujuk pada Kristus. Misalnya Melkisedek adalah imam-raja dari Salem (Ibr 7:1)
yng adalah sebutan kuno untuk Yerusalem atau Sion (Mzm 76:2). Ciri-ciri
imam-raja Melkisedek menjadi gambaran awal dari jabatan imam-raja Yesus di
dalam “Yerusalem surgawi” (Ibr 12:22). Demikian juga, karena Melkisedek
mempersembahkan roti dan anggur (Kej 14:18), renungan Kristen memandang hal itu
sebagai gambaran purba dari Ekaristi, perjamuan korban Kristus bagi kaum
beriman dalam rupa roti dan anggur (Mat 26:26-29).
B. Imamat Umum Kaum Beriman
Kristus
sebagai Imam Agung dan pengantara, menjadikan Gereja “suatu kerajaan, imam–imam
bagi Allah dan Bapa” (Why 1:6). Ia telah memulihkan dan memenuhi dalam dirinya
imamat anak sulung keluarga, panggilan yang ditujukan pada Israel, dengan
membagikan martabat keputeraan sulung dan imamat itu (bdk Kel 4:22; 19:6).
Umat Allah dengan demikian ikut serta
dalam martabat imamat Kristus melalui baptis, berpartisipasi dalam tugas
perutusanNya sebagai imam, nabi dan raja berdasarkan panggilan masing-masing (1
Ptr 2:5-9). Karena rahmat, Gereja ikut serta dalam keputeraan Kristus, dan
dengan demikian ikut serta pula dalam tugas perutusan imamatNya. Gereja
dipercaya melaksanakan panggilan yang semula telah ditujukan bagi Israel di
antara bangsa-bangsa.
C. Imamat Jabatan
Partisipasi
yang kedua dari kaum beriman dalam imamat Kristus adalah melalui imamat jabatan
hirarkis. Kedua bentuk partisipasi ditata sedemikian seperti yang diajarkan Lumen
Gentium art 10, namun pada dasarnya keduanya berbeda (dalam jenisnya, bukan
saja dalam derajatnya). Imamat umum kaum beriman dilaksanakan melalui rahmat
pembaptisan, sedangkan imamat jabatan melayani dan menguduskan kaum beriman dan
diberikan hanya melalui sakramen tahbisan imam.
Yesus memilih kedua belas rasul untuk
berfungsi sebagai kepala-kepala dari umat Allah (Mat 19:28; Why 21:12-14).
Sebagai partisipan dalam imamat Kristus
yang satu yang berasal dari peraturan M|elkisedek, para rasul niscaya melayani
sebagai imam-imam anak sulung, bertindak selaku saudara yang lebih tua dan bapa
bagi jemaat yang dipercayakan kepada mereka (bdk Kis 15:23; 1 Kor 4:15).
Sebaliknya, para rasul mengangkat pengganti-pengganti mereka sebagai penatua
atau imam-imam atas jemaat yang telah mereka dirikan (Kis 14:23). Jelaslah,
Perjanjian Baru tidak menyebut pelayan-pelayan jemaat Kristen sebagai “imam-imam”
(Bahasa Yunani hieresis) namun sebagai “uskup-uskup” (Yunani episkopoi)
dan presbiter (Yunani presbiteroi). Sekalipun demikian sebenarnya dari
kata yang terakhir itulah, presbiter, muncul kata Inggris “priest”, artinya
imam.
Berkat rahmat sakramen tahbisan imamat,
para imam bertindak dalam prbadi Yesus Kristus, Kepala Gereja. Seperti ditulis
oleh St Tomas Aquinas, “Kristus adalah sumber segala imamat: imamat hukum lama
merupakan gambaran dari Kristus, dan imam hukum baru bertindak dalam pribadi
Kristus” (Summa theologiae III.22.4c). Para pelayan yang tertahbis menghadirkan
Kristus sebagai Kepala Gereja menjadi tampak bagi jemaat. Paus Yohanes Paulus
II menulis dalam Pastores Dabo Vobis:
Di dalam Gereja dan atas nama Gereja, imam-imam merupakan wakil sakramental
dari Yesus Kristus, Kepala dan Gembala, yang berwenang mewartakan sabda,
mengulang tindakan pengampunanNya berulang kali serta tawaran keselamatanNya
khususnya Baptis dan Ekaristi, menunjukkan perhatian kasihnya hingga memberikan
diri secara total kepada kawanannya.... Dengan kata lain, imam ada dan
bertindak untuk menyatakan Injil kepada dunia dan membangun Gereja dalam nama
dan pribadi Kristus, Kepala dan Gembala (art 15).
Dari
sejak semula, para uskup dan imam jemaat Kristen memberikan sakramen-sakramen,
mengajar dan menyampaikan ajaran yang benar, dan memimpin sebagai
gembala-gembala. Berdasarkan tahbisan yang mereka terima, mereka ikut serta
dalam tugas perutusan umum yang dipercayakan oleh Kristus kepada para rasul.
Mereka diberdayakan bukan hanya untuk melayani jemaat setempat tetapi juga ikut
serta dalam tugas perutusan menyelamatkan seluruh dunia (Kis 1:8). Pelaksanaan
imamat jabatan selalu diukur menurut teladan yang tertinggi dari Kristus (Mrk
10|:43-45; 1 Ptr 5:3) (KGK 1544-1568).