Daftar Blog Saya

Minggu, 13 November 2022

COP 27 PERUBAHAN IKLIM DAN KOMITMEN INDONESIA

 


Pada tanggal 9-10 November 2022, rombongan delegasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu)  dipimpin oleh Wakil Menteri Keuangan Suahazil Nazara, mengikuti rangkaian Pertemuan Tahunan Conference of the Parties (COP)-27 UNFCCC yang dilaksanakan di Sharm El Sheikh, Mesir. Delegasi Kementerian Keuangan memulai pertemuan dalam acara Coalition Meeting at COP27. Tema bahasan kali ini adalah perlunya sinergitas mengatasi dampak perubahan iklim dalam berbagai kebijakan ekonomi makro, khususnya dari sisi fiskal kebijakan ekonomi. Pertemuan juga fokus pada dukungan pengembangan adaptasi perubahan iklim, baik dari aspek substansi maupun keterlibatan institusi pendanaan yang selama ini terlalu dominan dalam kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Dalam acara The Coalition of Finance Minister for Climate Action ini, Wamenkeu menyampaikan pidato pembukaan tentang peran Kemenkeu masing-masing negara dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim ke depannya. Indonesia berkomitmen untuk menerapkan rencana adaptasi akibat perubahan iklim dan tujuan utama dari program adaptasi tersebut adalah untuk menurunkan risiko dan kerentanan atas perubahan iklim di berbagai sektor. Usaha tersebut juga difokuskan terhadap ketahanan (resilience) di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan (ecosystem). Sir Nicholas Stern (Chairman Grantham Research Institute) seirama mendukung upaya mainstreaming isu perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan ekonomi makro di masing-masing negara.

Penguatan isu adaptasi perubahan iklim juga disampaikan beberapa panelis lainnya, diantaranya Sigrid Kaag (Menteri Keuangan Belanda), Mohamed Maait (Menteri Keuangan, Mesir), David Malpass (Presiden Direktur Bank Dunia), Kristalina Georgieva (Managing Director, IMF) serta Achim Steiner (Administrator, UNDP). Diskusi dipimpin oleh Pekka Moren, Coalition Co-Chair Sherpa dari Finlandia bersama dengan Masyita Crystallin, Coalition Co-Chair Sherpa dari Indonesia.




Para menteri menyuarakan pentingnya  meningkatkan pendanaan terhadap adaptasi perubahan iklim, kendati tantangan pendanaan global seperti inflasi yang tinggi dan aksesibilitas keuangan. Disinggung dalam pertemuan tersebut perlunya memperkuat dana lingkungan yang menarik lebih banyak modal dari sektor swasta.

Selanjutnya, dalam pertemuan “Unlocking Financial Resources for Investments in Climate Change and Energy Transition” yang digagas oleh Islamic Development Bank (IsDB), OPEC Fund for International Development dan Arab Coordination Group (ACG) diperkenalkan skema finansial baru (sedikitnya US$20 milyar) dan platform mendukung skema transisi energi global. Implementasi skema finansial itu diharapkan dapat dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dalam mencapai target net zero emisi hingga 2050.

Komitmen Indonesia dalam mengatasi dampak perubahan iklim antara lain reformasi penganggaran untuk mendukung upaya mengatasi dampak perubahan iklim antara lain menciptakan berbagai skema pendanaan inovatif berbasis syariah baik melalui skema Souvereign Green Sukuk, Green Sukuk Retail serta SDG Bonds. Prioritas pemerintah dalam mendukung target komitmen NZE 2060 atau lebih cepat, melalui mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM) yang adalah percepatan pengakhiran periode masa operasional PLTU batu bara, sekaligus membangun pusat-pusat renewable energy (RE) sebagai  alternatif utama.

Pertemuan selanjutnya adalah UNFCCC Mandated Event: High Level Ministerial on New Collective Quantified Goal on climate finance (NCQG). NCQG membentuk target mobilisasi pendanaan baru,  sebelum 2025, minimal USD 100 miliar (as floor) di tahun 2025 dan seterusnya. Umumnya, para pihak sepakat bahwa komitmen mobilisasi pendanaan dalam NCQG perlu mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif, mencerminkan kebutuhan dan prioritas negara-negara berkembang. Beberapa negara mengungkapkan pentingnya akses pendanaan untuk negara berkembang  dalam kerangka kewajiban dukungan negara maju kepada negara berkembang. Sementara negara-negara maju berpendirian bahwa NCQG adalah komitmen pendanaan global dan semua pihak perlu mengambil peran. Untuk mencapai triliunan dolar dana yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat, pendanaan publik saja tidak cukup, dan sektor swasta perlu untuk berkontribusi.

Pada hari kedua para menteri keuangan dalam Pertemuan Tahunan COP-27 memulai  acara dengan Breakfast Coalition Meeting bersama World Meteorological Organization (WMO).  Climate Coalition  berupaya menghubungkan data keuangan, data iklim, dan kinerja ekonomi. Desain kebijakan ekonomi memang perlu mempertimbangkan data iklim, untuk mengukur dampak perubahan iklim terhadap masyarakat. Perlu capacity building agar para pegawai di Kementerian Keuangan dapat memahami data iklim, dan mengintegrasikannya dalam mendesain kebijakan. Salah satu upaya Indonesia terkait risiko bencana alam, adalah membentuk pooling fund bencana.

Dalam pertemuan bilateral dibahas beberapa topik utama terkait komitmen baru pendanaan iklim untuk menggantikan skema 100 billion USD dalam formasi New Collective Quantified Goal (NCQG), pendanaan adaptasi perubahan iklim, support Climate Coalition untuk COP-27, serta pembahasan potensi kerjasama yang lebih luas dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon, serta potensi mobilisasi pendanaan swasta.

Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)  banyak membagi pengalaman dalam membangun kerjasama dan pengelolaan dana iklim, dan hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan donor atau investor. Sesuai arahan Menteri Keuangan BPDLH harus dapat menunjukkan transparansi dan akuntabilitas serta menjaga tatakelola pengelolaan keuangan. Melalui mekanisme ‘soft diplomacy’  diharapkan COP-27 dapat menjadi forum untuk mendapatkan masukan demi perbaikan pengelolaan dana lingkungan hidup ke depannya.

PESAN KEPADA PERHIMPUNAN GURU KATOLIK SEDUNIA

 


Pada hari Sabtu 12 November 2022 Paus Fransiskus menerima delegasi Perhimpunan Guru Katolik Sedunia (UMEC-WUCT). Dalam sambutannya Bapa Suci berkata: 

"Anda telah melewati masa-masa yang menggelisahkan dalam sejarah baru-baru ini, danmomen-momen yang penuh keraguan dan menakutkan. Kadang situasi tampak sungguh-sungguh tidak lagi kondusif untuk dilanjutkan, dan semuanya seolah selesai. Namun syukur kepada Tuhan, bahkan di tengah badai seperti itu, anda bertahan. Anda percaya kepada Allah dan kepada bantuan Gereja dan tetap pada komitmen Anda, dengan semangat iman dan harapan Kristiani. Yakinlah: benih yang ditabur dalam pengharapan akan berakar dan bertumbuh! Sebagaimana banyak perhimpunan katolik lainnya, Perhimpunan Guru Katolik Sedunia (WUCT) dihadapkan pada tantangan pergantian generasi, yang terutama memengaruhi kepemimpinan. Saya mendorong Anda mengenakan pandangan yang positif dalam hal ini. Realitas tidak pernah statif, selalu dinamis. Adalah wajar bahwa ini juga berlaku atas perkumpulan perkumpulan gerejani yang tumbuh kembang bersama waktu, dan setiap era baru menghadirkan juga perutusan baru. Pembaruan di dalam organisasi anda dan pada peran-yang memikul tanggungjawab besar harus dilihat sebagai permulaan misi baru, sebagai peluang kesegaran yang diperbarui untuk melayani dan mendukung para guru katolik generasi baru, baik untuk sekolah katolik maupun sekolah non katolik. Perhimpunan anda dimaksudkan untuk memberi dorongan dan menguatkan motivasi semua guru agar sadar sepenuhnya akan pentingnya misi mereka sebagai pendidik dan saksi iman, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok sekerja. Demi tujuan itu, anda memandang diri sebagai suatu jaringan profesional, sebagai saudara dan saudari seiman yang dalam semangat persahabatan , saling menerima, saling mengenal dan berbagi spiritual untuk perkembangan, dan melayani semua guru katolik, membantu mereka menguatkan identitas mereka dan melaksanakan misi perutusan. Saya ingin mengatakan bahwa dalam hal ini anda adalah "teman sekerja Paus", sebab misi Pengganti Santo Petrus tepatnya adalah menguatkan dan membantu para saudara dalam iman  (cf. Lk 22:32). Dengan cara anda, anda menghadirkan karya pelayanan Gereja dalam dunia pendidikan, menguatkan para guru katolik dalam iman, agar mereka dapat melaksanakan pekerjaan mereka dan melakukan kesaksian sebaik mungkin., dalam situasi yang sering rumit pada level relasional dan institutional. Hadirnya para pendidik kristiani dalam msyarakat sangat penting.  Dan “corak” yang mereka pilih untuk diterapkan tak kalah pentingnya. Ya, para pendidik Kristiano dipanggil sekali gus untuk menjadi manusia sepenuhnya dan kristiani sepenuhnya. Tidak adaa humanisme tanpa kekristenan. Dan tidak ada kekristenan tanpa humanisme. Mereka tidak harus sangat spiritualistik, ambil jarak “bersifat bukan dari dunia ini”. Mereka harus berakar pada situasi kini, pada masa dan budaya mereka sendiri. Adalah penting bahwa pada level personal mereka itu resourceful, terbuka dan mampu menjalin hubungan yang tulus dengan murid2, dan memahami kebutuhan, persoalan, kecemasan dan impian mereka secara mendalam. Namun sama pentingnya pula bahwa mereka itu dapat bersaksi, entah dengan hidup mereka atau pun kata-kata mereka, bahwa iman kristiani meliputi semua pengalaman manusia, sehingga memberi pencerahan dan kebenaran di semua bidang keberadaan, tanpa ada yang dikecualikan, tanpa mengikat sayap impian kaum muda, tanpa mengurangi aspirasi mereka. Memang, dalam tradisi Gereja, pendidikan kaum muda selalu mempunyai sasaran2nya sendiri bukan hanya menyalurkan konsep-konsep, melainkan merupakan formasi integral setiap pribadi manusia dalam semua dimensinya (cf. KONSILI VATICAN II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern, Gaudium et Spes, 48). 

Dalam menunaikan misi pendidikan, para anggota WUCT dipanggil untuk mendukung para guru di semua masa dan di semua kondisi kerja. Termasuk di dalamnya guru2 senior yang telah berpengalaman dan dihormati namun juga menghadapi tantangan tertentu, dan guru-guru yunior yang tidak kurang semangat dan energi namun merasa rapuh dan menghadapi ketidakpastian dalam tahun2 pertama mereka mengajar. Semua guru ini  – yang dalam perspektif Kristiani mungkin merasa kurang dihargai – berada dalam posisi yang dapat meninggalkan jejak tanda, entah baik entah buruk, pan anak-anak, remaja, kaum muda yang dipercayakan kepada mereka dalam masa yang signifikan. Itu sungguh tanggungjawab besar! Dan adalah suatu peluang besar untuk membimbing mereka secara bijaksana dan terhormat, sepanjang lorong dunia dan kehidupan, membantu membuka akal budi mereka pada kebenaran, keindahan dan kebaikan. 

Dari pengalaman pribadi kita semua tahu betapa pentingnya mempunyai guru-guru yang baik dan bijaksana dalam masa pendidikan kita! Teman-teman terkasih, dalam kerasulan anda perhatikanlah bahwa kiat mendidik harus selalu secara konstan dikembangkan dan diperkaya, sebab kiat mendidik bukan sesuatu yang sekali didapat untuk selamanya. Dalam hal ini semua ragam profesi memerlukan pengembangan profesi berlanjutan, demikian pula profesi pengajar, yang tidak sekedar mengolah obyek tetapi membina subyek! Pendidikan menyangkut manusia pada tahap awal perkembangan mereka. Anak-anak berubah dari tahun ke tahun, kadang bahkan dari bulan ke bulan. Selain itu kaum muda dari satu generasi berbeda dari generasi berikutnya. Karenanya para pendidik harus selalu mengadakan penilaian ulang atas motivasi dan metode mereka. Janganlah mereka kaku. Kekakuan merusak pendidikan. Dalam pendekatan pada kelompok anak dan siswa yang berbeda, para pendidik dipanggil untuk menyegarkan diri setiap tahun, membarui kapasitas empati dan komunikasi mereka. 



Tugas anda semua dalam hal ini adalah membantu para guru memiliki niat untuk berkembang bersama murid2 mereka, guna menemukan cara2 yang paling efektif dalam memancarkan kegembiraan untuk belajar dan untuk mendapatkan kebenaran, dengan menggunakan bahasa dan budaya yang sesuai dengan kaum muda dewasa ini. Saya mau menenkankan sekali lagi, "bahasa dalam budaya yang sesuai dengan kaum muda dewasa ini".  Yah, namun waspadalah pada kolonikasi ideologis. Bahwa mengikuti budaya masa kini adalah satu hal, bicara dengan bahasa kekinian, namun jangan sampai anda dijajah secara ideologis. Hendaklah cermat dan hati-hati membina para guru agar mereka dapat mencerna sesuatu kebaruan yang mengembangkan mereka jangan sampai terjebak dalam suatu ideologi, dan penjajahan ideologis. Dewasa ini, penjajahan ideologis merusak kepribadian manusia dan jika diterapkan dalam pendidikan dampaknya akan menghancurkan. 

Satu permintaan lagi dari lubuk hatiku. Perhimpunan anda dapat membantu membangkitkan kesadaran di antara para guru tentang  prakarsa Global Compact on Education. Prakarsa ini yang telah mendapat dukungan berbagai lembaga pendidikan bertujuan “menyatukan upaya dalam suatu aliansi pendidikan yang luas, demi membina individu yang dewasa, yang mampu mengatasi perpecahan dan antagonisme, dan membarui jalinan relasi demi kemanusiaan yang lebih akrab bersaudara” (Pesan pada Peluncuran prakarsa Global Compact on Education, 12 September 2019).

https://www.vatican.va/content/francesco/en/events/event.dir.html/content/vaticanevents/en/2022/11/12/insegnanti-cattolici.html

MISA HARI ORANG MISKIN SEDUNIA vi BERSAMA PAUS FRANSISKUS

 


https://www.vatican.va/news_services/liturgy/libretti/2022/20221113-libretto-giornata-dei-poveri.pdf


Pada hari ini, 13 November 2022, Paus Fransiskus mempersembahkan Ekaristi Kudus dalam rangka Hari Orang Miskin Sedunia VI di Basilika Santo Petrus pkl 16.00. 







Berikut adalah Link YouTube untuk yang berkenan mengikutinya. Dan yang berkenan mengikuti menggunakan teks misa silakan klik tautan di atas.

https://youtu.be/VeBb6agcLPA

HARI TUHAN DIKAITKAN DENGAN KEADILAN, PENGADILAN

 


Pada bulan November umat Katolik diajak merenungkan tentang hidup yang terkait dengan kematian, tetapi juga hidup sesudah kematian dan perspektif "kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya, yang disebut Hari Tuhan, dan datangnya Kerajaan Allah. Tujuannya adalah agar kita berdoa memohon kepada Tuhan supaya kesetiaan dan harapan kita ditambah.

Sifat pemerintahan Allah adalah adil. Dengan adil Ia memberikan pahala atau hukuman.

      Dari awal mula, Kitab Suci menyatakan dengan jelas bahwa manusia mempunyai tanggungjawab atas segala tindakannya. Ketika Allah memberikan perintahnya yang pertama kepada Adam, Ia juga menyatakan adanya konsekuensi: “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau akan mati” (Kej 2:17). Sepanjang Kitab Suci, entah dalam cerita atau dalam hukum, terdapat prinsip dasar yang berlaku, “apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal 6:7). Karena Allah pada hakekatnya adalah adil, keputusannya selalu adil (Kej 18:25; Ul 1:9-18; Yer 11:20). Seluruh tindakan manusia tunduk pada keadilan ilahi, pikiran kita (1 Kor 4:5), perkataan (Mat 12:36), dan perbuatan kita (2 Kor 5:10).

      Tetapi dasar keputusan keadilan Allah bukanlah menghukum. Melainkan terutama mendidik. Tujuannya adalah mengubah pribadi manusia. Di dalam Im 26, misalnya, Allah mengawali dengan menyatakan akibat positif dari melaksanakan perintahnya (Im 26:3-12). Jika orang gagal, ia akan berhadapan dengan suatu balasan “tujuh kali lipat”[1] – serangkaian hukuman yang bertambah-tambah beratnya. Yang pertama adalah teguran lembut (Im 26:14-17) yang berfungsi sebagai panggilan agar bertobat. Jika pendosa tetap melakukan pelanggaran, maka konsekuensi yang dihadapi akan lebih besar (Im 26:18-20), namun sasarannya tetap sama: pertobatan. Jika ia masih nekat juga, hukumannya akan semakin berat lagi (Im 26:21-22). Namun Allah masih mengharapkan mereka bertobat. Hanya dengan situasi kutuk dari Im 26:27-39 Ia mengarah pada pembinasaan. Sekalipun begitu, ketika orang kehabisan asa, “apabila mereka ada di negeri musuh mereka, Aku tidak akan menolak mereka dan tidak akan muak melihat mereka, sehingga Aku membinasakan mereka dan membatalkan perjanjianKu dengan mereka, sebab Akulah Tuhan, Allah mereka” (Im 26: 44).

      Dengan demikian, balasan “tujuh kali lipat” itu sebenarnya adalah belas kasih pengampunan “tujuh kali lipat”. Hakim yang adil sangat sabar, keputusannya korektif membangun, ditujukan lebih  pada perbaikan ketimbang menyakitkan.

      Allah tentu saja juga memberikan hukuman pada manusia, tetapi selalu dengan didahului peringatan yang didasari belas kasihan. Para nabi sering mengumumkan datangnya semacam “hari Tuhan” (misalnya Am 5:18-20; Zef 1:14-16), yaitu campur tangan Allah secara desisif menentukan dalam sejarah manusia. Lebih-lebih lagi, para nabi sering memohonkan ampunan bagi para pendosa, dengan harapan agar dapat menunda Allah turun tangan menjatuhkan hukuman (mis Kej 18). Dan jika hari semacam itu datang juga, Allah menghukum yang jahat, bukan orang benar, yang dari jenisnya dipertahankan “sisa-sisa”.



      Di dalam PB prerogatif ilahi ini, pengadilan, ada di tangan Yesus. Dalam Mat 24-15, Yesus menyatakan diri sebagai hakim bagi Yerusalem, dan kemudian hakim untuk seluruh umat manusia. Dalam Injil Yohanes dengan lugas Ia menyatakan: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi....” (Yoh 9:39), dan, “Bapa....menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” (Yoh 5:22). Di dalam Kisah Para Rasul, Paulus juga mengenal Kristus sebagai “seorang” yang telah ditentukan oleh Allah “dengan adil akan menghakimi dunia” (Kis 17:31). Kristus sendiri akan menghakimi orang-perorangan berdasarkan perbuatannya: “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya, baik ataupun jahat” (2 Kor 5:10, lihat juga Rm 2:6).

      Keputusan keadilan Tuhan terpetakan di dalam sejarah dan pada pelaksanaan sejarah. Sifatnya historis (misalnya kehancuran Yerusalem yang telah dinubuatkan); liturgis (misalnya 1 Kor 11:28-32), dan eskatologis (misalnya Mat 25; Why 20:11-12). Di dalam sejarah, Yesus membagikan kuasa keadilanNya itu kepada hirarki Gereja: “apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28; lih juga Luk 22:30).

      Yohanes melukiskan pengadilan Tuhan dengan serangkaian paradoks atau kontradiksi yang jelas. Ia menyatakan: “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:17; bdk juga Yoh 12:47). Pada waktu yang sama, Yesus menyatakan: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta” (Yoh 9:39). Sepertinya, Tuhan tidak menghakimi (Yoh 5:22) tetapi jelas Tuhan adalah hakim (Yoh 8:50); Yesus menyatakan bahwa Ia tidak menghakimi (Yoh 8:15; 12:47) tetapi juga menyatakan bahwa Bapa tidak menghakimi karena telah menyerahkan wewenang penghakiman itu kepada Anak (Yoh 5:22).

      Kontradiksi-kontradiksi itu hanya tampaknya saja; Yohanes menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang menentukan hasil dari penghakimannya sendiri. Ayat-ayat kuncinya adalah di dalam Yoh 3:16-21, yang menyatakan kepada kita bahwa Yesus tidak menghakimi dunia melainkan menyelamatkannya (bdk Yoh 8:15 dan 12:47). Tetapi serentak dengan itu, Yesus datang ke dunia membawa pengadilan. Dosa “penguasa dunia ini” telah dihukum (Yoh 16:11). Mereka yang tidak percaya – yang menolak keselamatan yang diberikan oleh Yesus – menjatuhkan hukuman atas dirinya sendiri (Yoh 3:18). Iman adalah anugerah dari Tuhan (Yoh 6: 37, 44) yang secara bebas diterima atau ditolak (Yoh 6:66-70). Dunia dihukum pada saat ini juga, di dalam penolakan atas Yesus, dan Yesus merupakan titik fokus pilihan, dasar dan tujuan pengadilan. Maka sungguh dapat kita katakan bahwa Allah tidak menghakimi, namun orang yang tidak percaya tetap dihukum oleh tindakannya sendiri yang tidak percaya (Yoh 3:18; 5:24).

      Pengadilan juga merupakan tema utama di dalam Kitab Wahyu. Pengadilan dalam Kitab Wahyu sering menakutkan, kaya dengan simbol-simbol, perutama pengadilan, binatang buas, pengadilan iblis, pengadilan orang mati (Why 19:11—20:15). Pengadilan dunia dimulai dengan dibukanya tujuh meterai (Why 6:1 – 8:5), yang berisi gambaran-gambaran yang hidup tentang empat penunggang kuda, yang merupakan simbol pengadilan ilahi atas perang (kuda putih), pertumpahan darah (kuda merah), kelaparan (kuda hitam), dan kematian (kuda hijau-kuning) (Why 6:1-8). Siklus pengadilan dilengkapkan dengan ketujuh sangkakala (Why 15:1-16:21), yang memuncak dengan Pengadilan Terakhir (Why 20: 11-15; bdk Mat 25:32-46) (KGK 633-635; 677; 1038-1041).

      Akhirnya, sementara Perjanjian Baru dengan jelas berbicara tentang Pengadilan Terakhir, ia juga bicara tentang suatu jenis pengadilan yang khusus: langsung setelah kematian, keputusan kekal atas setiap jiwa yang terpisah ditentukan oleh keadilan Tuhan. Perumpamaan tentang Lazarus yang miskin dan kata-kata Kristus kepada pencuri yang baik di atas Salib jelas merujuk kepada jenis pengadilan khusus itu (Luk 16:22; 23:43; Mat 16:26; 2 Kor 5:8; Flp 1:23; Ibr 9:27; 12:23; bdk Kis 1:25; Why 20:4-6, 12-14) (KGK 1021-1022).



[1] Im 26:18, 21

Sabtu, 12 November 2022

WANITA. PEREMPUAN. PERSPEKTIF KITAB SUCI

 



“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Karena pria dan wanita sama-sama diciptakan menurut citra Allah, mereka mempunyai martabat yang sama yang diberikan oleh Allah Pencipta. Wanita mempunyai martabat yang sama dengan pria kendati secara seksual berbeda dari pria dalam susunan fisik dan psikologisnya. Wanita dan pria diciptakan dan saling menginginkan (Kej 2:18-24). Di dalam perkawinan, pria dan wanita disatukan menjadi “satu daging” (Kej 2:24). Katekismus menggaris bawahi persamaan martabat wanita dengan mengaitkannya pada citra ilahi yang ditanamkan baik kepada pria maupun wanita:

Terutama, fakta bahwa manusia adalah pribadi-pribadi perlu ditekankan: “Manusia bersifat pribadi; itu berlaku baik untuk pria maupun wanita, karena keduanya diciptakan menurut citra dan keserupaan dengan Allah pribadi” (Yohanes Paulus II, Muliereis Dignitatem 6). Kesetaraan martabat mereka sebagai pribadi-pribadi diwujudkan dalam sifat-sifat yang saling melengkapi baik fisik, psikologis maupun ontologis, sehingga menghasilkan suatu hubungan harmonis “kesatuan-dua pribadi”, yang hanya mungkin dipertentangkan oleh dosa dan “struktur-struktur dosa” yang terdapat dalam kebudayaan (Kongregasi Ajaran Iman, “Surat Kepada Para Uskup Gereja Katolik tentang Kerjasama Pria dan Wanita dalam Gereja dan di Dunia, art 8) (KGK 369-373; 2331-2335).  

 

I. WANITA DALAM PERJANJIAN LAMA

Dunia Perjanjian Lama untuk sebagian besar adalah dunia laki-laki, patriakal. Kitab Kejadian menunjukkan betapa wanita tunduk kepada pria sebagai konsekuensi dari Jatuh dalam Dosa: “engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kej 3:16). Bahwa wanita dikuasai pria menurut kitab Kejadian adalah disebabkan oleh dosa, bukan dimaksudkan demikian pada awalnya dalam penciptaan.

      Pada umumnya, wanita dalam dunia kuno berada di bawah pria baik secara sosial maupun hukum. Dalam kebudayaan-kebudayaan Timur Dekat, ada kesenjangan hak-hak yang meluas kepada setiap aspek hidup di antara pria dan wanita. Seorang wanita hanya mempunyai sedikit hak dan selalu berada di bawah kewenangan tertentu dari pria, entah itu ayah dari keluarganya, saudara lelakinya, atau suaminya. Jika seorang wanita menjadi janda, ia dialihkan ke dalam perlindungan saudara lelakinya, atau kerabat lelaki terdekat. Jika ia menjanda sebelum punya anak, ia dikembalikan kepada keluarga asalinya. Para wanita yang tidak mempunyai anggota keluarga laki-laki jadi terlantarkan, dan pelacuran atau perbudakan merupakan jalan keluar mereka.

      Dalam Hukum Musa, wanita juga mendapat kedudukan setelah pria, namun mereka mempunyai perlindungan hukum. Seorang suami diizinkan menceraikan isterinya, tetapi ia tidak boleh kawin lagi dengan wanita yang sama jika wanita itu menikah lagi setelah diceraikan (Ul 24:1-4). Namun, seorang wanita tidak diperkenankan mengajukan gugatan cerai, dan seorang wanita yang telah menikah secara hukum sama dengan hak milik suaminya (Kej 12:12-20; 20:2; Kel 20:17; Hak 19:24-27). Di pihak lain, dalam hal hukum keagamaan, wanita mempunyai banyak hak yang sama dengan pria, sekalipun disisihkan dari jabatan imam.

      Sekalipun statusnya lebih rendah, wanita menikmati kedudukan yang mendatangkan kehormatan besar berkat penghargaan kebudayaan pada keibuan. Ini merupakan cerminan dari pentingnya suatu keluarga di dalam masyarakat Ibrani, sekaligus juga merupakan kesetiaan pada ajaran dasar kitab Kejadian mengenai kerjasama peran pria dan wanita untuk “bertambah-banyak” dan “memenuhi” bumi (Kej 1:28), serta tugas perutusan khusus wanita untuk menjadi “penolong” laki-laki (Kej 2:18). Maka tidak mengherankan, kebanyakan rujukan pada wanita dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan ibu-ibu atau keibuan, dan status wanita bergantung pada kemampuannya untuk mendatangkan keturunan di dalam keluarga (Kej 30:20; 1 Sam 1:2-8). Sebaliknya, mandul dianggap sebagai bencana (Kej 30:1-2; 1 Sam 1:5; 2 Sam 6:20-23) dan sering dianggap sebagai tanda bahwa Allah tidak berkenan.

      Sastra kebijaksanaan menyampaikan ajaran-ajaran tentang bimbingan menuju suatu hidup yang baik, dan menemukan seorang isteri yang cocok merupakan salah satu keputusan yang paling penting bagi seorang pria. Dalam suatu puisi akrostik dalam Ams 31:10-31 dikatakan bahwa seorang isteri yang baik adalah yang “berbuat baik kepada suaminya dan tidak akan berbuat jahat” (Ams 31:12; bdk Sir 26:1-18). Seorang isteri niscaya juga akan lebih dihargai karena cakap, rajin, bijaksana dan pantas disayang lebih dari sekedar kecantikan atau kemolekannya (Ams 31:30). Kecantikan, keluh sajak itu, adalah “lancung” dan “sia-sia”. Amsal juga memberi peringatan mengenai wanita jalang, atau perempuan asing, sebab wanita pezina dapat membawa orang yang diundangnya pada dunia orang mati (Ams 5:3-5; 6:24-35; 9:13-18).

      Ibu dituntut merawat anak-anak di dalam keluarganya dan mengatur seluruh rumahtangga. Dalam kehidupan sosial, para wanita ikut serta secara aktif dalam perayaan-perayaan (Hak 21:19-21) dan perayaan kemenangan (kel 15:20; Hak 11:34; 1 Sam 18:6-7; Mzm 68:25).

      Kendati para wanita tidak menonjol, Perjanjian Lama menceritakan kegiatan banyak wanita yang hebat kecerdasannya, keberaniannya dan dedikasinya kepada Tuhan. Para pahlawan wanita yang paling banyak diingat adalah Debora, Ester dan Yudit (Abigail, Hagar, Lea, Mikhal, Rahel, Rahab, Ribka, Rizpa dan Rut).

 

II. WANITA DALAM PERJANJIAN BARU

Status sosial dan legal para wanita di dalam Kekaisaran Roma kadang lebih baik dan kadang lebih buruk dibanding dengan wanita Yahudi. Wanita di Mesir yang dikuasai Roma misalnya, mempunyai hak dan kesempatan di luar lingkup rumahnya, sedang wanita-wanita di Yunani pada zaman Romawi dibelit oleh kekangan-kekangan yang sama dengan kendala-kendala yang dialami wanita Yahudi Palestina. Walaupun iman Kristen tidak serta merta mengubah status sosial para wanita sepenuhnya, namun iman Kristen mengakui wanita sebagai pribadi dalam citra ilahi dan merupakan calon yang setara bagi baptis dan keanggotaan di dalam Gereja Kristus.

      Yesus tidak berkeberatan bicara dengan para wanita, Ia juga tidak mencegah mereka bicara padaNya atau menghormati diriNya (mat 26:6-13; Mrk 14:3-9). Perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria dalam Yoh 4:4-42 menunjukkan sikap baru yang mengejutkan. Bukan saja karena yang ditemuiNya adalah seorang wanita; dia seorang wanita Samaria pula; namun Yesus berbicara dengannya seolah-olah wanita itu muridNya.

      Yesus tidak hanya menentang kendala-kendala tradisional yang ditimpakan pada wanita, namun Ia memandang wanita sebagai penerima rahmat karunia yang sama setara. Misalnya, Ia tidak membeda-bedakan ketika melakukan mujizat – penyembuhan mertua Petrus (Mat 8:14; Mrk 1:29-31; Luk 4:38), anak yairus, wanita yang mengalami pendarahan (Mat 9:18-26; Mrk 5:21-43; Luk 8:40-56), wanita yang bungkuk punggungnya (Luk 13:10-17) dan janda Nain dan anaknya (Luk 7:11-17). Ia juga menerima dukungan lebih dari seorang penyumbang (Luk 8:1-3) dan menjalin hubungan erat dengan para wanita dari komunitas pengikutNya yang perdana (misalnya Marta dan Maria, Luk 10:38-42).  Para wanita pun menunjukkan keberanian dan bakti dengan berdiri di dekat Dia yang mengalami sengsara maut (Mat 27:55-56; Mrk 15:40) dan menyiapkan pemakaman tubuhNya sesudah wafat (Mrk 16:1-3; Luk 23:55). Terutama sekali, para wanitalah yang menemukan makamNya sudah kosong (Mat 28:1-10; Mrk 16:1-8; Luk 24:1-10; Yoh 20:1).

      Kesetaraan sepenuhnya dalam pemuridan yang ditekankan Yesus dalam karyaNya berlanjut terus dalam Gereja Perdana, sebagaimana kita lihat dalam Kisah Para Rasul (Kis 1:14; 12:12; 16:14-15; 17:4), di mana para wanita diterima sebagai anggota yang aktif dalam komunitas. Priskila (bersama suaminya, Akwila) merupakan pemeran serta yang menonjol dalam misi Paulus (Kis 18:18; Rm 16:3-4; bdk 1 Kor 16:19; 2 Tim 4:19). Kita juga mendengar sekurangnya tentang seorang diakon wanita, Febe (Rm 16:1-2).

      Paulus, seperti Yesus, memandang rahmat karunia Tuhan bekerja melaksanakan penebusan bukan saja pada pribadi-pribadi perorangan, tetapi juga pada hubungan-hubungan, khususnya perkawinan. Pendekatan Paulus membuat suatu hubungan langsung di antara misteri Paskah dengan hati pasangan-pasangan Kristiani yang, berkat rahmat karunia, mengatasi dosa dan tidak perlu lagi mengikuti Hukum Musa dalam hal perceraian (bdk Mat 19:3-9).

      Bagi Paulus, perkawinan merupakan pemberian timbal balik, suatu kesempatan untuk melayani daripada dilayani. Perkawinan merupakan suatu gambaran yang hidup dari hubungan antara Kristus dengan GerejaNya, dengan kasih perhatian dan penghiburan dari pasangannya.

      Di satu tingkat, Paulus meneguhkan struktur tradisional perkawinan Yahudi dengan tekanan kepada pria sebagai kepala rumahtangga (Ef 5:22-31; Kol 3:18-25; 1 Kor 11). Di tataran yang lain, “tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Ia berulang kali menekankan peranan wanita di dalam komunitas Kristen (1 Kor 11:5; 16:19; Rm 16:1.3.7; Flp 4:2-3).

      Peranan wanita di dalam keluarga juga diteguhkan, namun juga dipandang dalam terang pemulihan berkat Salib. Perkawinan merupakan bagian dari tata-ciptaan: perkawinan itu ada lebih dahulu daripada Hukum Musa (1 Kor 11:13-15), namun jatuh terpuiruk akibat dosa. Akibat dari dosa adalah keruskan total situasi asali antara Adam dan Hawa, dan di antara hukuman yang dihadapi Hawa adalah sakit bersalin dan tunduk kepada suami (Kej 3:16; bdk 2 Kor 11:3; 1 Tim 2:13). Di dalam iman, perkawinan diubah melalui Kristus dan ketaatan wanita pada suaminya menjadi sikap sukarela, tidak lagi disebabkan oleh dosa dan perbudakan (Kol 3:18; Tit 2:5; 1 Ptr 3:1). Paulus meneguhkan saling ketergantungan dan persamaan antara wanita dan pria dalam 1 Kor 11:11-12: “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.”

            Perkawinan bagi orang Kristen dipandang dengan mata iman dan di dalam pengakuan atas daya kuasa Kebangkitan. Suami isteri adalah mitra yang setara yang sama-sama berbagi dalam kebebasan dari dosa dan dalam sukacita dan pemberian diri timbal balik perkawinan (bdk LG art 56; Yohanes Paulus II, Mulieris Dignitatem 6-10) (KGK 1601—1642) 

KEHADIRAN UMAT KRISTIANI DI YORDANIA

 



PAUS Fransiskus pada 10 November 2022 menerima Raja Abdullah II dari Yordania dan berbicara dari hati ke hati tentang kehadiran umat Kristiani di Yordania. Tentang dialog dan perkembangan antar iman, diusahakan "jaminan bahwa Gereja Katolik di Yordania boleh bebas melaksanakan misi perutusannya".

Kendati dibanding kebebasan beragama di negara-negara Timur Tengah lainnya di Yordania lebih besar, namun di kalangan rakyat umat kristiani yang berasal dari mualaf muslim mengalami kesulitan bahkan aniaya. Jika mereka secara terbuka mengungkapkan imannya, mereka dapat ditangkap, dipukuli bahkan dibunuh. Itu sebabnya jumlah umat Kristiani di Yordania semakin berkurang. Sepuluh tahun yang lalu terdapat 200.000 umat Kristiani di Yordania, sekarang tinggal 180.000-an. Dulu 2% dari jumlah penduduk. Sekarang 1.8% saja.


Pengawasan yang dilakukan negara seolah mau memberi perlindungan namun dalam kenyataan malah menjadi alat penindasan. Gereja tradisional relatif tidak diusik, namun gereja-gereja baru yang giat melakukan evangelisasi ditindas. Mereka yang menerima mualaf dan melaksanakan pertobatan dimusuhi. Situasi itu lebih runyam oleh kehadiran Islam garis keras, lasykar jihad yang pulang dari Irak dan Suriah.

Muslimah yang menjadi mualaf dan memeluk iman kristiani mendapat perlakuan lebih buruk lagi, sampai perkosaan dan perkawinan paksa.




INJIL, KANONIK DAN APOKRIF

 


Injil    [Bahasa Indonesia ini merupakan serapan dari bahasa Yunani, eu-angelion, yang berarti kabar baik atau kabar gembira]. (Bahasa Anglo Saxon menerjemahkannya dengan god-spell, yang kemudian menjadi gospel). Nama yang pada umumnya diberikan kepada empat kitab yang ditulis dengan ilham ilahi tentang hidup, wafat dan kebangkitan Tuhan Kita Yesus Kristus di dalam Kitab Suci. Secara lebih luas “Injil Kerajaan” (Mat 4:23; Mrk 1:15; Luk 4:43; 8:1; 16:16), kabar baik tentang keselamatan bagi sluruh umat manusia melalui Yesus; atau yang paling luas, seluruh wahyu keselamatan oleh Kristus (bdk Mat 9:35; 24:14; Mrk 1:14; 13:10; 16:15; Kis 5:42; 11:20; 14:7; 20:24; Rm 1:9; 10:16; 15:20; 1 Kor 15:1; 2 Kor 4:3). Paulus menyampaikan suatu rumusan yang bermanfaat:

Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita. Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada nama-Nya. Kamu juga termasuk di antara mereka, kamu yang telah dipanggil menjadi milik Kristus. (Rm 1:1-6).

 

Pengarahan dan ajaran yang jelas mengenai pemahaman Katolik atas Injil-injil disampaikan oleh dua dokumen penting: Konstitusi Dogmatik tentang “Wahyu Ilahi”, Dei Verbum, dari Konsili Vatikan II; dan dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan, Sancta Mater Ecclesia, “Tentang Kesejarahan Injil-injil”.

 


I. ASAL MULA

Paham Perjanjian Baru tentang Injil dilacak untuk sebagian dari tulisan nabi-nabi Perjanjian Lama, khususnya nubuat Yesaya tentang kabar baik keselamatan bagi Sion (Yes 40:9; 41:27; 52:7; 61:1). Yes 61:1 menyatakan bahwa “kabar baik” itu adalah “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara”. Paham tradisional dari kata Yunani eu-angelion adalah “menyampaikan kabar baik” yang diterapkan untuk orang yang membawa berita, khususnya berita kemenangan. Pada abad pertama Masehi kata eu-angelion dimengerti orang Roma sehubungan dengan “kabar baik” mengenai kelahiran seorang anak pewaris kaisar atau kenaikan tahta seorang kaisar baru. Bahwa Lukas menggunakan kata itu dalam arti kata yang terakhir jelas dalam pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes Pembaptis (Luk 1:19) dan Yesus (Luk 2:10). Demikian pulalah Yohanes Pembaptis mewartakan Kabar Gembira (Luk 3:19), seperti Yesus (Mat 4:23; Mrk 1:35-39; Luk 4:43-45).

 

II. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN

Seperti yang kita lihat, pewartaan Injil dalam Perjanjian Baru tidak berkenaan dengan keempat Injil yang kita miliki sekarang dalam bentuk tertulis. Sebailknya, eu-angelion berhubungan dengan Kabar Baik Kerajaan. Perbedaan ini membentuk elemen pokok di dalam memahami tempat keempat Injil tertulis di dalam proses pelaksanaan pewartaan Kabar Baik.

      Sejauh tidak ada catatan tertulis yang resmi dan autentik mengenai Kabar Baik itu, pengertian Perjanjian Baru tentang “Injil” hanya mengandung satu makna. Jelas, paham tentang Injil sebagai wujud pewartaan Kerajaan Allah dan keselamatan yang dilaksanakan Yesus Kristus tidak berubah bahkan setelah para penginjil menuliskan Injil-injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes]. Bagaimanapun, hanya ada satu Injil, dan tampilnya keempat catatan mengenai Injil itu tidak menggambarkan empat Injil yang berbeda-beda, melainkan empat gaya penceritaan pribadi atas Injil yang sama. Namun justru pada awal sekali, kata “Injil” dicantumkan pada karya tertulis. Ini sudah tampak dalam tulisan Santo Yustinus yang pertama Apology (46), ketika ia menulis “Kenangan Para Rasul yang disebut Euangelia”, dengan jelas menunjuk bukan  pada suatu pewartaan Injil, melainkan pada keempat kitab Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] (KGK 2763(?)).

      Sebelum munculnya Injil-injil tertulis yang diilhamkan [Matius, Markus, Lukas, Yohanes], sudah ada tradisi lisan yang menjadi dasar dari Injil-injil tertulis itu (DV 7-10.18; Sancta Mater Ecclesia II, “Penjabaran Pesan Injil”) (KGK 76-79). Dei Verbum menyatakan:

Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena di didik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran. Adapun cara penilulis suci mengarang keempat Injil dan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus. Sebab mereka menulis, entah berdasarkan ingatan dan kenangan mereka sendiri, entah berdasarkan kesaksian mereka “yang dari semula menjadi saksi mata dan pelayan sabda”, dengan maksud supaya kita mengenal “kebenaran” kata-kata yang diajarkan kepada kita (lih. Luk 1:2-4). (DV 19)

 

Sancta Mater Ecclesia mengingatkan para penafsir Kitab Suci agar memperhatikan ketiga tahapan dalam tradisi, “melalui mana hidup dan ajaran Yesus diturunkan kepada kita”. Yang pertama adalah ajaran-ajaran Kristus, dan ketika Ia memberikan ajaranNya secara lisan,  Ia “menggunakan bentuk-bentuk gagasan dan ungkapan yang lazim pada zaman itu” dan ”menyesuaikan Diri kepada jalan pikiran pendengarNya sedemikian sehingga ajaranNya dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat dalam benak mereka dan mudah diingat oleh para muridNya”.

      Yang kedua, adalah ajaran para rasul, yaitu kesaksian yang disampaikan para rasul tentang Yesus dan pewartaan wafat dan kebangkitanNya. Di dalam menyampaikan cerita tentang hidup Yesus dan menyampaikan kata-katanya, para rasul menggunakan perkataan dan frasa yang disesuaikan sebaik-baiknya dengan khalayak mereka, termasuk bentuk-bentuk percakapan seperti “rumusan pengajaran, penyampaian kisah, pernyataan saksi mata, kidung, doksologi, doa, dan gaya sastra yang umum terdapat dalam Kitab Suci dan percakapan pada waktu itu.”

      Yang Ketiga, keempat penginjil yang menuliskan ajaran para rasul, dengan menggunakan metode-metode yang terbaik bagi para pembaca khusus mereka dan yang terutama bagi seluruh gereja:

Dari berbagai unsur yang ada pada mereka, mereka menyampaikan sebagian, membuat ikhtisar dari yang lain, dan juga mengembangkan yang lain lagi sesuai dengan kebutuhan berbagai jemaat. Mereka menggunakan setiap cara yang mungkin untuk menjamin pembaca mereka mendapatkan kebenaran dari segala yang diajarkan kepada mereka. Dari bahan yang tersedia para Penginjil memilah hal-hal yang paling cocok bagi maksud khusus dan kondisi pembaca tertentu. Dan mereka mengisahkan peristiwa-peristiwa itu dengan cara yang paling memuaskan maksud mereka dan situasi khusus khalayak mereka. (Sancta Mater Ecclesia II)

 


Berdasarkan ketiga pola tradisi ini, kita dapat mengetahui bagaimana dan mengapa ada perbedaan-perbedaan di antara keempat Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes]. Perbedaan yang tampak itu adalah berhubungan dengan maksud dari para Penginjil. Tugas kita selaku pembaca adalah memahami semua faktor yang relevan yang terkait dengan asal mula dan penulisan Injil-injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] dengan memerhatikan maksud para Penginjil. Harus kita ingat bahwa ajaran Yesus tidak hanya disimpan dan disampaikan supaya diingat saja; ajaran itu diajarkan: “Maka penafsir, dengan memeriksa kesaksian para Penginjil berulang kali niscaya akan dapat menjelaskan dengan lebih baik nilai teologis yang tak terperikan dari Injil-injil serta pentingnya dan perlunya penafsiran Gereja.” (Sancta Mater Ecclesia,II) (KGK 109-119). 

 

III. INJIL-INJIL YANG NON-KANONIK

Selain dari keempat Injil yang diilhami [Matius, Markus, Lukas, Yohanes], ada banyak injil-injil apokrip yang ditemukan tersebar di abad-abad pertama Gereja (bdk Luk 1:1-4). Injil-injil yang tidak kanonik ini menyolok karena gaya sastranya yang sering falmboyan, mengandung ajaran yang sungguh berbeda entah yang sangat Yahudi entah Gnostis hingga bersifat bidat dan kontras dengan ajaran autentik dari keempat Injil [kanonik]; mereka juga berasal dari masa yang berbeda, dari abad pertama hingga abad keempat. Keempat Injil kanonik [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] diakui sejak awal berasal dari para rasul; sementara itu banyak injil-injil apokrip “menyatakan diri” dikarang oleh rasul-rasul, tetapi pernyataan itu ditolak Gereja awal. Para ahli modern memastikan asal-usul yang tidak jelas dari kebanyakan dokumen ini. Di antara injil-injil apokrip itu yang banyak dikenal adalah:

Injil Ebion Basiliades

Injil Menurut Orang-orang Mesir

Injil Hawa

Injil Menurut Orang-orang Ibrani

Injil Marcion

Injil Mattia

Injil Nikodemus (Kisah Pilatus)

Injil Petrus

Injil Filipus

Injil Teleiseos

Injil Tomas

Injil Kedua Belas Rasul

Injil Valentinus

Injil Yudas

Proto-injil Yakobus