Kitab
Suci (dari bahasa Yunani biblia, artinya “kitab-kitab”, “buku-buku”)
adalah kumpulan tujuh puluh tiga kitab yang diyakini Gereja sebagai pernyataan
wahyu Allah yang tertulis. Untuk mewahyukan diri, Allah dalam kebijaksanaan dan
kebaikanNya menyapa kita dalam bahasa manusia (KGK 101). “Karena di dalam
kitab-kitab suci Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih datang menjumpai
anak-anakNya dan berbicara dengan mereka” (DV 21). Sabda Allah yang agung,
Yesus Kristus, diungkapkan dalam kata-kata yang telah dipercayakan penulisannya
kepada berbagai penulis suci. Maka dalam Kitab Suci "Sabda Allah yang
diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi,
seperti dahulu Sabda Bapa yang kekal dengan mengenakan daging kelemahan
manusiawi telah menjadi serupa dengan manusia" (DV 13). Semua
“kitab-kitab” dihimpun membentuk satu “Kitab” saja, sebab Allah adalah
pengarang ilahi dari mereka semuanya, secara bersama-sama mereka memberi
kesaksian akan satu rencana keselamatan dari Allah.
Baca Juga : Pentradisian Wahyu Ilahi
Secara keseluruhan isi Kitab Suci
adalah Yesus Kristus. Melalui kata-kata Kitab Suci, Allah hanya menyampaikan satu
kata saja: yaitu Sabda-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia, Allah mengungkapkan
Diri seutuhnya. Menurut Santo Agustinus: "Sabda Allah yang satu dan sama
berada dalam semua Kitab; Sabda Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut
semua penulis Kitab yang suci. Dan karena sejak awal Ia adalah Allah pada
Allah, Ia tidak membutuhkan suku-suku kata, karena Ia tidak bergantung pada
waktu" (Psal. 103,4,1). (KGK 102).
Kitab Suci terus menerus memberikan
santapan dan kekuatan kepada Gereja, sebab Gereja menerimanya bukan sebagai
kata-kata manusia, “tetapi – dan memang sungguh-sungguh demikian – sebagai
Sabda Allah” (1Tes 2:13). “Dari sebab itu Gereja selalu menghormati Kitab-Kitab
Suci sama seperti Tubuh Kristus sendiri” (DV 21). Gereja setiap hari tak
putus-putusnya menyajikan kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima
baik dari meja Sabda Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus, dalam Ekaristi (KGK
103). Ketika kita mengucapkan doa Bapa Kami dan memohon agar Allah memberi kita
“rejeki hari ini”, kita juga berdoa untuk menerima Yesus, sang Roti Hidup, dan
makanan yang diperlukan tubuh kita (lih Yoh 16:27). Dan dengan demikian, dari
Kitab Suci Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya karena di
dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi Sabda Allah (KGK
104), yaitu Yesus, sang Roti Hidup.
Inspirasi atau Ilham Ilahi
"Bunda
Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua
bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis
dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2Tim 3:16; 2Ptr 1:19-21; 3:15-16), dan
dengan Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaan demikian diserahkan
kepada Gereja" (DV 11; KGK 105). Pengertian ilham ilahi menunjukkan posisi
Allah sebagai pengarang Kitab Suci ditegaskan oleh Gereja beberapa kali sejak
Konsili Vatikan I. Misalnya, pada tahun 1893, melalui Ensiklik Providentissimus
Deus art 41 dari Paus Leo XIII, pada tahun 1920 dalam Ensiklik Spiritus
Paraclitus art 3, dari Paus Benediktus XV, pada tahun 1943 dalam Ensiklik Divino
Afflante Spiritu art 1 dari Paus Pius XII, dan lagi pada tahun 1965, dalam
Konstitusi Konsili Vatikan II, Dei Verbum art 11.
Defisini ilham ilahi itu ditentukan
untuk menangkal pengertian yang tidak benar. Antara lain pandangan para teolog
abad kesembilanbelas D. Haneburg dan J. Jahn. Haneburg menyatakan suatu teori
mengenai persetujuan berikutnya, di mana Kitab Suci mula-mula ditulis
oleh pengarang manusia, dengan cara yang sepenuhnya manusiawi, tetapi kemudian
mendapat persetujuan dari Gereja. Teori yang ditolak Gereja ini, mengartikan
ilham ilahi bukan merupakan unsur intrinsik di dalam teks Kitab Suci, melainkan
sesuatu yang diberikan oleh Gereja. Di pihak lain, Jahn menyatakan suatu teori
tentang bantuan negatif, artinya Tuhan mencegah para pengarang Kitab
Suci menyatakan sesuatu apapun yang tidak benar dalam tulisan mereka. Teori ini
juga ditolak oleh Konsili bukan karena Kitab Suci mengandung hal-hal yang
salah, tetapi karena di dalam teori itu kepercayaan Gereja bahwa Kitab Suci
adalah Sabda Tuhan tidak diperhitungkan.
Tulisan manusia yang tidak mengandung kesalahan tetap saja merupakan tulisan
manusia, dan atas dasar alasan tak ada kekeliruan itu saja, orang tidak bisa
mengatakan bahwa Tuhan bersabda dan mengungkapkan kehendakNya dalam Kitab Suci
(Scott Hahn, Catholic Bible Dictionary, 2010).
Adalah fakta bahwa Kitab Suci
sungguh ditulis dengan pena oleh pengarang manusia di bawah pengaruh Roh Kudus.
Maka ilham ilahi lebih penuh digambarkan sebagai suatu misteri kepengarangan
ganda – bahwa Tuhan dan manusia bersama-sama [secara tandem] menyusun
teks Kitab Suci. Namun telaah-telaah modern semakin memberikan perhatian kepada
sumbangan manusia. “Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis Kitab Suci.
‘Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang
digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri,
supaya - sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka - semua itu dan hanya
itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang
sungguh-sungguh’ (KGK 106; DV 11). Rahmat yang memberi ilham dari Roh Kudus
tidak menindas kebebasan dan kesadaran pribadi para penulis suci, mereka juga
bukan sekedar pasif, bertindak sebagai
juru steno yang mencatat apa yang didiktekan. Sebaliknya, para pengarang
manusia adalah benar-benar mengarang Kitab Suci dan secara aktif terlibat di
semua tahap penyusunan karyanya. Kebenaran dari pengamatan ini ditampilkan pada
gaya yang khas dan temperamen dari para pengarang Kitab Suci. Misalnya, tak ada
yang meragukan jejak kepribadian Paulus yang tertuang dalam surat-suratnya, dan
bahwa gaya pribadi itu jelas berbeda dari pengarang lain seperti Matius atau
Yohanes atau Petrus atau Yudas.
Sebagian teolog yang menulis sesudah
Konsili Vatikan I masih mengajukan lingkup ilham ilahi yang sempit. Teori yang diajukan
A. Rohling (1872), membatasi ilham ilahi hanya pada pernyataan-pernyataan
mengenai iman dan moral; F. Lenormant (1880) membatasi ilham ilahi pada
pemaparan ajaran yang tidak dikenal akal budi; dan dari Kardinal J.H. Newman
(1884) menyatakan bahwa ilham ilahi tidak meliputi komentar-komentar sambil
lalu (obiter dicta) yang tidak mempunyai muatan ajaran atau moral.
Namun Gereja menolak semua
usaha-usaha yang membatasi ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab
Suci saja. Paus Leo XIII pada tahun 1893 membuat penjelasan: “Namun sungguh
keliru dan terlarang baik untuk menyempitkan ilham ilahi pada bagian-bagian
tertentu dari Kitab Suci saja atau mengakui bahwa para penulis suci sudah
melakukan kesalahan. Demi cara kerja dari mereka yang, di dalam rangka
melepaskan diri dari kesulitan, tidak ragu menyatakan bahwa ilham ilahi hanya
menyangkut soal iman dan ajaran dan tidak menyangkut yang lain, maka (karena
mereka berpikir keliru) dalam mempersoalkan kebenaran atau kekeliruan suatu
ayat, kita tidak begitu mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan melainkan apa
maksud dan tujuan yang dipikirkanNya dalam menyatakannya – maka cara kerja itu
tidak bisa diterima (Provindentissimus Deus art 40).
Alih-alih menerima pengertian ilham
ilahi sebagian, Paus justru menegaskan kembali ilham ilahi yang menyeluruh. Ini
adalah keyakinan bahwa seluruh isi Kitab Suci diilhami ilahi – semuanya maupun
setiap bagiannya, tidak peduli apapun yang dibahas atau dikatakan.
Akhirnya ada persoalan apakah ilham
ilahi yang menyeluruh itu juga meliputi ilham atas kata- kata sepenuhnya. Dengan kata lain, apakah Roh Kudus membimbing
para pengarang Kitab Suci di dalam memilih tiap-tiap kata untuk Kitab Suci?
Suatu jawaban yang negatif datang kembali dari teolog abad kesembilan belas,
kardinal J.B. Franzelin. Ia mengajukan suatu teori yang kadang-kadang disebut
“ilham atas isi”, yang menguraikan bahwa Roh Kudus membekali penulis suci
dengan gagasan pokok yang harus disampaikan dalam Kitab Suci tetapi menyerahkan
kepada si penulis pertimbangan-pertimbangan untuk mengungkapkan gagasan itu
dengan kata-kata yang tepat. Menurut pandangan ini, Kitab Suci menyampaikan
suatu pesan atas ilham ilahi dalam bahasa yang tidak terilhami. Kardinal
menyatakan bahwa Roh Kudus dengan cara negatif mencegah pengarang manusia dalam
penggunaan kata-kata yang tidak sesuai, namun pilihan positif atas kata-kata
pada dasarnya masih merupakan pilihan manusia.
Teori Franzelin mengenai ilham
non-verbal itu dengan cepat dihadang oleh banyak kritik pada permulaan abad
kedua puluh, sehingga hanya mempunyai sedikit pengikut saja. Dan walaupun
Gereja tidak pernah secara resmi menolak atau membahas pandangan itu secara
eksplisit, namun pada umumnya pandangan itu disikapi sebagai teori tentang
ilham ilahi yang mempunyai kekurangan mendasar, yaitu yang secara simplistis
dan artifisial memisahkan kata dan gagasan.
Tidak Mengandung Kekeliruan
Ada
banyak akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis. Yang
paling banyak diperdebatkan sebagai akibat dari ilham ilahi adalah soal “tidak
mengandung kekeliruan”, yaitu keyakinan bahwa Kitab Suci benar dan bisa
dipercaya, tidak mengandung sesuatu yang salah, sesat atau menyesatkan. Ini
merupakan akibat logis dari Allah sebagai Pengarang Kitab Suci – jika Allah
adalah pengarang utama Kitab Suci, dan Alllah sendiri adalah kebenaran yang
sempurna, maka seluruh pernyataan Kitab Suci tentulah amat sangat benar. Gereja
purba percaya mengenai hal ini dengan mutlak. Pada awal abad kedua para teolog
menyatakan bahwa Kitab Suci seluruhnya sempurna (Santo Ireneus, Adversus
Haereses, 2.28.2) dan benar (Santo Klemens dari Roma, 1 Klem 45.2).
Kendati ada tegangan-tegangan yang nyata di dalamnya, tidak ada yang
kontradiktif (Santo Yustinus Martir, Dial,
65). Perasaan yang sama dikemukakan disepanjang masa patristik dan abad tengah,
hingga sampai zaman Pencerahan di Eropa, ketika seluruh tradisi konsensus
Kristen pertama kalinya mendapat tantangan serius.
Timbulnya tantangan ini dipicu oleh
lahirnya kritik historis dalam penafsiran Kitab Suci, yang mengarahkan sorotan
kepada berbagai kesenjangan ketika Kitab Suci bersentuhan dengan persoalan
sejarah, geografis, keilmuan dan moral. Jika demikian bagaimana kita dapat
mencocokkan sifat alkitab yang tanpa kekeliruan dengan perbedaan-perbadaan yang
tampak atau kontradiksi dalam Kitab Suci? Misalnya, keempat Injil menyajikan
cerita yang berbeda (dan kadang-kadang bertentangan) tentang kapan dan di mana
sesuatu terjadi dalam pelayanan umum Yesus dan sesudah kebangkitanNya. Masalah
yang sama dapat diajukan sehubungan dengan sifat tanpa kekeliruan dari
Perjanjian Lama. Kadang-kadang
pertanyaan itu menyangkut akurasi sejarah. Kadang-kadang cerita yang berbeda
dari peristiwa yang sama dicantumkan, semisal tentang penciptaan dalam Kej 1:1
– 2:3 dan di dalam Kej 2: 4-25, atau cara Allah menyibakkan Laut Merah dalam
Kel 14:21 dan Kel 14:22-29. Secara historis semua ini dipandang sebagai
“kesenjangan yang nyata”, kesulitan-kesulitan yang diharapkan Tuhan tetap ada
dalam Kitab Suci untuk menimbulkan kerendahan hati para pembacanya. Tentu saja
sudah makin banyak upaya yang dilakukan untuk memecahkan teka-teki yang terdapat
pada ayat-ayat yang bermasalah itu, tetapi tak seorang pun di masa Kristen kuno
yang punya anggapan bahwa Kitab Suci keliru. Namun pada abad ketujuhbelas dan
kedelapan belas para ahli dengan berbagai cara dan pendekatan mulai meragukan
Kitab Suci karena mengandung “kesenjangan yang nyata” baik dalam hal fakta
maupun perspektif.
Di tengah-tengah krisis yang timbul
itu, Paus Leo XIII menerbitkan suatu pernyataan yang kuat dan menentukan
mengenai ketidak-keliruan Kitab Suci, menegaskan kembali tradisi Gereja yang
sudah lama berlaku. Bertolak dari anggapan bahwa Allah adalah pengarang Kitab
Suci, ia menyatakan: “Maka semua Kitab-kitab yang oleh Gereja diyakini suci dan
kanonik, ditulis semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya karena
didiktekan Roh Kudus. Dengan demikian sungguh tidak mungkin ada kesalahan di
dalamnya yang berdampingan dengan ilham ilahi, sebab ilham ilahi itu pada
dasarnya bukan saja tidak setara dengan kesalahan, tetapi juga menyisihkannya
dan menolaknya secara absolut dan niscaya, sebagaimana mustahil Tuhan sendiri
yang adalah Kebenaran Tertinggi mengucapkan sesuatu yang tidak benar” (Povidentissimus
Deus, art 40).
Ini merupakan pernyataan resmi
Gereja yang pertama mengenai sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan secara
tidak terbatas. Namun, karena beberapa ahli merasa bahwa ajaran Paus itu tidak
memadai, maka muncullah sejumlah teori mengenai sifat tidak mengandung
kekeliruan yang terbatas dari Kitab Suci yang menyatakan, misalnya, bahwa
kesalahan-kesalahan bisa timbul dari pengarang manusia, bukan dari pengarang
ilahi Kitab Suci, atau, jika tidak, mereka membatasi sifat tidak keliru Kitab
Suci itu ada di bidang kebenaran agama, namun tidak dalam hal
pernyataan-pernyataan realitas yang merujuk kepada soal-soal profan. Untuk itu,
Paus Benediktus XV dengan kuat menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII bahwa
Kitab Suci “mutlak bebas dari kekeliruan” dan menambahkan, “Kita tidak pernah
menyatakan bahwa ada satu kekeliruanpun dalam Kitab Suci” (Spiritus
Paraclitus, art 5). Begitu pula Paus Pius XII menegaskan lagi ajaran Leo
XIII bahwa Kitab Suci bebas dari “kekeliruan apapun” dan menyatakan bahwa
kebenarannya tidak terbatas “hanya pada soal iman dan moral” (Divino
Afflante Spiritu art 1). Sesungguhnya, karena berlangsungnya perlawanan
pada ajaran ini, Pius terpaksa mengulas persoalan itu lagi dalam tempo tak
sampai satu dasa warsa kemudian, ketika ia mengeluh, “Ada yang keterlaluan...
mengemukakan lagi pendapat yang sudah begitu sering dikecam, yang menyatakan
bahwa Kitab Suci bebas dari kekeliruan hanya pada bagian-bagian Kitab Suci yang
menyangkut perlakuan kepada Tuhan, atau soal moral dan keagamaan saja” (Humani
Generis, art 22).
Pernyataan yang paling baru mengenai
Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan dikeluarkan Konsili Vatikan II
dalam Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, pada tahun
1965. Anehnya, perkataan dalam dokumen utama ini yang pada dasarnya menyarikan
ajaran Gereja tentang Kitab Suci dan Tradisi Suci, oleh banyak orang dikatakan
menjauh dari ajaran klasik mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang
dikemukakan oleh para paus. Pernyataan yang terkait berbunyi sebagai berikut: “Oleh
sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang
diilhami ilahi atau para penulis suci, harus dipandang sebagai pernyataan Roh
Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan
setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya
dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (DV 11;
dikemukakan kembali dalam KGK 107).
Persoalan yang timbul dari
pernyataan itu adalah: apakah Konsili Vatikan II menegaskan kembali suatu
doktrin tentang sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas, melanjutkan
ajaran para paus yang terdahulu, ataukah suatu pendirian mengenai sifat tidak
mengandung kekeliruan terbatas, yang dengan demikian berbeda dari tradisi
ajaran dari semua abad sebelumnya? Banyak yang menyatakan bahwa Konsili Vatikan
II menunjukkan suatu perubahan inovatif di dalam perspektif Wewenang Mengajar
Gereja di dalam frasa “demi keselamatan kita”. Pernyataan bahwa kebenaran
disampaikan “dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan” hanyalah sejauh
mengenai hal-hal yang langsung berkaitan dengan soal “keselamatan kita”. Konon
atas dasar frasa ini Gereja membebaskan diri, dari soal-soal kebenaran yang
tidak ada kaitannya dengan soal keselamatan di dalam Kitab Suci. Sebagai
implikasinya, pernyataan-pernyataan tentang sejarah, geografi dan berbagai soal
bukan agamis lainnya kini dikatakan berada di luar jangkauan sifat tidak mengandung kekeliruan itu.
Walaupun banyak ahli membela
tafsiran ini dan akhirnya mengikuti pandangan mengenai sifat tidak mengandung
kekeliruan terbatas, ada alasan untuk menganggap bahwa ini merupakan salah pengertian
atas maksud Konsili. Memang ada beberapa indikasi bahwa rumusan Konsili Vatikan
II melanjutkan ajaran para Paus sebelumnya mengenai sifat tidak mengandung
kekeliruan tanpa batas. Kata dari Konstitusi itu menunjukkan maksud dari sifat tidak
mengandung kekeliruan itu, bukan luas cakupannya. Dei Verbum memberikan suatu
catatan kaki atas bagian yang memuat frasa penting itu, dengan mengutip
ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu – satu-satunya catatan kaki yang terpanjang
di seluruh dokumen Konstitusi itu. Dei Verbum merupakan puncak dari
pernyataan para Paus selama satu abad mengenai sifat tanpa kekeliruan dari
Kitab Suci. Di dalamnya terdapat pernyataan dari Santo Agustinus, Santo Tomas
Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, dan Paus Pius XII, yang kesemuanya
menegaskan ilham ilahi atas Kitab Suci dan sifat sama sekali tidak mengandung
kekeliruan. Paus Leo XIII menyebut
ajaran tentang sifat tidak mengandung kekeliruan yang tanpa batas adalah “iman
Gereja sejak awal dan tidak berubah” (Providentissimus Deus 41). Ini
merupakan pandangan patristik dan teolog abad pertengahan, dan pandangan itu
diajarkan dengan kewenangan Paus Leo XIII, Benediktus XV dan Pius XII. Maka
terdapat garis kesinambungan dari kekristenan awal hingga abad pertengahan
sampai pada abad keduapuluh mengenai apa artinya Kitab Suci tidak mengandung
kekeliruan. Maka tentu para Bapa Konsili Vatikan II tidak benar-benar mengubah
pendirian dari ajaran klasik Katolik mengenai soal ini.
Dengan menimbang semua kemungkinan
itu maka ajaran resmi Katolik tetap berkenaan dengan sifat tidak mengandung
kekeliruan tanpa batas. Konsili Vatikan II tidak menerbitkan perubahan apapun
mengenai ajaran ini namun dapat dikatakan memberikan suatu penekanan baru dalam
hubungan dengan frasa “demi keselamatan kita”.
Sifat tidak mengandung kekeliruan
tanpa batas diyakini sebagai sifat Kitab Suci yang sepenuhnya dan seluruhnya
benar di dalam semua pernyataan maksudnya. Di dalam halaman-halamannya tidak
ada yang secara faktual keliru, atau yang berdusta atau menyesatkan. Dalam hal
isinya, Kitab Suci mencerminkan pikiran Allah, yang adalah kebenaran sempurna.
Apa artinya ini pada tingkat praktis
membutuhkan penjelasan. Menurut ajaran Katolik dalam hal ilham ilahi dan sifat
tidak mengandung kekeliruan, Kitab Suci tidak membuat pernyataan yang sifatnya
ilmiah.
Disarankan agar memelajari konteks
naskah alkitab ini dengan cermat, dengan menggunakan disiplin metode yang
tepat, kita dapat memeroleh pengertian yang lebih dalam akan makna teks itu.
Para sarjana kitab suci Katolik memerhatikan bahwa para penulis Injil mempunyai
alasan pengajaran dan teologis tertentu sehubungan dengan cara dan susunan
penempatan peristiwa-peristiwa dalam hidup Yesus yang mereka ceritakan. Komisi
Kitab Suci Kepausan dalam dokumen “The Historicity of the Gospel”, 21 April
1964, menjelaskan bahwa “pengarang Injil merasakan tugas kewajibannya
menceritakan kisahnya sendiri menurut petunjuk Allah dalam ingatannya.
Setidaknya ini benar bagi naskah yang cara penyusunannya tidak mempengaruhi
wibawa atau kebenaran dari Injil. Bagaimanapun, Roh Kudus membagikan karuniaNya
kepada masing-masing orang yang dipilihNya. Karena buku-buku ini harus punya
wibawa, tak pelak lagi Dia pasti membimbing dan mengarahkan para penulis suci
ketika mereka memikirkan hal-hal yang akan mereka tulis; namun Dia mungkin
mengizinkan tiap penulis itu untuk menyusun kisahnya sejauh dianggapnya tepat.
Maka siapapun yang cukup cermat niscaya dapat menyingkapkan tata-susunan ini
dengan bantuan Allah.”
Misalnya fakta bahwa editor terakhir
dari teks itu menempatkan dua cerita yang secara historis berbeda berdampingan
tanpa penjelasan atau penyesalan, mestinya menyatakan sesuatu kepada kita. Yaitu bahwa persoalan akurasi sejarah
tampaknya bukanlah hal (yang mereka yakini) yang dikehendaki Allah untuk
dinyatakan dalam cerita-cerita itu. Sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci
tidak harus dipermasalahkan oleh perbedaan seperti itu. Suatu masalah yang
lebih menekan pada zaman sekarang adalah apakah Kitab Suci “tidak keliru” jika
tampaknya mengajarkan hal-hal yang berbeda dengan hasil temuan ilmu
eksperimental yang modern.
Ajaran dalam Dei Verbum bahwa “dengan teguh dan setia serta tanpa kesalahan
buku-buku Kitab Suci mengajarkan kebenaran yang oleh Allah dikehendaki supaya
dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi
keselamatan kita.” Kata-kata “demi keselamatan kita” itu sangat penting
untuk memahami hal ini dengan tepat..
Sebagai contoh dari prinsip ini,
Santo Agustinus menyatakan bahwa “walaupun para penulis suci itu mungkin
mengenal ilmu perbintangan, namun Roh Kudus tidak menghendaki menyatakan
melalui ilmu perbintangan itu kebenaran apa pun terpisah dari apa yang berguna
bagi keselamatan.” Ia menambahkan bahwa ini mungkin menyangkut ajaran iman atau
moral yang harus dilakukan.
Paus Yohanes Paulus II menyebut
suatu “kekeliruan” dari para teolog di masa lalu
...ketika mengira bahwa pengertian kita akan tata-susunan
dunia fisik kita ini dengan cara tertentu dituntun oleh makna kata-kata Kitab
Suci... Sesungguhnya, Kitab Suci tidak menyibukkan diri dengan rincian dunia
fisik itu, dan pemahaman atas dunia fisik adalah merupakan bidang kompetensi
pengalaman dan akal budi manusia. Ada dua bidang pengetahuan, yang salah
satunya bersumber pada wahyu, dan yang lain harus diungkapkan oleh akal budi dengan
dayanya sendiri. Bidang pengetahuan yang terakhir ini terutama menjadi kancah
bagi sains eksperimental dan filsafat. Perbedaan di antara kedua bidang
pengetahuan ini tidak harus dipandang berhadapan dengan berlawanan. Kedua
bidang pengetahuan ini bukannya sama sekali asing satu sama lain, karena ada
titik-titik hubungan di antara mereka. Metodologi masing-masing memungkinkannya
menyembulkan berbagai aspek yang berbeda dari kenyataan (Pidato di hadapan
Akademi Sains Kepausan, “Iman Tak Pernah Bertentangan Dengan Akal Budi”, Faith
Can Never Conflict With Reason, dalam L’Osservatore Romano, Edisi Bahasa
Inggris, 4 November 1992, hal 2, no. 12.)
Gereja Katolik mengenali prinsip ini
dari renungan dan pengalaman yang panjang. Pada waktu munculnya astronomi modern,
misalnya, Gereja Katolik secara keliru mengutuk ajaran ilmiah dari
Galileo-Galilei bahwa matahari, bukan bumi, adalah pusat sistem galaktika kita.
Teori Galileo tampak tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci dalam hal ini. Sejak
itu ilmu modern mekar berkembang dengan dukungan dan dorongan semangat dari
Gereja Katolik, dan suatu pengertian yang lebih jelas tentang saling-kaitan
antara ilmu, sejarah, dan iman Kristiani dikembangkan.
Paus Yohanes Paulus II menyatakan:
“Dalam abad yang lalu dan pada permulaan abad kita, berbagai kemajuan dalam
ilmu sejarah telah memungkinkannya untuk mendapatkan suatu pemahaman baru atas
Kitab Suci dan atas dunia alkitabiah. Konteks rasionalis di mana data ini
sering diajukannya tampaknya membuat mereka membahayakan iman Kristiani. Orang
tertentu, yang sungguh berniat membela iman, merasa perlu menolak
kesimpulan-kesimpulan yang punya dasar historis kuat. Ini merupakan keputusan
yang tergesa-gesa dan menyedihkan. Karya seorang pionir seperti Pastor Lagrange
dapat membuat penimbangan yang perlu atas dasar kriteria yang dapat
diandalkan.” (Pidato di hadapan Akademi Sains Kepausan, dalam L’Osservatore
Romano, Edisi Bahasa Inggris, 4 November 1992, hal 2, no.8). Pastor Lagrange OP yang disebut di atas adalah peneliti Kitab
Suci dan pendiri École de Jerusalem
yang menghasilkan Jerusalem Bible.
Dengan mengakui otonomi ilmu-ilmu
pengetahuan manusia, Gereja Katolik sekarang yakin bahwa sifat tanpa kekeliruan
dari Kitab Suci (dan otoritas mengajar dari Gereja) harus tetap berlaku atas
ilmu atau sejarah dengan suatu pemahaman yang benar akan teks yang bersangkutan
dan pemahaman akan tujuan ilahi di dalam perwahyuan. Allah mengilhami Kitab
Suci terutama untuk mewahyukan diri-Nya,
rencana-Nya atas segala alam ciptaan dalam hubungan dengan diri-Nya. Sifat
bebas dari kekeliruan Kitab Suci menunjukkan bagaimana hubungan kita dengan
Allah dan hubungan kita satu sama lain di dunia untuk melaksanakan rencana
ilahi dan mendapatkan keselamatan kekal. Kitab Suci sungguh-sungguh bebas dari
kesalahan ketika berbicara tentang hal-hal ini. Mungkin ada kebenaran lain yang
terkandung dalam Kitab Suci, namun Gereja Katolik yakin bahwa semua ini hanya
luput dari kekeliruan semata-mata berkat inspirasi ilahi pada Kitab Suci.
Bahkan dalam hal-hal yang berkenaan
dengan keselamatan, iman dan moral, Gereja Katolik jarang merumuskan makna yang
tegas sekali dari perikop tertentu Kitab Suci (seolah-olah menyatakan bahwa
perikop itu hanya menyatakan ini saja
dan bukan yang lain). Dengan demikian selalu ada ruang tersedia bagi sumbangan
para kudus, para sarjana alkitab dan yang lain-lain yang seraya berdoa
merenungkan makna perikop Kitab Suci itu.
Di dalam Surat Ensiklik Divino Afflante Sipritu dari tahun 1943,
Paus Pius XII mengajar bahwa “dalam persoalan doktrin ajaran mengenai iman dan
moral… oleh karenanya tetap ada banyak hal yang amat sangat penting yang masih
ramai dibicarakan dan di dalam hal itu kemampuan dan kecerdasan para komentator
Katolik dapat dan harus digunakan sebebas-bebasnya, seupaya dengan demikian
dapat memberi sumbangan dari pihaknya demi kebaikan semua orang, bagi kemajuan
yang berlanjut dari ajaran suci dan bagi pembelaan dan wibawa Gereja.”( Divino Afflante Sipritu 47).
Sementara Gereja Katolik
menyemangati mereka yang berusaha mencari makna yang benar dari Sabda Allah
dalam Kitab Suci, Gereja juga menerbitkan peringatan dan teguran. Surat
Ensiklik Paus Pius XII Humani Generis
(1950) memperingatkan mereka yang semata-mata mengandalkan akal budi saja dalam
menafsirkan Kitab Suci dan menekankan pentingnya mempertimbangkan “analogi iman
dan Tradisi Gereja” (Humani Generis, 22). Seperti yang telah kita
sebutkan, Gereja juga menegur prasangka-prasangka rasionalis yang menyangkal
kemungkinan campur tangan ilahi dalam sejarah dengan cara yang ajaib.
Mereka yang ingin belajar lebih
banyak tentang makna Kitab Suci harus berusaha membaca buku-buku dan pengarang
yang menggunakan metode-metode dan disiplin terbaik dalam telaah alkitabiah,
bersama dengan para Bapa dan para Pujanggga Gereja, dalam kerangka kesetiaan
kepada jabatan mengajar Gereja Katolik dalam hal terjadi tafsiran yang menjadi
perdebatan (Lih DV 12).
Akhirnya, ajaran tentang sifat Kitab
Suci yang tidak mengandung kekeliruan tanpa batas bukannya untuk menyangkal adanya
kesulitan-kesulitan di dalam penafsiran kita atas Kitab Suci. Ada banyak ayat
yang kelihatannya kontadiktif satu dengan yang lain, banyak yang sungguh
senjang dari sumber-sumber di luar Kitab Suci, bahkan ada beberapa yang
terkesan bagi kita kurang pantas sehubungan dengan sifat Tuhan. Namun semua
ayat yang bermasalah ini bukanlah pernyataan yang keliru mengenai kebenaran
yang digambarkan. Mereka lebih merupakan undangan untuk bersikap rendah hati.
Santo Agustinus dengan bijaksana menyatakan bahwa seseorang menemukan adanya sesuatu
kekurangan dalam Kitab Suci, ia harus beranggapan bahwa mungkin teks itu keliru
dikutip, atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan, atau si penafsir sungguh
tidak bisa memahami maknanya (lihat Epist 82). Dalam keadaan apapun
adalah tepat menyatakan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan.
Sehubungan dengan itu KGK 108
mengingatkan: “iman Kristen bukanlah satu ‘agama buku’. Agama Kristen adalah
agama ‘Sabda’ Allah, ‘bukan sabda yang ditulis dan bisu, melainkan Sabda yang
menjadi manusia dan hidup’ (Bernardus, hom. miss. 4,11). Kristus, Sabda
abadi dari Allah yang hidup, niscaya membuka pikiran kita dengan penerangan Roh
Kudus, ‘untuk mengerti maksud Alkitab’ (Luk 24:45), supaya Alkitab tidak
tinggal huruf mati.”
Menafsirkan Kitab Suci
Yesus
pernah menegur para ahli kitab yang tekun memelajari Kitab Suci, kataNya: “Kamu
sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah....” (Mat
22:29-32). Kesulitan membaca dan memahami Kitab Suci juga dialami sida-sida
dari Etiopia, sampai ia mendapat penjelasan dari Filipus (Kis 9:26-38).
“Bagaimana aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Filipus
yang didorong oleh Roh Kudus membantunya. Dalam membaca Kitab Suci, agar bisa
mengerti dan tidak sesat, diperlukan bantuan komunitas penafsir.
Tidak sebarang komunitas, tentunya.
Tetapi komunitas di mana Yesus dan Roh Kudus berada dan diimani. Dan komunitas
itu adalah Gereja, yang memberikan pedoman dan bimbingan penafsiran. Di masa
sekarang, Gereja Katolik mengenali dua pendekatan umum yang keliru di dalam
menafsirkan Kitab Suci. Keduanya adalah rasionalisme
dan literalisme (semata-mata harfiah), yang harus dihindari.
Rasionalisme
membatasi makna Kitab Suci pada apa yang umumnya dianggap masuk akal atau
mungkin. Sikap ini menepiskan cara penafsiran Kitab Suci misalnya yang
menyatakan bahwa Allah melakukan hal-hal yang luar biasa (karya ajaib atau
“mujizat”) yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah dan bukan merupakan bagian
dari pengalaman manusia pada umumnya dalam hidup sehari-hari. Kaum rasionalis
berusaha memberikan tafsiran yang rasional, “bukan-mujizat” atas naskah
alkitabiah berdasarkan pra-anggapan bahwa Allah tidak campur tangan dalam
sejarah dengan cara yang luar biasa atau ajaib.
Pra-anggapan ini tentu saja sudah menyisihkan
paham tradisional Kristiani mengenai inkarnasi Sabda Allah, kebangkitan Yesus
dari mati dan kenaikanNya ke surga, dan semua cerita Injil tentang ”mujizat”
Yesus atau karya ajaibNya.
Literalisme
(harfiah semata) di pihak lain berusaha menafsirkan Kitab Suci tanpa
memerhitungkan maksud yang sebenarnya dari
si pengarang, atau kebudayaan di mana teks itu ditulis. Para pengikut
literalisme yakin bahwa Kitab Suci “bermakna harfiah seperti yang dikatakannya”
– dan banyak yang melakukan hal ini tanpa menghargai Allah sebagai
pengarangnya, “tafsiran” mereka berbeda-beda sekali, dan dalam banyak kasus juga
sama sekali tidak mengindahkan maksud asli dari si pengarang.
Misalnya, masing-masing dari keempat
Injil agak berbeda dalam mengisahkan penemuan makam Yesus yang kosong. Di dalam
Matius, seorang malaikat menggulingkan batu penutup (Mat 28:2); dalam Markus
ada seorang anak muda berpakaian putih di dalam makam (Mrk 16:5); di dalam
Lukas, ada dua orang dengan pakaian yang berkilat-kilat (Luk 24:4); dan dalam
Yohanes ada dua malaikat berpakaian putih (Yoh 20:12). Ceritanya juga berbeda
dalam detil yang lainnya.
Pengikut pendekatan literalisme akan
menyatakan bahwa masing-masing cerita itu dari sudut sejarah adalah akurat, dan
karena itu perbedaan yang ada harus dapat dipadukan – dibuktikan cocok, baik
secara faktual maupun historis. Pengikut pendekatan rasionalisme akan
menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak relevan karena cerita itu tidak
historis; cerita itu ditulis untuk mewartakan iman Gereja bahwa Yesus tidak ada
lagi di dalam makam, karena Ia sudah bangkit. Gereja Katolik akan
mempertimbangkan baik tradisinya maupun sumbangan pendekatan sarjana modern
dalam memahami Kitab Suci sebagaimana diterangkan di bawah nanti. Umat katolik
mengakui kesamaan fakta dasar dari cerita-cerita itu (yang berbeda dalam
detilnya saja), dan juga titik pusat dari pesan
para saksi berpakaian putih: bahwa makam itu kosong dan Yesus sudah bangkit!
Sebaliknya, ketika penulis Kitab
Suci berbicara mengenai alam, mereka menggunakannya sebagai “gambaran kiasan”
atau secara “fenomenologi”, yaitu menurut cara-cara yang dapat dipahami.
Misalnya sehubungan dengan timbulnya matahari gambaran Kitab Suci bukan
merupakan pernyataan ilmiah bahwa bumi ini tetap berada di tempatnya dan
matahari mengikutinya dengan pola gerak naik dan turun. Ungkapan seperti itu
didasarkan pada persepsi inderawi dan pengalaman biasa, dan masih banyak
digunakan orang hingga sekarang. “Akal sehat juga perlu digunakan. Jika penulis
suci mengatakan ‘matahari telah bangkit’, kita tidak menyimpulkan bahwa Kitab
Suci mengajar kepada kita bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari dan
matahari mengelilingi bumi. Jika Kitab Kejadian menyatakan bahwa segala sesuatu
diciptakan dalam enam hari, kita tidak menyimpulkannya sebagai enam kali dua
puluh empat jam, karena Kitab Kejadian juga menggunakan bentuk sastra tertentu
yang menyerupai syair, untuk menyampaikan kebenaran bahwa Allah menciptakan
segala sesuatu dari ketiadaan dan memberikan tata susunan pada alam ciptaan.”
(Karl Keating, What Catholics Really Believe). Santo Agustinus yang
pandangannya diserap dalam ajaran para paus modern yakin bahwa Kitab Suci tidak
dituliskan bagi kita sehubungan dengan “hakekat segala sesuatu yang tampak di
alam raya” (Gen Litt 9.20, dikutip dalam Providentissimus Deus 39
dan Divino Afflante Spiritu 3).
Maka, karena Kitab Suci tidak bermaksud menyajikan pernyataan ilmiah, maka
tidak bisa dituduh mengajarkan kekeliruan sehubungan dengan hal-hal ilmiah.
Situasinya lain sehubungan dengan
hal-hal sejarah. Kitab Suci membuat pernyataan yang tak terbilang banyaknya
tentang peristiwa-peristiwa yang terjasi di zaman lampau, dan ini tentu saja
termasuk lingkup sifat tidak mengandung kekeliruan. Untuk sebagian, ini karena
kata-kata dan karya tindakan Allah di dalam sejarah secara rumit dikaitkan
bersama dalam Kitab Suci; yaitu, Allah mengungkapkan diriNya sendiri dan
melaksanakan keselamatan kita melalui karya-karya historis maupun melalui
kata-kata tertulis dan lisan (lihat DV 2). Catatan tentang peristiwa-peristiwa
itu sudah barang tentu harus bisa dipercaya dan benar, sebab jika tidak, wahyu
Allah tidak bisa dikomunikasikan secara berhasil. Begitu pula, orang tidak bisa
berusaha memisahkan sejarah keselamatan dari sejarah profan dalam Kitab Suci,
sebab semua kejadian yang ada di dalam Kitab Suci diatur dengan ilham ilahi
untuk tujuan keselamatan kita. Karena itu ajaran Gereja secara konsisten
mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan dalam menyajikan
peristiwa-peristiwa sejarah. Paus Benediktus XV misalnya mengecam mereka yang
menyatakan bahwa “bagian sejarah dari Kitab Suci tidak didasarkan pada
kebenaran mutlak dari fakta-fakta”, sebab mereka yang berpendirian demikian
”tidak sejalan dengan ajaran Gereja” (Spiritus Paraclitus 6). Gagasan
dasarnya adalah bahwa ilham ilahi
menjamin akurasi faktual pernyataan-pernyataan historis Kitab Suci sejauh
maksud historiografis dari si penulis dapat diperlihatkan.
Maka Gereja Katolik mengajar bahwa
untuk menentukan apa maksud dari Sabda Allah bagi kita di dalam Kitab Suci,
pertama-tama kita harus mengetahui apa yang mau dikatakan oleh si pengarang
yang mendapat ilham ilahi melalui bahasa yang khusus, kebudayaan, situasi
historis dan jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir,
berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu
ditulis (lih. KGK 109-110. Lih. juga DV 11-12). Untuk itu diperlukan telaah
yang bersungguh-sungguh dan kebijaksanaan, selain doa dan memohon penerangan
dari Roh Kudus “agar melihat, .... apa yang ingin diwahyukan Allah melalui
kata-kata mereka”.
Sejak diterbitkannya Surat Ensiklik
Paus Pius XII pada tahun 1943, Divino
Afflante Spiritu, Gereja Katolik memberi dorongan positif kepada para
sarjana Kitab Suci untuk menggunakan metode-metode modern dalam mencermati
Kitab Suci secara kritis untuk dapat memahami lebih penuh dimensi manusiawi
dari Kitab Suci dan susunannya. Dei
Verbum meneguhkan lagi dorongan ini, sekaligus secara tersirat juga
mengingatkan bahwa temuan-temuan para sarjana Kitab Suci yang menerapkan apa
yang disebut metode kritik-historis atau pendekatan ilmiah modern lainnya
terhadap Kitab Suci tidak dengan sendirinya memadai untuk menentukan makna
autentik dari Sabda Allah itu. Konstitusi Konsili Vatikan Kedua itu juga
menyatakan bahwa “Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan menurut Roh Kudus
sebab dalam Roh itulah Kitab Suci dituliskan” (DV 12), prinsip lain yang tidak
kurang pentingnya guna penafsiran yang tepat, karena tanpa itu Kitab Suci akan
tinggal huruf mati saja.
Di bagian depan telah dikatakan
bahwa Allah memasuki sejarah kita sebagai manusia, yaitu Yesus dari Nazaret.
Namun tidaklah mungkin mengenali siapa Yesus tanpa penerangan dari Roh
Kebenaran, yaitu Roh Kudus. Santo Paulus menulis bahwa “tidak ada seorang pun
yang dapat mengaku ‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh Roh Kudus” (1Kor 12:3). Begitu pula, hanya
Roh Kuduslah yang memungkinkan kita mengenal dan menyebut Allah sebagai “Abba,
ya Bapa” (lih Rm 8:15,16; Gal 4:6).
Sebelum naik ke surga Yesus berkata
kepada para muridNya, bahwa dengan kepergianNya itu Dia akan mengirimkan Roh
Kudus kepada mereka.
“Masih banyak yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang
kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran,
Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:12-13).
Karena itulah kita percaya bahwa Roh
Kudus-lah yang akan menyingkapkan wahyu Allah dengan setia di dalam Gereja. Roh
Kudus akan mengingatkan segala perkataan dan ajaran Yesus (Yoh 14:26). Dia akan
“mengajarkan segala sesuatu kepadamu” (Yoh 14:26), dan “akan memberitakan
kepadamu hal-hal yang akan datang” (Yoh
16:13).
Roh Kudus mengungkapkan kebenaran
Allah Kitab Suci di dalam Gereja melalui saluran-saluran Tradisi dan
Magisterium. Roh Kudus jugalah yang membimbing Gereja melalui saluran-saluran
itu kepada kepenuhan kebenaran.
Tiga Prinsip Penafsiran Kitab Suci
Katekismus
Gereja Katolik mengemukakan tiga kriteria yang diambil dari Konsili Vatikan II
untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya.
- Memperhatikan dengan saksama “isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci”
(KGK 112). Makna dari Kitab Suci, dan karenanya makna dari tiap-tiap
bagian dari Kitab Suci dapat dipahami dengan benar hanya jika dipandang
dari keseuruhan Kitab Suci dan kesatuannya. Ayat-ayat tidak dapat
dipisahkan sendiri dari pesan keseluruhan Kitab Suci supaya dapat
ditafsirkan dengan benar.
- Membaca Kitab Suci “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja”
(KGK 113). Untuk memastikan bahwa Tradisi Gereja Katolik diperhitungkan di
dalam menafsirkan Kitab Suci, Paus Pius XII (Divino Afflante Spiritu, 28, 29) sangat mendorong para Sarjana
Kitab Suci agar memelajari baik-baik para Bapa dan Pujangga Gereja, serta
para penafsir yang ternama dari abad-abad yang lalu. Sebab, walaupun
mereka kurang mengerti ilmu-ilmu duniawi dan ilmu bahasa dibandingkan
dengan para sarjana Kitab Suci dari zaman kita, namun karena jabatan yang
dipercayakan kepada mereka oleh Allah di dalam Gereja, mereka itu menonjol
karena pemahaman mereka yang dalam akan hal-hal rohani dan karena akal
budi yang sungguh cerdas, yang memungkinkan mereka mencapai makna yang
paling dalam dari sabda ilahi dan menjelaskan semua yang dapat membantu
memahami ajaran Kristus dan memajukan hidup kudus.
“Maka sungguh
disesalkan bahwa khasanah yang sangat berharga dari masa lampau Kristen itu
nyaris tidak dikenal oleh banyak penulis dari zaman sekarang, dan bahwa para
pelajar sejarah eksegese belum dapat menyelesaikan apa yang penting bagi telaah
dan penghargaan atas masalah semasa. Diharapkan banyak bantuan diperoleh untuk
tujuan ini dengan mencari pengarang
tafsir Katolik atas Kitab Suci dan dengan tekun memelajari karya mereka, dan
dari sana menimba kekayaan yang tiada habisnya yang tersimpan di sana, agar semakin
hari semakin tampak, sejauh mana para pengarang itu memahami dan menjabarkan
ajaran ilahi Kitab Suci, sehingga para penafsir zaman ini dapat mengambil
contoh dan memeroleh pernyataan yang sesuai.”
Sinode
Luar Biasa para Uskup Katolik pada tahun 1985 menyatakan bahwa “penafsiran
makna asli dari Kitab Suci yang sangat dianjurkan oleh Konsili... tidak dapat
dipisahkan dari tradisi hidup Gereja” (DV 10, “Final Report” dalam The
Extra-ordinary Synod – 1985, bagian II, B, a,1., 1985). Semua ini semata-mata
untuk mengakui bahwa pendekatan modern pada penelitian alkitabiah, sekalipun
temuannya sangat berharga, tidaklah mencukupi untuk mengungkapkan makna yang
sepenuhnya dari Kitab Suci.
- Memerhatikan analogi iman (lih Rm 12:6). Yang dimaksud dengan
analogi iman adalah hubungan-hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama
lain dan dalam keseluruhan rencana Wahyu (KGK 114).
Katekismus Gereja Katolik juga mendorong
umat Katolik agar menyadari adanya arti ganda dalam Kitab Suci – dua macam atau
tingkatan makna yang ada dalam teks Kitab Suci. Yang pertama adalah arti harafiah (“makna yang disampaikan
oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan dengan ilmu tafsir atau eksegese”) dan arti rohani. Sedangkan arti rohani
selanjutnya dapat dibagikan menjadi tiga arti lagi:
- Arti alegoris, yaitu
peristiwa-peristiwa atau gambaran dalam Kitab Suci yang menjadi tanda atau
merujuk kepada realitas rohani, terutama Kristus;
- Arti moral, yaitu
ajaran ilahi yang membimbing kita untuk berbuat adil; dan
- Arti anagogis, yaitu
peristiwa dan gambaran yang dipandang sebagai tanda-tanda bagi
kepenuhannya di surga, sehubungan dengan artinya yang abadi. (Lihat KGK
115-117).