Bambang Kussriyanto
Mungkin berguna untuk membantu para katekis dan pewarta. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya aktif dalam Seksi Pewartaan Paroki, saya menulis karangan tentang pokok-pokok iman kita. Sasaran saya katekumen selepas SMA. Saya sampaikan kepada teman-teman, barangkali bisa dimanfaatkan dan diperkaya. Semoga.
Allah: Pengarang Iman Kita
Pada
awal abad ini, Grace Davie, seorang sosiolog agama, menyatakan bahwa banyak
orang haus akan spiritualitas dan ingin beriman (Religion in Modern Europe:
A Memory Mutates, 2000). Sebagian besar dari mereka itu adalah anak-anak
muda yang sedang mencari makna hidup (Yves Lambert, “A Turning Point in
Religious Evolution in Europe”, dalam The Journal of Contemporary Religion,
XIX/1, 2004). Gejala itu ditangkap sebagai musim semi baru dalam hidup
keagamaan. Telah tumbuh tunas-tunas baru minat dan keinginan untuk mendapatkan
informasi mengenai kerohanian dan iman.
Timothy Radcliffe OP menulis: “Ada
dua buku yang paling populer di Eropa baru-baru ini, yaitu: Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran (karya
Eric-Emmanuel Schmitt, Paris 2003, “Tuan Ibrahim dan bunga-bunga Qur’an”), dan Oscar et la dame rose (juga hasil karya
Eric-Emmanuel Schmitt, Paris 2004 , “Oscar dan ibu yang tegar”). Terjual dengan
tiras lebih dari 400.000 buah hanya dalam tahun pertama saja kedua buku itu
termasuk dalam bilangan buku best seller
di Perancis, Belgia, Jerman, Spanyol dan Italia. Buku-buku itu dirancang
sebagai bagian dari suatu trilogi di mana tokoh-tokohnya adalah orang Buddha,
Yahudi, Muslim dan Kristiani. Buku-buku itu mengenai anak-anak yang sedang
mencari Tuhan. Oscar yang berumur sepuluh tahun melakukan pencariannya di
tempat tidur dalam minggu terakhir hidupnya. Dengan pertolongan seorang
Kristiani tua, Mamie Rosa, ia membombardir Tuhan dengan pertanyaan-pertanyaan.
Momo, yang adalah seorang anak Yahudi, melakukan ziarah pencariannya dengan
mengunjungi rumah seorang guru Sufi. Mereka mencari suatu tradisi agama untuk
membantu perjalanan mereka mencari Tuhan (Timothy Radcliffe OP, 2007, What
Is the Meaning of Being a Christian?).
Kerinduan seperti itu juga dirasakan
di mana-mana di seluruh dunia. Seperti buku-buku di atas, dengan metode dan gaya yang berbeda, karangan ini juga bermaksud menanggapi kerinduan umum dengan menyampaikan kebenaran dari
iman Katolik dengan cara yang mudah dibaca dan hidup. Seperti Kitab Suci, bahan katekese ini berusaha menyampaikan cerita
tentang Allah dan hubungan kasih-Nya dengan umat manusia, dan rencana-Nya untuk
mempersatukan kita dengan-Nya selama-lamanya dalam suka-cita sorga.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1 menguraikan hubungan
Allah dengan manusia, yang diawali dari prakarsa Allah, dan menyatakan betapa
pada manusia terdapat kecenderungan untuk mengenal dan menjalin relasi dengan
Allah : “Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas.
Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat semata-mata karena kebaikan, Ia telah
menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia dapat ikut ambil
bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di
mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk
mencari dan menemukan-Diri-Nya,
untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala daya kekuatan.”
Bahwa Allah dalam Diri-Nya
sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas dipahami dari kenyataan alam
semesta yang diciptakan oleh-Nya.
Penulis kuno menggambarkan bahwa bagi Allah lautan adalah bagaikan air di dalam
lekuk tangan-Nya, langit diukur hanya dengan jengkal, bumi diukur dengan takar,
gunung-gunung dan bukit-bukit begitu kecil hingga ditimbang dengan neraca.
Allah mahatahu dan tidak memerlukan petunjuk, Ia mahaadil dan tidak memerlukan
penasehat. Ia mencipta, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan:
“Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan
mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang
gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca? Siapa yang dapat
mengatur Roh Tuhan atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat? Kepada
siapa Tuhan meminta nasihat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar
Tuhan untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan
memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian? Sesungguhnya,
bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti
sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya, pulau-pulau tidak lebih dari abu halus
beratnya. Lebanon tidak
mencukupi bagi kayu api dan margasatwanya tidak mencukupi bagi korban
bakaran. Segala bangsa seperti tidak ada
di hadapan-Nya, mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia saja. Jadi dengan siapa
hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia?
Patungkah? Tukang besi menuangnya, dan pandai emas melapisinya dengan emas,
membuat rantai-rantai perak untuknya. Orang yang mendirikan arca, memilih kayu
yang tidak lekas busuk, mencari tukang yang ahli untuk menegakkan patung yang
tidak lekas goyang. Tidakkah kamu tahu? Tidakkah kamu dengar? Tidakkah
diberitahukan kepadamu dari mulanya? Tidakkah kamu mengerti dari sejak dasar
bumi diletakkan? Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi yang penduduknya
seperti belalang; Dia yang membentangkan langit seperti kain dan memasangnya
seperti kemah kediaman!” (Yes 40:12-22).
Gereja Katolik di dalam Konsili
Vatikan I (1869-1870) menyatakan bahwa Allah “adalah Allah yang esa, benar dan
hidup, Pencipta langit dan bumi, mahakuasa, kekal, tiada batas, mengatasi
pemahaman, mahatahu dan kehendak-Nya tiada terperi, sempurna segalanya.... Roh
yang tiada duanya, sangat sederhana dan tak berubah... pada hakekatnya sungguh
berbeda dari dunia, sepenuhnya mulia dalam diri-Nya sendiri dan dari diri-Nya
sendiri, dan niscaya jauh lebih tinggi dari segala sesuatu lainnya yang ada,
atau yang dipikirkan, terpisah dari Dia.”
Allah menciptakan manusia sebagai
mahkota dari segala ciptaan karena kebaikan-Nya. Pemazmur menggubah syairnya:
“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang
Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak
manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir
sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau
membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di
bawah kakinya” (Mzm 8:3-6). Sekalipun kemudian berulang kali manusia
memberontak terhadap Allah sang Pencipta, dan karena itu tercerai berai, namun Allah tetap setia pada kasih-Nya pada manusia. “Aku
mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih
setia-Ku kepadamu” (Yer 31:3).
KGK melanjutkan pernyataannya
tentang Allah: “Ia memanggil semua manusia yang sudah tercerai-berai satu dari
yang lain oleh dosa ke dalam kesatuan keluarga-Nya, yakni Gereja. Ia melakukan
seluruh usaha itu dengan perantaraan Putera-Nya, yang telah Ia utus sebagai
Penebus dan Juru Selamat, ketika genap waktunya. Dalam Yesus Kristus dan oleh
Dia, Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-anak-Nya dalam Roh Kudus, dan
dengan demikian mewarisi hidup-Nya yang bahagia.”
Untuk itulah Yesus Kristus datang di
dunia, mengajar dan menyembuhkan, mengalami sengsara, wafat, bangkit dari mati
dan naik ke surga. Namun setelah
itu, apa yang telah dilakukan-Nya menyampaikan panggilan Allah tetap terus berlanjut.
“Supaya panggilan ini didengar di
seluruh dunia, Kristus mengutus para Rasul yang telah dipilih-Nya, dan memberi
mereka tugas untuk mewartakan Injil (Mat 28:19-20). Berdasarkan amanat
perutusan ini mereka ‘pergi
memberitakan Injil ke segala penjuru dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan
firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya’ (Mrk 16:20)”(Bdk KGK 2).
Gereja Katolik timbul dan berkembang
dari hasil kegiatan Yesus Kristus dan keduabelas rasul-Nya mewartakan Injil.
Kristus berkata: “...firman yang kamu dengar itu bukan berasal dari pada-Ku,
melainkan dari Bapa yang mengutus Aku” (Yoh 14:24). Yesus menyebut Allah
sebagai Bapa.
Maka umat Katolik percaya, bahwa
sumber utama dari ajaran Katolik, atau “pengarang” dari iman Katolik, adalah
Allah sendiri, yaitu sumber dan asal dari semua kebenaran dan kebaikan. Dari
kebenaran ini, ajaran Gereja Katolik memperoleh dasarnya dari wewenang yang
tertinggi dan tak diragukan keandalannya.
Kebenaran ini diwariskan, diajarkan
dan diteruskan dari generasi ke generasi di dalam Gereja Katolik oleh siapa
saja yang telah dibaptis, terutama oleh orangtua kepada anak-anak. “Siapa pun
yang dengan rahmat Allah telah menerima panggilan iman ini dan telah
menyetujuinya secara bebas, niscaya juga
didorong oleh cinta kepada Kristus untuk mewartakan Kabar Gembira itu kepada
seluruh dunia. … Semua orang yang beriman kepada Kristus dipanggil untuk
melanjutkan Kabar Gembira itu dari generasi ke generasi, dengan mewartakan iman
dan menghayatinya dalam persekutuan persaudaraan, dan dengan merayakannya dalam
liturgi dan dalam doa” (bdk KGK 3).
Masalahnya : Allah tidak kelihatan.
Tak seorang pun melihat Allah. Dalam penyampaian iman ada pertanyaan yang
meragukan pewarta: Bagaimana seseorang bisa tahu dengan pasti tentang Allah
yang dikatakan sempurna dan bahagia tanpa batas itu, dan bagaimana ia mengetahui
kehendak Allah atas umat manusia?
Keberadaan Allah
Memang
Allah tidak kelihatan. Memang tak seorang pun manusia biasa melihat Allah.
Bagaimana orang mencari dan menemukan Allah yang tidak kelihatan? Friedrich
Nietzche, seorang filsuf Jerman (1844-1900), di dalam bukunya Die Frochliche
Wissenschaffe yang terbit seabad yang lalu menggambarkan orang yang mencari
Allah demikian: “Alkisah di zaman dulu – suatu zaman yang jauh berbeda dari
zaman kita, namun juga suatu masa yang mungkin pernah menjadi masa kita sendiri
– ada sebuah kota yang sama dengan kota-kota lainnya. Kota itu punya pasar alun-alun
di tengahnya, di mana orang bertemu satu sama lain dan melakukan jual beli.
Pada suatu hari di tengah siang bolong, ketika matahari sedang tinggi dan
semuanya sedang sibuk dan melakukan jual beli, seorang bagaikan orang-gila
bergegas memasuki pasar alun-alun itu membawa lentera yang menyala sambil
berteriak-teriak: ‘Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!’ Orang-orang terganggu
tetapi juga heran : ‘Apakah Allah sudah hilang? Apakah dia bersembunyi? Apakah
dia seperti anak kecil yang hilang tersesat?’ mereka bertanya. Tetapi orang itu
terus menuju ke tengah pasar alun-alun”. Kerinduan untuk bertemu dengan Allah
terus berkobar di hati, menggerakkan orang. KGK 27 menyatakan:
“Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan
oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada
diri-Nya.” Mungkin saja Allah itu bagi banyak orang adalah Allah yang tidak
dikenal (bdk Kis 17:22-23), yang disembah tanpa nama, dan dicari karena
dorongan hati yang tersembunyi.
Manusia mengalami daya tarik dari
“yang Ilahi” dengan “merasakan” manifestasi “yang Ilahi”, hierofani,
pada alam kehidupannya. Mereka membedakan ruang-ruang dalam kategori sakral dan
profan dan menentukan ambang batasnya. Sebagai contoh, setiap kali mendirikan
bangunan tertentu kelompok masyarakat tertentu mendahuluinya dengan permohonan
keselamatan. “Batu penjuru” dipancangkan sebagai titik sakral lahan bangunan.
Pada akhirnya, ketika membangun “atap” atau penutup bangunan, juga dilakukan
upacara selamatan. Tempat-tempat tinggi dianggap kediaman “yang Ilahi”,
transenden, mengatasi segala sesuatu dan sehubungan dengan itu dilakukan ritual
penyucian tempat. Mereka merasakan kekacauan (chaos) sebagai
representasi yang jahat dan lebih menyukai keteraturan dan keselarasan tempat (kosmos)
mereka berada, dan untuk itu mereka pun mengadakan ritual untuk menghubungi
pusat “aturan” dan situasi “laras” itu (lih. Mircea Eliade, The Sacred and
the Profane).
Di kalangan rakyat dalam pelbagai
kebudayaan terdapat ungkapan-ungkapan khas dari usaha mereka menemukan Allah
dan ungkapan sikap-sikap batin kepadaNya, yang secara teknis disebut religiositas
(cita-rasa keagamaan), atau malahan religio (agama) rakyat (lih. EN
48). Sehubungan dengan ini Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan Kedua
menyatakan: “Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara
dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah
dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya" (GS 19).
Salah satu metode menemukan Allah
adalah Teologi kodrati, yaitu cabang filsafat yang memelajari keberadaan
Tuhan dan sifat-sifat-Nya dengan penalaran akal-budi, tanpa semata-mata
mengandalkan ayat-ayat Kitab Suci, tradisi dan institusi agama. Pada suatu masa
Teologi kodrati dikenal sebagai Filsafat Ketuhanan. Pada abad ke-18, dengan
pergeseran nuansa fokusnya (pada kemalangan yang dialami umat yang percaya
kepada Allah, dalam kaitan dengan kemahakuasaan Allah) disebut Teodise, mengikuti buku karangan
Leibniz, Theodicy (1710). Matematikawan
dan fisikawan John Polkinghorne yang adalah seorang Kristiani, dan sebagian
dari rekan-rekannya yang ilmuwan bukan-Kristiani yang bersama-sama dengan dia,
berkecimpung di dalam teologi kodrati. John Polkinghorne menyatakan percaya
pada partikel yang tidak kelihatan dan peristiwa-peristiwa, seperti quark [partikel dasar dalam inti atom
yang membentuk proton dan mengandung muatan listrik, yang sejak 1969 melahirkan
para pemenang Hadiah Nobel di bidang fisika: Murray Gell Mann (1969), Burton Richter
(1976), Samuel C.C. Ting (1976), Makoto Kobayashi (2008) dan Toshihide Maskawa
(2008)], dan quasar [singkatan dari quasi-stellar, benda langit hipotetis seperti bintang yang menjadi sumber
gelombang radio dan memancarkan sinar biru terang dan ultra-violet].
Bagi Polkinghorne fenomena hipotetis
percaya pada adanya partikel yang tak kelihatan itu juga menjadi cara terbaik
untuk memaknai fenomena lainnya, seperti lecutan elektron. Polkinghorne yakin
bahwa adalah mungkin “untuk menggunakan strategi semacam itu sehubungan dengan
realitas yang tidak kelihatan dari Allah. Keberadaan Allah membuat banyak aspek
dari pengetahuan dan pengalaman kita punya makna” (Lih John Polkinghorne, Quarks,
Chaos, and Christianity, hal 99). Setelah tiga puluh tahun bergiat sebagai
ilmuwan, John Polkinghorne kemudian menjadi pastor Gereja Anglikan.
Juga dapat disebutkan di sini nama
Paul Davies, yang menulis tentang rancangan penciptaan (The Cosmic Blueprint, 1988).
Setelah ledakan besar “Big Bang”, dalam situasi kacau, ia mendapatkan kesan
mulai ada rancangan yang rumit, rapi dan terarah di dalam semesta. Karyanya itu
melengkapi karya Sir Fred Hoyle, seorang dom
dari Cambridge yang menulis tentang
suatu prinsip antropik yang tampak dalam alam semesta (dalam bukunya yang terbit
lebih dahulu: The Intelligent Universe, 1983) – yaitu bahwa kosmos ini
tampaknya dirancang sedemikian sehingga dapat dicerap oleh pemahaman umat
manusia. Ia menyatakan bahwa peluang suatu sel sederhana untuk berevolusi
menjadi bentuk kehidupan yang lebih tinggi adalah satu dibanding 10 pangkat 40.000,
sama dengan peluang suatu tornado menyapu suatu lapangan timbunan rongsokan dan
berhasil merakit suatu pesawat Boeing 747 dari material yang ada di sana.
Seorang Kristiani lainnya, Arthur Peacock, dalam buku God and the New Biology dan banyak buku lain melakukan penalaran
yang serupa memelajari bukti-bukti dari organisme yang hidup.
Santo Paulus menulis: “Dari karyanya
sejak dunia diciptakan, apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya
yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran” (Rm 1:20). Tuhan
sendiri tidak kelihatan, namun “jelas” dapat diketahui dari karya-karya-Nya
yang tampak.
Santo Paulus mengukuhkan keniscayaan
dari teologi kodrati, yang sudah dilaksanakan selama beberapa abad sebelum
Kristus oleh para filsuf, dari zaman Plato dan Aristoteles. Para apologet
Gereja awal sering membangun dalih-dalih mereka berdasarkan fondasi yang telah
digelar oleh para filsuf kuno yang belum mengenal Tuhan itu. Maka teologi
kodrati jelas niscaya. Ia terbukti efektif dan dapat meyakinkan, jauh sebelum
Kristus. Teologi kodrati juga dikukuhkan dengan tegas oleh Gereja Katolik
sebagai suatu metode. Konsili Vatikan yang Pertama menyatakan soal ini dengan
pasti: “Bunda Gereja yang kudus memegang teguh dan mengajar bahwa Allah, asal
dan tujuan segala mahluk, dapat dikenali dengan pasti dari merenungkan segala
ciptaan, dengan daya-daya kodrati akal budi manusia...” (KGK 36; Konsili
Vatikan I, DS 3004).
Maka
marilah kita lihat sebagian dari cara-cara pikiran manusia yang bergerak (atau
mengarah) pada suatu tatanan untuk mencapai iman kepercayaan yang bermotivasi
dan masuk akal, yaitu iman akan keberadaan Tuhan. Bagian uraian tentang Teologi
Kodrati di sini sebagian besar bersumber dari Scott Hahn, Reasons to
Believe, 2007, hal 27-35.
Tentang Dalih Positif
Selama
berabad-abad, para filsuf dan orang kudus mengajukan berbagai-bagai petunjuk
tentang keberadaan Tuhan. Sebagian orang menyebutnya “bukti” atau “argumen”
(dalih). Mungkin yang paling terkenal adalah yang berasal dari Santo Tomas
Aquinas, yang biasanya disebut “Lima Jalan”, dalam bahasa Latin disebut Quinquae
Viae.
Santo Tomas Aquinas sendiri bukanlah
orang pertama yang menunjukkan (dari akal budi dan pengalaman) cara bagaimana
kita mengenal keberadaan dan sifat-sifat Tuhan; dan “Lima Jalan” yang
ditunjukkannya itu juga tidak menepiskan pelbagai kemungkinan dan keniscayaan
cara yang lainnya. Peter Kreeft dan Ronald Tacelli SJ malah menyampaikan dua
puluh dalih untuk keberadaan Tuhan dalam buku mereka; dan jumlah itupun juga
hanyalah beberapa percontoh yang mewakili saja (lih. Handbook of Catholic Apologetics, Bab 3, 2009).
Kita perlu ingat pula bahwa banyak
dari petunjuk tentang keberadaan Tuhan sampai kepada kita dari suatu masa di
mana para filsuf mengandaikan adanya kepercayaan universal pada “yang Ilahi”.
Melalui sejarah, kebanyakan orang yang waras mengakui adanya “yang Ilahi”. Bisa
saja mereka bersikap agnostik terhadap sifat-sifat atau hakekat “yang Ilahi”
itu; namun mereka mengakui keniscayaan dari keberadaan Allah atau ilah-ilah
(dewa-dewa, misalnya). Ini berlaku baik bagi orang-orang bukan-Kristiani maupun
orang Kristiani juga. Santo Tomas Aquinas menyusun Lima Jalan berdasarkan
landasan yang telah dibentangkan oleh Plato dan Aristoteles, yang sama-sama
orang Yunani yang tidak mengenal Tuhan, dan hidup empat abad sebelum Yesus
Kristus. Mereka itulah (bukan Kitab Suci) yang mempunyai wibawa atau wewenang
primer bagi Santo Tomas Aquinas di dalam menunjukkan cara untuk mengetahui
keberadaan Allah. Di dalam dunia kuno, kata ateisme
menyatakan lingkup terbatas penyangkalan
akan Allah yang ortodoks (atau para dewa). Barulah pada abad
kesembilan-belas istilah itu dengan serius mengungkapkan lingkup penyangkalan
mutlak terhadap setiap keilahian; dan penyangkalan itu mengakibatkan hilangnya
banyak sekali iman – tentu saja termasuk hilangnya setiap pengertian akan
Allah.
Keberadaan Allah sekurang-kurangnya
masuk akal – malahan bisa dikatakan
“dengan sendirinya jelas”, – dan pada umumnya kita dapat melalukan penalaran
yang baik dari apa yang disebut “bukti-bukti” atau “petunjuk”. Semua petunjuk
dapat disurutkan menjadi, entah pengalaman inderawi (“melihat berarti
percaya”), entah apa yang disebut bukti quia (indikatif), yaitu dalih-dalih nalar yang melakukan runutan, pelacakan,
bergerak mundur ke balik suatu bukti, dari akibat-akibat kepada suatu sebab
yang niscaya dari akibat-akibat itu, seperti yang mungkin dilakukan sekelompok
detektif di tempat kejadian perkara –
dengan akal budi melacak seorang pencuri dari adanya jejak kaki, sidik jari,
dan jejak-jejak lain yang ditinggalkannya. Karena “tidak ada seorang pun yang
pernah melihat Allah” (1 Yoh 4:12), semua petunjuk mengenai keberadaannya
merupakan petunjuk quia (indikatif).
Cara yang Ditempuh
Santo
Tomas Aquinas, teolog, pujangga Gereja, 1225-1274, mengawali Lima Jalan dengan
“argumen gerakan” (untuk suatu bahasan yang bagus mengenai pemahaman St Tomas
akan preambula fidei atau pengantar iman, lihat Ralph McInerny, 2006, Preambula Fidei: Thomism and the God of the
Philosophers. CUA Press). Kita juga dapat menyebutnya argumen “perubahan”.
Mulainya dari suatu fakta sederhana: segala sesuatu di dunia yang kita alami
dan kita ketahui mengalami perubahan,
bergerak dari potensi menjadi wujud nyata. Segala sesuatu bergerak atau
berubah. Namun tak ada yang bergerak atau berubah sendiri. Semua yang bergerak
pasti digerakkan oleh sesuatu yang sudah bergerak. Namun rangkaian penggerak
itu tidak bisa dirunut mundur sampai tak terhingga. Pasti ada suatu permulaan
yang tidak bergerak. Penggerak pertama (prime mover) yang tidak bergerak itu
kita sebut Tuhan.
Suatu analogi (contoh persamaan):
bayangkan Anda sedang berkendara sampai di suatu persilangan dengan jalan
kereta api, dan melihat suatu rangkaian kereta melintas. Anda melihat gerbong
demi gerbong, belasan gerbong. Anda sampai di tempat itu ketika kereta sudah
berjalan, sehingga Anda tidak melihat
mesin lokomotifnya. Tetapi Anda tentu yakin bahwa kereta itu pasti punya mesin;
karena jika Anda melihat suatu kereta bergerak, Anda tahu ada sesuatu yang
menggerakkannya. Suatu mesin lokomotif menariknya. Jika Anda berusaha
memecahkan masalah dengan menempatkan fakta serangkaian gerbong yang tak ada
habisnya itu sebagai dasar argumen, Anda tidak perlu menghentikan jalannya
kereta itu untuk menjelaskan gerakannya. Maka Anda memperluas masalah Anda
(dari bagian yang Anda lihat sampai lokomotif di ujungnya), sampai tak tertingga juga. Jika Anda
menyangkal adanya mesin itu, maka Anda memperbesar lagi lingkup permasalahan
Anda itu, untuk mendapatkan penyebab yang jauh lebih besar lagi dan luar biasa
dari gerakan rangkaian gerbong yang sedemikian panjang itu.
Analogi kereta itu mengantar pada
Jalan St Tomas Aquinas yang kedua: argumen penyebab efisien. Argumen ini
sama dengan argumen yang pertama. Mulainya dengan memperhatikan bahwa setiap
akibat punya suatu sebab. Namun, rangkaian sebab-akibat tidak dapat melampaui
rangkaian gerak dalam hal ketidak-berhinggaannya. Namun setiap sebab dalam
rangkaian itu tidak dapat dianggap sebagai permulaan yang paling ujung; sebab,
jika kita menyangkal adanya akibat yang sekaligus sebab, kita menihilkan
seluruh rangkaian akibat itu. Kita tidak dapat mundur sampai tak terhingga
merunut sebab-sebab, kita harus menempatkan suatu argumen dasar tentang sebab
pertama yang tidak ada penyebabnya lagi, dan sebab pertama itu adalah Allah.
Jalan yang ketiga berdasarkan kemungkinan
dan keniscayaan. Kita memperhatikan semua hal berubah. Keberadaannya
berasal dari suatu yang lain. Semua yang kita lihat di dunia ini tidak muncul
tiba-tiba dari ketiadaan, melainkan berasal dari sesuatu yang lain, terkait
dengan keberadaan sesuatu yang lain itu. Dan sekali lagi, rantai asal-muasal
yang tak terhingga adalah tak terpikirkan, absurd. Tidaklah cukup menyatakan
suatu rangkaian keberadaan, yang masing-masing dan semuanya, membutuhkan adanya
suatu sebab. Jika keberadaan-keberadaan bersifat bergantung pada yang lain,
maka harus ada keberadaan terakhir yang tidak berubah dan tidak bergantung pada
yang lain, namun niscaya – berada dalam dan dari dirinya sendiri. Dan
keniscayaan ini kita sebut Allah.
Dalam ketiga “Jalan” pertama ini St
Tomas Aquinas mengemukakan argumen kosmologis (berhubungan dengan alam
dunia). Ia melakukan penalaran dari bukti fisik. Dalam dua “Jalan” selanjutnya,
ia mengalihkan dasarnya, dari penalaran kosmologis kepada penalaran teleologis
(berhubungan dengan tujuan akhir), dari pemikiran tentang asal-muasal kepada
pemikiran tentang maksud dan tujuan akhir.
Jalan keempat berkenaan dengan derajat
kesempurnaan. St Tomas Aquinas memperhatikan bahwa kita semua menilai
segala sesuatu punya tingkatan kesempurnaan lebih atau kurang dari yang lain.
Kita mengatakan sesuatu lebih benar atau kurang benar, lebih bagus atau kurang
bagus, dan sebagainya. Pengukuran semacam itu mengandaikan adanya suatu ukuran
standar (baku) yang mutlak. Suatu pita pengukur tentu menunjukkan jarak di
antara kedua ujung. Kadarnya – mungkin dalam inci (atau sentimeter), kaki, yar
(atau meter), atau mil (atau kilometer) – dicantumkan pada pita itu berkaitan
dengan standar yang mutlak atau konstan (tetap). Ini berlaku untuk segala
kualitas. Namun pasti ada semacam standar yang sempurna yang merupakan dasar
pengukuran segala kualitas itu. Dan kepenuhan segala kesempurnaan itu kita sebut
Allah.
Jalan yang kelima adalah argumen
rancangan atau finalitas (dengan kata lain “tindakan cerdas”). St
Tomas mengawalinya dari pengamatan bahwa semua yang kekurangan pengertian tetap
bekerja menuju maksud tertentu. Tampaknya mereka punya tujuan tertentu dan
mengikuti pola tertentu, “hukum” alam tertentu – hukum gravitasi,
termodinamika, dan sebagainya – dan semua hukum yang banyak ragamnya ini
tampaknya bekerja dengan suatu tatanan yang teratur. Sehubungan dengan makna
finalitas atau rancangan yang lebih rinci, bisa dilihat Benedict M. Ashley,
2006, The Way Toward Wisdom: An
Interdisciplinary and Intercultural Introduction to Metaphysics, hal
322-381. Jika kita menerapkan bukti-bukti ini pada fisika modern, kita berdiri
dalam suatu kosmos yang menakjubkan, yang berfungsi dengan cara yang stabil dan
dapat diperkirakan kendati ada peristiwa-peristiwa kesalahan (anomali) yang
terjadi terus menerus dalam tingkatan sub-atomik (di bawah tingkatan atom).
Sejak tahun 1993 muncul wacana tentang
‘rancangan cerdas’ dan ‘kompleksitas yang tidak dapat direduksi’ dalam
tatanan ciptaan. Michael Behe, seorang ahli biologi sel dalam bukunya Darwin’s Black Box (2006) menyatakan
bahwa ada struktur-struktur yang rumit yang tidak dapat dijelaskan dengan teori
evolusi, dan harus diakui sebagai ‘kompleksitas yang tidak dapat direduksi’,
yang sejak semula terjadi karena ‘rancangan cerdas’ Sang Pencipta. Kendati ada
bermacam-macam teori evolusi – dan beberapa komentator yang mendukung teori
evolusi berusaha menentang rancangan cerdas itu – namun sebenarnya hanya
menegaskan “Jalan” kelima itu. Bagi Charles Darwin (ahli biologi dari Inggris,
1809-1882, yang terkenal dengan karyanya The
Origin of Species [1859] tentang evolusi dan menjadi perintis aliran
pemikiran Darwinime) dan bagi Tomas Aquinas, alam mengikuti hukum besi tertentu
dan mengejar tujuan tertentu dalam tatanan yang teratur dan dapat diramalkan.
Sekalipun dalam Darwinisme (lih Etienne Gilson, From Aristotle to Darwin and Back again: A Journey in Final Causality,
Species, and Evolution, 1984) alam mengikuti suatu proses seleksi; yang
terkuat akan bertahan. Semua ini menyiratkan adanya tujuan, tatanan, standar
dan akhir.
Bahkan hal-hal yang tidak cerdas pun
turut berfungsi dalam suatu cara yang mencerminkan maksud yang sudah tertata.
Ada suatu desain, suatu rancangan. Dan jika ada suatu rancangan, tentu ada
perancangnya.
Ambillah suatu analogi : Anda
berjalan-jalan di suatu pantai dan Anda melihat sesuatu yang berkilat-kilat
terkena sinar matahari. Anda membungkuk dan memungutnya: suatu benda logam
kecil, bulat dan permukaannya dilapisi kaca. Anda memperhatikan ada suara
tik-tik-tik-tik-tik, dan Anda melihat di balik kaca itu ada gigi-gigi, per,
sekrup dan tanda-tanda ukuran. Semua benda itu digabungkan dengan tepat dan kompak.
Nah, apakah benda itu? Dan bagaimana proses keberadaannya? Apakah karena hasil
dari gelombang yang tak terbilang banyaknya yang melanda pantai, menggerus
karang jadi pasir – pasir yang kemudian dibentuk kembali oleh angin dan
kemudian menghasilkan konfigurasi yang bergerak dengan sangat tepat itu?
Dapatkah otak manusia membayangkan
proses semacam itu? Ya, tetapi proses seperti itu tidak mungkin. Dengan cara
yang sama, ketika Anda mempelajari ciptaan, Anda melihat bukti desain, dan
desain itu merujuk pada seorang desainer. Mata merupakan suatu sistem dari
kompleksitas yang tidak dapat direduksi,
yang terdiri dari suatu retina, kornea, lensa, pelumas yang mengandung air dan
bersifat seperti kaca. Mata seperti itu tidak mungkin menjadi hasil dari suatu
proses yang sembarangan. Mata diciptakan dengan suatu desain tertentu, dan
dibuat untuk melihat; dan masing-masing bagiannya mengandaikan berfungsinya
seluruh bagian yang lain. Apakah organ itu melayani tahap-tahap hipotetis
sebelumnya – sebelum organ itu bisa melihat? Sama sekali tidak. Mata itu dibuat
dengan mengingat tujuannya : untuk melihat. Segala sesuatu juga mengandung
kebenaran seperti itu, dari partikel sub-atomik dan sel-sel sampai pada sistem
dan galaksi matahari. Ilmu empiris menjadi mungkin karena semesta ini teratur,
terpola, simetris, dapat dicermati, dan (sekurang-kurangnya dalam derajat
tertentu) dapat diukur dan dapat diduga.
Kita dapat menyimpulkan dengan nalar
bahwa alat yang kita temukan di pantai itu berasal dari suatu pabrik pembuatan,
dan pabrik pembuatan itu punya tujuan ketika membuatnya. Sebuah jam tentu
memerlukan pembuat jam. Dengan demikian, semesta yang teratur juga memerlukan
adanya pencipta yang cerdas; dan kita menyebut pencipta itu Allah.
Menurut Kitab Suci: “Allah yang telah
menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi,
tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia,
seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas
dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja (Adam), Ia (Allah)
telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi
dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman
mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia,
walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup,
kita bergerak, kita ada” (Kis 17:24-28).
Sekalipun ada banyak orang mempunyai
kecenderungan kodrati yang merindukan atau mencari Allah, namun sebagian yang
lain ada yang ragu apakah Allah itu ada, atau ragu bahwa kita dapat mengenal
atau bisa mengetahui sesuatu tentang Allah dengan pasti. Bahkan orang yang
menyebut diri Kristiani-pun, termasuk para religius sekali pun, masih bisa
punya keraguan, dan kadang-kadang mempertanyakan hakekat dan bahkan keberadaan
Allah.
[Bersambung]