Daftar Blog Saya

Rabu, 02 November 2022

PERHATIAN PADA BUMI 1

 Bambang Kussriyanto

Bumi adalah ruang hidup (biosfer) bagi kita.  Pada kenyataan, tidak dapat dibantah bahwa kita hidup di bumi, entah di desa, entah di kota; di lembah, di gunung, atau di pesisir. Kita menghirup nafas dari udara yang ada di bumi. Kita mendapatkan makanan dari bahan-bahan yang dihasilkan bumi. Rumah kita adalah di bumi. Tidak sendiri saja, tetapi lebih dari 6,5 milyar sesama kita manusia dari segala bangsa tinggal di bumi. Maka dapatlah kita katakan bahwa bumi adalah “rumah kita bersama” (United Nations, 1992, 1). Dan karena merupakan rumah kita bersama, sudah selayaknya kita merawat dan memelihara bumi sebaik-baiknya.

Ensiklik Paus Fransiskus yang diedarkan 18 Juni 2015, Laudato Si, merupakan seruan mutakhir yang bersifat mondial atau global untuk memerhatikan dan memelihara keadaan bumi; seruan itu dimaksudkan untuk mendorong kita melakukan tindakan nyata. Ensiklik ditujukan pertama-tama kepada umat katolik di seluruh dunia, tetapi juga kepada siapa yang berkehendak baik untuk bersama-sama memelihara bumi, rumah kita bersama.

Jika kita kenang kembali, sebenarnya perhatian pada bumi sudah menggejala ketika dunia mulai  merasakan kerusakan bumi sejak akhir tahun 1960-an. Yaitu ketika derap rekonstruksi dan  pembangunan marak di mana-mana, dalam usaha mengganti kerusakan kota-kota dan aneka prasarana yang parah akibat Perang Dunia II. Sementara itu perang-perang kecil berkecamuk di mana-mana, ketika di mana-mana timbul nasionalisme, dan bangsa-bangsa yang terjajah berusaha memerdekakan diri. Di mana pun perang, walau dalam skala kecil, selalu menghancurkan dan memporak-porandakan, termasuk wilayah bumi setempat. Apalagi perang besar. Bumi sudah mengalami kerusakan hebat dari dua kali Perang Dunia. April 1961-Oktober 1962 konfrontasi Cuba-A.S. menyeret Uni Soviet ke dalam kancah sehingga dua kekuatan nuklir dunia berhadap-hadapan (Beschloss, 1991,5). Mengingat kerusakan hebat akibat perang besar itu, Paus Santo Yohanes XXIII, ketika menyadari bahwa dunia berada di ambang perang nuklir di masa itu, dengan suatu ensiklik menyerukan perlunya negara-negara mengusahakan perdamaian di bumi dengan membentuk kerjasama internasional  antar negara untuk pembangunan bagi masyarakat (Paus Yohanes XXIII, 1963; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art 3).  

Di dunia kemudian ternyata ada banyak  upaya-upaya perbaikan di bidang ekonomi di kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang, terutama melalui Revolusi Hijau, untuk menggenjot peningkatan hasil pertanian, dengan penggunaan luas pupuk kimia, pestisida, herbisida, fungisida, insektisida dan sebagainya, serta perubahan besar-besaran tata-guna tanah. Di balik usaha itu ada promosi penggunaan teknologi dan produk-produk teknologi kimia yang semena-mena terhadap bumi. Beban penderitaan bumi bertambah. Zat-zat kimia merusak tanah. Tanah menjadi kedap pada air. Pestisida dan insektisida mengorbankan banyak keragaman hayati. Tidak mudah dicerna, terbawa air, masuk ke sungai dan mencemarinya. Mematikan biota sungai. Penderitaan bumi berdampak kepada berkurangnya kesejahteraan manusia. Kekeringan terjadi di mana-mana, wabah penyakit meluas; banjir terjadi di tempat lain, juga hama tanaman yang menyebabkan kegagalan panen. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, sedang barang-barang langka.

Dalam situasi seperti itu, anehnya, muncul banyak “orang kaya baru” (OKB), sedang jumlah orang miskin meluas dan menunjukkan ketimpangan sosial, terutama di Asia (Gunnar Myrdal, 1968).

 

Mengusahakan bumi yang subur dengan menempuh jalan revolusi pertanian juga, menggunakan pupuk dan pestisida kimia, Indonesia yang ketinggalan kereta karena krisis politik berkepanjangan setelah merdeka tahun 1945, baru memulai Pembangunan Lima Tahun I (1969-1974). Tujuan pembangunan adalah memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyediakan infrastruktur terutama untuk sektor pertanian (sawah, bendungan, jaringan irigasi). Perekonomian   Indo­nesia pada waktu itu berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan.  Maka  tugas utama pemerintah adalah untuk  menghentikan  proses ke­merosotan ekonomi  (stabilisasi) dan membina landasan yang sehat  demi pembangunan lebih lanjut. “Adapun sasaran pembangunan jang hendak ditjapai sangatlah sederhana, jaitu : pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan Rakjat, perluasaan lapangan pekerdjaan dan kesedjahteraan rochani. Dalam melaksanakan pembangunan ini maka titik   beratnja dipusatkan pada bidang pertanian. Dengan demikian medan- ­djuang jang dipilih adalah medan pertanian.Disinilah sasaran-­sentral diletakkan, ichtiar dipusatkan dan hasil diharapkan. Pilihan  pada  sektor  pertanian  bukanlah  sekedar   pilihan belaka. Pilihan didasarkan pada  strategi  pembangunan   untuk mendobrak keterbelakangan ekonomi kita melalui  proses pembaharuan dibidang pertanian. Keadaan iklim, tanah dan persediaan tenaga kerdja  memungkinkan  adanja kemadjuan pesat dibidang pertanian. Lebih-lebih berkat adanja tehnologi baru, bibit-bibit baru, dan  tjara-tjara baru” [Departemen Penerangan,  1969, 15]. Dalam hal pendanaan pembangunan, salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah menggalakkan penanaman modal baik dalam negeri maupun asing yang difasilitasi dengan Undang-undang (UU PMA dan UU PMDN). Maka sejak awal pembangunan ekonomi Indonesia sudah diwarnai oleh skema korporatisasi, yang nanti menghasilkan perusahaan-perusahaan lokal maupun patungan dan mengundang multi-nasional yang beramai-ramai mengeruk kekayaan alam bumi Indonesia.

 


Dasawarsa 1970-an

1970-1974

Memerhatikan bagian dari bumi, Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat didirikan pada masa Presiden Nixon pada 1970. Berlanjut nanti di tahun 1972 ketika di AS diundangkan UU Federal tentang Insektisida, Fungisida dan Rodentisida (Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act). [Hynes, 1989, 47–8, 148–163]. Peristiwa-peristiwa itu diyakini disebabkan oleh sebuah buku berjudul ‘Silent Spring’  oleh Rachel Carson  yang menyoroti masalah dampak wilayah tanah dan dampak pada manusia yang ditimbulkan oleh pestisida kimia. Mula-mula dimuat sebagai artikel bersambung di majalah The New Yorker, Juni, 1962, ulasan Carson menyebabkan Presiden  John F. Kennedy memerintahkan penelitian dengan cermat yang hasilnya adalah dikeluarkannya larangan atas dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT) dan pestisida kimia lainnya [NRDC, 2013].

Sejak itu meluaslah perhatian kepada bumi lingkungan alam. Terlebih ketika di bumi terjadi bencana yang meminta banyak korban jiwa, seperti topan Bhola mengamuk di Pakistan Timur (waktu itu, sekarang Bangladesh) sehingga sekitar 350.000 jiwa menjadi korban pada tahun 1970.

Sekitar 20.000 orang  menjadi korban gunung runtuh HuascarĂ¡n yang disebabkan oleh gempa Ancash di Peru.

Hujan dan banjir tak dapat ditahan tanggul dan bendungan sehingga jebol.  Sekitar 100.000 jiwa menjadi korban dalam banjir bandang Hanoi dan Delta Red River, Vietnam Utara, 1971. Bencana alam bukan saja merusak dan mengubah kontur  fisik bumi, melainkan lebih-lebih merupakan penderitaan manusia.

 

Perhatian pada kerusakan bumi bukan hanya menyoroti sektor kegiatan pertanian saja, tetapi juga sektor usaha pertambangan dan industri oleh badan-badan usaha yang mencari keuntungan, yang merusak kontur bumi, menyerap hasilnya habis-habisan,  dan menyebabkan pencemaran. Paus Beato Paulus VI pada gilirannya menyebut keprihatinan ekologis pada masa itu sebagai "suatu konsekuensi tragis" dari aktivitas manusia yang tak terkendali: "akibat eksploitasi alam yang acak-acakan, yang menimbulkan risiko menghancurkan dan pada gilirannya manusia sendiri menjadi korban pengrusakan ini " [Paus Paulus VI, 1971, art. 21)]. Paus Beato Paulus VI berbicara tentang hal yang sama dalam Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang potensi "bencana ekologis di bawah ledakan efektif peradaban industri ", dan menekankan "keperluan mendesak untuk perubahan radikal tindakan manusia ", karena "sekalipun kemajuan ilmiah yang paling luar biasa, kemampuan teknis yang paling menakjubkan, pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan, jika tidak disertai kemajuan sosial dan moral yang otentik, akan pasti berbalik melawan manusia " [Pidato untuk ulang tahun ke-25 FAO (16 November 1970), 4; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art. 4].

 

Untuk situasi yang lebih baik di bumi, atas permintaan Maurice Strong, deputi Sekjen PBB dari Canada waktu itu, ekonom berpengaruh Margaret Ward (yang memimpin  International Institute of Environment and Development) dan ahli mikrobiologi Rene Dubos (yang menemukan kata-kata “Berpikir secara Global Bertindak secara Lokal, Think Globally and Act Locally”) menulis buku yang mengingatkan bahwa  kita hanya punya satu bumi, sebuah planet kecil yang perlu dipelihara [Barbara Ward and Rene Dubos (1972), Only One Earth: the care and maintenance of a small planet]. Dikatakan bahwa sementara kerusakan lingkungan bumi di negara industri disebabkan oleh pola-pola produksidan konsumsi, kerusakan lingkungan bumi di tempat-tempat lain terutama disebabkan oleh keterbelakangan dan kemiskinan. Maka diserukan agar negara-negara kaya menyumbangkan dana untuk membantu negara-negara miskin supaya dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang layak dan karenanya juga dapat memelihara lingkungan alam buminya, yang tentunya juga akan menguntungkan negara-negara maju juga sebab merekalah yang akan menangguk hasil alam negara-negara itu melalui impor. Para penulis di dalam bukunya menorehkan nada optimis, bahwa manusia dapat bersama-sama mengatasi tantangan kerusakan alam bumi yang dihadapi.  Pada Kata Pengantar bukunya, Barbara Ward menulis bahwa PBB harus memberikan tugas kepada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang akan diselenggarakan di Stockholm untuk merumuskan apa yang harus dilakukan untuk membuat bumi tempat tinggal yang menyenangkan bukan hanya sekarang, tetapi juga untuk generasi-generasi mendatang. Kata-kata ini menjadi inspirasi bagi konsep “pembangunan berkelanjutan” 17 tahun berikutnya (Komisi Brundtland) dan tahun-tahun selanjutnya.

KTT Bumi (Earth Summit) pertama diselenggarakan PBB tahun 1972 dengan mengusung tema “Hanya Satu Bumi” sebagai Lingkungan Hidup Manusia (Human Environment), di Stockholm, Swedia,  pada 5 sampai 16 Juni 1972, dengan peserta 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 IGO dan 258 NGO. Satu-satunya pembicara kunci adalah  Perdana Menteri India, Indira Gandhi, yang mengemukakan kaitan antara perhatian kepada lingkungan hidup dan upaya pengentasan kemiskinan.

Enam topik bahasan dalam konferensi adalah (1). Pemukiman Manusia. (2). Pengelolaan Sumber Daya Alam. (3). Identifikasi Zat Pencemaran. (4). Pendidikan dan Informasi. (5). Pembangunan dan Lingkungan. (6). Implikasi Keorganisasian. 

Para peserta dibagi dalam tiga komisi, yang masing-masing bertugas membahas dua topik, yaitu ; 

(a). Komisi I membahas topik nomor 1 (satu) dan 4 (empat). (b). Komisi II membahas topik nomor 2 (dua) dan 5 (lima). (c). Komisi III membahas topik nomor 3 (tiga) dan 6 (enam).

KTT kemudian menggabungkan hasil-hasil bahasan dan mensintesiskannya dalam

1. Deklarasi Stockholm, yang terdiri dari 7 pernyataan dan keyakinan akan  26 prinsip sekitar tanggungjawab manusia dan negara-negara, untuk memelihara, menjaga dan memerbaiki lingkungan hidup manusia, baik yang alami maupun buatan manusia sendiri secara seimbang, demi menopang generasi sekarang dan generasi masa depan.

2. 109 Rencana Aksi.

3. Rekomendasi mengenai Kelembagaan dan Keuangan.

Kemudian, konferensi ini menyepakati beberapa hal, a.l ; (1). Ditetapkannya 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. (2). Tentang Uji Senjata Nuklir. (3). Tentang Konvensi UNEP selanjutnya. (Lihat UN-Secretariate, 1972)

 Club of Rome dan Massachusett Institute of Technology (MIT) kemudian tergerak bekerjasama melakukan penelitian atas berbagai  variabel perkembangan dan kecenderungannya dan mendapatkan kesimpulan visioner adanya “batas-batas pertumbuhan” di bumi (The Limits to Growth).  Lima variabel diselidiki – penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi pangan dan terkurasnya sumberdaya – dan menemukan kecenderungan tiap-tiap variabel yang mengarah kepada kehancuran lingkungan, ekonomi dan sosial.  Buku itu tampaknya mendahului zaman dalam analisis dan uraiannya, sehingga mendapat tolakan kritik yang luas secara politik dan ekonomi. 

Minyak bumi memicu krisis energi tahun 1973, yang berdampak pada resesi berkepanjangan di dunia. Inti kejadian itu adalah bahwa hasil bumi diubah dijadikan senjata politik dan secara moral merupakan suatu perang besar. Awalnya memang perang sungguhan, yaitu Yom Kippur,  perang 20 hari yang dilancarkan Israel membalas Perang Suez-Sinai ketika negara-negara Arab menyerang dan menduduki daerah yang diklaim sebagai wilayah Israel (dalam Perang Enam Hari 1967 pasukan Israel berhasil memukul pasukan gabungan negara-negara Arab, bahkan berbalik menduduki tanah-tanah mereka). Dalam analisis negara-negara Arab, kemenangan Israel disebabkan oleh bantuan persenjataan negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat. Maka mereka  (negara-negara Arab) yang tergabung dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC) menghukum negara-negara barat dan Amerika dengan melakukan embargo minyak bumi, tidak menjual minyak bumi ke Amerika dan Eropa, sejak Oktober 1973. Karena embargo ini pasar gelap minyak bumi laku keras, dan harga minyak melonjak empat kali lipat dalam sebulan. Negara-negara industri kalang kabut karena krisis minyak bumi ini (terjadi kemerosotan GDP 4% di AS, 2% di Eropa dan 7% di Jepang), namun mereka bertahan dan mengadakan penyesuaian-penyesuaian [Edward R. Fried dan Charles L. Schultze, 1975, 29]. Akibat lain dari krisis ini adalah bahwa orang dapat mengatur lagi konsumsi energinya lebih efisien, inovasi berkembang untuk menciptakan produk-produk peralatan yang hemat energi. Sumber-sumber minyak di luar Arab dicari orang terutama dari negara-negara Amerika Latin (Teluk Mexico), dan Indonesia menangguk dollar yang mengalir melalui penanaman modal untuk eksplorasi dan produksi minyak bumi di Indonesia. Peningkatan konsumsi minyak bumi setidaknya memberi gambaran meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil yang menyumbang pada emisi CO2 ke udara.

Produksi dan Konsumsi Minyak Dunia 1971-1975 dan Produksi Indonesia

 

1971

1972

1973

1974

1975

Produksi Minyak Dunia (MBPD)*)

 

 

 

 

 

Amerika Serikat

11,3

11,2

10,9

10,5

10,1

OPEC

22,8

26,4

29,9

29,7

26,2

Negara-negara Lain

14,0

16,1

17,7

18,4

19,5

Total Seluruh Dunia

48,1

53,7

58,5

58,6

55,8

Konsumsi Minyak Dunia (MBPD)

 

 

 

 

 

Amerika Serikat

14,7

16,4

17,3

16,6

16,3

Negara-negara Lain

30,8

35,2

38,4

38,3

38,2

Total Seluruh Dunia

45,5

51,6

55,7

54,9

54,5

 

 

 

 

 

 

Produksi Minyak Bumi Indonesia

0,89

1,08

1.33

1,37

1,30

*) MBPD = million barrel per day = juta barel per hari

Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2013 (London: BP, 2013) dan angka Indonesia dari BP Statistical Review of the World Oil Industry, 1979.

Melanjutkan penggarapan buminya, Indonesia menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) II (1974-1979) dengan menangguk dan memanfaatkan berkah dari minyak bumi. Melanjutkan pembangunan lima tahun tahapsebelumnya, dengan trilogi pemerataan-pertumbuhan ekonomi-stabilisasi:  Mencukupi pangan merupakan salah satu sasaran primer untuk stabilisasi keadaan. Pertanian masih menjadi primadona. Khususnya untuk menggenjot produksi padi/beras. Produksi beras telah meningkat dari 11.666 ribu ton  tahun 1968 menjadi 14.702 ribu ton pada tahun 1973, atau suatu kenaikan sebesar rata-rata 4,8% setahun. Kenaikan hasil rata-rata per ha terutama disebabkan oleh perluasan program intensifikasi selama 5 tahun terakhir dengan penambahan areal tanam melalui program Bimas dan Inmas dari 1,6 juta ha pada tahun 1968, menjadi kurang lebih 4 juta ha pada tahun 1973. Peningkatan hasil rata-rata   per ha juga ditunjang oleh penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk dan penggunaan pestisida secara intensif. Dalam semangat Revolusi Hijau, hal yang terakhir itu dipuji tanpa memahami kerusakan atas tanah sebagai akibatnya : “Meningkatnya penggunaan bibit unggul, pupuk, dan pestisida mencerminkan sudah meningkatnya kesadaran para petani akan manfaat dari ketiga macam sarana produksi modern ter­sebut” (Bappenas, 1974, 25). Repelita II akan melanjutkan proses dan capaian-capaian Repelita I  dan diharapkan sekalian menyempurnakan kekurangan- kekurangan dan “diharapkan” sejauh mungkin menghindarkan akibat-akibat negatif yang timbul bersama dengan hasil-hasil tersebut.

 

Sementara itu perhatian kepada keadaan bumi berlanjut untuk melaksanakan deklarasi Stockholm  dalam rangka dasawarsa pembangunan dunia II (1972 – 1982).

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), diselenggarakan di Washington 1973. Konvensi ini dimaksudkan untuk menangkal perdagangan spesies flora dan fauna langka  di dunia. Ada lebih dari 35.000 spesies langka digolongkan dalam spesies yang kini dilindungi CITES. 80 negara mengikuti CITES yang kemudian efektif bekerja tahun 1975.

UN World Food Conference, diselenggarakan tahun 1974, di Roma. Menerbitkan 23 resolusi. Menurut FAO pada tahun 1968 sekitar 38% dari penduduk dunia terpapar bahaya kelaparan. Maka disarankan agar produksi  pangan dikuatkan dan arus distribusinya ke seluruh dunia terjamin.  Meluaskan konsep “keamanan pangan” (food security).

 

1975-1979

Convention on Wetlands of International Importance yaitu Waterfowl Habitat (Ramsar-Iran, 1971) dinyatakan berlaku sebagai hukum internasional pada tahun 1975 dan pada 1976 berkenaan dengan panduan aksi nasional dan kerjasama internasional mengenai  ekologi , kegunaan ekonomis, budaya, keilmuan dan rekreasional tanah becek (wetland), diserahkan menjadi tanggungjawab UNESCO.  (Lihat juga pandangan dari segi pembentukan hukum  Hardjasoemantri, 1995 ; 43).

UN World Water Conference, diselenggarakan di Mar del Plata (Argentina), 1977. Bicara tentang taksiran sumber-sumber air; air untuk pertanian; persediaan air untuk masyarakat; Polusi, lingkungan dan kesehatan; kebijakan, perencanaan dan pengelolaan air; dan bencana alam.

First Intergovernmental Conference on Environmental Education, diselenggarakan UNESCO di Tbilisi, Georgia, pada tahun 1977, untuk mendukung kesadaran umum mengenai bumi lingkungan hidup melalui karya pendidikan. 

The United Nations Conference on Desertification diselenggarakan di Nairobi Agustus- September 1977. Kekeringan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial yang berat bagi mereka yang mendapat penghasilan dan pangan dari hasil pertanian. Kekeringan alami yang berdaur ulang sering diperberat oleh sebab-sebab dan faktor-faktor dari manusia seperti pembabatan hutan, penggembalaan dan penggunaan tanah yang tanpa memerhatikan kelangsungannya di masa depan. Hasilnya adalah hilangnya zat hara  di permukaan tanah dan hilangnya kesuburan. Maka meluaslah tanah kering bagai padang pasir. Masalah ini menjadi sangat akut ketika kekeringan parah melanda kawasan dataran Sahel-Sudan yang mencapai tingkat  “bencana”  1973.  Sidang Umum PBB mencatat dan memerhatikan dengan sangat prihatin dampak kekeringan itu dan meminta bantuan masyarakat internasional. Suatu Rencana Tindakan yang komprehensif untuk memerangi meluasnya tanah kering (desertifikasi) diperlukan.

Sementara itu bumi berduka untuk 229.000 jiwa yang melayang, ketika karena topan Nina hujan badai menerjang, menyebabkan banjir dan 62 dam, antara lain yang terbesar Dam Banqiao, jebol di China 1975.

Antara 650.000 dan 679.000 orang meninggal karena gempa bumi Tangshan di China pada 28 Juli 1976.

Paus Santo Yohanes Paulus II dengan sangat prihatin mengikuti kejadian-kejadian yang berkenaan dengan lingkungan alam. Dalam Ensiklik beliau yang pertama,  beliau mengeluh memperingatkan bahwa manusia tampak "tidak melihat arti lain dari lingkungan alam mereka kecuali dari kegunaannya dan penggunaannya secara langsung" [Paus Yohanes Paulus II, 1979, art. 15; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art 5]. Dalam merenungkan “tanda-tanda zaman”, Paus memandang  “manusia masa kini tampaknya selalu terancam oleh apa yang dihasilkannya sendiri, buah pekerjaannya, hasil akalbudi dan kecondongan kehendaknya…. Eksploitasi bumi, rumah manusia, menuntut perencanaan yang wajar dan adil… Ketika eksploitasi bumi bukan hanya untuk industri tetapi juga untuk militer… terbawalah ancaman pada lingkungan alam manusia, yang justru menjauhkannya dari alam, menyingkirkannya dari alam…. Padahal menurut kehendak Sang Pencipta, seharusnya manusia berhubungan dengan alam sebagai “guru” dan “penjaga” yang penuh pengertian dan luhur, bukan sebagai penghisap dan perusak yang gegabah. [Paus Yohanes Paulus II, opcit].

Badan-badan dunia, World Meteorological Organization (WMO), United Nations Environment Programme (UNEP) dan International Council of Scientific Unions (ICSU) pada 1979 menyelenggarakan Konferensi Dunia yang pertama mengenai iklim di Geneva, menyatakan perubahan iklim sebagai persoalan yang mendesak di dunia dan mengingatkan pemerintah-pemerintah agar mengantisipasi kemungkinan bencana yang berhubungan dengan iklim. Disusunlah suatu Program Dunia mengenai Iklim melalui suatu panitia antar-pemerintah negara-negara.

Dunia mengalami Krisis Minyak Bumi kedua di tahun 1979. Pemicunya adalah Revolusi Iran. Karena kekisruhan politik tahun 1978 produksi minyak Iran jatuh pada 1979 (setara 7% permintaan dunia) dan itu menjadi peluang OPEC untuk mengisi suplai yang kosong sembari menaikkan harga. Resesi dunia terpicu lagi sejak 1980, diperparah oleh Perang Iran-Irak 1980-1981, yang menyebabkan produksi minyak kedua negara yang sibuk berperang anjlok dan memperburuk tingkat persediaan minyak dunia. Besaran produksi minyak bumi pada kurun 1978-1982 mengandung potensi penggunaan bahan bakar fosil dalam melepaskan CO2 ke udara.

Produksi Minyak Bumi Dunia 1978-1982 (dalam Juta Barel Per Hari) dan Indonesia

 

1978

1979

1980

1981

1982

Negara-negara OPEC

30,25

31,45

27,44

23,38

19,92

Negara-negara Lain

18,60

19,83

20,50

21,14

22,15

Total Produksi Dunia

48,85

51,28

47,94

44,52

42,07

 

Produksi Indonesia

1,63

1,59

1,57

1,68

1,41

Sumber: BP Statistical Review of Energy, 1988.




Selasa, 01 November 2022

Setia Janji Hingga Akhir Hayat

 

 Timothy Radcliffe OP 

Pada Perjamuan Terakhir Petrus terburu-buru berjanji kepada Yesus: “Aku akan memberikan nyawaku bagiMu.” Ini bukan suatu contoh yang baik untuk mengucapkan janji. Tidak ada petunjuk bahwa janjinya itu suatu keputusan yang penuh tekat dan matang. Suatu janji untuk menikahi seseorang yang dibuat serta merta dapat dengan mudah diingkari. Namun janji Petrus memberikan harapan kepada kita yang mengucapkan janji. Apa yang dilakukan Petrus menyatakan mengapa kita berani menjanjikan kesetiaan kepada seseorang, suami atau isteri kita, atau Tuhan.

            Di dalam masyarakat kita membuat janji tidak menimbulkan kredibilitas. Jika satu di antara tiga pernikahan berakhir dengan perceraian dan dalam suatu buku baru, Shattered Vows, dinyatakan bahwa imam-imam dan para religius meninggalkan kaul mereka beramai-ramai, lalu apakah kita bisa menerima janji-janji ini dengan serius? Sebagaimana dikatakan oleh Glynn de Moss ketika ia menikah untuk yang keduapuluh dua kalinya, “Perceraian tidak membuatku kecewa. Itu hanya ornamen hidup”. Apakah kita harus terus lanjut atau pura-pura saja? Janji Petrus menunjukkan mengapa kita berani bertindak seperti itu.

            Petrus berkata “Aku akan memberikan nyawaku bagiMu.” Dan menrut Santo Yohanes Yesus menjawab: “Kamu akan memberikan nyawamu bagiKu. Tetapi sesungguhnya aku berkata kepadamu, sebelum ayam berkokok kamu sudah menyangkal aku tiga kali.” Maka Petrus mengucapkan janji gila dan dalam beberapa jam kemudian ia sudah mengingkarinya. Tetapi pada akhirnya Tuhan membukakan suatu jalan untuknya kendati ia gagal.

            Petrus menghangatkan diri di dekat api arang di istana imam besar dan tiga kali ia menyangkal Kristus. Kemudian pada bab terakhir [Injil Yohanes] kita dapati dia sekali lagi di dekat api arang, memperbaiki penyangkalannya. Tiga kali Yesus bertanya kepadanya, “Petrus, apakah engkau mengasihi Aku?” Dan tiga kali Petrus mengurai kegagalannya dan mengakui bahwa ia mengasihi Tuhan. Lalu Yesus mengangkat janjinya pada waktu Perjamuan Terakhir dan mengikat Petrus dengan janjinya itu:

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.'' [Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah].

Kata-kata Petrus berlaku.



 

Martabat Manusia

Dalam tulisan ini sama sekali saya tidak bermaksud menghakimi mereka yang gugur janjinya, yang perkawinannya gagal, atau yang meninggalkan panggilan religiusnya. Bukan hak kita untuk menghakimi. Mungkin hanya sekedar mengajukan fakta, bahwa kadang-kadang janji menjadi mustahil dipertahankan. Kita harus jujur. Yang sebenarnya sayainginkan adalah menyatakan mengapa, sekalipun di dalam suatu masyarakat yang cenderung tidak menganggap janji itu sangat serius, janji adalah fundamental bagi martabat manusia, dan mengapa kita berani ambil risiko untuk mengikatkan diri.

            Alasan pertama mengapa kita harus mengucapkan janji adalah karena Allah melakukannya. Cerita tentang keselamatan kita adalah tentang Allah yang mewahyukan diri kepada kita sebagai yang membuat perjanjian. Sesudah Air Bah Ia menjumpai Nuh dan berjanji tidak akan lagi mendatangkan banjir besar hingga membinasakan manusia. Ia berjanji memberkati Abraham. Ia muncul di hadapan Musa dan menyatakan namaNya, Aku adalah Aku ada, dan Ia berjanji bahwa Ia akan membebaskan umatNya keluar dari perbudakan di Mesir.

            Mengucapkan janji bukan hanya sesuatu yang kebetulan dilakukan Tuhan, Janji-janji itu mengungkapkan siapa Dia. Aku akan membebaskan kamu. Dan kita saksikan sepenuhnya siapa Dia di dalam Yesus, pada siapa semua janjiNya terpenuhi.

            Maka alasan perdana mengapa kita harus dengan yakin berani berjanji – mungkin tidak sesegera Petrus jika kamu menginginkan suatu klausul pintu keluar di belakang hari nanti – adalah karena kita anak-anak Allah. Ini merupakan bagian dari martabat kita sehingga kita melakukan hal itu. Kucing dan anjing bisa loyal dan setia, tetapi mereka tidak bisa berjanji. Kita menunjukkan Tuhan kepada dunia dengan berani mengikuti teladan Bapa. Salah satu cara masyarakat menghancurkan martabat kita adalah dengan mengecilkan makna janji yang kita buat.

            Ketika Inggris membawa budak-budak untuk bekerja di perkebunan India Barat, secara sistematik perkawinan mereka dirusak. Pasangan-pasangan dipisahkan, upacara perkawinan dilarang, keluarga diceraiberaikan. Dan itu berarti bahwa dilakukan serangan pada budak-budak pada inti yang paling dalam, sebagai umat yang seperti Tuhan dan membuat janji. Tetapi budak-budak menolak penghinaan itu. Mereka tetap bertahan pada martabat mereka. Mereka menemukan upacara mereka sendiri. Mereka menunjukkan apa pun yang dipikir oleh pemilik perkebunan yang berkulit putih itu, mereka tetap anak-anak Tuhan dan diciptakan menurut gambar Tuhan. Masyarakat kita sendiri melakukan hal ini dengan lebih halus lagi melalui tekanan pekerjaan dan dengan penggambaran perkawinan dan seksualitas di dalam media. Lagu Elton John “Everybody needs a part time lover” [Setiap Orang Memerlukan Kekasih Paroh Waktu] tidak selaras dengan kesetiaan Allah Abraham, Ishak dan Yakub.

            Siapa saja yang mengucapkan janji akan segera mendapatkan diri mereka dalam situasi Petrus. Adalah situasi klasik bahwa tak lama sesudah seseorang menikah atau ditahbis mereka mengalami kekacauan. Bisa saja ini disebut sindroma Petrus. Menurut St Yohanes para prajurit datang dan akan menangkap Yesus.  “Siapa yang kamu cari?” tanya Yesus. Dan Yesus menjawab “Akulah Dia.” Dia tidak hanya berkata bahwa Dialah orang yang mereka cari. Dua kali Ia menggunakan nama ilahi, Aku adalah Aku ada, I AM. Inilah Tuhan yang menampakkan Diri kepada Musa yang berjanji akan membebaskan umat dari perbudakan Mesir. Dan ketika perempuan datang dan bertanya kepada Petrus bukankah dia salah seorang dari murid-murid Yesus, maka dua kali Petrus menjawab “I am not” (Aku bukan). Ia menyangkal bahwa dia adalah anak Allah yang membuat janji. Ia juga menyangkal dirinya sendiri. Ia menolak jatidirinya. Di dekat api bara di pantai, tiga kali ia boleh menyatakan kembali identitas itu, “Engkau tahu aku mengasihi Engkau”. Ia bukan sekedar dimaafkan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri lagi.

 Masa Depan

Salah satu alasan mengapa masyarakat kita cenderung tidak menganggap janji-janji sebagai sesuatu yang serius adalah karena sulit percaya bahwa janji itu menyentuh jati diri kita yang sedalam-dalamnya. Aku ingat seorang Provinsial suatu hari berkata kepadaku bahwa ia berbicara dengan seorang siswa yang mengucapkan kaul sementara dan akan mengucapkan kaul kekal, dan ia bertanya kepada siswa itu, “Bisakah kamu sungguh-sungguh berjanji untuk setia sampai mati?” dan siswa itu berkata:

“Itu tergantung apa maksudnya. Jika maksud Anda : Saya akan setia pada Anda tidak peduli apapun yang Anda minta dari saya, juga seandainya Anda meminta nyawa saya? Lalu jawabannya adalah Ya. Tapi jika maksud Anda: apakah saya akan terus menjadi Dominikan sampai mati? Wah, saya tidak tahu. Siapa yang tahu saya ini akan jadi apa?”

Ini mau mengatakan bahwa seseorang akan memberikan apa saja, memberikan seluruh dirinya sekarang, tetapi lain soal untuk berjanji berkelanjutan tahun demi tahun, apapun yang terjadi, siapapun yang akan dijumpai dan dengan siapapun ia jatuh cinta. Keraguan seperti itu lah yang menantang orang ketika ia hendak mengucapkan janji perkawinan. Mencintai seseorang sama saja dengan memberikan semua yang Anda punya dan seluruh diri Anda. Tetapi satu hal yang sering sulit dijanjikan adalah masa depan; kita bisa menjanjikan segalanya kecuali waktu, seluruh waktu kita. Mengapa bentuk komitmen ini begitu sulit dibuat?

            Sebagian adalah berbeda dari para leluhur, kita mungkin merasa bahwa kita akan berubah ketika kita bertumbuh menjadi tua, kita tidak sama seperti sebelumnya. Bagaimana aku mengikatkan seseorang yang belum ada, yang belum sungguh-sungguh eksis, pribadiku yang akan datang nanti?

            Jika Anda pernah berjumpa dan memberikan nasehat kepada orang yang perkawinannya sedang goyah, atau bruder, suster, pastor yang sedang mengalami saat-saat sulit, mereka mungkin berkata begini:

“Aku bukan orang yang sama yang dulu menikahi Jane atau Edward, atau yang mengucapkan kaul atau bejanji akan taat kepada uskup itu. Waktu itu aku masih muda dan naif; sesudahnya aku melakukan perjalanan, aku bertemu Mozart dan Madonna, punya pengalaman, punya gelar. Aku sudah lain dari anak muda idealis itu dulu, yang matanya cerah waktu umurnya duapuluh lima tahun. Aku tidak bisa terikat oleh janji yang diucapkan anak muda itu. Orang itu sudah tidak eksis lagi.”

Meminjam kata-kata [komponis/penyanyi lagu-lagu rakyat John] Donne “Kita sekarang bukan lagi orang-orang itu, yang adalah kita dulu.”

            Berjanji hanya punya makna jika orang percaya bahwa pribadi yang membuat janji itu masih tetap ada. Aku ini siapa tidak dikenal dengan seketika, tetapu ditemukan dalam seluruh riwayat hidupku. Janji-janji bagi Generasi Sekarang adalah suatu perayaan kedalaman komitmen bukan perluasannya dalam waktu. Pengertian kita tentang siapa kita ini, apa artinya bagiku menjadi diriku, cenderung hanya mengakar pada saat ini, dengan suka dukanya.

            Alasdair McIntyre menulis:

Modernitas mengungkung setiap orang menjadi suatu varietas segmen, masing-masing dengan norma-norma dan cara bertindak sendiri. Maka kerja dibedakan dari kesenangan, hidup pribadi dibedakan dari hidup publik, komunal lain dari yang individual. Maka baik masa muda dan masa tua tersisih dari hidup manusia selebihnya dan dijadikan realitas yang berbeda. Dan semua pemisahan terlaksana sedemikian sehingga kita diajar memikirkan kekhasan dari masing-masing bagian masa itu dan bukan kesatuan hidup orang yang melalui semua bagian-bagian masa itu.

Maka ada majalah untuk anak-anak, program TV untuk lansia (lanjut usia) yang berumur 80-an, program liburan untuk orang muda lajang. Di Amerika Serikat terdapat programa Televisi yang sama sekali baru, yang berkenaan dengan kehidupan cinta orang tengah baya (umur empatpuluhan). Jadi kapan saja kita tidak didorong untuk memikirkan diri kita sebagai orang yang hidupnya mempunyai makna di dalam keseluruhan, melainkan sekedar sebagai orang saat ini, waktu kini, pada usia ini. Dan itu berarti bahwa ketika hidup kita serasa tidak bermakna, maka kita mengalami semacam krisis, dan krisis itu tampaknya tak bisa kuatasi karena yang kupunya hanya saat ini saja! Bagi Generasi sekarang suatu krisis saat ini merupakan suatu krisis yang tak punya kemungkinan untuk bisa ditolong.

Cerita yang Lebih Panjang

 Yang disampaikan cerita Petrus kepada kita adalah suatu kisah yang lebih panjang, berawal dari panggilannya di Galilea, perjalanannya ke Yerusalem bersama Yesus, perasaan galau dan ketakutan, melewati pengkhianatan, hingga sampai pada pertemuan di pantai, di mana ia disembuhkan. Hanya jika menempatkan diri di dalam kisah yang panjang itulah kita dapat memahami janji-janji itu, sehingga kita dapat mengatasi berbagai kegagalan dan tidak remuk tergilas olehnya, dan dapat dibawa mengatasi kegagalan-kegagalan itu. Dalam rentang waktu yang lebih panjang, dari lahir hingga mati, dan akhirnya dari Penciptaan hingga Kerajaan Allah, dapat dipahami betapapun cepatnya terucapkan kata-kata: “Aku berjanji”. Kisah yang lebih panjang itulah yang kita ingat dalam perulangan tahun liturgi setiap tahunnya, yang membawa kita ke Taman Gethsemane, melintasi Jumat Agung, hingga Hari Paskah, dan pediangan yang lain lagi.

            Sementara seseorang yang masih berada dalam perjalanan, sering mustahil baginya untuk memahami makna janji. Pada Perjamuan Terakhir, Petrus berkata kepada Yesus: ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi?'' Jawab Yesus: ''Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.''  Kata Petrus kepada-Nya: ''Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!''



            “Ke manakah Engkau pergi?'' Petrus berjanji hendak mengikuti Yesus tetapi tidak tahu tujuannya ke mana. Seperti Pilatus ia tidak menunggu jawaban. Ia tak bisa memahami apa artinya janji yang dikatakannya. Pertanyaannya tetap tak terjawab hingga hampir akhir hayatnya. Suatu cerita dari abad kedua mengisahkan pada suatu hari, ketika terjadi penganiayaan, Petrus lari dari Roma untuk menyelamatkan diri, dan ia berpapasan dengan Kristus yang berjalan berlawanan arah dengannya.  Dan sekali lagi, untuk kedua kalinya, ia berkata kepada Yesus: ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi? Quo vadis?” Dan Yesus menjawab “Aku pergi ke Roma untuk mati”. Maka Petrus berbalik arah dan pada akhirnya memenuhi janjinya kepada Kristus. Hanya pada akhirnya ia mempunyai suatu jawaban bagi pertanyaannya sendiri.

            Kapan kita membuat janji, di dalam baptis, di waktu perkawinan atau kaul religius, kita tidak tahu di mana janji itu akan membawa kita. Setiap janji mengandung pertanyaan secara implisit dan belum bisa dijawab. Quo vadis? Kita tak dapat melihat ke depan dengan gamblang apa artinya berjanji kamu kepada suatu Ordo yang mengirim kamu ke Eslandia, atau memintamu belajar bahasa China, atau membiarkan kamu sendirian tanpa dukungan atau persahabatan. Itulah hakekat suatu janji yang merupakan kuk pada pertanyaan Petrus yang belum terjawab.

Bertahan

Tentu itulah sebabnya mereka yang mengucap janji kadang berasa percuma berusaha menepatinya. Apa yang mungkin bisa menjadi alasan untuk tetap menikah dengan lelaki itu? Apakah masuk akal untuk terus menjadi imam jika bersama Edwina akan jauh lebih memuaskan? Kita mungkin dapat membina suatu keluarga Katolik yang baik dan berbakti sekadarnya untuk Gereja dengan cara itu. Mungkin ada juga yang merasa punya kewajiban moral untuk meninggalkan kaul. Tetapi kita mungkin harus menjadi saksi Tuhan yang membuat janji-janji dan terus bertahan di sana, terus tergantung pada salib.

            Dalam hidup kita, akan kita menjumpai orang-orang yang padanya nyaris tak bisa kita katakan apa-apa; orang yang kehilangan isteri atau suami, menderita kehancuran hati; orang-orang yang miskin, tersisih dari masyarakat dan tak mendapatkan jalan kembali; orang yang mengemis makanan di pintu dan memohon sedikit harap. Apa yang bisa kita katakan? Apa yang bisa kita pahami dari pengalaman mereka? Kadang yang bisa kita sampaikan pada mereka hanyalah bahwa Tuhan telah memberikan janjiNya pada kita, akan menyembuhkan kita, akan membangkitkan kita dari mati, dan akan mendatangkan Kerajaan. Dan bagaimana kita bisa bicara tentang Tuhan yang memberikan semua janji itu jika tidak ada suatu tanda? Dan tanda itu adalah isteri dan suami yang memadu janji; rahib muda atau suster kontemplatif atau suster aktif dan para bruder yang mengucapkan kaul. Bisa juga lajang yang setia iman pada Tuhan, yang tetap menekuni janji baptisnya, dan tetap setia pada janji apa pun yang dibuatnya. Di dalam suatu masyarakat di mana ada jutaan orang kehilangan dasar untuk berharap, tak punya prospek untuk mendapat pekerjaan, terpuruk dalam pengangguran sepanjang hayat, maka Tuhan segala janji adalah satu-satunya Tuhan yang bisa kita khotbahkan.

 Kaul Kemiskinan

Baru-baru ini saya mengunjungi suatu komunitas suster-suster Little Sisters of Charles de Foucould yang tinggal di suatu barrio di pinggiran kota Lisbon, dekat bandara. Orang-orang yang tinggal di kawasan itu terutama pendatang dari Afrika, dari Mozambique, Guinea dan Angola, dan sebagian kaum gipsi, tanpa saluran air minum dan listrik dan terancam penggusuran. Ketika saya tiba di sana lantai rumah penuh dengan anak-anak yang sedang menggambar, sebab pekan depan ada pesta. Salah seorang suster akan kaul kekal. Setiap orang melibatkan diri dalam persiapan Misa dan perjamuan. Pada hari raya itu seribu orang datang memadati tenda yang dipinjam untuk kesempatan seperti itu. Hari itu adalah hari untuk mereka, di mana orang-orang Portugis, Afrika dan gipsi dapat menari dan menyanyi bersama. Lalu mengapa mereka semua, baik yang beriman maupun yang tidak begitu jelas apakah beriman, merayakannya? Sebab jika suster itu datang ke sana dan berbagi hidup dengan mereka, dan mengucapkan kaul kemiskinan menyertai mereka, lalu pasti ada harapan. Ini tentulah kesempatan yang menjelaskan apa artinya mengucapkan janji kaul.

            Suatu ketika Pemimpin Ordo Dominikan pergi untuk menerima prasetia kekal dari tiga rahib muda yang berada di dalam penjara di Brazil. Seluruh komunitas ditahan sebagai bagian dari penganiayaan atas Ordo oleh pihak yang kemudian menjadi pemerintah militer di sana, karena perjuangan mereka demi hak-hak asasi manusia. Mereka ditahan dengan tuduhan palsu  membantu rencana komunis. Penjara bukan tempat yang lazim bagi para rahib untuk mengucapkan kaul, tetapi mungkin itu mengungkapkan apa artinya mengucapkan janji prasetia, yaitu keyakinan akan Tuhan yang setia pada kita, yang telah menjanjian dunia yang adalah yang adalah Kerajaan Allah, dan yang setia pada janjiNya.

            Kata Ibrani untuk berjanji adalah dabar, mengucap sepatah kata. Tuhan yang membuat janji adalah Dia yang menyampaikan sepatah kata. Maka persoalannya adalah semata-mata : Apakah kata-kata kita bermakna? Apakah kata-kata berbobot?

 

Penyelenggaraan Tuhan

Mungkin terdengar seperti gambaran yang suram tentang kesetiaan. Setelah mengucapkan janji prasetia selayaknyalah seseorang bertahan hingga pasa kesudahan. Seseorang terikat terus pada suaminya atau isterinya atau hidup religius dan tidak ada gambaran lain di masa depan selain terus bertahan. Mungkinkah itu yang diminta Tuhan? Dan jika kita jujur, kadang-kadang tampak sulit dipercaya. Ada beberapa perkawinan yang sungguh-sungguh hancur dan tampaknya tidak ada jalan untuk terus maju. Namun secara implisit kita hanya dapat mengucapkan janji dengan kepercayaan akan penyelenggaraan Tuhan. Tuhan segala janji akan memberi pertolongan. Ketika Tuhan menyuruh Abraham membawa puteranya Ishak ke gunung dan menjadikan dia kurban persembahan, lalu Tuhan menyediakan domba untuk menggantikannya. “Di gunung itu, Tuhan akan menolong.” Maka suatu janji kaul bukanlah pernyataan akan kekutan kita sendiri, melainkan pernyataan harapan akan penyelenggaraan Tuhan. Petrus lemah dan ia gagal, tetapi Yesuslah yang memberikan pada dia jalan. Janji yang terburu-buru dari Petrus menggugurkan semua gambaran mengenai kaul yang didasarkan pada kekuatan tekat belaka. Petrus memilih pediangan di istana imam besar tetapi Tuhan menyediakan pediangan baginya di pantai. Bagai sementara orang tampaknya tak ada penyelenggaraan ilahi, dan aku hanya bisa minta maaf karena tidak memberi renungan atas dasar pengalaman mereka. Seseorang tidak bisa mengerjakan segalanya.

            Suatu butir terakhir: kaul Petrus adalah kaul untuk mati. “Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!'' Janji yang mengubah hidup kita, yang membuatnya terarah, suatu pola, bukan sekedar rentetan masa, adalah semua yang dibuat di hadapan maut. Dalam janji baptis kita bergabung dengan wafat Kristus, dalam perkawinan janji kita adalah “hingga kematian memisahkan kita”, dan janji religius adalah usque ad mortem, sampai mati. Janji-janji itu menghadapkan kita pada kematian kita sendiri. Mungkin salah satu alasan mengapa sekarang berat sekali untuk berpegang pada janji kaul adalah karena kita melarikan diri dari fakta bahwa kita harus mati. Masyarakat kita dibangun atas impian tentang kekuasaan, atas lingkungan kita, atas satu sama lain, namun kematian menunjukan batas kekuasaan kita. Kita bisa mengirim manusia ke bulan, tapi tetap saja kita harus mati.

            Dalam novel A Single Man karya Christopher Isherwood, seorang lelaki tengah baya memandang dirinya pada cermin:

Ia memandang dan terus memandang cermin itu dan tampak banyak wajah dalam wajahnya – wajah seorang anak, seorang remaja lelaki, seorang pemuda, dan seorang yang tidak muda lagi – semuanya tampak beku, diawetkan seperti fosil dari lapisan yang satu di bawah lapisan yang lain. Pesan mereka pada mahluk hidup yang akan mati adalah : Lihatlah kami – kami sudah mati – apa yang ditakutkan? Jawaban wajah yang satu adalah : Semuanya itu terjadi berangsur-angsur, dengan gampang. Aku takut terburu-buru.

             “Aku takut terburu-buru”. Tetapi kita tidak melakukan janji kaul sendirian. Kita mengucapkan janji kaul itu satu sama lain. Janji kaul adalah bersama dan di dalam suatu komunitas. Dan mungkin kita hanya berani melakukannya karena komunitas, teman-teman, para burder, para suster, membantu kita menghadapi dan merangkul kefanaan kita, bahwa kita akan mati. Maka kita berani berjalan terus.

            Setiap tindakan pengucapan janji kaul adalah tindakan kepercayaan. Di sana selalu ada pertanyaan yang tak terjawab dari Petrus, ''Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” dan paling akut jika seseorang berhadapan dengan kematian. Orang menyerahkan diri ke dalam tangan Tuhan, namun menurut D.H. Lawrence,  “Adalah hal yang sangat menakutkan berada di tangan Allah yang hidup. Tetapi jauh lebih menakutkan jika terlepas dari tanganNya.”

Artikel dalam Priest and People, Juli 1989, hal. 259-263. Diterjemahkan Bambang Kussriyanto.

Makabe dan Kitab Makabe 1,2

 Makabe     

Bahasa Ibrani, “palu”, “godam” atau “gada”. Nama julukan Yudas, putera Matatias (1 Mak 2:4; bdk 2 Mak 5:27; Yosephus, Ant 12.266), pemimpin pemberontak yang kuat perkasa melawan Antiokhus IV Epifanes dan penganiayaan yang dilakukannya  atas orang Yahudi dalam rangka Helenisasi. Nama julukan ini berasal dari sebutan yang diperolehnya setelah melakukan taktik perang gerilya  hantam-keras; kemudian nama yang sama juga digunakan oleh saudara-saudaranya, yang mengikuti jejaknya dalam memimpin pemberontakan.



Kitab Pertama dan Kedua  Makabe 

Keduanya merupakan kitab yang terakhir dari antara genre Kitab-kitab Sejarah Perjanjian Lama. Mengisahkan perjuangan yang dipimpin oleh Yudas Makabe dan saudara-saudaranya melawan raja-raja Seleukus pada abad kedua SM. Walaupun saling bertautan hingga sejauh tertentu karena berkenaan dan masalah yang sama, kedua kitab itu sebenarnya terpisah. Keduanya termasuk kitab-kitab deutero-kanonika, yang diterima sebagai Kitab Suci oleh Gereja Katolik dan Kristen Ortodoks.

 

I. PENGARANG DAN WAKTU PENULISAN

Dari segala kemungkinannya, 1 Makabe pada mulanya ditulis dalam bahasa Ibrani. Kesaksian tentang ini disampaikan oleh St Hieronimus, yang menyatakan bahwa ia telah melihat kitab ini dalam bahasa Ibrani. Bukti internal dari kitab itu juga menunjukkan bahwa kitab-kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dari aslinya yang berbahasa Semit. Pengarangnya tidak diketahui, walaupun bahasanya menunjukkan bahwa penulisnya seorang Palestina yang kenal sekali dengan ilmu bumi Palestina dan yang dengan sengaja berusaha meniru gaya penulisan kitab  sejarah dari masa sebelumnya (yaitu 1 dan 2 Samuel dan 1 dan 2 Raja-raja). Waktu penulisan karya ini juga tidak pasti, namun boleh jadi ditulis sesudah tahun 134 SM, sesudah Simon Makabe mati dan dalam masa pemerintahan Yohanes Hirkanus (134-104 SM).

      Kitab 2 Makabe ditulis dalam bahasa Yunani sebagai suatu ringkasan dari lima jilid riwayat Makabe yang ditulis oleh Yason dari Kirene (2 Mak 2:19-31). Karya yang lebih besar itu sekarang hilang dan selanjutnya tidak ada yang diketahui tentang Yason, kecuali bahwa dia mungkin tinggal di Palestina, karena hasil karyanya menunjukkan pengetahuan ilmu buminya yang sungguh  baik. Sedang mengenai penulis 2 Makabe, ia mungkin tinggal di Aleksandria, Mesir, dan gambarannya tentang kebangkitan orang mati (2 Mak 7:14) menimbulkan kemungkinan bahwa ia mungkin seorang Farisi. Kitab ini boleh jadi ditulis dalam bahasa Yunani, mengingat kemampuannya dalam bahasa Ibrani terbatas, dan dalam kitab itu terdapat banyak idiom-idiom dan tata bahasa yang asli Yunani. Waktu penulisannya diperkirakan setelah tahun 124 SM dan selambat-lambatnya tahun 80 SM.

 II. ISI

 1 Makabe

1. Pendahuluan (1 Mak bab 1-2)

A. Aleksander Agung dan Penganiayaan Seleukus (1 Mak 1:1-63)

B. Matatias dan Anak-anaknya (1 Mak 2:1-70)

II. Kepemimpinan Yudas Makabe (1 Mak 3:1-9:22)

III. Kepemimpinan Yonatan Makabe (1 Mak 9:23-12:53)

IV. Kepemimpinan Simon Makabe (1 Mak 13:1- 16:17)

V. Pemerintahan Yohanes Hirkanus (1 Mak 16:18-24)

 

2 Makabe

I. Pendahuluan (2 Mak bab 1-2)

A. Surat Kepada Orang Yahudi di Mesir (2 Mak 1:1-9)

B. Surat Kepada Aristobulus (2 Mak 1:10-2:18)

C. Pengantar (2 Mak 2:19-32)

II. Heliodorus dan Harta Kekayaan Bait Allah (2 Mak 3:1-40)

III. Imam Besar : Simon, Yason dan Menelaus (2 Mak 4:1-5:27)

IV. Penganiayaan Orang Yahudi (2 Mak 6:1-7:42)

V. Pemberontakan Yudas Makabe (2 Mak 8:1-15:38).

 

III. MAKSUD DAN TEMA

Kitab-kitab 1 dan 2 Makabe menceritakan latar belakang dan peristiwa-peristiwa selama empat puluh tahun (175-135 SM) perjuangan melawan serangan kekafiran dan usaha Helenisasi di wilayah Yahudi Palestina. Proses Helenisasi merupakan kebijakan pemerintahan Aleksander Agung dan para penggantinya. Hal itu mendatangkan kesulitan besar yang menantang agama Yahudi, terutama ketika dinasti Seleukus memajukan ibadat Yunani kafir yang bertentangan dengan monoteisme. Situasi Palestina menjadi bertambah rumit dengan munculnya kelompok yang pro-Helenisasi di kalangan para pemimpin Yahudi. Pada tahun 167 SM Antiokhus IV Epifanes (lihat Seleukus) dari Siria memasukkan pemujaan (dewa) Zeus ke tempat suci Bait Allah di Yerusalem. Serta merta terjadi pemberontakan yang disulut oleh kesetiaan Matatias (1 Mak 2:23-33) dan dilanjutkan oleh anak-anaknya, Yudas Makabe ( 1 Mak 3-9; 2 Mak 8-15), Yonatan (1 Mak 9:23-12:53), dan Simon Makabe (1 Mak 13:1-16:17). Kemenangan orang Yahudi ditandai oleh direbutnya kembali Yerusalem dan penyucian kembali Bait Allah (1 Mak 4:6-61; 2 Mak 10:1-8).

      Pengarang 1 Mak menyamakan perjuangan monoteisme Yahudi dengan perjuangan demi kelangsungan hidup bangsa Israel, dengan demikian menciptakan hubungan yang erat antara agama dengan patriotisme. “Israel” diartikan sebagai  bangsa yang setia kepada Tuhan, dan mereka yang meninggalkan Hukum (Taurat) tidak lagi menjadi warga Israel “Banyak dari rakyat bergabung dengan orang-orang asing, yaitu barangsiapa yang meninggalkan hukum Taurat. Orang-orang asing berjahat di negeri dan dipaksanya Israel bersembunyi di tempat pengungsian mana saja” (1Mak 1: 52-53).

      Jalannya kisah dalam 1 Mak menggambarkan keturunan Makabe sebagai pengawal yang menjaga Hukum taurat Musa. Mereka dibangkitkan oleh Tuhan untuk melawan kekuatan Helenis yang mengancam kemurnian iman Yahudi. Gaya sastra karya ini meniru gaya kitab-kitab sejarah yang terdahulu, namun dengan lebih menekankan Hukum sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan. Pemberontakan dipandang di dalam kerangka kemenangan Hukum atas musuh-musuh Tuhan.



      Kitab kedua Makabe mencakup lingkup yang kurang lebih sama dengan 1 Mak 1-7, namun lebih eksplisit dalam memberikan tafsiran teologis atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman itu. Kitab itu memberi penjelasan mengenai pesta dedikasi, penyucian Bait Allah, suatu kejadian utama dalam kelangsungan hidup agama Yahudi (sekarang diperingati sebagai pesta Hanukkah); juga ditekankan pentingnya tindakan Tuhan di dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hidup itu dan diberikan kesaksian mengenai keyakinan yang dipegang kuat-kuat mengenai hidup sesudah hidup-di-dunia dan kebangkitan badan (2 Mak 7:14; 12:43-46). Dengan demikian, tafsir agamis atas perjuangan Makabe lebih penting di sini, karena dari kaca mata teologi sejarah si penulis, ia memandang perang itu didukung oleh kehendak Tuhan, sama seperti penganiayaan yang dialami bangsa Yahudi dan penistaan Bait Allah dianggap merupakan konsekuensi dari kedosaan bangsa itu (2 Mak 5:17-20; 6:12-17). Pengarang sangat menghormati Bait Allah sebagai pusat ibadat Yahudi dan beberapa kali mengingatkan pembaca mengenai keagungannya (bdk 2 Mak 2:19. 22; 5:15; 14:31). Ia berseru kepada bangsa Yahudi agar setia kepada Hukum dan mengingatkan mereka akan kesetiaan Tuhan pada perjanjian. Tuhan tidak akan meninggalkan umatNya jika mereka bertobat dan setia kepadaNya. Kekuatan Tuhan menujud dalam karya Allah yang ajaib dan adikodrati yang membuktikan bahwa Allah hadir di tengah-tengah umatNya (2 Mak 3:24-27; 5:2-3; 10:29-30). Mereka yang mati sebagai martir dihargai sebagai pengorbanan yang mulia (2 Mak 6:8-7:42).

     Dua kitab yang serupa, 3 dan 4 Makabe juga masih ada. Kitab ketiga Makabe yang tidak termasuk dalam kanon Kitab Suci Katolik diterima oleh Gereja-gereja Ortodoks Timur. Kitab ini mengisahkan penganiayaan Yahudi di Mesir di bawah Ptolemeus IV Filopator (221-205 SM); maka tidak ada kaitannya dengan kitab-kitab 1 dan 2 Makabe. Kitab keempat Makabe, yang merupakan suatu tambahan dalam Kitab Suci Ortodoks, merupakan suatu karya filsafati Yahudi mengenai “apakah pemikiran saleh lebih unggul daripada perasaan saleh”; kitab itu menggunakan kisah-kisah seperti kemartiran Eleazar dan ketujuh saudaranya sebagai gambaran untuk penjelasan (bdk 2 Mak 6-7).


KATA SAMBUTAN DARI PAUS FRANSISKUS

 

Dalam sepekan ini Paus Fransiskus menyampaikan kata sambutan di hadapan audiens yang berbeda-beda, mulai dari warga akademisi Institut Teologi Kepausan Yohanes Paulus II untuk Perkawinan dan Keluarga, kepada peserta Pertemuan COPERCOM, Koordinasi Asosiasi Komunikasi, dan kepada Koordinator Peringatan 8 Abad Fransiskan Sedunia. Dalam postingan ini kata-kata sambutan beliau dikumpulkan untuk dokumentasi. 

Pada 31 Oktober 2022 Paus Fransiskus menerima kunjungan Koordinator Peringatan 8 Abad Fransiskan Sedunia. Peringatan 8 abad wafat St Fransiskus akan diselenggarakan dari 2013 hingga 2026. Menurut Paus hidup kudus St Fransiskus Asisi bersumber dari Yesus Kristus yang diteladani secara total dalam kemiskinan, kasih kepada orang miskin dan kepada alam ciptaan. Peringatan mendatang bukan sekedar upacara ritual namun sekaligus harus menimba spiritualitas St Fransiskus dalam meniru Yesus dan mengasihi kaum miskin sebagai cara hidup. Hal itu dimungkinkan oleh nuansa tempat-tempat Fransiskan yang menjadi pusat-pusat peringatan.

Yang pertama adalah Fontecolombo, dekat Rieti, Italia, yang berhubungan dengan lahirnya "Regula" atau tata-peraturan hidup para Fransiskan, dan Greccio, panorama kelahiran Yesus, yang mengingatkan spiritualitas "inkarnasi Yesus Kristus" sebagai jalan Tuhan. 

Yang kedua adalah La Verna, terkait "stigmata", yaitu luka-luka Kristus yang disalibkan, yang diterima St Fransiskus Asisi. Mengingatkan sakit dan penderitaan sebagai kisah hidup umat manusia.

Yang ketiga adalah Asisi, tempat jenasah St Fransiskus Asisi dibaringkan. Mengingatkan harapan sejati umat kristiani akan hidup kekal. Jasad St Fransiskus Asisi hingga sekarang adalah suatu misteri yang jawabannya perlu didekati dengan mengikuti sekolah Sang Poverello, menemukan dari cara hidupnya menurut Injil bagaimana mengikuti jejak Kristus.

Santo Fransiskus adalah seorang yang suka perjalanan, berkeliling Italia dan sekitarnya, mendekatkan Gereja pada umat, dan mengurangi jarak antara Gereja dan umatnya. Itulah gaya komunitas kristiani yang ingin mendekat kepada siapa saja dan tidak mengurung diri. Meneladan St Fransiskus haruslah bertahan dan berjalan, bertahan dalam doa kontemplasi dan bergerak maju berjalan dalam kesaksian, menjadi saksi Kristus. Dalam berkhotbah kepada kaum pinggiran, St Fransikus bukan hanya memperjuangkan keadilan, tetapi juga kepercayaan. Hanya iman yang membawa nafas kebaruan Roh Kudus pada dunia yang tertutup dan individualis. Dengan nafas ini kita dapat menghadapi tantangan untuk perdamaian, perhatian pada bumi rumah kita bersama, dan suatu model pembangunan yang baru.





https://www.vatican.va/content/francesco/it/speeches/2022/october/documents/20221031-viiicentenario-francescano.html

Pada 31 Oktober 2022 Paus Fransiskus menerima kunjungan Pertemuan COPERCOM, Koordinasi Asosiasi Komunikasi. Dalam rangka ulang tahun ke-20 Paus Fransiskus mengajak mereka melakukan refleksi atas keberadaan dan karya mereka.

Pertama tentang tujuan "koordinasi", suatu sasaran mulia untuk menghimpun beberapa realitas demi mencapai tujuan yang sangat spesifik. Bukan tugas mudah, memerlukan kesabaran, visi dan kesatuan. "Jalan yang telah ditempuh selama duapuluh tahun tentu telah memberikan pengalaman berlimpah berkaitan dengan karya koordinasi ini".  

Kedua menyangkut tujuan "perubahan". Bukan saja mengamati "era perubahan" tetapi juga terlibat dalam "perubahan zaman", dalam arti bukan saja menerima tantangan dan peluang perubahan tetapi juga menjadi ahli perubahan. Perlu waspada, sebab perubahan bukan berarti "mengikuti model-model yang sewaktu, tetapi mengubah cara berada dan cara berpikir, mulai dari sikap takjub yang tidak berubah namun selalu baru".

Yang ketiga : perjumpaan, mendengarkan dan bicara. Ini adalah a,b,c, untuk komunikator yang baik. Ketiganya adalah prasyarat untuk dinamika semua komunikasi yang baik. Perjumpaan adalah membuka hati tanpa prasangka pada orang lain dalam tatap muka. Perjumpaan adalah prasyarat pengertian. Tanpa perjumpaan tidak ada komunikasi. Mendengarkan adalah belajar untuk diam, pertama dalam hati sendiri, dan untuk menghormati orang lain dengan mendengarkan dia. Fokus pada kata benda, yaitu orang, jangan terhanyut oleh berbagai kata sifat yang bisa menyesatkan.

Keempat, fokus pada jalan sinodal. Gereja menempuh suatu jalan, dan jalan itu adalah sinodalitas yang berarti "menghayati kegerejaan sepenuhnya."





https://www.vatican.va/content/francesco/it/speeches/2022/october/documents/20221031-incontro-copercom.pdf

Pada 24 Oktober 2022 Paus Fransiskus menyampaikan sambutan kepada warga akademis Institut Teologi Kepausan Yohanes Paulus II untuk Perkawinan dan Keluarga.


https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2022/october/documents/20221024-istitutogp.pdf


Pesparani dan Musik Liturgi

 


Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Nasional II 2022 di Kota Kupang, Jumat (28/10/2022) dibuka dengan meriah. Diawali dengan perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Ketua KWI Ignatius Kardinal Suharyo, didampingi oleh 8 uskup dan puluhan pastor. Tema Pesparani Nasional II ini adalah "Dari Nusa Tenggara Timur untuk Nusantara". Pesparani Nasional II 2022 ditandai dengan tarian kolosal Patajanggung dari Sumba Timur yang dimainkan oleh 10.000 siswa dan siswi SMA, SMK dan SLB serta para guru seluruh Kota Kupang. Suasana berubah begitu kusuk ketika memasuki pertunjukan bertajuk "Kontas Flobamora" yang diperkuat oleh 1.200 orang. Mereka membentuk formasi rosario memasuki lapangan dari empat sudut lapangan  terdiri dari dari anak-anak yang membawa kertas putih, para pemuda dan pemudi yang membawa lilin menyala. Semuanya berpakaian putih. Sebagian jubah, sebagian busana suster. Mereka memasuki lapangan diiring paduan suara yang menyanyikan beberapa lagu. 

Kontingen dari 34 provinsi seluruh Indonesia kemudian dihibur oleh penampilan sejumlah paduan suara yang tidak hanya membawakan lagu-lagu rohani tetapi juga lagu pop seperti lagu "Ojo Dibandingke". Pesparani Nasional II Kupang berlangsung hingga 31 Oktober 2022 memperebutkan 13 piala. Kontingen Maluku tahun ini merebut predikat Juara Umum.



Semarak pesta paduan suara gerejani sehubungan dengan peringatan 60 tahun Konsili Vatikan II mengingatkan kembali petunjuk dasar tentang Musik Liturgi dari Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, yang kemudian memeroleh perkembangan wujudnya sampai sekarang di Indonesia.

MUSIK LITURGI 

112. Martabat musik liturgi 

Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral. 

Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab Suci , maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang – dipelopori oleh Santo Pius X – akhir-akhir ini semakin cermat menguraikan peran serta Musik Liturgi mendukung ibadat kepada Tuhan. 

Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat,entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah. 

Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan Musik Liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman, Konsili suci menetapkan hal-hal berikut. 

113. Liturgi meriah 

Upacara Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila umat ikut serta secara aktif. 

Mengenai bahasa yang harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36; mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen-sakramen lihat art. 63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101. 

114. Khazanah Musik Liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Paduan suara hendaknya dibina dengan sungguh-sungguh, terutama di gereja-gereja katedral.Para Uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara Liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka, menurut kaidah art. 28 dan 30. 

115. Pendidikan musik 

Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian besar di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan para religius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya dan di sekolah-sekolah katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti itu hendaknya para pengajar Musik Liturgi disiapkan dengan saksama. Kecuali itu dianjurkan, supaya-bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembaga Musik Liturgi tingkat lebih lanjut. Para pengarang lagu dan para penyanyi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat kesempatan untuk pembinaan Liturgi yang memadai. 

116. Nyanyian Gregorian dan Polifoni 

Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi Romawi. Maka dari itu-bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting-nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi. 

Jenis-jenis lain Musik Liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.

117. Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian Hendaknya terbitan autentik buku-buku nyanyian Gregorian diselesaikan. Di samping itu hendaknya disiapkan terbitan lebih kritis buku-buku yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan oleh Santo Pius X. Berfaedah pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil. 

118. Nyanyian rohani umat Nyanyian rohani umat hendaknya dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat, menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan rubrik. 

119. Musik Liturgi di daerah-daerah Misi 

Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40. 

Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat. 

120. Orgel dan alat-alat musik lainnya 

Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke surga. 

Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam Liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman. 

121. Panggilan para pengarang musik 

Dipenuhi semangat kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari, bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan Musik Liturgi dan memperkaya khazanahnya. 

Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai sifat-sifat Musik Liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyanyikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikutsertaan aktif segenap jemaat beriman. 

Syair-syair bagi nyanyian Liturgi hendaknya selaras dengan ajaran katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber Liturgi.