Daftar Blog Saya

Selasa, 29 November 2022

PERJALANAN ULANG ALIK DARI DAN KEPADA YESUS

 Kabar Dari Vatikan 8

Saya mencatat tiga perjumpaan yang inspiratif di awal pekan ini. Perjumpaan Paus Fransiskus dengan kelompok-kelompok kecil. Catatan saya terutama pada pesan Paus yang konsisten dan mendesak, dengan harapan semoga teman-teman juga  menangkap marwahnya. 

Yang pertama perjumpaan dengan Forum Internasional Aksi Katolik (FIAK), Minggu 27/11. FIAK suatu Forum Internasional gerakan kerasulan awam diprakarsai oleh Kardinal Eduardo Pironio 30 tahun yang lalu, mulai di Italia, lalu merambah ke beberapa negara Eropa dan kemudian ke Afrika, Amerika, dan Asia. Walaupun ada kata Internasional, namun gerakan kerasulan aksi katolik itu berbasis paroki dan keuskupan lokal masing-masing. Ikatan internasional adalah untuk forum komunikasi dan tukar pengalaman. Di Indonesia belum ada afiliasinya. Di Asia Tenggara, baru Filipina dan Myanmar yang menjadi anggota penuh FIAK, sedang Korea, India, Laos, Lebanon, Thailand berstatus anggota pengamat. Aksi Katolik sendiri merupakan gerakan awam yang sudah berumur lebih dari 150 tahun dan selalu memperbarui diri setiap kali dengan semangat baru. Pada 1977 mengikuti Paus Paulus VI menerapkan dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam. Pada 1987 diperbarui dengan semangat Ensiklik Christifideles Laici dari Paus Yohanes Paulus II. Terakhir pada 2014 bersama Paus Fransiskus mengenakan semangat Seruan Apostolik Evangelii Gaudium. 

Forum Internasional Aksi Katolik mengadakan Kongres dua kali. Yang pertama tahun 2004 bertema Bertolak ke laut dalam (duc in altum) Aksi Katolik menyongsong masa depan dengan berani. Kemudian yang kedua tahun 2017 mengusung tema: Aksi Katolik adalah Misi perutusan dengan siapa saja untuk siapa saja.


Sidang Umum Forum Internasional Aksi Katolik digelar setiap kali sejak 1991 untuk memilih pengurus baru setiap masa bakti (4 tahun) dan pada 24-28 November 2022 diselenggarakan Sidang Umum ke-8. Dalam rangka itulah mereka berkunjung menghadap Paus Fransiskus, yang berkenan menyambut mereka: "saya mengucapkan selamat kepada anda yang membuat komitmen untuk memimpin periode berikutnya, mengikuti jalur yang telah dirintis lebih dari 30 tahun lalu. Pada saat itu, Kardinal Eduardo Pironio merasa perlu untuk menciptakan forum ini agar kehidupan Aksi Katolik dapat berkontribusi pada tantangan evangelisasi baru,  diperkaya dengan kekhasan masing-masing tempat dan budaya." - "Tentu saja, konteks dunia yang mengiringi tahapan baru itu tidak sama dengan konteks dunia tiga puluh tahun lalu, bahkan kepemimpinan sebelumnya pun tidak." - " sebagai Gereja kita sedang melalui masa di mana kita membutuhkan semangat sinodal untuk mengakar dalam cara kita menjadi Gereja; ini berarti latihan berjalan bersama ke arah yang sama. Saya yakin bahwa inilah yang Allah harapkan dari Gereja milenium ketiga. Bahwa mereka melanjutkan kesadaran bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan bahwa mereka harus melakukannya bersama. Oleh karena itu, saya meminta Anda mendorong kelompok Aksi Katolik di berbagai gereja lokal dalam semangat ini. Dengan semangat sinodal, kita perlu belajar saling mendengarkan, mempelajari kembali seni berbicara dengan orang lain tanpa hambatan atau prasangka, bahkan dan dengan cara tertentu dengan mereka yang berada di luar, di pinggiran, untuk mengusahakan kedekatan, yang adalah gaya Allah". -  "Saya mendesak kepemimpinan baru untuk menjadi laki-laki dan perempuan yang mendengarkan. Saya berharap mereka bukan 'pemimpin' dari balik meja, pemimpin kertas atau Zoom, tidak jatuh ke dalam strukturalisme institusional yang merencanakan dan mengatur kegiatan melulu dari anggaran2 dasar dan rumah tangga, peraturan dan proposal warisan masa lalu, yang baik dan berguna pada masa itu, tetapi mungkin dewasa ini tidak signifikan..."

"Pertama: dengarkan pria, wanita, orang tua, pemuda dan anak-anak yang konkret, dalam realitas mereka, dalam tangisan diam mereka yang diungkapkan dalam tatapan mereka namun tersimpan dalam relung hati mereka. Buka telinga dengan peka agar tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak ditanyakan siapa pun, atau mengucapkan kata-kata yang tidak menarik dan tidak berguna bagi siapa pun. Mendengarkan dengan telinga terbuka untuk hal baru dan dengan hati orang Samaria.

Kedua: dengarkan detak irama dari tanda-tanda zaman, Gereja tidak boleh berada di pinggiran sejarah, terjerat dalam urusannya sendiri, membiarkan gelembungnya membesar. Gereja dipanggil untuk mendengarkan dan melihat tanda-tanda zaman, untuk membuat sejarah, dengan segala kerumitan dan kontradiksinya, menjadi sejarah keselamatan. Kita perlu menjadi Gereja yang profetis, dari tanda dan isyarat yang menunjukkan adanya peluang berbeda untuk hidup berdampingan, hubungan manusia, pekerjaan, cinta, kekuatan dan pelayanan.

Dan akhirnya, perlu diskresi suara Roh. Di setiap zaman, Roh membuka kita pada kebaruan; “selalu mengajar Gereja akan kebutuhan vital untuk keluar, ... bukan  tertutup pada diri sendiri” (Homili Hari Minggu Pentakosta, 5 Juni 2022). Jika roh dunia menekan kita agar fokus hanya pada masalah dan minat kita sendiri, kebutuhan untuk relevan, gigih mempertahankan harta benda dan kelompok kita, Roh membebaskan kita dari obsesi semacam itu, dan mengundang kita untuk melakukan perjalanan lama dan selalu baru: jalan kesaksian, kemiskinan dan misi,  membebaskan kita dari zona aman kita sendiri dan mengirim diri kita ke luar kepada masyarakat". -- "Semoga Anda dapat menjadikan periode ini sebagai masa rahmat, dengan keberanian untuk mengetahui bagaimana mendengarkan, ketenangan untuk dapat diskresi membedakan roh, dan keberanian untuk mewartakan Kebaikan Tuhan dengan hidup Anda dan dari hidup Anda".



Perjumpaan yang kedua adalah dengan Kolese Pontifikal Pius Amerika Latin di Roma. Ini semacam komunitas Fakultas Teologi Pontifikal Wedabhakti kita, yang menjadi sarana pembinaan imam Amerika Latin di Roma. "Tahun-tahun Anda berada di Roma adalah masa rahmat yang Tuhan berikan kepada Anda untuk memperdalam formasi Anda, tidak hanya intelektual dan akademik, tapi juga untuk mengalami kekayaan dan keragaman Gereja universal". - "Kekayaan dan keragaman ini juga menjadi ciri masyarakat di Amerika Latin, di mana Anda akan kembali untuk menjadi gembala kawanan yang dipercayakan Gereja kepada Anda. Menjadi imam umat, dan bukan imam negara. Itulah tujuan panggilan Anda".

"Jemaat Kristen perdana juga berasal dari berbagai bangsa dan budaya. Dan Roh Kudus yang turun ke atas mereka, menyebabkan mereka "sehati dan sejiwa" (Kisl 4:32), bicara dalam bahasa yang sama - bahasa cinta - dan menjadi murid dan utusan Yesus. .sampai ke ujung bumi (bdk. Mat 28:19)". Percakapan lalu fokus pada "pemuridan" dan "misi perutusan".

Dalam Injil Yohanes dikisahkan Andreas adalah salah satu murid perdana Yesus . Ia begitu berhasrat mengenal siapa "Sang Guru" itu, dan menerima undanganNya: "Mari dan lihatlah" (Yoh 1:39). Dan dari sana hidupnya berubah secara radikal. "Oleh karena itu, saudara-saudara terkasih, marilah kita selalu memperbaharui, perjumpaan dengan Tuhan, setiap hari, marilah kita membagikan Firman-Nya; marilah kita diam di hadapanNya untuk mendengarkan apa yang Dia katakan kepada kita, apa yang Dia lakukan, bagaimana perasaanNya, melihat bagaimana Dia diam, bagaimana Dia mencintai. Biarkan Dia menjadi 'Firman' dalam hidup kita dan, ...persilakan Dia "berkonyugasi" di dalam kita dan melalui kita, persilakan Dia menjadi Tuhan. Jangan kita menghalangi Dia bertindak dalam pelayanan kita. Semoga Yesus menjadi suara aktif dalam setiap keputusan kita! Kita adalah pelayanNya, kita ini milikNya dan dia memanggil kita untuk 'bersama Dia'. Inilah artinya menjadi murid."

Andreas bukannya duduk manis dan berpangku tangan, berbeda dari sebelumnya,  dia  pergi dan mewartakan apa yang dia alami. Dan orang pertama yang dia temukan dan ia beritahu adalah saudaranya sendiri Simon Petrus: "Kami telah menemukan Mesias" (Yoh 1:41). Dan ia membawa Simon kepada Yesus. Dengan cara ini, AndrĂ©as “menjadi pelayan perdana”, seorang misionaris. Saudara-saudara kita juga menunggu kita, terutama mereka yang belum mengalami kasih dan kemurahan Tuhan, agar kita dapat mewartakan Kabar Baik Yesus dan membawa mereka kepada-Nya. Sebagai misionaris utusan Tuhan.

Markus, dalam Injilnya, merangkum panggilan Yesus untuk menjadi murid dan misionaris. Dalam pasal ketiga kita baca Yesus memanggil para rasul "untuk menyertai Dia dan untuk diutusNya memberitakan Injil" (ay 14). Berada bersama Yesus dan pergi keluar untuk menwartakan Dia. Dua kata kerja: "menyertai" dan "keluar". Itulah makna hidup kita. Ini adalah jalan ulang alik "pulang pergi", dengan  Yesus sebagai titik awal dan akhir. Janganlah lupa bahwa kita "berada bersama" menyertai Yesus dan "keluar" untuk mewartakan Dia, juga bersama orang miskin, dengan para migran, dengan orang sakit, dengan para tahanan, dengan anak-anak kecil, dengan mereka yang paling dilupakan dalam masyarakat, dan berbagi dengan mereka hidup dan mewartakan kasih Allah tanpa syarat. Karena Yesus hadir di antara saudara dan saudari yang paling rentan itu, Dia menunggu kita di sana secara khusus (bdk. Mat 25:34-40).

"Satu hal lagi.. adalah bahwa jika Anda pulang jadilah imam Umat Allah. Tolong, jangan pernah menegosiasikan penggembalaan. Imam Umat Allah, bukan imam  negara. Jangan jatuh dalam klerikalisme yang merupakan salah satu penyimpangan terburuk. Berhati-hatilah, klerikalisme adalah bentuk keduniaan spiritual. Klerikalisme merusak, merusak, dan membawa Anda pada korupsi, korupsi macam-macam, dengan hidung tegak, memisahkan Anda dari kota, membuat Anda lupa dari mana asal Anda. Paulus memberi tahu Timotius: Ingat ibumu dan nenekmu (lih. 2 Tim 1: 5-7), maksudnya kembalilah ke akarmu, jangan lupakan ibumu dan nenekmu. Saya meminta Anda masing-masing kembali kepada kawanan dari mana Anda diambil..."

Perjumpaan ketiga dengan para peserta Jaringan Nasional Pelatihan Untuk Perdamaian. "Program penlatihan Anda membawa motto "Untuk perdamaian, dengan hati-hati" menanggapi seruan Pakta Pendidikan Global, yang saya sampaikan tiga tahun lalu kepada semua orang yang bekerja di bidang pendidikan, agar "mereka menjadi promotor nilai-nilai peduli, damai, adil, baik, indah, saling menerima dan persaudaraan” (Pesan video 15 Oktober 2020). Dan saya senang bahwa tidak hanya sekolah, universitas, dan organisasi Katolik yang menanggapi seruan ini, tetapi juga lembaga publik, sekuler, dan keagamaan lainnya". 

Hari ini saya ingin mengenang dua tokoh saksi. Yang pertama adalah Paus St. Yohanes XXIII. Dia disebut "Paus yang Baik", dan juga "Paus Perdamaian", karena pada awal yang sulit di tahun 1960-an yang ditandai dengan ketegangan besar - pembangunan Tembok Berlin, krisis Kuba, Perang Dingin, dan ancaman nuklir - menerbitkan ensiklik Pacem in Terris yang terkenal dan profetis. Tahun depan Ensiklik itu akan berumur 60 tahun, dan sangat relevan sekarang! Paus Yohanes berbicara kepada semua orang yang berkehendak baik, meminta solusi damai dari semua perang melalui dialog dan pelucutan senjata. Itu adalah seruan yang mendapat perhatian besar di dunia, jauh melampaui komunitas Katolik, karena  memahami kebutuhan seluruh umat manusia, yang masih dirasakan sampai sekarang. Oleh karena itu saya mengajak Anda membaca ulang dan mempelajari Pacem in Terris, dan mengikuti jalan mempertahankan dan menyebarkan perdamaian.

Beberapa bulan setelah penerbitan Ensiklik itu, nabi lain di zaman kita, Martin Luther King, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1964, memberikan pidato bersejarah di mana dia berkata: "Saya punya mimpi". Dalam konteks Amerika yang sangat ditandai oleh diskriminasi rasial, dia telah membuat semua orang memimpikan gagasan tentang dunia yang adil, bebas, dan setara. Dia berkata: "Saya punya mimpi: bahwa keempat anak saya yang masih kecil suatu hari akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka, tetapi oleh martabat pribadi mereka." Dan Anda, anak laki-laki, perempuan: apa impian Anda untuk dunia hari ini dan besok? Saya mendorong Anda untuk bermimpi besar, seperti Yohanes XXIII dan Martin Luther King". 

"Saya berharap Anda semua melakukan perjalanan yang baik di masa Adven yang kita mulai kemarin: suatu perjalanan yang terdiri dari banyak gerakan kecil perdamaian, setiap hari: gerakan penyambutan, perjumpaan, pengertian, kedekatan, pengampunan, pelayanan... Gerakan yang dibuat dengan hati, saat Anda berjalan menuju Betlehem, menuju Yesus yang adalah Raja damai sejati. 








POKOK-POKOK KATEKESE IMAN KITA 2

Bambang Kussriyanto 



Penolakan Terhadap Allah

Adalah fakta bahwa Indonesia menurut Undang-undang Dasar adalah negara yang berdasarkan antara lain kepada sila “Ketuhanan yang Mahaesa”. Adalah fakta bahwa di dalam naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan itu diakui sebagai “berkat rahmat Tuhan yang Mahaesa”. Adalah fakta bahwa rakyat Indonesia pada kartu penduduknya mencantumkan agama yang dipeluk. Adalah fakta bahwa di mana-mana di Indonesia banyak orang melaksanakan ibadat agamanya. Namun di balik itu semua masih terdapat lapisan masyarakat yang sesungguhnya tidak percaya kepada Allah. Semakin lebih besar lagi jumlah penolakan itu di seluruh dunia, kendati jumlah orang yang percaya masih jauh lebih banyak ketimbang mereka.

            Penolakan akan Allah sudah berlangsung sejak purba. Dan penyangkalan itu, terang-terangan maupun tersembunyi, terus berlangsung hingga sekarang.

            Mengenai penyangkalan itu dan sebab-sebabnya, KGK melukiskan: “Sayangnya ‘hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah ini’ (GS 19) dapat dilupakan oleh manusia, disalahartikan, malahan ditolak dengan tegas. Sikap yang demikian itu dapat timbul dari aneka sebab yang berbeda-beda: protes terhadap adanya kejahatan dan penderitaan di dunia, ketidakpahaman religius atau sikap tidak peduli, kesusahan duniawi dan kekayaan, contoh hidup yang buruk dari kaum beriman, aliran pikiran yang bermusuhan terhadap agama, dan akhirnya kecondongan manusia berdosa yang menyembunyikan diri karena takut akan Tuhan dan melarikan diri dari Tuhan yang memanggil” (KGK 29).

            Salah arti, penolakan terhadap Allah merupakan konsekuensi dari penggunaan akal budi juga, yang meliputi pembentukan konsep (terminologi), pengambilan kesimpulan (judgment, proposition) dan penalaran (silogisma, reasoning). Ada kemungkinan kekeliruan proses bekerjanya akal budi di dalam membuat konsep, di dalam mengambil keputusan dan mengoperasikan nalar, dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam diri manusia, antara lain pilihan-pilihan kehendak bebasnya. Semua itu lalu mengendap menjadi sikap.

            Di antara sikap-sikap yang menolak keberadaan dan karya Allah bagi manusia ada yang didasarkan pada penilaian, bahwa semua pernyataan tentang Allah itu tidak ada artinya, serba berlawanan (kontradiktif), atau tidak sesuai dengan fakta sains atau sejarah, sehingga tidak memadai untuk diyakini.

            Misalnya, secara empiris dalih-dalih penolakan pada Allah didasarkan atas data ketidak-samaan gambaran tentang Allah pada berbagai Kitab Suci, misalnya dari Kitab Tanakh Yahudi, Alkitab Kristen, Qur’an Islam, Weda Hindu, atu Aqdas Bahai. Jangankan pelbagai kontradiksi yang ada dalam berbagai Kitab Suci agama yang berbeda, bahkan dalam satu Kitab Suci dari satu agama pun menurut mereka  terdapat fakta yang berbeda-beda tentang Allah.

            Banyaknya kejahatan dan bencana di dunia juga dianggap menyangkal gambaran Allah yang mahakuasa dan mahabaik. Seandainya Ia sungguh ada, niscaya Ia tidak akan mengizinkan terjadinya pelbagai kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, perampokan, penipuan dan musibah seperti gunung meletus, gempabumi, tsunami, tornado, banjir, wabah penyakit, dan lain-lain yang mendatangkan penderitaan itu.

            Harold Kushner, seorang rabi Yahudi, tak lama setelah ditinggal mati puteranya menerbitkan sebuah buku yang berjudul When Bad Things Happen to Good People  (1961) yang langsung jadi best-seller. Buku itu merupakan hasil renungan yang sangat mendalam atas penderitaan manusia dan bagaimana Tuhan seharusnya dipahami dalam hal penderitaan ini. Pada pokoknya uraian Kushner adalah sebagai berikut. Bagaimana Allah bisa mahakasih dan mahakuasa sementara ada fakta bahwa secara acak ada banyak penderitaan yang tampaknya tak masuk akal di dunia ini? Anak-anak kecil mati karena kanker. Ibu-ibu muda yang masih diperlukan putra-putrinya mati karena kecelakaan, sakit dan berbagai situasi lainnya. Ada begitu banyak penderitaan yang sangat tidak perlu dan tidak dapat dimengerti. Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa membiarkan semua ini terjadi?

            Gagasan bahwa Allah mahakuasa yang menghendaki agar manusia percaya kepada-Nya disangkal dengan alasan bahwa Allah semacam itu seharusnya melakukan pekerjaan yang lebih baik ketimbang sekedar mengumpulkan umat pengikut. Lagipula, banyak orang yang mengaku percaya kepada Allah namun bertindak main kuasa semena-mena atas nama Allah dan agama, melakukan teror, menghalangi orang bekerja mencari nafkah, menghalangi umat beragama lain membangun tempat ibadat dan melakukan ibadat kepada Allah. Lalu, apa baiknya percaya kepada Allah?

            Gagasan bahwa Allah yang mahasempurna menciptakan hidup juga ditolak berdasarkan fakta bahwa bentuk-bentuk kehidupan, termasuk manusia, tampaknya menunjukkan rancangan yang buruk.

            Secara deduktif ada argumen kosmologis (tentang ayam dan telur, mana yang lebih dulu) yang menyatakan bahwa sesuatu tidak mungkin ada tanpa pencipta. Dan itu juga berlaku atas Allah dan alam semesta, yang dianggap Sebab Pertama dan Sebab Kedua. Juga ada argumen bahwa suatu tata susunan yang rumit membutuhkan rancangan, dan bahwa setiap rancangan membutuhkan perancang menyangkal adanya perancang terakhir, tanpa kesudahan. Selalu ada pertanyaan “siapa yang merancang si perancang?” Gagasan bahwa Allah adalah perancang terakhir yang tidak dirancang lagi (yang diajukan sebagai wacana bagaikan “pion” pesawat Boeing 747 paling sempurna; melawan Fred Hoyle) adalah mustahil dan merupakan kesalahan logika (lih Richard Dawkins, God’s Delusion, 2006, bab 4). Kerumitan sudah ada sejak awal, bukan diciptakan Allah. Argumen rancangan tidak memperhitungkan derajat kerumitan, yang dapat diterangkan dengan prinsip seleksi alam (teori evolusi).

            Mengingat persoalan : “Bisakah Allah menciptakan batu yang sedemikian besar sehingga Ia tidak mampu mengangkatnya?” atau “Jika Allah mahakuasa, bisakah Ia menciptakan mahluk yang lebih hebat dari diri-Nya?” maka gagasan Allah mahakuasa dianggap kontradiktif.

            Juga gagasan tentang Allah yang mahatahu dianggap kontradiktif dan dipatahkan oleh persoalan: “Bagaimana mungkin Dia yang mahatahu mengubah pendapat dan keputusan-Nya?” Adanya kehendak bebas juga dianggap bertentangan dengan sifat Allah yang mahatahu. Jika Allah sudah mengetahui masa depan, maka manusia niscaya ditakdirkan untuk membenarkan pengetahuan akan masa depan itu; maka manusia tidak punya kehendak bebas untuk menyimpang darinya. Dengan demikian  gagasan bahwa Allah punya kehendak bebas dan menanamkan kehendak bebas itu pada manusia juga dianggap kontradiktif dengan kemahatahuan Allah sendiri. Allah yang mahatahu tentulah tidak punya kehendak bebas, karena Ia terikat untuk mengikuti apa yang sudah diketahui-Nya di masa depan yang kekal.

            Soal neraka sebagai hukuman kekal atas tindakan yang dilakukan dalam hidup yang fana dianggap menyangkal keberadaan Allah yang mahabaik dan ada di mana-mana (Ia tidak berada di neraka). Gambaran nasib mereka yang tidak mengikuti kehendak Allah di neraka, pada hal mereka tidak pernah mendengar tentang Allah dan kehendakNya, juga kontradiksi dengan gagasan mengenai Allah yang mahaadil dan mahabaik.

            Aliran pemikiran ateis menyimpulkan bahwa tidak cukup alasan untuk percaya kepada adanya Allah, sehingga para pengikutnya tidak perlu percaya kepada Allah. “Istilah ‘ateisme’ merujuk kepada gejala-gejala yang sangat berbeda satu dari yang  lain. Ada kelompok yang tegas mengingkari Allah; ada juga yang beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada pula yang menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui batas-batas ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala sesuatu dengan cara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga iman akan Allah seolah-olah lemah tak berdaya; agaknya mereka lebih cenderung mengukuhkan kedudukan manusia daripada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian rupa, sehingga lebih merupakan hasil khayalan sendiri yang mereka tolak, sama sekali bukan Allah menurut wahyu. Orang-orang lain bahkan tidak mau mempersoalkan Allah, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan keagamaan, atau juga tidak mau tahu mengapa masih perlu mempedulikan agama. .... Peradaban zaman sekarang pun, ....acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati Allah” (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, GS, 19).

            Memang ada gradasi ateisme garis keras dan ateisme lunak, namun kesimpulan mereka sama saja. Ateisme garis keras bahkan melakukan propaganda dan bekerja keras secara militan aktif untuk meruntuhkan iman kepada Allah di mana-mana (Paus Paulus VI, EN, 54). Dalam prakteknya, secara metodis juga dikenali ateisme yang sistematis terencana, terorganisasi, dan terstruktur sebagai sistem politik (Paus Yohanes Paulus II, 1979, RH, 11).

            “Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, ateisme sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh, sehingga menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah. Mereka yang menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; manusialah satu-satunya perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut mereka pandangan itu tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan kepada Allah sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu di dukung oleh cita-rasa penuh kuasa, yang ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang”  --  “Di antara bentuk-bentuk ateisme itu ada yang berpendirian, bahwa agama dan hakekatnya merintangi kebebasan itu, sejauh menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu saja, dan mengalihkannya dari pembangunan masyarakat dunia. Maka dari itu para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada ditangan pemerintah, terutama dalam pendidikan kaum muda” (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, GS, 20).

            Agnostik-isme merupakan bentuk aliran pemikiran lain yang juga melemahkan kepercayaan akan Allah, sekalipun tidak sekeras ateisme. Di antara penganut agnostik itu terdapat banyak juga orang yang percaya kepada Allah, tetapi mereka berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak dapat dipikirkan, jadi percuma berusaha mengenal Allah dengan lebih mendalam.

            Apatisme adalah aliran pendapat lain yang tidak peduli kepada soal ada tidaknya Allah karena persoalan itu dianggap praktis tidak penting.

            Pemikiran-pemikiran dan sikap terhadap Allah ini diungkapkan dalam komunikasi yang mengandaikan dialog, suatu kebersamaan untuk mencari dan mencapai kebenaran yang lebih dalam lagi.

Allah Terus Memanggil

Mengingat banyaknya dalih penolakan manusia terhadap Allah, teolog Jan Walgrave OP, profesor teologi pada Universitas Katolik di Louvain, Belgia, menyatakan bahwa “zaman kita ini membentuk suatu konspirasi menentang Allah.”  Kata-kata ini lebih merujuk pada perpaduan yang bersifat kebetulan dari berbagai situasi historis, yang mempersulit penghayatan akan Allah, bukan konspirasi yang terencana secara sistematis. Suatu pandangan yang sangat sederhana dan sangat umum menyatakan bahwa kesulitan mengenal Allah mendapatkan akarnya pada perubahan sosial di tahun 1960-an. Musik rock, perang Vietnam, narkotika, revolusi seksual, kelimpahan dan munculnya generasi pertama yang sungguh berubah dari gelandangan-jadi-orangkaya, teknologi baru, kesempatan baru untuk keliling dunia karena perkembangan angkutan udara (pesawat) dan kapal bertenaga jet yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan komersial, melakukan perjalanan dan tata cara anonim, semua itu dikatakan mengubah konsep kita tentang keluarga, moralitas, bahkan tentang Allah dan agama. Kehidupan di dunia berubah secara mendasar dalam tiga puluh tahun terakhir, dan bersamaan dengan perubahan itu, terbongkarlah juga tatanan lama yang ideal mengenai keluarga dan agama. Masalah penolakan atas Allah dewasa ini dengan demikian berakar pada perubahan sosial yang terjadi dalam generasi yang lalu.

            Alasan mengapa generasi kita bergumul dengan jenis ateisme praktis yang tertentu ini berakar pada perubahan-perubahan yang mulai dalam sejarah Barat berabad-abad yang lalu bersamaan dengan timbulnya Renaissance dan datangnya sains dan filsafat modern. Benih yang ditaburkan di zaman itulah yang kemudian bertumbuh subur sepenuhnya dalam bagian terakhir dari abad yang lalu. Maka akar dari krisis yang kita alami dalam hal kepercayaan kepada Allah bergelung-gelung panjang dari awalnya berabad-abad yang lalu.

            Apa itu? Suatu campuran yang sangat kompleks antara faktor-faktor sejarah, filsafat, budaya, psikologi, moral dan keagamaan yang sudah mulai ratusan tahun yang lalu. Ini perlu dinyatakan dengan tegas dan dicamkan, karena buku ini yang punya tujuan lain, tidak hendak memaparkan akar-akar itu untuk diteliti secara rinci. Yang justru perlu diperhatikan adalah pandangan bahwa ateisme sering ditimbulkan oleh teisme yang buruk. Michael Buckley dalam karyanya At the Origins of Modern Atheism, 1987, membentangkan hal ini dengan cara yang luar biasa.

            Seorang penulis menyatakan bahwa di dalam pergumulan mengenai Allah ini, yang menjadi pokok masalah bukan soal Allah itu ada atau tidak ada, sebab Allah selalu hadir. Pokok soalnya adalah kita sendiri, apakah kita mau menghadirkan dan melihat Allah dalam hidup kita atau tidak (Ronald Rolheiser, 1994, The Shattered Lantern,  Rediscovering God’s presence in everyday life). Yesus berkata, “Berbahagialah yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).

            Penolakan atau penyangkalan terhadap Allah lebih ditengarai oleh “hati yang tidak murni”, dalam arti tercemar oleh berbagai motif psikologis yang semakin tebal menutupi “mata hati” untuk dapat melihat dan mengakui Allah melalui karya-karya-Nya. Hasrat akan kuasa duniawi, kelekatan pada hawa nafsu, keserakahan akan uang dan harta benda kekayaan, keterikatan pada status sosial dan popularitas, serta pengejaran autonomi dan kebebasan pribadi secara egoistis adalah faktor-faktor yang menyulitkan orang menerima keberadaan dan panggilan Allah (Peter Kreeft & Ronald Tacelli, 2009)

            “Namun, sekalipun manusia melupakan atau menolak-Nya, Allah tidak berhenti memanggil kembali setiap manusia, supaya mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaannya”. Ini menjelaskan fenomena perkembangan agama-agama yang malah bertambah subur belakangan ini. “Tetapi pencarian itu menuntut dari manusia seluruh usaha berpikir dan penyesuaian kehendak yang tepat, ‘hati yang tulus’, dan juga kesaksian orang lain yang mengajar kepadanya untuk mencari Tuhan” (KGK 30).


[Bersambung]


Senin, 28 November 2022

UPDATE WORLDCUP QATAR 28 NOVEMBER '22

 Catatan 28 Noember 2022

Dalam laga hari Minggu 27 November 2022 kemarin Jepang vs Costa Rica dalam Grup E digelar di Ahmad bin Ali Stadium, Al Rayyan, pukul 17.00 WIB. Jepang kalah 0-1. Sangat agresif dan ingin mencetak gol di babak pertama, Jepang buntu kebingungan karena tembakan-tembakan mereka berhasil dimentahkan. Mereka terperangkap dalam strategi permainan bertahan yang diperagakan Costa Rica. Jepang melepas 13 tembakan, sedang Costa Rica hanya 4. Serangan balik Costa Rica menghasilkan satu gol matang di menit 81 dari Keysher Fuller.



Laga Grup F. Belgia vs Maroko berlangsung di Al Thumama Stadium, Doha, pukul 20.00 WIB. Maroko mengalahkan Belgia 2-0. Kedua gol kemenangan Maroko lahir di babak kedua melalui Romain Saiss 73', Zakaria Aboukhlal 90+2'


Croatia vs Canada di Khalifa International Stadium, Al Rayyan, pukul 23.00 WIB. Canada harus tekuk lutut mengakui kehebatan Croatia 1-4. Sempat tertinggal lebih dulu oleh gol Alphonso Davies di menit ke 2, Croatia kemudian bangkit dengan melesakkan tiga gol lewat brace Andrej Kramaric 36' dan 70', serta masing-masing satu dari Marko Livaja 44' dan Lovro Majer 90+4'.

Senin 28 November 2022 pukul 02.00 WIB.

Spanyol vs Jerman di Grup E di Al Bayt Stadium, Al Khor. Kedua raksasa bermain imbang 1-1. Hingga turun minum kedudukan masih 0-0. Spanyol unggul lebih dulu lewat gol Alvaro Morata di menit ke-63. Niclas Fullkrug kemudian menyamakan kedudukan Jerman melalui golnya di menit ke-83.

Klasemen Sementara Grup E

Posisi Tim             Main M S K GM GK SG   P
1         Spanyol      2      1  1  0  8     1    +7   4
2         Jepang       2      1   0  1 2     2     0    3
3         Costa Rica 2      1   0  1 1     7    −6   3
4         Jerman       2      0  1   1 2     3    −1   1


Klasemen Sementara Grup F

Posisi Tim         Main M  S  K  GM GK SG   Poin
1         Croatia     2     1  1   0    4    1     3      4
2         Maroko     2     1  1   0    2     0     2     4
3         Belgia       2     1  0   1    1     2    -1     3    
4         Canada     2     0  0   2    1     5    -4     0




Jadwal pertandingan hari ini 28 November 2022

Grup G matchday 2 pkl 17:00 WIB: Kamerun vs Serbia

Grup H matchday 2 pkl 20:00 WIB: Korea Selatan vs Ghana

Brasil akan menghadapi Swiss di Stadium 974 pada matchday 2 Grup G pkl 23:00 WIB.

Selasa, 29 November 2022, pkl 02:00 WIB, Portugal akan menghadapi Uruguay di Lusail Iconic Stadium pada matchday 2 Grup H, live di SCTV.




YERUSALEM

Dari bacaan Kitab Yesaya 4:2-6 pada Hari Senin Pekan I Adven Tahun A kita mendengar/membaca tentang Yerusalem yang disucikan dan dilindungi. Mari kita lihat catatan tentang Yerusalem.



Yerusalem dihormati sebagai “kota suci” oleh tiga agama monoteis besar: agama Kristen, agama Yahudi, dan agama Islam. Yerusalem merupakan salah satu di antara kota-kota tertua di dunia. Pentingnya Yerusalem bisa diduga tanpa berlebihan: merupakan pusat berbagai kejadian yang berhubungan dengan Perjanjian Lama, dan terus penting secara teologis dalam Perjanjian Baru.

Selain dari fungsinya sebagai ibukota politis Israel, Yerusalem juga merupakan pusat keagamaan bangsa Israel, karena di dalamnya terdapat tempat kudus dari Tuhan, Bait Allah. Hancurnya kota itu oleh bangsa Babilonia pada tahun 586 SM mungkin merupakan bencana yang paling besar. Yerusalem dicintai sebagai lambang aspirasi keagamaan dan nasional Yahudi. Dalam Perjanjian Baru, kota itu merupakan tipologi dari Yerusalem surgawi yang baru (Why 21:2.10).

 

I. Nama

II. Geografi

III. Sejarah

IV. Nilai Teologis

A. Yerusalem dalam Perjanjian Lama

B. Yerusalem dalam Perjanjian Baru

 

I. Nama

Nama kota itu berasal dari masa pra-Israel. Rujukan tulisan paling kuno yang dapat diketahui pada Teks Eksekrasi Mesir dari abad kedelapan belas SM menyebut Rushalimun; Surat-surat [Tell] Amarna dari abad keempatbelas SM menyebut Urushalim [Dalam bahasa Akkadia. Meninggalkan jejak dalam bahasa Arab setempat yang menyebut Yerusalem Urshalim]. Nama Ibrani Yerusalaim mungkin merupakan pengucapan yang asli (kadang-kadang diubah menjadi yerusalayim [transliterasi resmi yang berlaku sekarang]). Ada yang memahami makna nama itu sebagai “dasar dari Salem”. Salem adalah nama dewa Semit dalam mitologi Ugarit. Namun akhirnya nama itu dikaitkan dengan kata Ibrani salom, “damai” (bdk Ibr 7:2). Kej 14:18 menyebut Melkisedek, raja Salem (sebutan singkat Yerusalem), sebagai rujukan pertama Yerusalem dalam Kitab Suci. Mzm 76:2 mengaitkan Salem dengan Sion sebagai tempat kediaman Tuhan; Yerusalem disebut “Sion” ketika Daud merebut kota itu (2Sam 5:6-7) menjadi miliknya.

      Karena kota itu didiami oleh orang-orang Yebus hingga Daud menaklukkannya, Yerusalem kadang-kadang disebut Yebus dalam sejarah penaklukan Kanaan (Yos 15:8; 18:28; Hak 19:10; 1 Taw 11:4-5).

 

II. Geografi

Yerusalem terletak pada suatu dataran tinggi kapur kira-kira 32 kilometer di sebelah barat Laut Mati dan 48 kilometer sebelah timur pantai Laut Tengah pada suatu rangkaian paralel di jajaran pegunungan tengah Palestina. Ketinggian rata-rata perbukitan sekeliling Yudea adalah 2300 kaki atau 700 meter di atas permukaan laut. Kota itu dibatasi oleh lembah-lembah curam di ketiga sisinya – Lembah Kidron di sebelah timur, yang membagi kota dari Bukit Zaitun, dan Lembah Hinom di sebelah selatan dan barat, yang berfungsi sebagai benteng pertahanan alamiah. Maka karena letaknya itu Yerusalem sangat sulit ditaklukkan, karena hanya dapat diserbu dari utara.

 


III. Sejarah

Sejarah awal Yerusalem tidak diketahui. Teks Eksekrasi Mesir setidaknya melacak keberadaan tempat itu hingga abad kedelapan belas SM, maka kita tahu bahwa kota itu sudah ada pada awal milenimum kedua SM. Arkeologi berhasil menegaskan adanya pemukiman-pemukiman yang paling tua di sebelah timur bukit. Ada kemungkinan besar bahwa Salem yang disebut dalam Kej 14:8 tidak lain adalah “puncak Moria”, tempat di mana Tuhan memerintahkan Abraham untuk menjadikan anaknya, Ishak, sebagai korban persembahan (Kej 22:2-4), dan tempat di mana Salomo membangun Bait Allah (2 Taw 3:1).

      Dalam kitab Kejadian, Salem adalah kota dari Melkisedek (Kej 14:18; bdk Ibr 7:1.8). Salem sama dengan Yerusalem melalui paralel penggunaan sebutan Sion (Mzm 76:3). Yosephus (Ant., 1.180) menyatakan bahwa Yerusalem adalah sama dengan kota kuno Salem.

      Pada masa penaklukan Kanaan, Yerusalem merupakan kota suku Amorit di bawah Adonisedek. Raja itu membuat persekutuan untuk melawan Yosua, tetapi koalisinya dikalahkan (Yos 10:1-11). Namun bangsa Israel tidak bisa merebut Yerusalem, mungkin karena pertahanan alamiahnya. Orang-orang Yebus tetap menguasai daerah itu pada tahun-tahun permulaan pendudukan Kanaan, tetapi menurut Hak 1:8, setidaknya sebagian dari kota sudah jatuh ke tangan suku Yehuda. Suku Benyamin berusaha mengusir orang-orang Yebus untuk selamanya namun juga terpaksa harus hidup bersama dengan mereka (Hak 1:21).

      Kekuasaan orang Yebus atas Yerusalem masih berlangsung pada waktu Daud naik tahta atas Israel, tetapi kemudian Daud berhasil merebut kota itu seluruhnya. Ini terlaksana, tampaknya dengan serangan mendadak yang dipimpin Yoab “melalui saluran air” (2 Sam 5:6-9; 1 Taw 11:4-6). Setelah merebut kota itu Daud menjadikannya sebagai ibukota. Dan keputusan itu tepat. Bukan hanya karena kota itu kuat pertahanannya, tetapi letaknya juga tepat pada perbatasan antara wilayah suku Yehuda dan suku Benyamin. Ini membuat kota itu secara politik netral dan jauh ke tengah sehingga akan sulit direbut oleh suku-suku utara.

      Daud memperkuat pertahanan Yerusalem dan menjadikannya pusat pemerintahan. Ia juga memindahkan tabut perjanjian ke Yerusalem, dan memantapkan Yerusalem sebagai ibukota keagamaan Israel. Salomo menyelesaikan perkembangan ini dengan membangun Bait Allah.

      Ketika suku-suku utara mengalami kemunduran (lihat Kerajaan Israel), Yerusalem menjadi ibukota Yehuda. Lalu kota itu mengalami kesulitan karena keputusan-keputusan yang buruk dan ketidaksetiaan raja-raja Yehuda. Bait Allah dan istana dirusak oleh pasukan Mesir (1Raj 14:25-28), dan Yerusalem mendapat serangan dari Siria dan Israel, Kerajaan Utara (2Raj 14:11-14; 2Taw 25:21-24), gempuran dari Asyur (2Raj 18:13-19; 2Taw 32:1-22; Yes 36-37), dan akhirnya dilindas Babilonia (2 Raj 24:1-25:21). Beberapa raja seperti Uzia dan Hizkia berusaha memperkuat pertahanan dan memperbaiki persediaan air bagi kota. Yerusalem secara ajaib luput dan kehancuran dahsyat seperti yang menimpa kerajaan utara, tetapi bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Asyur, munculnya Babilonia menghadapkan ancaman baru yang bahkan lebih berat.

      Yerusalem dikepung pertama kali oleh Nebukadnezar pada tahun 597 SM (2 Raj 24:10-17). Dan kemudian, setelah melakukan kepungan selama delapan belas bulan, bangsa Babilonia menguasai Yerusalem pada tahun 586 SM. Kota Yerusalem mengalami kerusakan yang sangat parah karena konflik itu, dan Nebukadnezar membuang penduduknya yang masih hidup, dan hanya meninggalkan sebagian kecil penduduk yang terdiri dari para petani miskin (2 Raj 25:1-17).

      Sesudah bangsa Persia menaklukkan Babilon pada tahun 539 SM, Koresh Agung mengizinkan orang Yahudi pulang ke Yerusalem dan membangun Bait Allah yang baru pada tahun 538 SM (Ezr 1-7; Neh 1-4). Tembok kota diperbaiki lagi di bawah Nehemia pada tahun 445 SM.

      Ptolemeus dari Mesir menguasai Yerusalem setelah Aleksander Agung mati pada abad keempat SM, dan Palestina jatuh ke tangan Dinasti Seleukus di bawah Antiokhus II Teos di tahun 198 SM. Orang Seleukus di bawah Antiokhus IV Epifanes memasuki Yerusalem, menistakan Bait Allah dan meruntuhkan tembok-temboknya; suatu pasukan Siria ditinggalkan untuk melakukan penjagaan. Usaha agresif untuk menyebarkan pengaruh budaya Yunani, Helenisasi, atas penduduk Yahudi menimbulkan pemberontakan Makabe. Bait Allah disucikan lagi pada tahun 164 SM (1 Mak 4:36-59).

      Setelah Makabe memeroleh kemerdekaan bagi orang Yahudi, Dinasti Hasmona memerintah di Yerusalem sampai datangnya pasukan Roma pada tahun 63 SM. Pada waktu itu, Pompeyus Agung merebut Yerusalem dan memulai pemerintahan Roma yang akan berlangsung selama berabad-abad. Herodes Agung dijadikan raja bawahan Roma dan bertanggungjawab atas pelaksanaan beberapa proyek pembangunan besar di kota, termasuk suatu benteng tentara (Antonia; Kis 21:34) dan terutama pembangunan Bait Allah baru (Yoh 2:20).

      Pemberontakan Yahudi pada tahun 66 M berakhir dengan hancurnya Yerusalem pada tahun 70 oleh pasukan Roma di bawah pimpinan Titus, putera Kaisar Vespasianus. Dalam suatu pertempuran habis-habisan yang memakan banyak korban, pasukan Roma meratakan kota dengan tanah. Bait Allah dihancurkan dan tak pernah bisa dibangun kembali hingga hari ini.

      Yerusalem sekali lagi menjadi medan pertempuran pada waktu pemberontakan Simon Bar Kokhba (tahun 132-135) melawan Roma. Sesudahnya, di atas puing-puing Yerusalem dibangun suatu kota yang baru, Aelia Capitolina, suatu kota metropolis kafir yang dipersembahkan untuk dewa Jupiter Capitolinus. Orang Yahudi dilarang masuk kota itu sampai zaman pemerintahan Konstantin Agung (meninggal tahun 337 M). Sejak zaman Konstantin Yerusalem menjadi pusat peziarahan umat Kristen, dihormati sebagai tempat sengsara dan kebangkitan Kristus.

 

IV. Nilai Teologis

A. Yerusalem dalam Perjanjian Lama

Yerusalem memang kedudukannya sungguh penting, bukan hanya karena secara politik merupakan tempat kedudukan Dinasti Daud, tetapi karena di situlah Bait Allah berada, sehingga menjadi pusat ibadat Israel. Yerusalem merupakan kota kudus, tempat yang dipilih Tuhan untuk berada di tengah-tengah umat: “Di Yerusalem Aku akan menaruh nama-Ku” (2 Raj 21:4; bdk 1 Raj 11:13; 2 Raj 23:27). Maka ketika para nabi berseru bahwa kota itu akan dihncurkan karena ketidak setiaan Israel, mereka memandangnya lebih dari sekedar bencana manusia: mereka melihatnya juga sebagai akhir yang dahsyat dari ibadat  kepada Tuhan (Yer 9:11; Yeh 4-5; Mi 3:12).

      Nubuat-nubuat ini terjadi tetapi Yerusalem tetap ada di hati bangsa Israel. Para nabi selama dan sesudah Pembuangan menyatakan harapan akan suatu Yerusalem yang dipulihkan. Tuhan akan kembali dan sekali lagi berkenan tinggal di BaitNya yang Kudus. Kota itu kan menjadi ibukota Kerajaan Mesias, dan semua bangsa akan dihadapkan pada Tuhan (Yes 2:1-5; 49:14-18; 52:1-10; bab 60-62; 65:17-25; Yer 31:38-40; Mi 4:1-4; Hag 2:7).

 


B. Yerusalem dalam Perjanjian Baru

Bagaimana pentingnya Yerusalem bagi Yesus tampak dalam Injil-injil, dan keempat penulis Injil mencatat bahwa karya Yesus bergerak ke arah Yerusalem, kota kudus, sebagai tempat bagi Sengsara, Wafat dan KebangkitanNya. Yesus memberitahukan kematianNya di kota itu dengan kata-kata: “sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem. Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Luk 13:33-34; bdk Mrk 10:32-34). Yesus menyatakan bahwa para nabi dibunuh di kota itu dan membayangkan kota itu dikepung oleh tentara (Luk 21:20|) dan dihancurkan oleh pasukan musuh (Luk 19:41-44).



      Namun Yesus memasuki Yerusalem dengan jaya sebagai Mesias, putera Daud (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-11; bdk Za 9:9). Kota kudus itu merupakan titik sumber darimana Injil mulai diwartakan kepada seluruh dunia (Luk 24:47; Kis 1:18). Yerusalem adalah tempat di mana Roh Kudus dicurahkan pada waktu Pentakosta dan tempat di mana jemaat Kristen perdana terbentuk (Kis 2:1-13).

      Visiun kenabian mengenai Yerusalem yang dimuliakan di dalam Perjanjian Lama jauh melebihi realitas dari Yerusalem yang dipugar setelah zaman Pembuangan. Maka kita diajak untuk merenungkan realitas yang lebih besar lagi, suatu Yerusalem surgawi – kota kudus sejati dan pusat ciptaan baru Allah – yang dilambangkan oleh kota Yerusalem duniawi tetapi tidak sama dengannya. Sion duniawi itu merupakan model dari gunung surga yang di atasnya Yerusalem Baru akan didirikan (Gal 4:26; Ibr 12:22), dan bersamaan kota itu merupakan tempat mulia di mana orang-orang yang telah ditebus dihimpun di hadapan Tuhan (Yes 4:2-6; Yl 3:17; Ob 21; Mi 4;1-7; Why 14:1). Yerusalem Baru dilukiskan dalam Why 3:12 dan 21:1-22:5. Dalam Why 3:12 Yerusalem Baru dijanjikan kepada jemaat kaum beriman Filadelfia jika mereka tetap setia kepada Sabda Kristus (bdk Why 21:7). Dalam Why 21:1-22:5 Yerusalem mewakili Gereja, Mempelai Anak Domba, yang dengannya Yesus mengikatkan Diri (Why 21:9-21; bdk Ef 5:25-26; Why 19:7-9).  Kota surgawi yang dibangun oleh Allah (bdk Ibr 11:10) mengizinkan Gereja yang memuji memadukan suara dengan ibadat surga dalam memuliakan Allah dan Anak Domba (KGK 757, 865).


POKOK-POKOK KATEKESE IMAN KITA 1

Bambang Kussriyanto 

Mungkin berguna untuk membantu para katekis dan pewarta. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya aktif dalam Seksi Pewartaan Paroki, saya menulis karangan tentang pokok-pokok iman kita. Sasaran saya katekumen selepas SMA.  Saya sampaikan kepada teman-teman, barangkali bisa dimanfaatkan dan diperkaya. Semoga.

Allah: Pengarang Iman Kita

Pada awal abad ini, Grace Davie, seorang sosiolog agama, menyatakan bahwa banyak orang haus akan spiritualitas dan ingin beriman (Religion in Modern Europe: A Memory Mutates, 2000). Sebagian besar dari mereka itu adalah anak-anak muda yang sedang mencari makna hidup (Yves Lambert, “A Turning Point in Religious Evolution in Europe”, dalam The Journal of Contemporary Religion, XIX/1, 2004). Gejala itu ditangkap sebagai musim semi baru dalam hidup keagamaan. Telah tumbuh tunas-tunas baru minat dan keinginan untuk mendapatkan informasi mengenai kerohanian dan iman.

            Timothy Radcliffe OP menulis: “Ada dua buku yang paling populer di Eropa baru-baru ini, yaitu: Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran (karya Eric-Emmanuel Schmitt, Paris 2003, “Tuan Ibrahim dan bunga-bunga Qur’an”), dan Oscar et la dame rose (juga hasil karya Eric-Emmanuel Schmitt, Paris 2004 , “Oscar dan ibu yang tegar”). Terjual dengan tiras lebih dari 400.000 buah hanya dalam tahun pertama saja kedua buku itu termasuk dalam bilangan buku best seller di Perancis, Belgia, Jerman, Spanyol dan Italia. Buku-buku itu dirancang sebagai bagian dari suatu trilogi di mana tokoh-tokohnya adalah orang Buddha, Yahudi, Muslim dan Kristiani. Buku-buku itu mengenai anak-anak yang sedang mencari Tuhan. Oscar yang berumur sepuluh tahun melakukan pencariannya di tempat tidur dalam minggu terakhir hidupnya. Dengan pertolongan seorang Kristiani tua, Mamie Rosa, ia membombardir Tuhan dengan pertanyaan-pertanyaan. Momo, yang adalah seorang anak Yahudi, melakukan ziarah pencariannya dengan mengunjungi rumah seorang guru Sufi. Mereka mencari suatu tradisi agama untuk membantu perjalanan mereka mencari Tuhan (Timothy Radcliffe OP, 2007, What Is the Meaning of Being a Christian?).

            Kerinduan seperti itu juga dirasakan di mana-mana di seluruh dunia. Seperti buku-buku di atas, dengan metode dan gaya yang berbeda, karangan ini juga bermaksud menanggapi kerinduan umum dengan menyampaikan kebenaran dari iman Katolik dengan cara yang mudah dibaca dan hidup. Seperti Kitab Suci, bahan  katekese ini berusaha menyampaikan cerita tentang Allah dan hubungan kasih-Nya dengan umat manusia, dan rencana-Nya untuk mempersatukan kita dengan-Nya selama-lamanya dalam suka-cita sorga.

            Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1 menguraikan hubungan Allah dengan manusia, yang diawali dari prakarsa Allah, dan menyatakan betapa pada manusia terdapat kecenderungan untuk mengenal dan menjalin relasi dengan Allah : “Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas. Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat semata-mata karena kebaikan, Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari dan menemukan-Diri-Nya, untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala daya kekuatan.”

            Bahwa Allah dalam Diri-Nya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas dipahami dari kenyataan alam semesta yang diciptakan oleh-Nya. Penulis kuno menggambarkan bahwa bagi Allah lautan adalah bagaikan air di dalam lekuk tangan-Nya, langit diukur hanya dengan jengkal, bumi diukur dengan takar, gunung-gunung dan bukit-bukit begitu kecil hingga ditimbang dengan neraca. Allah mahatahu dan tidak memerlukan petunjuk, Ia mahaadil dan tidak memerlukan penasehat. Ia mencipta, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan:

“Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca? Siapa yang dapat mengatur Roh Tuhan atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat? Kepada siapa Tuhan meminta nasihat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar Tuhan untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian? Sesungguhnya, bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya, pulau-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya. Lebanon tidak mencukupi bagi kayu api dan margasatwanya tidak mencukupi bagi korban bakaran.  Segala bangsa seperti tidak ada di hadapan-Nya, mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia saja. Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia? Patungkah? Tukang besi menuangnya, dan pandai emas melapisinya dengan emas, membuat rantai-rantai perak untuknya. Orang yang mendirikan arca, memilih kayu yang tidak lekas busuk, mencari tukang yang ahli untuk menegakkan patung yang tidak lekas goyang. Tidakkah kamu tahu? Tidakkah kamu dengar? Tidakkah diberitahukan kepadamu dari mulanya? Tidakkah kamu mengerti dari sejak dasar bumi diletakkan? Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi yang penduduknya seperti belalang; Dia yang membentangkan langit seperti kain dan memasangnya seperti kemah kediaman!” (Yes 40:12-22).

 

            Gereja Katolik di dalam Konsili Vatikan I (1869-1870) menyatakan bahwa Allah “adalah Allah yang esa, benar dan hidup, Pencipta langit dan bumi, mahakuasa, kekal, tiada batas, mengatasi pemahaman, mahatahu dan kehendak-Nya tiada terperi, sempurna segalanya.... Roh yang tiada duanya, sangat sederhana dan tak berubah... pada hakekatnya sungguh berbeda dari dunia, sepenuhnya mulia dalam diri-Nya sendiri dan dari diri-Nya sendiri, dan niscaya jauh lebih tinggi dari segala sesuatu lainnya yang ada, atau yang dipikirkan, terpisah dari Dia.”

            Allah menciptakan manusia sebagai mahkota dari segala ciptaan karena kebaikan-Nya. Pemazmur menggubah syairnya: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:3-6). Sekalipun kemudian berulang kali manusia memberontak terhadap Allah sang Pencipta, dan karena itu tercerai berai, namun Allah tetap setia pada kasih-Nya pada manusia. “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer 31:3).

            KGK melanjutkan pernyataannya tentang Allah: “Ia memanggil semua manusia yang sudah tercerai-berai satu dari yang lain oleh dosa ke dalam kesatuan keluarga-Nya, yakni Gereja. Ia melakukan seluruh usaha itu dengan perantaraan Putera-Nya, yang telah Ia utus sebagai Penebus dan Juru Selamat, ketika genap waktunya. Dalam Yesus Kristus dan oleh Dia, Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-anak-Nya dalam Roh Kudus, dan dengan demikian mewarisi hidup-Nya yang bahagia.”

            Untuk itulah Yesus Kristus datang di dunia, mengajar dan menyembuhkan, mengalami sengsara, wafat, bangkit dari mati dan naik ke surga. Namun setelah itu, apa yang telah dilakukan-Nya menyampaikan panggilan Allah tetap terus berlanjut.

            “Supaya panggilan ini didengar di seluruh dunia, Kristus mengutus para Rasul yang telah dipilih-Nya, dan memberi mereka tugas untuk mewartakan Injil (Mat 28:19-20). Berdasarkan amanat perutusan ini mereka pergi memberitakan Injil ke segala penjuru dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya (Mrk 16:20)”(Bdk KGK 2).

            Gereja Katolik timbul dan berkembang dari hasil kegiatan Yesus Kristus dan keduabelas rasul-Nya mewartakan Injil. Kristus berkata: “...firman yang kamu dengar itu bukan berasal dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku” (Yoh 14:24). Yesus menyebut Allah sebagai Bapa.

            Maka umat Katolik percaya, bahwa sumber utama dari ajaran Katolik, atau “pengarang” dari iman Katolik, adalah Allah sendiri, yaitu sumber dan asal dari semua kebenaran dan kebaikan. Dari kebenaran ini, ajaran Gereja Katolik memperoleh dasarnya dari wewenang yang tertinggi dan tak diragukan keandalannya.

            Kebenaran ini diwariskan, diajarkan dan diteruskan dari generasi ke generasi di dalam Gereja Katolik oleh siapa saja yang telah dibaptis, terutama oleh orangtua kepada anak-anak. “Siapa pun yang dengan rahmat Allah telah menerima panggilan iman ini dan telah menyetujuinya secara bebas, niscaya  juga didorong oleh cinta kepada Kristus untuk mewartakan Kabar Gembira itu kepada seluruh dunia. … Semua orang yang beriman kepada Kristus dipanggil untuk melanjutkan Kabar Gembira itu dari generasi ke generasi, dengan mewartakan iman dan menghayatinya dalam persekutuan persaudaraan, dan dengan merayakannya dalam liturgi dan dalam doa” (bdk KGK 3).

            Masalahnya : Allah tidak kelihatan. Tak seorang pun melihat Allah. Dalam penyampaian iman ada pertanyaan yang meragukan pewarta: Bagaimana seseorang bisa tahu dengan pasti tentang Allah yang dikatakan sempurna dan bahagia tanpa batas itu, dan bagaimana ia mengetahui kehendak Allah atas umat manusia?

 

Keberadaan Allah

Memang Allah tidak kelihatan. Memang tak seorang pun manusia biasa melihat Allah. Bagaimana orang mencari dan menemukan Allah yang tidak kelihatan? Friedrich Nietzche, seorang filsuf Jerman (1844-1900), di dalam bukunya Die Frochliche Wissenschaffe yang terbit seabad yang lalu menggambarkan orang yang mencari Allah demikian: “Alkisah di zaman dulu – suatu zaman yang jauh berbeda dari zaman kita, namun juga suatu masa yang mungkin pernah menjadi masa kita sendiri – ada sebuah kota yang sama dengan kota-kota lainnya. Kota itu punya pasar alun-alun di tengahnya, di mana orang bertemu satu sama lain dan melakukan jual beli. Pada suatu hari di tengah siang bolong, ketika matahari sedang tinggi dan semuanya sedang sibuk dan melakukan jual beli, seorang bagaikan orang-gila bergegas memasuki pasar alun-alun itu membawa lentera yang menyala sambil berteriak-teriak: ‘Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!’ Orang-orang terganggu tetapi juga heran : ‘Apakah Allah sudah hilang? Apakah dia bersembunyi? Apakah dia seperti anak kecil yang hilang tersesat?’ mereka bertanya. Tetapi orang itu terus menuju ke tengah pasar alun-alun”. Kerinduan untuk bertemu dengan Allah terus berkobar di hati, menggerakkan orang. KGK 27 menyatakan: “Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya.” Mungkin saja Allah itu bagi banyak orang adalah Allah yang tidak dikenal (bdk Kis 17:22-23), yang disembah tanpa nama, dan dicari karena dorongan hati yang tersembunyi.

            Manusia mengalami daya tarik dari “yang Ilahi” dengan “merasakan” manifestasi “yang Ilahi”, hierofani, pada alam kehidupannya. Mereka membedakan ruang-ruang dalam kategori sakral dan profan dan menentukan ambang batasnya. Sebagai contoh, setiap kali mendirikan bangunan tertentu kelompok masyarakat tertentu mendahuluinya dengan permohonan keselamatan. “Batu penjuru” dipancangkan sebagai titik sakral lahan bangunan. Pada akhirnya, ketika membangun “atap” atau penutup bangunan, juga dilakukan upacara selamatan. Tempat-tempat tinggi dianggap kediaman “yang Ilahi”, transenden, mengatasi segala sesuatu dan sehubungan dengan itu dilakukan ritual penyucian tempat. Mereka merasakan kekacauan (chaos) sebagai representasi yang jahat dan lebih menyukai keteraturan dan keselarasan tempat (kosmos) mereka berada, dan untuk itu mereka pun mengadakan ritual untuk menghubungi pusat “aturan” dan situasi “laras” itu (lih. Mircea Eliade, The Sacred and the Profane).

            Di kalangan rakyat dalam pelbagai kebudayaan terdapat ungkapan-ungkapan khas dari usaha mereka menemukan Allah dan ungkapan sikap-sikap batin kepadaNya, yang secara teknis disebut religiositas (cita-rasa keagamaan), atau malahan religio (agama) rakyat (lih. EN 48). Sehubungan dengan ini Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan Kedua menyatakan: “Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya" (GS 19).

            Salah satu metode menemukan Allah adalah Teologi kodrati, yaitu cabang filsafat yang memelajari keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya dengan penalaran akal-budi, tanpa semata-mata mengandalkan ayat-ayat Kitab Suci, tradisi dan institusi agama. Pada suatu masa Teologi kodrati dikenal sebagai Filsafat Ketuhanan. Pada abad ke-18, dengan pergeseran nuansa fokusnya (pada kemalangan yang dialami umat yang percaya kepada Allah, dalam kaitan dengan kemahakuasaan Allah) disebut Teodise, mengikuti buku karangan Leibniz, Theodicy (1710). Matematikawan dan fisikawan John Polkinghorne yang adalah seorang Kristiani, dan sebagian dari rekan-rekannya yang ilmuwan bukan-Kristiani yang bersama-sama dengan dia, berkecimpung di dalam teologi kodrati. John Polkinghorne menyatakan percaya pada partikel yang tidak kelihatan dan peristiwa-peristiwa, seperti quark [partikel dasar dalam inti atom yang membentuk proton dan mengandung muatan listrik, yang sejak 1969 melahirkan para pemenang Hadiah Nobel di bidang fisika: Murray Gell Mann (1969), Burton Richter (1976), Samuel C.C. Ting (1976), Makoto Kobayashi (2008) dan Toshihide Maskawa (2008)], dan quasar [singkatan dari quasi-stellar, benda langit hipotetis seperti bintang yang menjadi sumber gelombang radio dan memancarkan sinar biru terang dan ultra-violet].



            Bagi Polkinghorne fenomena hipotetis percaya pada adanya partikel yang tak kelihatan itu juga menjadi cara terbaik untuk memaknai fenomena lainnya, seperti lecutan elektron. Polkinghorne yakin bahwa adalah mungkin “untuk menggunakan strategi semacam itu sehubungan dengan realitas yang tidak kelihatan dari Allah. Keberadaan Allah membuat banyak aspek dari pengetahuan dan pengalaman kita punya makna” (Lih John Polkinghorne, Quarks, Chaos, and Christianity, hal 99). Setelah tiga puluh tahun bergiat sebagai ilmuwan, John Polkinghorne kemudian menjadi pastor Gereja Anglikan.

            Juga dapat disebutkan di sini nama Paul Davies, yang menulis tentang rancangan penciptaan (The Cosmic Blueprint, 1988). Setelah ledakan besar “Big Bang”, dalam situasi kacau, ia mendapatkan kesan mulai ada rancangan yang rumit, rapi dan terarah di dalam semesta. Karyanya itu melengkapi karya Sir Fred Hoyle, seorang dom dari Cambridge yang menulis  tentang suatu prinsip antropik yang tampak dalam alam semesta (dalam bukunya yang terbit lebih dahulu: The Intelligent Universe, 1983) – yaitu bahwa kosmos ini tampaknya dirancang sedemikian sehingga dapat dicerap oleh pemahaman umat manusia. Ia menyatakan bahwa peluang suatu sel sederhana untuk berevolusi menjadi bentuk kehidupan yang lebih tinggi adalah satu dibanding 10 pangkat 40.000, sama dengan peluang suatu tornado menyapu suatu lapangan timbunan rongsokan dan berhasil merakit suatu pesawat Boeing 747 dari material yang ada di sana. Seorang Kristiani lainnya, Arthur Peacock, dalam buku God and the New Biology dan banyak buku lain melakukan penalaran yang serupa memelajari bukti-bukti dari organisme yang hidup.



            Santo Paulus menulis: “Dari karyanya sejak dunia diciptakan, apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran” (Rm 1:20). Tuhan sendiri tidak kelihatan, namun “jelas” dapat diketahui dari karya-karya-Nya yang tampak.

            Santo Paulus mengukuhkan keniscayaan dari teologi kodrati, yang sudah dilaksanakan selama beberapa abad sebelum Kristus oleh para filsuf, dari zaman Plato dan Aristoteles. Para apologet Gereja awal sering membangun dalih-dalih mereka berdasarkan fondasi yang telah digelar oleh para filsuf kuno yang belum mengenal Tuhan itu. Maka teologi kodrati jelas niscaya. Ia terbukti efektif dan dapat meyakinkan, jauh sebelum Kristus. Teologi kodrati juga dikukuhkan dengan tegas oleh Gereja Katolik sebagai suatu metode. Konsili Vatikan yang Pertama menyatakan soal ini dengan pasti: “Bunda Gereja yang kudus memegang teguh dan mengajar bahwa Allah, asal dan tujuan segala mahluk, dapat dikenali dengan pasti dari merenungkan segala ciptaan, dengan daya-daya kodrati akal budi manusia...” (KGK 36; Konsili Vatikan I, DS 3004).

Maka marilah kita lihat sebagian dari cara-cara pikiran manusia yang bergerak (atau mengarah) pada suatu tatanan untuk mencapai iman kepercayaan yang bermotivasi dan masuk akal, yaitu iman akan keberadaan Tuhan. Bagian uraian tentang Teologi Kodrati di sini sebagian besar bersumber dari Scott Hahn, Reasons to Believe, 2007, hal 27-35.

 

Tentang Dalih Positif

Selama berabad-abad, para filsuf dan orang kudus mengajukan berbagai-bagai petunjuk tentang keberadaan Tuhan. Sebagian orang menyebutnya “bukti” atau “argumen” (dalih). Mungkin yang paling terkenal adalah yang berasal dari Santo Tomas Aquinas, yang biasanya disebut “Lima Jalan”, dalam bahasa Latin disebut Quinquae Viae.

            Santo Tomas Aquinas sendiri bukanlah orang pertama yang menunjukkan (dari akal budi dan pengalaman) cara bagaimana kita mengenal keberadaan dan sifat-sifat Tuhan; dan “Lima Jalan” yang ditunjukkannya itu juga tidak menepiskan pelbagai kemungkinan dan keniscayaan cara yang lainnya. Peter Kreeft dan Ronald Tacelli SJ malah menyampaikan dua puluh dalih untuk keberadaan Tuhan dalam buku mereka; dan jumlah itupun juga hanyalah beberapa percontoh yang mewakili saja (lih. Handbook of Catholic Apologetics, Bab 3, 2009).

            Kita perlu ingat pula bahwa banyak dari petunjuk tentang keberadaan Tuhan sampai kepada kita dari suatu masa di mana para filsuf mengandaikan adanya kepercayaan universal pada “yang Ilahi”. Melalui sejarah, kebanyakan orang yang waras mengakui adanya “yang Ilahi”. Bisa saja mereka bersikap agnostik terhadap sifat-sifat atau hakekat “yang Ilahi” itu; namun mereka mengakui keniscayaan dari keberadaan Allah atau ilah-ilah (dewa-dewa, misalnya). Ini berlaku baik bagi orang-orang bukan-Kristiani maupun orang Kristiani juga. Santo Tomas Aquinas menyusun Lima Jalan berdasarkan landasan yang telah dibentangkan oleh Plato dan Aristoteles, yang sama-sama orang Yunani yang tidak mengenal Tuhan, dan hidup empat abad sebelum Yesus Kristus. Mereka itulah (bukan Kitab Suci) yang mempunyai wibawa atau wewenang primer bagi Santo Tomas Aquinas di dalam menunjukkan cara untuk mengetahui keberadaan Allah. Di dalam dunia kuno, kata ateisme menyatakan lingkup terbatas  penyangkalan akan Allah yang ortodoks (atau para dewa). Barulah pada abad kesembilan-belas istilah itu dengan serius mengungkapkan lingkup penyangkalan mutlak terhadap setiap keilahian; dan penyangkalan itu mengakibatkan hilangnya banyak sekali iman – tentu saja termasuk hilangnya setiap pengertian akan Allah.

            Keberadaan Allah sekurang-kurangnya masuk akal –  malahan bisa dikatakan “dengan sendirinya jelas”, – dan pada umumnya kita dapat melalukan penalaran yang baik dari apa yang disebut “bukti-bukti” atau “petunjuk”. Semua petunjuk dapat disurutkan menjadi, entah pengalaman inderawi (“melihat berarti percaya”), entah apa yang disebut bukti quia (indikatif), yaitu dalih-dalih nalar yang melakukan runutan, pelacakan, bergerak mundur ke balik suatu bukti, dari akibat-akibat kepada suatu sebab yang niscaya dari akibat-akibat itu, seperti yang mungkin dilakukan sekelompok detektif  di tempat kejadian perkara – dengan akal budi melacak seorang pencuri dari adanya jejak kaki, sidik jari, dan jejak-jejak lain yang ditinggalkannya. Karena “tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah” (1 Yoh 4:12), semua petunjuk mengenai keberadaannya merupakan petunjuk quia (indikatif).

 Cara yang Ditempuh

Santo Tomas Aquinas, teolog, pujangga Gereja, 1225-1274, mengawali Lima Jalan dengan “argumen gerakan” (untuk suatu bahasan yang bagus mengenai pemahaman St Tomas akan preambula fidei atau pengantar iman, lihat Ralph McInerny, 2006, Preambula Fidei: Thomism and the God of the Philosophers. CUA Press). Kita juga dapat menyebutnya argumen “perubahan”. Mulainya dari suatu fakta sederhana: segala sesuatu di dunia yang kita alami dan kita ketahui mengalami perubahan, bergerak dari potensi menjadi wujud nyata. Segala sesuatu bergerak atau berubah. Namun tak ada yang bergerak atau berubah sendiri. Semua yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu yang sudah bergerak. Namun rangkaian penggerak itu tidak bisa dirunut mundur sampai tak terhingga. Pasti ada suatu permulaan yang tidak bergerak. Penggerak pertama  (prime mover) yang tidak bergerak itu kita sebut Tuhan.



            Suatu analogi (contoh persamaan): bayangkan Anda sedang berkendara sampai di suatu persilangan dengan jalan kereta api, dan melihat suatu rangkaian kereta melintas. Anda melihat gerbong demi gerbong, belasan gerbong. Anda sampai di tempat itu ketika kereta sudah berjalan, sehingga Anda tidak melihat mesin lokomotifnya. Tetapi Anda tentu yakin bahwa kereta itu pasti punya mesin; karena jika Anda melihat suatu kereta bergerak, Anda tahu ada sesuatu yang menggerakkannya. Suatu mesin lokomotif menariknya. Jika Anda berusaha memecahkan masalah dengan menempatkan fakta serangkaian gerbong yang tak ada habisnya itu sebagai dasar argumen, Anda tidak perlu menghentikan jalannya kereta itu untuk menjelaskan gerakannya. Maka Anda memperluas masalah Anda (dari bagian yang Anda lihat sampai lokomotif di ujungnya), sampai tak tertingga juga. Jika Anda menyangkal adanya mesin itu, maka Anda memperbesar lagi lingkup permasalahan Anda itu, untuk mendapatkan penyebab yang jauh lebih besar lagi dan luar biasa dari gerakan rangkaian gerbong yang sedemikian panjang itu.

            Analogi kereta itu mengantar pada Jalan St Tomas Aquinas yang kedua: argumen penyebab efisien. Argumen ini sama dengan argumen yang pertama. Mulainya dengan memperhatikan bahwa setiap akibat punya suatu sebab. Namun, rangkaian sebab-akibat tidak dapat melampaui rangkaian gerak dalam hal ketidak-berhinggaannya. Namun setiap sebab dalam rangkaian itu tidak dapat dianggap sebagai permulaan yang paling ujung; sebab, jika kita menyangkal adanya akibat yang sekaligus sebab, kita menihilkan seluruh rangkaian akibat itu. Kita tidak dapat mundur sampai tak terhingga merunut sebab-sebab, kita harus menempatkan suatu argumen dasar tentang sebab pertama yang tidak ada penyebabnya lagi, dan sebab pertama itu adalah Allah.

            Jalan yang ketiga berdasarkan kemungkinan dan keniscayaan. Kita memperhatikan semua hal berubah. Keberadaannya berasal dari suatu yang lain. Semua yang kita lihat di dunia ini tidak muncul tiba-tiba dari ketiadaan, melainkan berasal dari sesuatu yang lain, terkait dengan keberadaan sesuatu yang lain itu. Dan sekali lagi, rantai asal-muasal yang tak terhingga adalah tak terpikirkan, absurd. Tidaklah cukup menyatakan suatu rangkaian keberadaan, yang masing-masing dan semuanya, membutuhkan adanya suatu sebab. Jika keberadaan-keberadaan bersifat bergantung pada yang lain, maka harus ada keberadaan terakhir yang tidak berubah dan tidak bergantung pada yang lain, namun niscaya – berada dalam dan dari dirinya sendiri. Dan keniscayaan ini kita sebut Allah.

            Dalam ketiga “Jalan” pertama ini St Tomas Aquinas mengemukakan argumen kosmologis (berhubungan dengan alam dunia). Ia melakukan penalaran dari bukti fisik. Dalam dua “Jalan” selanjutnya, ia mengalihkan dasarnya, dari penalaran kosmologis kepada penalaran teleologis (berhubungan dengan tujuan akhir), dari pemikiran tentang asal-muasal kepada pemikiran tentang maksud dan tujuan akhir.

            Jalan keempat berkenaan dengan derajat kesempurnaan. St Tomas Aquinas memperhatikan bahwa kita semua menilai segala sesuatu punya tingkatan kesempurnaan lebih atau kurang dari yang lain. Kita mengatakan sesuatu lebih benar atau kurang benar, lebih bagus atau kurang bagus, dan sebagainya. Pengukuran semacam itu mengandaikan adanya suatu ukuran standar (baku) yang mutlak. Suatu pita pengukur tentu menunjukkan jarak di antara kedua ujung. Kadarnya – mungkin dalam inci (atau sentimeter), kaki, yar (atau meter), atau mil (atau kilometer) – dicantumkan pada pita itu berkaitan dengan standar yang mutlak atau konstan (tetap). Ini berlaku untuk segala kualitas. Namun pasti ada semacam standar yang sempurna yang merupakan dasar pengukuran segala kualitas itu. Dan kepenuhan segala kesempurnaan itu kita sebut Allah.



            Jalan yang kelima adalah argumen rancangan atau finalitas (dengan kata lain “tindakan cerdas”). St Tomas mengawalinya dari pengamatan bahwa semua yang kekurangan pengertian tetap bekerja menuju maksud tertentu. Tampaknya mereka punya tujuan tertentu dan mengikuti pola tertentu, “hukum” alam tertentu – hukum gravitasi, termodinamika, dan sebagainya – dan semua hukum yang banyak ragamnya ini tampaknya bekerja dengan suatu tatanan yang teratur. Sehubungan dengan makna finalitas atau rancangan yang lebih rinci, bisa dilihat Benedict M. Ashley, 2006, The Way Toward Wisdom: An Interdisciplinary and Intercultural Introduction to Metaphysics, hal 322-381. Jika kita menerapkan bukti-bukti ini pada fisika modern, kita berdiri dalam suatu kosmos yang menakjubkan, yang berfungsi dengan cara yang stabil dan dapat diperkirakan kendati ada peristiwa-peristiwa kesalahan (anomali) yang terjadi terus menerus dalam tingkatan sub-atomik (di bawah tingkatan atom). Sejak tahun 1993 muncul wacana tentang  ‘rancangan cerdas’ dan ‘kompleksitas yang tidak dapat direduksi’ dalam tatanan ciptaan. Michael Behe, seorang ahli biologi sel dalam bukunya Darwin’s Black Box (2006) menyatakan bahwa ada struktur-struktur yang rumit yang tidak dapat dijelaskan dengan teori evolusi, dan harus diakui sebagai ‘kompleksitas yang tidak dapat direduksi’, yang sejak semula terjadi karena ‘rancangan cerdas’ Sang Pencipta. Kendati ada bermacam-macam teori evolusi – dan beberapa komentator yang mendukung teori evolusi berusaha menentang rancangan cerdas itu – namun sebenarnya hanya menegaskan “Jalan” kelima itu. Bagi Charles Darwin (ahli biologi dari Inggris, 1809-1882, yang terkenal dengan karyanya The Origin of Species [1859] tentang evolusi dan menjadi perintis aliran pemikiran Darwinime) dan bagi Tomas Aquinas, alam mengikuti hukum besi tertentu dan mengejar tujuan tertentu dalam tatanan yang teratur dan dapat diramalkan. Sekalipun dalam Darwinisme (lih Etienne Gilson, From Aristotle to Darwin and Back again: A Journey in Final Causality, Species, and Evolution, 1984) alam mengikuti suatu proses seleksi; yang terkuat akan bertahan. Semua ini menyiratkan adanya tujuan, tatanan, standar dan akhir.

            Bahkan hal-hal yang tidak cerdas pun turut berfungsi dalam suatu cara yang mencerminkan maksud yang sudah tertata. Ada suatu desain, suatu rancangan. Dan jika ada suatu rancangan, tentu ada perancangnya.

            Ambillah suatu analogi : Anda berjalan-jalan di suatu pantai dan Anda melihat sesuatu yang berkilat-kilat terkena sinar matahari. Anda membungkuk dan memungutnya: suatu benda logam kecil, bulat dan permukaannya dilapisi kaca. Anda memperhatikan ada suara tik-tik-tik-tik-tik, dan Anda melihat di balik kaca itu ada gigi-gigi, per, sekrup dan tanda-tanda ukuran. Semua benda itu digabungkan dengan tepat dan kompak. Nah, apakah benda itu? Dan bagaimana proses keberadaannya? Apakah karena hasil dari gelombang yang tak terbilang banyaknya yang melanda pantai, menggerus karang jadi pasir – pasir yang kemudian dibentuk kembali oleh angin dan kemudian menghasilkan konfigurasi yang bergerak dengan sangat tepat itu?

            Dapatkah otak manusia membayangkan proses semacam itu? Ya, tetapi proses seperti itu tidak mungkin. Dengan cara yang sama, ketika Anda mempelajari ciptaan, Anda melihat bukti desain, dan desain itu merujuk pada seorang desainer. Mata merupakan suatu sistem dari kompleksitas yang tidak dapat direduksi, yang terdiri dari suatu retina, kornea, lensa, pelumas yang mengandung air dan bersifat seperti kaca. Mata seperti itu tidak mungkin menjadi hasil dari suatu proses yang sembarangan. Mata diciptakan dengan suatu desain tertentu, dan dibuat untuk melihat; dan masing-masing bagiannya mengandaikan berfungsinya seluruh bagian yang lain. Apakah organ itu melayani tahap-tahap hipotetis sebelumnya – sebelum organ itu bisa melihat? Sama sekali tidak. Mata itu dibuat dengan mengingat tujuannya : untuk melihat. Segala sesuatu juga mengandung kebenaran seperti itu, dari partikel sub-atomik dan sel-sel sampai pada sistem dan galaksi matahari. Ilmu empiris menjadi mungkin karena semesta ini teratur, terpola, simetris, dapat dicermati, dan (sekurang-kurangnya dalam derajat tertentu) dapat diukur dan dapat diduga.

            Kita dapat menyimpulkan dengan nalar bahwa alat yang kita temukan di pantai itu berasal dari suatu pabrik pembuatan, dan pabrik pembuatan itu punya tujuan ketika membuatnya. Sebuah jam tentu memerlukan pembuat jam. Dengan demikian, semesta yang teratur juga memerlukan adanya pencipta yang cerdas; dan kita menyebut pencipta itu Allah.

            Menurut Kitab Suci: “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia,  dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja (Adam), Ia (Allah) telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 17:24-28).

            Sekalipun ada banyak orang mempunyai kecenderungan kodrati yang merindukan atau mencari Allah, namun sebagian yang lain ada yang ragu apakah Allah itu ada, atau ragu bahwa kita dapat mengenal atau bisa mengetahui sesuatu tentang Allah dengan pasti. Bahkan orang yang menyebut diri Kristiani-pun, termasuk para religius sekali pun, masih bisa punya keraguan, dan kadang-kadang mempertanyakan hakekat dan bahkan keberadaan Allah.

 [Bersambung]