Daftar Blog Saya

Senin, 19 Desember 2022

WAHYU ALLAH DALAM KITAB SUCI

 



Katekese Pokok2 Iman Kita #7

Kitab Suci (dari bahasa Yunani biblia, artinya “kitab-kitab”, “buku-buku”) adalah kumpulan tujuh puluh tiga kitab yang diyakini Gereja sebagai pernyataan wahyu Allah yang tertulis. Untuk mewahyukan diri, Allah dalam kebijaksanaan dan kebaikanNya menyapa kita dalam bahasa manusia (KGK 101). “Karena di dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih datang menjumpai anak-anakNya dan berbicara dengan mereka” (DV 21). Sabda Allah yang agung, Yesus Kristus, diungkapkan dalam kata-kata yang telah dipercayakan penulisannya kepada berbagai penulis suci. Maka dalam Kitab Suci "Sabda Allah yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dahulu Sabda Bapa yang kekal dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi telah menjadi serupa dengan manusia" (DV 13). Semua “kitab-kitab” dihimpun membentuk satu “Kitab” saja, sebab Allah adalah pengarang ilahi dari mereka semuanya, secara bersama-sama mereka memberi kesaksian akan satu rencana keselamatan dari Allah.

Baca Juga : Pentradisian Wahyu Ilahi

            Secara keseluruhan isi Kitab Suci adalah Yesus Kristus. Melalui kata-kata Kitab Suci, Allah hanya menyampaikan satu kata saja: yaitu Sabda-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia, Allah mengungkapkan Diri seutuhnya. Menurut Santo Agustinus: "Sabda Allah yang satu dan sama berada dalam semua Kitab; Sabda Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut semua penulis Kitab yang suci. Dan karena sejak awal Ia adalah Allah pada Allah, Ia tidak membutuhkan suku-suku kata, karena Ia tidak bergantung pada waktu" (Psal. 103,4,1). (KGK 102).

            Kitab Suci terus menerus memberikan santapan dan kekuatan kepada Gereja, sebab Gereja menerimanya bukan sebagai kata-kata manusia, “tetapi – dan memang sungguh-sungguh demikian – sebagai Sabda Allah” (1Tes 2:13). “Dari sebab itu Gereja selalu menghormati Kitab-Kitab Suci sama seperti Tubuh Kristus sendiri” (DV 21). Gereja setiap hari tak putus-putusnya menyajikan kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima baik dari meja Sabda Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus, dalam Ekaristi (KGK 103). Ketika kita mengucapkan doa Bapa Kami dan memohon agar Allah memberi kita “rejeki hari ini”, kita juga berdoa untuk menerima Yesus, sang Roti Hidup, dan makanan yang diperlukan tubuh kita (lih Yoh 16:27). Dan dengan demikian, dari Kitab Suci Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya karena di dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi Sabda Allah (KGK 104), yaitu Yesus, sang Roti Hidup.

 


Inspirasi atau Ilham Ilahi

"Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2Tim 3:16; 2Ptr 1:19-21; 3:15-16), dan dengan Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaan demikian diserahkan kepada Gereja" (DV 11; KGK 105). Pengertian ilham ilahi menunjukkan posisi Allah sebagai pengarang Kitab Suci ditegaskan oleh Gereja beberapa kali sejak Konsili Vatikan I. Misalnya, pada tahun 1893, melalui Ensiklik Providentissimus Deus art 41 dari Paus Leo XIII, pada tahun 1920 dalam Ensiklik Spiritus Paraclitus art 3, dari Paus Benediktus XV, pada tahun 1943 dalam Ensiklik Divino Afflante Spiritu art 1 dari Paus Pius XII, dan lagi pada tahun 1965, dalam Konstitusi Konsili Vatikan II, Dei Verbum art 11.

            Defisini ilham ilahi itu ditentukan untuk menangkal pengertian yang tidak benar. Antara lain pandangan para teolog abad kesembilanbelas D. Haneburg dan J. Jahn. Haneburg menyatakan suatu teori mengenai persetujuan berikutnya, di mana Kitab Suci mula-mula ditulis oleh pengarang manusia, dengan cara yang sepenuhnya manusiawi, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Gereja. Teori yang ditolak Gereja ini, mengartikan ilham ilahi bukan merupakan unsur intrinsik di dalam teks Kitab Suci, melainkan sesuatu yang diberikan oleh Gereja. Di pihak lain, Jahn menyatakan suatu teori tentang bantuan negatif, artinya Tuhan mencegah para pengarang Kitab Suci menyatakan sesuatu apapun yang tidak benar dalam tulisan mereka. Teori ini juga ditolak oleh Konsili bukan karena Kitab Suci mengandung hal-hal yang salah, tetapi karena di dalam teori itu kepercayaan Gereja bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan  tidak diperhitungkan. Tulisan manusia yang tidak mengandung kesalahan tetap saja merupakan tulisan manusia, dan atas dasar alasan tak ada kekeliruan itu saja, orang tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan bersabda dan mengungkapkan kehendakNya dalam Kitab Suci (Scott Hahn, Catholic Bible Dictionary, 2010).

            Adalah fakta bahwa Kitab Suci sungguh ditulis dengan pena oleh pengarang manusia di bawah pengaruh Roh Kudus. Maka ilham ilahi lebih penuh digambarkan sebagai suatu misteri kepengarangan ganda – bahwa Tuhan dan manusia bersama-sama [secara tandem] menyusun teks Kitab Suci. Namun telaah-telaah modern semakin memberikan perhatian kepada sumbangan manusia. “Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis Kitab Suci. ‘Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya - sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka - semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh’ (KGK 106; DV 11). Rahmat yang memberi ilham dari Roh Kudus tidak menindas kebebasan dan kesadaran pribadi para penulis suci, mereka juga bukan sekedar  pasif, bertindak sebagai juru steno yang mencatat apa yang didiktekan. Sebaliknya, para pengarang manusia adalah benar-benar mengarang Kitab Suci dan secara aktif terlibat di semua tahap penyusunan karyanya. Kebenaran dari pengamatan ini ditampilkan pada gaya yang khas dan temperamen dari para pengarang Kitab Suci. Misalnya, tak ada yang meragukan jejak kepribadian Paulus yang tertuang dalam surat-suratnya, dan bahwa gaya pribadi itu jelas berbeda dari pengarang lain seperti Matius atau Yohanes atau Petrus atau Yudas.

            Sebagian teolog yang menulis sesudah Konsili Vatikan I masih mengajukan lingkup ilham ilahi yang sempit. Teori yang diajukan A. Rohling (1872), membatasi ilham ilahi hanya pada pernyataan-pernyataan mengenai iman dan moral; F. Lenormant (1880) membatasi ilham ilahi pada pemaparan ajaran yang tidak dikenal akal budi; dan dari Kardinal J.H. Newman (1884) menyatakan bahwa ilham ilahi tidak meliputi komentar-komentar sambil lalu (obiter dicta) yang tidak mempunyai muatan ajaran atau moral.

            Namun Gereja menolak semua usaha-usaha yang membatasi ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja. Paus Leo XIII pada tahun 1893 membuat penjelasan: “Namun sungguh keliru dan terlarang baik untuk menyempitkan ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja atau mengakui bahwa para penulis suci sudah melakukan kesalahan. Demi cara kerja dari mereka yang, di dalam rangka melepaskan diri dari kesulitan, tidak ragu menyatakan bahwa ilham ilahi hanya menyangkut soal iman dan ajaran dan tidak menyangkut yang lain, maka (karena mereka berpikir keliru) dalam mempersoalkan kebenaran atau kekeliruan suatu ayat, kita tidak begitu mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan melainkan apa maksud dan tujuan yang dipikirkanNya dalam menyatakannya – maka cara kerja itu tidak bisa diterima (Provindentissimus Deus art 40).

            Alih-alih menerima pengertian ilham ilahi sebagian, Paus justru menegaskan kembali ilham ilahi yang menyeluruh. Ini adalah keyakinan bahwa seluruh isi Kitab Suci diilhami ilahi – semuanya maupun setiap bagiannya, tidak peduli apapun yang dibahas atau dikatakan.

            Akhirnya ada persoalan apakah ilham ilahi yang menyeluruh itu juga meliputi ilham atas kata- kata sepenuhnya.  Dengan kata lain, apakah Roh Kudus membimbing para pengarang Kitab Suci di dalam memilih tiap-tiap kata untuk Kitab Suci? Suatu jawaban yang negatif datang kembali dari teolog abad kesembilan belas, kardinal J.B. Franzelin. Ia mengajukan suatu teori yang kadang-kadang disebut “ilham atas isi”, yang menguraikan bahwa Roh Kudus membekali penulis suci dengan gagasan pokok yang harus disampaikan dalam Kitab Suci tetapi menyerahkan kepada si penulis pertimbangan-pertimbangan untuk mengungkapkan gagasan itu dengan kata-kata yang tepat. Menurut pandangan ini, Kitab Suci menyampaikan suatu pesan atas ilham ilahi dalam bahasa yang tidak terilhami. Kardinal menyatakan bahwa Roh Kudus dengan cara negatif mencegah pengarang manusia dalam penggunaan kata-kata yang tidak sesuai, namun pilihan positif atas kata-kata pada dasarnya masih merupakan pilihan manusia.

            Teori Franzelin mengenai ilham non-verbal itu dengan cepat dihadang oleh banyak kritik pada permulaan abad kedua puluh, sehingga hanya mempunyai sedikit pengikut saja. Dan walaupun Gereja tidak pernah secara resmi menolak atau membahas pandangan itu secara eksplisit, namun pada umumnya pandangan itu disikapi sebagai teori tentang ilham ilahi yang mempunyai kekurangan mendasar, yaitu yang secara simplistis dan artifisial memisahkan kata dan gagasan.

 


Tidak Mengandung Kekeliruan

Ada banyak akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis. Yang paling banyak diperdebatkan sebagai akibat dari ilham ilahi adalah soal “tidak mengandung kekeliruan”, yaitu keyakinan bahwa Kitab Suci benar dan bisa dipercaya, tidak mengandung sesuatu yang salah, sesat atau menyesatkan. Ini merupakan akibat logis dari Allah sebagai Pengarang Kitab Suci – jika Allah adalah pengarang utama Kitab Suci, dan Alllah sendiri adalah kebenaran yang sempurna, maka seluruh pernyataan Kitab Suci tentulah amat sangat benar. Gereja purba percaya mengenai hal ini dengan mutlak. Pada awal abad kedua para teolog menyatakan bahwa Kitab Suci seluruhnya sempurna (Santo Ireneus, Adversus Haereses, 2.28.2) dan benar (Santo Klemens dari Roma, 1 Klem 45.2). Kendati ada tegangan-tegangan yang nyata di dalamnya, tidak ada yang kontradiktif  (Santo Yustinus Martir, Dial, 65). Perasaan yang sama dikemukakan disepanjang masa patristik dan abad tengah, hingga sampai zaman Pencerahan di Eropa, ketika seluruh tradisi konsensus Kristen pertama kalinya mendapat tantangan serius.

            Timbulnya tantangan ini dipicu oleh lahirnya kritik historis dalam penafsiran Kitab Suci, yang mengarahkan sorotan kepada berbagai kesenjangan ketika Kitab Suci bersentuhan dengan persoalan sejarah, geografis, keilmuan dan moral. Jika demikian bagaimana kita dapat mencocokkan sifat alkitab yang tanpa kekeliruan dengan perbedaan-perbadaan yang tampak atau kontradiksi dalam Kitab Suci? Misalnya, keempat Injil menyajikan cerita yang berbeda (dan kadang-kadang bertentangan) tentang kapan dan di mana sesuatu terjadi dalam pelayanan umum Yesus dan sesudah kebangkitanNya. Masalah yang sama dapat diajukan sehubungan dengan sifat tanpa kekeliruan dari Perjanjian Lama.  Kadang-kadang pertanyaan itu menyangkut akurasi sejarah. Kadang-kadang cerita yang berbeda dari peristiwa yang sama dicantumkan, semisal tentang penciptaan dalam Kej 1:1 – 2:3 dan di dalam Kej 2: 4-25, atau cara Allah menyibakkan Laut Merah dalam Kel 14:21 dan Kel 14:22-29. Secara historis semua ini dipandang sebagai “kesenjangan yang nyata”, kesulitan-kesulitan yang diharapkan Tuhan tetap ada dalam Kitab Suci untuk menimbulkan kerendahan hati para pembacanya. Tentu saja sudah makin banyak upaya yang dilakukan untuk memecahkan teka-teki yang terdapat pada ayat-ayat yang bermasalah itu, tetapi tak seorang pun di masa Kristen kuno yang punya anggapan bahwa Kitab Suci keliru. Namun pada abad ketujuhbelas dan kedelapan belas para ahli dengan berbagai cara dan pendekatan mulai meragukan Kitab Suci karena mengandung “kesenjangan yang nyata” baik dalam hal fakta maupun perspektif.

            Di tengah-tengah krisis yang timbul itu, Paus Leo XIII menerbitkan suatu pernyataan yang kuat dan menentukan mengenai ketidak-keliruan Kitab Suci, menegaskan kembali tradisi Gereja yang sudah lama berlaku. Bertolak dari anggapan bahwa Allah adalah pengarang Kitab Suci, ia menyatakan: “Maka semua Kitab-kitab yang oleh Gereja diyakini suci dan kanonik, ditulis semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya karena didiktekan Roh Kudus. Dengan demikian sungguh tidak mungkin ada kesalahan di dalamnya yang berdampingan dengan ilham ilahi, sebab ilham ilahi itu pada dasarnya bukan saja tidak setara dengan kesalahan, tetapi juga menyisihkannya dan menolaknya secara absolut dan niscaya, sebagaimana mustahil Tuhan sendiri yang adalah Kebenaran Tertinggi mengucapkan sesuatu yang tidak benar” (Povidentissimus Deus, art 40).

            Ini merupakan pernyataan resmi Gereja yang pertama mengenai sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan secara tidak terbatas. Namun, karena beberapa ahli merasa bahwa ajaran Paus itu tidak memadai, maka muncullah sejumlah teori mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang terbatas dari Kitab Suci yang menyatakan, misalnya, bahwa kesalahan-kesalahan bisa timbul dari pengarang manusia, bukan dari pengarang ilahi Kitab Suci, atau, jika tidak, mereka membatasi sifat tidak keliru Kitab Suci itu ada di bidang kebenaran agama, namun tidak dalam hal pernyataan-pernyataan realitas yang merujuk kepada soal-soal profan. Untuk itu, Paus Benediktus XV dengan kuat menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII bahwa Kitab Suci “mutlak bebas dari kekeliruan” dan menambahkan, “Kita tidak pernah menyatakan bahwa ada satu kekeliruanpun dalam Kitab Suci” (Spiritus Paraclitus, art 5). Begitu pula Paus Pius XII menegaskan lagi ajaran Leo XIII bahwa Kitab Suci bebas dari “kekeliruan apapun” dan menyatakan bahwa kebenarannya tidak terbatas “hanya pada soal iman dan moral” (Divino Afflante Spiritu art 1). Sesungguhnya, karena berlangsungnya perlawanan pada ajaran ini, Pius terpaksa mengulas persoalan itu lagi dalam tempo tak sampai satu dasa warsa kemudian, ketika ia mengeluh, “Ada yang keterlaluan... mengemukakan lagi pendapat yang sudah begitu sering dikecam, yang menyatakan bahwa Kitab Suci bebas dari kekeliruan hanya pada bagian-bagian Kitab Suci yang menyangkut perlakuan kepada Tuhan, atau soal moral dan keagamaan saja” (Humani Generis, art 22).

            Pernyataan yang paling baru mengenai Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan dikeluarkan Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, pada tahun 1965. Anehnya, perkataan dalam dokumen utama ini yang pada dasarnya menyarikan ajaran Gereja tentang Kitab Suci dan Tradisi Suci, oleh banyak orang dikatakan menjauh dari ajaran klasik mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang dikemukakan oleh para paus. Pernyataan yang terkait berbunyi sebagai berikut: “Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami ilahi atau para penulis suci, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (DV 11; dikemukakan kembali dalam KGK 107).

            Persoalan yang timbul dari pernyataan itu adalah: apakah Konsili Vatikan II menegaskan kembali suatu doktrin tentang sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas, melanjutkan ajaran para paus yang terdahulu, ataukah suatu pendirian mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, yang dengan demikian berbeda dari tradisi ajaran dari semua abad sebelumnya? Banyak yang menyatakan bahwa Konsili Vatikan II menunjukkan suatu perubahan inovatif di dalam perspektif Wewenang Mengajar Gereja di dalam frasa “demi keselamatan kita”. Pernyataan bahwa kebenaran disampaikan “dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan” hanyalah sejauh mengenai hal-hal yang langsung berkaitan dengan soal “keselamatan kita”. Konon atas dasar frasa ini Gereja membebaskan diri, dari soal-soal kebenaran yang tidak ada kaitannya dengan soal keselamatan di dalam Kitab Suci. Sebagai implikasinya, pernyataan-pernyataan tentang sejarah, geografi dan berbagai soal bukan agamis lainnya kini dikatakan berada di luar jangkauan  sifat tidak mengandung kekeliruan itu.

            Walaupun banyak ahli membela tafsiran ini dan akhirnya mengikuti pandangan mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, ada alasan untuk menganggap bahwa ini merupakan salah pengertian atas maksud Konsili. Memang ada beberapa indikasi bahwa rumusan Konsili Vatikan II melanjutkan ajaran para Paus sebelumnya mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Kata dari Konstitusi  itu menunjukkan maksud dari sifat tidak mengandung kekeliruan itu, bukan luas cakupannya. Dei Verbum memberikan suatu catatan kaki atas bagian yang memuat frasa penting itu, dengan mengutip ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu – satu-satunya catatan kaki yang terpanjang di seluruh dokumen Konstitusi itu. Dei Verbum merupakan puncak dari pernyataan para Paus selama satu abad mengenai sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci. Di dalamnya terdapat pernyataan dari Santo Agustinus, Santo Tomas Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, dan Paus Pius XII, yang kesemuanya menegaskan ilham ilahi atas Kitab Suci dan sifat sama sekali tidak mengandung kekeliruan.  Paus Leo XIII menyebut ajaran tentang sifat tidak mengandung kekeliruan yang tanpa batas adalah “iman Gereja sejak awal dan tidak berubah” (Providentissimus Deus 41). Ini merupakan pandangan patristik dan teolog abad pertengahan, dan pandangan itu diajarkan dengan kewenangan Paus Leo XIII, Benediktus XV dan Pius XII. Maka terdapat garis kesinambungan dari kekristenan awal hingga abad pertengahan sampai pada abad keduapuluh mengenai apa artinya Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan. Maka tentu para Bapa Konsili Vatikan II tidak benar-benar mengubah pendirian dari ajaran klasik Katolik mengenai soal ini.

            Dengan menimbang semua kemungkinan itu maka ajaran resmi Katolik tetap berkenaan dengan sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Konsili Vatikan II tidak menerbitkan perubahan apapun mengenai ajaran ini namun dapat dikatakan memberikan suatu penekanan baru dalam hubungan dengan frasa “demi keselamatan kita”.

            Sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas diyakini sebagai sifat Kitab Suci yang sepenuhnya dan seluruhnya benar di dalam semua pernyataan maksudnya. Di dalam halaman-halamannya tidak ada yang secara faktual keliru, atau yang berdusta atau menyesatkan. Dalam hal isinya, Kitab Suci mencerminkan pikiran Allah, yang adalah kebenaran sempurna.

            Apa artinya ini pada tingkat praktis membutuhkan penjelasan. Menurut ajaran Katolik dalam hal ilham ilahi dan sifat tidak mengandung kekeliruan, Kitab Suci tidak membuat pernyataan yang sifatnya ilmiah.

            Disarankan agar memelajari konteks naskah alkitab ini dengan cermat, dengan menggunakan disiplin metode yang tepat, kita dapat memeroleh pengertian yang lebih dalam akan makna teks itu. Para sarjana kitab suci Katolik memerhatikan bahwa para penulis Injil mempunyai alasan pengajaran dan teologis tertentu sehubungan dengan cara dan susunan penempatan peristiwa-peristiwa dalam hidup Yesus yang mereka ceritakan. Komisi Kitab Suci Kepausan dalam dokumen “The Historicity of the Gospel”, 21 April 1964, menjelaskan bahwa “pengarang Injil merasakan tugas kewajibannya menceritakan kisahnya sendiri menurut petunjuk Allah dalam ingatannya. Setidaknya ini benar bagi naskah yang cara penyusunannya tidak mempengaruhi wibawa atau kebenaran dari Injil. Bagaimanapun, Roh Kudus membagikan karuniaNya kepada masing-masing orang yang dipilihNya. Karena buku-buku ini harus punya wibawa, tak pelak lagi Dia pasti membimbing dan mengarahkan para penulis suci ketika mereka memikirkan hal-hal yang akan mereka tulis; namun Dia mungkin mengizinkan tiap penulis itu untuk menyusun kisahnya sejauh dianggapnya tepat. Maka siapapun yang cukup cermat niscaya dapat menyingkapkan tata-susunan ini dengan bantuan  Allah.”

            Misalnya fakta bahwa editor terakhir dari teks itu menempatkan dua cerita yang secara historis berbeda berdampingan tanpa penjelasan atau penyesalan, mestinya menyatakan sesuatu kepada kita.  Yaitu bahwa persoalan akurasi sejarah tampaknya bukanlah hal (yang mereka yakini) yang dikehendaki Allah untuk dinyatakan dalam cerita-cerita itu. Sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci tidak harus dipermasalahkan oleh perbedaan seperti itu. Suatu masalah yang lebih menekan pada zaman sekarang adalah apakah Kitab Suci “tidak keliru” jika tampaknya mengajarkan hal-hal yang berbeda dengan hasil temuan ilmu eksperimental yang modern.

            Ajaran dalam Dei Verbum bahwa “dengan teguh dan setia serta tanpa kesalahan buku-buku Kitab Suci mengajarkan kebenaran yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita.” Kata-kata “demi keselamatan kita” itu sangat penting untuk memahami hal ini dengan tepat..

            Sebagai contoh dari prinsip ini, Santo Agustinus menyatakan bahwa “walaupun para penulis suci itu mungkin mengenal ilmu perbintangan, namun Roh Kudus tidak menghendaki menyatakan melalui ilmu perbintangan itu kebenaran apa pun terpisah dari apa yang berguna bagi keselamatan.” Ia menambahkan bahwa ini mungkin menyangkut ajaran iman atau moral yang harus dilakukan.

            Paus Yohanes Paulus II menyebut suatu “kekeliruan” dari para teolog di masa lalu

...ketika mengira bahwa pengertian kita akan tata-susunan dunia fisik kita ini dengan cara tertentu dituntun oleh makna kata-kata Kitab Suci... Sesungguhnya, Kitab Suci tidak menyibukkan diri dengan rincian dunia fisik itu, dan pemahaman atas dunia fisik adalah merupakan bidang kompetensi pengalaman dan akal budi manusia. Ada dua bidang pengetahuan, yang salah satunya bersumber pada wahyu, dan yang lain harus diungkapkan oleh akal budi dengan dayanya sendiri. Bidang pengetahuan yang terakhir ini terutama menjadi kancah bagi sains eksperimental dan filsafat. Perbedaan di antara kedua bidang pengetahuan ini tidak harus dipandang berhadapan dengan berlawanan. Kedua bidang pengetahuan ini bukannya sama sekali asing satu sama lain, karena ada titik-titik hubungan di antara mereka. Metodologi masing-masing memungkinkannya menyembulkan berbagai aspek yang berbeda dari kenyataan (Pidato di hadapan Akademi Sains Kepausan, “Iman Tak Pernah Bertentangan Dengan Akal Budi”, Faith Can Never Conflict With Reason, dalam L’Osservatore Romano, Edisi Bahasa Inggris, 4 November 1992, hal 2, no. 12.)

 

            Gereja Katolik mengenali prinsip ini dari renungan dan pengalaman yang panjang. Pada waktu munculnya astronomi modern, misalnya, Gereja Katolik secara keliru mengutuk ajaran ilmiah dari Galileo-Galilei bahwa matahari, bukan bumi, adalah pusat sistem galaktika kita. Teori Galileo tampak tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci dalam hal ini. Sejak itu ilmu modern mekar berkembang dengan dukungan dan dorongan semangat dari Gereja Katolik, dan suatu pengertian yang lebih jelas tentang saling-kaitan antara ilmu, sejarah, dan iman Kristiani dikembangkan.

            Paus Yohanes Paulus II menyatakan: “Dalam abad yang lalu dan pada permulaan abad kita, berbagai kemajuan dalam ilmu sejarah telah memungkinkannya untuk mendapatkan suatu pemahaman baru atas Kitab Suci dan atas dunia alkitabiah. Konteks rasionalis di mana data ini sering diajukannya tampaknya membuat mereka membahayakan iman Kristiani. Orang tertentu, yang sungguh berniat membela iman, merasa perlu menolak kesimpulan-kesimpulan yang punya dasar historis kuat. Ini merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan menyedihkan. Karya seorang pionir seperti Pastor Lagrange dapat membuat penimbangan yang perlu atas dasar kriteria yang dapat diandalkan.” (Pidato di hadapan Akademi Sains Kepausan, dalam L’Osservatore Romano, Edisi Bahasa Inggris, 4 November 1992, hal 2, no.8). Pastor Lagrange OP yang disebut di atas adalah peneliti Kitab Suci dan pendiri École de Jerusalem yang menghasilkan Jerusalem Bible.

            Dengan mengakui otonomi ilmu-ilmu pengetahuan manusia, Gereja Katolik sekarang yakin bahwa sifat tanpa kekeliruan dari Kitab Suci (dan otoritas mengajar dari Gereja) harus tetap berlaku atas ilmu atau sejarah dengan suatu pemahaman yang benar akan teks yang bersangkutan dan pemahaman akan tujuan ilahi di dalam perwahyuan. Allah mengilhami Kitab Suci  terutama untuk mewahyukan diri-Nya, rencana-Nya atas segala alam ciptaan dalam hubungan dengan diri-Nya. Sifat bebas dari kekeliruan Kitab Suci menunjukkan bagaimana hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita satu sama lain di dunia untuk melaksanakan rencana ilahi dan mendapatkan keselamatan kekal. Kitab Suci sungguh-sungguh bebas dari kesalahan ketika berbicara tentang hal-hal ini. Mungkin ada kebenaran lain yang terkandung dalam Kitab Suci, namun Gereja Katolik yakin bahwa semua ini hanya luput dari kekeliruan semata-mata berkat inspirasi ilahi pada Kitab Suci.

            Bahkan dalam hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan, iman dan moral, Gereja Katolik jarang merumuskan makna yang tegas sekali dari perikop tertentu Kitab Suci (seolah-olah menyatakan bahwa perikop itu hanya menyatakan ini saja dan bukan yang lain). Dengan demikian selalu ada ruang tersedia bagi sumbangan para kudus, para sarjana alkitab dan yang lain-lain yang seraya berdoa merenungkan makna perikop Kitab Suci itu.

            Di dalam Surat Ensiklik Divino Afflante Sipritu dari tahun 1943, Paus Pius XII mengajar bahwa “dalam persoalan doktrin ajaran mengenai iman dan moral… oleh karenanya tetap ada banyak hal yang amat sangat penting yang masih ramai dibicarakan dan di dalam hal itu kemampuan dan kecerdasan para komentator Katolik dapat dan harus digunakan sebebas-bebasnya, seupaya dengan demikian dapat memberi sumbangan dari pihaknya demi kebaikan semua orang, bagi kemajuan yang berlanjut dari ajaran suci dan bagi pembelaan dan wibawa Gereja.”( Divino Afflante Sipritu  47).

            Sementara Gereja Katolik menyemangati mereka yang berusaha mencari makna yang benar dari Sabda Allah dalam Kitab Suci, Gereja juga menerbitkan peringatan dan teguran. Surat Ensiklik Paus Pius XII Humani Generis (1950) memperingatkan mereka yang semata-mata mengandalkan akal budi saja dalam menafsirkan Kitab Suci dan menekankan pentingnya mempertimbangkan “analogi iman dan Tradisi Gereja” (Humani Generis, 22). Seperti yang telah kita sebutkan, Gereja juga menegur prasangka-prasangka rasionalis yang menyangkal kemungkinan campur tangan ilahi dalam sejarah dengan cara yang ajaib.

            Mereka yang ingin belajar lebih banyak tentang makna Kitab Suci harus berusaha membaca buku-buku dan pengarang yang menggunakan metode-metode dan disiplin terbaik dalam telaah alkitabiah, bersama dengan para Bapa dan para Pujanggga Gereja, dalam kerangka kesetiaan kepada jabatan mengajar Gereja Katolik dalam hal terjadi tafsiran yang menjadi perdebatan (Lih DV 12).

            Akhirnya, ajaran tentang sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan tanpa batas bukannya untuk menyangkal adanya kesulitan-kesulitan di dalam penafsiran kita atas Kitab Suci. Ada banyak ayat yang kelihatannya kontadiktif satu dengan yang lain, banyak yang sungguh senjang dari sumber-sumber di luar Kitab Suci, bahkan ada beberapa yang terkesan bagi kita kurang pantas sehubungan dengan sifat Tuhan. Namun semua ayat yang bermasalah ini bukanlah pernyataan yang keliru mengenai kebenaran yang digambarkan. Mereka lebih merupakan undangan untuk bersikap rendah hati. Santo Agustinus dengan bijaksana menyatakan bahwa seseorang menemukan adanya sesuatu kekurangan dalam Kitab Suci, ia harus beranggapan bahwa mungkin teks itu keliru dikutip, atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan, atau si penafsir sungguh tidak bisa memahami maknanya (lihat Epist 82). Dalam keadaan apapun adalah tepat menyatakan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan.

            Sehubungan dengan itu KGK 108 mengingatkan: “iman Kristen bukanlah satu ‘agama buku’. Agama Kristen adalah agama ‘Sabda’ Allah, ‘bukan sabda yang ditulis dan bisu, melainkan Sabda yang menjadi manusia dan hidup’ (Bernardus, hom. miss. 4,11). Kristus, Sabda abadi dari Allah yang hidup, niscaya membuka pikiran kita dengan penerangan Roh Kudus, ‘untuk mengerti maksud Alkitab’ (Luk 24:45), supaya Alkitab tidak tinggal huruf mati.”



Menafsirkan Kitab Suci

Yesus pernah menegur para ahli kitab yang tekun memelajari Kitab Suci, kataNya: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah....” (Mat 22:29-32). Kesulitan membaca dan memahami Kitab Suci juga dialami sida-sida dari Etiopia, sampai ia mendapat penjelasan dari Filipus (Kis 9:26-38). “Bagaimana aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Filipus yang didorong oleh Roh Kudus membantunya. Dalam membaca Kitab Suci, agar bisa mengerti dan tidak sesat, diperlukan bantuan komunitas penafsir.

            Tidak sebarang komunitas, tentunya. Tetapi komunitas di mana Yesus dan Roh Kudus berada dan diimani. Dan komunitas itu adalah Gereja, yang memberikan pedoman dan bimbingan penafsiran. Di masa sekarang, Gereja Katolik mengenali dua pendekatan umum yang keliru di dalam menafsirkan Kitab Suci. Keduanya adalah rasionalisme dan literalisme (semata-mata harfiah), yang harus dihindari.

            Rasionalisme membatasi makna Kitab Suci pada apa yang umumnya dianggap masuk akal atau mungkin. Sikap ini menepiskan cara penafsiran Kitab Suci misalnya yang menyatakan bahwa Allah melakukan hal-hal yang luar biasa (karya ajaib atau “mujizat”) yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah dan bukan merupakan bagian dari pengalaman manusia pada umumnya dalam hidup sehari-hari. Kaum rasionalis berusaha memberikan tafsiran yang rasional, “bukan-mujizat” atas naskah alkitabiah berdasarkan pra-anggapan bahwa Allah tidak campur tangan dalam sejarah dengan cara yang luar biasa atau ajaib.

            Pra-anggapan ini tentu saja sudah menyisihkan paham tradisional Kristiani mengenai inkarnasi Sabda Allah, kebangkitan Yesus dari mati dan kenaikanNya ke surga, dan semua cerita Injil tentang ”mujizat” Yesus atau karya ajaibNya.

            Literalisme (harfiah semata) di pihak lain berusaha menafsirkan Kitab Suci tanpa memerhitungkan maksud  yang sebenarnya dari si pengarang, atau kebudayaan di mana teks itu ditulis. Para pengikut literalisme yakin bahwa Kitab Suci “bermakna harfiah seperti yang dikatakannya” – dan banyak yang melakukan hal ini tanpa menghargai Allah sebagai pengarangnya, “tafsiran” mereka berbeda-beda sekali, dan dalam banyak kasus juga sama sekali tidak mengindahkan maksud asli dari si pengarang.

            Misalnya, masing-masing dari keempat Injil agak berbeda dalam mengisahkan penemuan makam Yesus yang kosong. Di dalam Matius, seorang malaikat menggulingkan batu penutup (Mat 28:2); dalam Markus ada seorang anak muda berpakaian putih di dalam makam (Mrk 16:5); di dalam Lukas, ada dua orang dengan pakaian yang berkilat-kilat (Luk 24:4); dan dalam Yohanes ada dua malaikat berpakaian putih (Yoh 20:12). Ceritanya juga berbeda dalam detil yang lainnya.

            Pengikut pendekatan literalisme akan menyatakan bahwa masing-masing cerita itu dari sudut sejarah adalah akurat, dan karena itu perbedaan yang ada harus dapat dipadukan – dibuktikan cocok, baik secara faktual maupun historis. Pengikut pendekatan rasionalisme akan menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak relevan karena cerita itu tidak historis; cerita itu ditulis untuk mewartakan iman Gereja bahwa Yesus tidak ada lagi di dalam makam, karena Ia sudah bangkit. Gereja Katolik akan mempertimbangkan baik tradisinya maupun sumbangan pendekatan sarjana modern dalam memahami Kitab Suci sebagaimana diterangkan di bawah nanti. Umat katolik mengakui kesamaan fakta dasar dari cerita-cerita itu (yang berbeda dalam detilnya saja), dan juga titik pusat dari pesan para saksi berpakaian putih: bahwa makam itu kosong dan Yesus sudah bangkit!

            Sebaliknya, ketika penulis Kitab Suci berbicara mengenai alam, mereka menggunakannya sebagai “gambaran kiasan” atau secara “fenomenologi”, yaitu menurut cara-cara yang dapat dipahami. Misalnya sehubungan dengan timbulnya matahari gambaran Kitab Suci bukan merupakan pernyataan ilmiah bahwa bumi ini tetap berada di tempatnya dan matahari mengikutinya dengan pola gerak naik dan turun. Ungkapan seperti itu didasarkan pada persepsi inderawi dan pengalaman biasa, dan masih banyak digunakan orang hingga sekarang. “Akal sehat juga perlu digunakan. Jika penulis suci mengatakan ‘matahari telah bangkit’, kita tidak menyimpulkan bahwa Kitab Suci mengajar kepada kita bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari dan matahari mengelilingi bumi. Jika Kitab Kejadian menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan dalam enam hari, kita tidak menyimpulkannya sebagai enam kali dua puluh empat jam, karena Kitab Kejadian juga menggunakan bentuk sastra tertentu yang menyerupai syair, untuk menyampaikan kebenaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan dan memberikan tata susunan pada alam ciptaan.” (Karl Keating, What Catholics Really Believe). Santo Agustinus yang pandangannya diserap dalam ajaran para paus modern yakin bahwa Kitab Suci tidak dituliskan bagi kita sehubungan dengan “hakekat segala sesuatu yang tampak di alam raya” (Gen Litt 9.20, dikutip dalam Providentissimus Deus 39 dan Divino Afflante Spiritu  3). Maka, karena Kitab Suci tidak bermaksud menyajikan pernyataan ilmiah, maka tidak bisa dituduh mengajarkan kekeliruan sehubungan dengan hal-hal ilmiah.

            Situasinya lain sehubungan dengan hal-hal sejarah. Kitab Suci membuat pernyataan yang tak terbilang banyaknya tentang peristiwa-peristiwa yang terjasi di zaman lampau, dan ini tentu saja termasuk lingkup sifat tidak mengandung kekeliruan. Untuk sebagian, ini karena kata-kata dan karya tindakan Allah di dalam sejarah secara rumit dikaitkan bersama dalam Kitab Suci; yaitu, Allah mengungkapkan diriNya sendiri dan melaksanakan keselamatan kita melalui karya-karya historis maupun melalui kata-kata tertulis dan lisan (lihat DV 2). Catatan tentang peristiwa-peristiwa itu sudah barang tentu harus bisa dipercaya dan benar, sebab jika tidak, wahyu Allah tidak bisa dikomunikasikan secara berhasil. Begitu pula, orang tidak bisa berusaha memisahkan sejarah keselamatan dari sejarah profan dalam Kitab Suci, sebab semua kejadian yang ada di dalam Kitab Suci diatur dengan ilham ilahi untuk tujuan keselamatan kita. Karena itu ajaran Gereja secara konsisten mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan dalam menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah. Paus Benediktus XV misalnya mengecam mereka yang menyatakan bahwa “bagian sejarah dari Kitab Suci tidak didasarkan pada kebenaran mutlak dari fakta-fakta”, sebab mereka yang berpendirian demikian ”tidak sejalan dengan ajaran Gereja” (Spiritus Paraclitus 6). Gagasan dasarnya adalah bahwa  ilham ilahi menjamin akurasi faktual pernyataan-pernyataan historis Kitab Suci sejauh maksud historiografis dari si penulis dapat diperlihatkan.

            Maka Gereja Katolik mengajar bahwa untuk menentukan apa maksud dari Sabda Allah bagi kita di dalam Kitab Suci, pertama-tama kita harus mengetahui apa yang mau dikatakan oleh si pengarang yang mendapat ilham ilahi melalui bahasa yang khusus, kebudayaan, situasi historis dan jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis (lih. KGK 109-110. Lih. juga DV 11-12). Untuk itu diperlukan telaah yang bersungguh-sungguh dan kebijaksanaan, selain doa dan memohon penerangan dari Roh Kudus “agar melihat, .... apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka”.

            Sejak diterbitkannya Surat Ensiklik Paus Pius XII pada tahun 1943, Divino Afflante Spiritu, Gereja Katolik memberi dorongan positif kepada para sarjana Kitab Suci untuk menggunakan metode-metode modern dalam mencermati Kitab Suci secara kritis untuk dapat memahami lebih penuh dimensi manusiawi dari Kitab Suci dan susunannya. Dei Verbum meneguhkan lagi dorongan ini, sekaligus secara tersirat juga mengingatkan bahwa temuan-temuan para sarjana Kitab Suci yang menerapkan apa yang disebut metode kritik-historis atau pendekatan ilmiah modern lainnya terhadap Kitab Suci tidak dengan sendirinya memadai untuk menentukan makna autentik dari Sabda Allah itu. Konstitusi Konsili Vatikan Kedua itu juga menyatakan bahwa “Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan menurut Roh Kudus sebab dalam Roh itulah Kitab Suci dituliskan” (DV 12), prinsip lain yang tidak kurang pentingnya guna penafsiran yang tepat, karena tanpa itu Kitab Suci akan tinggal huruf mati saja.

            Di bagian depan telah dikatakan bahwa Allah memasuki sejarah kita sebagai manusia, yaitu Yesus dari Nazaret. Namun tidaklah mungkin mengenali siapa Yesus tanpa penerangan dari Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus. Santo Paulus menulis bahwa “tidak ada seorang pun yang dapat mengaku ‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh  Roh Kudus” (1Kor 12:3). Begitu pula, hanya Roh Kuduslah yang memungkinkan kita mengenal dan menyebut Allah sebagai “Abba, ya Bapa” (lih Rm 8:15,16; Gal 4:6).

            Sebelum naik ke surga Yesus berkata kepada para muridNya, bahwa dengan kepergianNya itu Dia akan mengirimkan Roh Kudus kepada mereka.

“Masih banyak yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:12-13).

            Karena itulah kita percaya bahwa Roh Kudus-lah yang akan menyingkapkan wahyu Allah dengan setia di dalam Gereja. Roh Kudus akan mengingatkan segala perkataan dan ajaran Yesus (Yoh 14:26). Dia akan “mengajarkan segala sesuatu kepadamu” (Yoh 14:26), dan “akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan  datang” (Yoh 16:13).

            Roh Kudus mengungkapkan kebenaran Allah Kitab Suci di dalam Gereja melalui saluran-saluran Tradisi dan Magisterium. Roh Kudus jugalah yang membimbing Gereja melalui saluran-saluran itu kepada kepenuhan kebenaran.

 


Tiga Prinsip Penafsiran Kitab Suci

Katekismus Gereja Katolik mengemukakan tiga kriteria yang diambil dari Konsili Vatikan II untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya.

  1. Memperhatikan dengan saksama “isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci” (KGK 112). Makna dari Kitab Suci, dan karenanya makna dari tiap-tiap bagian dari Kitab Suci dapat dipahami dengan benar hanya jika dipandang dari keseuruhan Kitab Suci dan kesatuannya. Ayat-ayat tidak dapat dipisahkan sendiri dari pesan keseluruhan Kitab Suci supaya dapat ditafsirkan dengan benar.
  2. Membaca Kitab Suci “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja” (KGK 113). Untuk memastikan bahwa Tradisi Gereja Katolik diperhitungkan di dalam menafsirkan Kitab Suci, Paus Pius XII (Divino Afflante Spiritu, 28, 29) sangat mendorong para Sarjana Kitab Suci agar memelajari baik-baik para Bapa dan Pujangga Gereja, serta para penafsir yang ternama dari abad-abad yang lalu. Sebab, walaupun mereka kurang mengerti ilmu-ilmu duniawi dan ilmu bahasa dibandingkan dengan para sarjana Kitab Suci dari zaman kita, namun karena jabatan yang dipercayakan kepada mereka oleh Allah di dalam Gereja, mereka itu menonjol karena pemahaman mereka yang dalam akan hal-hal rohani dan karena akal budi yang sungguh cerdas, yang memungkinkan mereka mencapai makna yang paling dalam dari sabda ilahi dan menjelaskan semua yang dapat membantu memahami ajaran Kristus dan memajukan hidup kudus.

            “Maka sungguh disesalkan bahwa khasanah yang sangat berharga dari masa lampau Kristen itu nyaris tidak dikenal oleh banyak penulis dari zaman sekarang, dan bahwa para pelajar sejarah eksegese belum dapat menyelesaikan apa yang penting bagi telaah dan penghargaan atas masalah semasa. Diharapkan banyak bantuan diperoleh untuk tujuan ini dengan  mencari pengarang tafsir Katolik atas Kitab Suci dan dengan tekun memelajari karya mereka, dan dari sana menimba kekayaan yang tiada habisnya yang tersimpan di sana, agar semakin hari semakin tampak, sejauh mana para pengarang itu memahami dan menjabarkan ajaran ilahi Kitab Suci, sehingga para penafsir zaman ini dapat mengambil contoh dan memeroleh pernyataan yang sesuai.”

                  Sinode Luar Biasa para Uskup Katolik pada tahun 1985 menyatakan bahwa “penafsiran makna asli dari Kitab Suci yang sangat dianjurkan oleh Konsili... tidak dapat dipisahkan dari tradisi hidup Gereja” (DV 10, “Final Report” dalam The Extra-ordinary Synod – 1985, bagian II, B, a,1., 1985). Semua ini semata-mata untuk mengakui bahwa pendekatan modern pada penelitian alkitabiah, sekalipun temuannya sangat berharga, tidaklah mencukupi untuk mengungkapkan makna yang sepenuhnya dari Kitab Suci.

  1. Memerhatikan analogi iman (lih Rm 12:6). Yang dimaksud dengan analogi iman adalah hubungan-hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama lain dan dalam keseluruhan rencana Wahyu (KGK 114).

 

Katekismus Gereja Katolik juga mendorong umat Katolik agar menyadari adanya arti ganda dalam Kitab Suci – dua macam atau tingkatan makna yang ada dalam teks Kitab Suci. Yang pertama adalah arti harafiah (“makna yang disampaikan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan dengan ilmu tafsir atau eksegese”) dan arti rohani. Sedangkan arti rohani selanjutnya dapat dibagikan menjadi tiga arti lagi:

  1. Arti alegoris, yaitu peristiwa-peristiwa atau gambaran dalam Kitab Suci yang menjadi tanda atau merujuk kepada realitas rohani, terutama Kristus;
  2. Arti moral, yaitu ajaran ilahi yang membimbing kita untuk berbuat adil; dan
  3. Arti anagogis, yaitu peristiwa dan gambaran yang dipandang sebagai tanda-tanda bagi kepenuhannya di surga, sehubungan dengan artinya yang abadi. (Lihat KGK 115-117).
(Bersambung)

HIDUP-HIDUP BAIK-HIDUP KEKAL

 Pandangan Alkitab

Berbagai kata dalam Kitab Suci yang diterjemahkan dengan kata “hidup” kurang lebih mempunyai makna yang sama luasnya dengan pengertian kata “hidup, life” itu sendiri. Hidup bisa semata-mata suatu prinsip yang membedakan “benda hidup” dan “benda mati”, atau masa hidup seseorang, atau cara hidup seseorang, atau hidup kekal yang ada pada kaum beriman sekalipun sekarang, ke arah mana ia dipanggil sebagai suatu harapan masa depan (KGK 609-610, 994-996).



 I.                Dalam Perjanjian Lama

  1. Allah Sumber Hidup
  2. Hidup yang Baik
  3. Hidup Kekal

 II.              Dalam Perjanjian Baru

  1. Hidup Kekal Sebagai Fokus
  2. Iman pada Yesus sebagai Sarana Hidup Kekal
  3. Hidup Kekal Sudah Mulai Dari Sekarang

 

I.   Dalam Perjanjian Lama

A.  Allah Sumber Hidup

Semua yang hidup mendapatkan keberadaan dan kelangsungannya dari Allah, Sang Pencipta; ini merupakan prinsip dasar dalam Perjanjian Lama (Kej 2:7). Allah itu kekal, tetapi mahluk ciptaanNya adalah fana (2 Sam 14:14; Mzm 90:1-6). Berbeda dari ilah-ilah yang disembah bangsa-bangsa lain, Tuhan adalah “Allah yang hidup” (Yer 10:6-10; bdk 1 Tes 1:9). Ia menciptakan hidup dengan menghembuskan hidup itu pada manusia (Kej 2:7), dan hidup terus bertahan sepanjang Allah menempatkan roh di dalam manusia (Kej 6:3; Ayb 34:14-15). Kitab Amsal menekankan prinsip hidup yang berasal dari Allah dan seberapa jauh Ia menanamkannya pada segala yang hidup (Mzm 16:11; 133:3). Dia adalah “sumber hidup” (Mzm 36:10) dan “cahaya kehidupan” (Mzm 56:14). Karena hidup itu merupakan anugerah, kita wajib mensyukurinya, sebagaimana orang bersyukur karena dibebaskan dari kematian atau bahaya, atau bahkan dari kehilangan martabat (Mzm 30:3-4; 71:20; 80:18).



 B.  Hidup yang Baik

Bahwa kematian merupakan akhir dari kehidupan yang tak terelakkan bagi mahluk yang fana mengembangkan pemikiran mengenai yang disebut “hidup yang baik”. Hidup yang baik sering dipandang merupakan umur panjang, yang berakhir dengan kematian “yang baik” pada usia lanjut (Kej 25:8; Ul 5:16; Hak 8:32; Ayb 21:23). Dalam banyak hal, keluarga merupakan pusat dari suatu hidup yang baik: mempunyai anak-anak merupakan tanda dari berkat (Mzm 128:1-6) dan memastikan bahwa garis keluarga akan terus berlanjut (Kej 35:29; 50:7-8; Ayb 42:16).  Sastra kebijaksanaan menekankan bahwa hikmat atau kebijaksanaan mendatangkan hidup baik, yang sering digambarkan sebagai umur panjang dan sejahtera (Ams 3:16; 8:18). Maka “hidup yang baik” adalah hidup di mana seseorang menikmati kedamaian, kebahagiaan, keluarga dan kerabat, teman dan sahabat, dan segala hal yang baik yang berasal dari hidup yang baik. Di pihak lain Kitab-kitab Kebijaksanaan seperti Ayub dan Pengkhotbah mengakui bahwa hikmat/kebijaksanaan saja tidak cukup untuk menghasilkan segala hal yang baik: “karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan” (Pkh 1:18). Sebagian dari masa hidup Ayub dijalani dalam kesusahan, apakah karena itu ia tidak mengalami “hidup yang baik”? Pada akhirnya, berserah kepada Allah merupakan satu-satunya arah yang pasti. “Akhir kata dari semua yang didengar adalah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena ini adalah kewajiban semua orang” (Pkh 12:13).

      Maka, hidup mempunyai suatu dimensi moral yang berkait dengan pelaksanaan perintah-perintah Allah dan terutama setia kepada perjanjian. Hidup merupakan suatu rahmat, dan hidup yang baik adalah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengikuti Hukum (Sir 24:22-23; bdk Ul 4:1; 6:24; 16:20).

“Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh Tuhan, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya. Tetapi jika hatimu berpaling dan engkau tidak mau mendengar, bahkan engkau mau disesatkan untuk sujud menyembah kepada allah lain dan beribadah kepadanya, maka aku memberitahukan kepadamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu akan binasa; tidak akan lanjut umurmu di tanah, ke mana engkau pergi, menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya” (Ul 30:15-18)

 C.  Hidup Kekal

Pada masa Pembuangan Babilon, pandangan berubah menjadi lebih bersifat eskatolgis, merujuk ke arah kebangkitan menuju hidup kekal (Dan 12:2). Pandangan eskatologis itu semakin berkembang setelah sekian lama (2 Mak 7:9). Hidup sesudah kematian terletak di seberang hidup kita di dunia: “Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar hakekat-Nya sendiri” (Keb 2:23). Maka ada tujuan yang lebih dalam dari kesulitan-kesulitan yang dialami demi kebaikan: “Kalaupun mereka disiksa menurut pandangan manusia, namun harapan mereka penuh kebakaan”  (Keb 3:4).

 


II.  Dalam Perjanjian Baru

A.  Hidup Kekal Sebagai Fokus

Hidup kekal melalui Yesus Kristus merupakan ajaran sentral Perjanjian Baru. “Hidup” di sini berarti hidup ilahi atau hidup kekal. Sebagai Pencipta, Kristus memberikan “hidup duniawi” kepada manusia (Yoh 1:1-4), dan sebagai Penebus Ia memberikan “hidup ilahi” dalam segala kelimpahannya (Yoh 10:10).

      Ini merupakan kelanjutan dari pandangan Perjanjian Lama tentang hidup, tetapi dengan orientasi yang lebih kuat pada keabadian. Hidup lebih dari sekedar memiliki (Luk 12:15); secara paradoksal, supaya memiliki hidup kekal, orang harus menyerahkan hidupnya kepada Yesus (Luk 14:26) sebagaimana Ia telah menyerahkan hidupNya bagi banyak orang (Mrk 10:45).  Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya” (Luk 17:33).

 B.  Iman pada Yesus sebagai Sarana Hidup Kekal

Ketika menulis Injilnya Yohanes menyatakan kepada kita: “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Iman pada Penyaliban dan Kebangkitan Yesus Kristus membentuk dasar hidup kita (Yoh 3:16), dan di dalam baptis, kita diperbolehkan ikut ambil bagian dalam hidup baru yang “datang dari atas” (Yoh 3:3-5). Hidup kekal adalah karunia Allah bagi semua orang yang percaya (Rm 6:23) dan yang hidup dalam Roh (Rm 8:11-13).

      Di dalam Perjanjian Baru, hidup yang ideal adalah hidup yang didasarkan pada hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Cara hidup ini diikhtisarkan dalam Surat Kepada Jemaat Galatia: “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:19-20). Mirip dengan itu, Paulus menulis: “Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm 6:11 ; bdk 1 Kor 15:22; Flp 1:21). Yohanes terutama menekankan bahwa hidup kekal kita bergantung kepada Kristus: “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup” (1 Yoh 5:11-12).

 C.  Hidup Kekal Sudah Mulai Dari Sekarang

Hidup kekal sudah datang kepada mereka yang beribadah kepada Allah, menaati perintah-perintahNya, dan mengikuti Kristus, “Pemimpin kepada hidup” (Kis 3:15; bdk. Kis 5:20; 13:48; 17:25). Hidup kekal dengan demikian merupakan cicipan atas hidup yang akan datang. Hidup ini sudah dimulai sejak baptisan, yang mendatangkan hidup baru dalam |Kristus (Rm 6:4). Hidup yang lama sudah berlalu bagi pendosa, hidup dalam daging (Rm 8:12), dan suatu kebangkitan telah terjadi di dalam jiwa (Rm 6:13) yang mengantisipasi kebangkitan tubuh (Rm 8:11).

      Hidup kekal yang sepenuhnya akan dimiliki di surga, yang disebut Kitab Suci “hidup yang sebenarnya” (1 |Tim 6:19), tetapi kita sudah mempunyai suatu bagian di dalam hidup kekal itu melalui karya sakramental Gereja: ''Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53).



BERBAGI BACAAN ULANG

 

Pagi ini saya bangun terlambat. Cucu-cucu tidak membangunkan saya ketika mereka siap-siap untuk sekolah. Mungkin cucu yang terbesar melarang adik-adiknya membangunkan diriku untuk pamitan karena ia tahu semalam kakeknya begadang setelah nonton bola, dan harus memberi kesempatan kakeknya tidur cukup dalam ukuran delapan jam.

Ketika bangun rasanya masih malas untuk bangun karena badan lemas. Maka setelah sedikit berdoa aku raih buku sekenanya untuk membaca. Yang kebetulan kuraih adalah buku Timothy Radcliffe OP "I Call You Friends", buku terbitan tahun 2001. Aku telah membaca buku itu berkali-kali sebelum aku menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia tahun 2004, berkali-kali ketika sedang menerjemahkan, dan berkali-kali sesudah kuterjemahkan, hingga sekarang Aku senang membacanya. Barangkali karena aku menyukai gaya Tim yang kocak, jujur, seadanya, tapi juga humoris. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa ia menyampaikan pengalaman hidup dan kesaksian. Hari ini aku senang membacanya sehubungan dengan undangan Ikafite untuk bicara tentang Tahun Orientasi Pastoral calon imam. Dan aku ingin berbagi bacaan ulang yang sedang saya nikmati.


Saya membagikan bagian yang sudah saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia, karena teman-teman lebih suka berbahasa Indonesia.

Panggilan

 


 

 Bagaimana peralihan dari iman kanak-kanak menjadi iman dewasa yang kamu alami?

 Ketika aku masih sekolah, sekalipun aku senang dengan indahnya liturgi, aku sama sekali bukan anak yang saleh. Aku bukan suatu contoh yang baik. Aku hanyalah seorang anak lelaki yang suka memanjat pagar tembok asrama dan pergi ke warung, pub, untuk merokok dan minum. Aku hampir dikeluarkan gara-gara ketahuan membaca buku novel Lady Chatterley’s Lover sewaktu ibadat Pujian! Aku selalu percaya kepada Tuhan. Itu merupakan bagian dari napasku. Sama seperti aku tidak meragukan adanya pohon-pohon dan awan-awan. Keberadaan Tuhan sangat jelas. Tetapi aku tidak begitu memikirkan agama.

            Aku ingin cuti belajar setahun sebelum masuk universitas untuk mendapatkan pengalaman yang lebih luas. Aku mendapat pekerjaan di suatu kantor di London. Di sana, untuk yang pertama kalinya, aku mendapatkan teman-teman yang bukan katolik. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan berat mengenai imanku. Mereka bertanya mengapa aku begitu percaya. Itu merupakan salah perubahan bagiku. Untuk kali yang pertama aku menghadapi pertanyaan: Apakah imanku benar? Jika benar, maka iman itu pasti sangat penting bagi hidupku. Jika tidak benar, mungkin aku harus meninggalkannya. Jadi, keluar dari suatu lingkungan Katolik yang sangat terlindung dan berjumpa dengan orang-orang bukan-katolik yang membuatku shock justru mengantarku pada kedewasaan iman.

 Apakah kemudian kamu menyadari apa yang sungguh kamu percayai?

 Bukan hanya aku menjadi sungguh yakin, tetapi iman ini pasti sentral bagi hidupku. Dan pada waktu itulah aku memikirkan Ordo Dominikan. Sebenarnya, yang kutahu hanyalah bahwa ada suatu Ordo yang punya moto: Veritas, Kebenaran. Tapi aku tak tahu Ordo yang mana. Aku menelepon seorang teman biarawan Benediktin yang memberi tahu aku siapa mereka dan bagaimana menghubungi mereka. Aku membuat janji-temu dengan Provinsial Ordo Dominikan. Hanya lima menit bertemu dengan biarawan Ordo Dominikan pertama dalam hidupku, aku sudah menyatakan bahwa aku ingin bergabung dengan Ordo itu. Pertemuan pertama itu merupakan suatu kejutan, soalnya sang Provinsial mengajak aku bicara tentang sepakbola, sedang aku sama sekali tidak punya minat pada sepakbola, dan aku tidak sabar ingin bicara tentang teologi. Aku lalu pergi berkunjung ke novisiat di Woodchester, yang sungguh mengesan bagiku. Aku sangat tersentuh oleh kesederhanaan hidup mereka. Rumahnya sungguh usang. Jamur tumbuh di langit-langit kamar tamu yang kutempati. Hal kedua yang memikatku adalah semangat mereka yang besar untuk berdiskusi, tentang apa saja, mulai dari soal komunisme sampai soal sakramen. Misalnya, aku ingat seorang bruder menjelaskan bagaimana hidup sakramental Gereja merasuk sampai ke setiap aspek ragawi dalam hidup kita; memberikan berkat pada kelahiran kita, kematian kita, makan dan minum, dan dalam seksualitas kita. Belum pernah ada orang yang bicara seperti itu kepadaku tentang agama, dan aku sangat takjub. Ketika aku hendak pergi di akhir kunjunganku itu, aku mengajukan permohonan untuk bisa masuk Ordo. Aku bertanya kepada pimpinan novisiat apa yang harus kubaca sebagai persiapan. Aku mengharap suatu karya teologi yang saleh. Tapi eh, dia menyodorkan karya Plato: Dialog. Sebenarnyalah mereka menawarkan suatu persiapan yang sangat bagus untuk memilih suatu kehidupan religius. Maka dalam beberapa minggu berikutnya, aku membaca Perjanjian Baru di dalam kereta ketika berangkat bekerja, dan membaca Plato sewaktu pulang dari kerja.

 Sebelum pertemuan itu, benarkah kamu tak punya hubungan dengan anggota biara Dominikan?

 Benar. Tapi baru belakangan ini saja aku mengetahui suatu hubungan yang lebih dalam. Salah seorang kakek buyutku, George Lane-Fox, menjadi seorang katolik, dan segera dicoret dari daftar ahli waris oleh ayahnya. George pergi ke Roma dan masuk novisiat internasional di Santa Sabina[i], di mana ia sekarang berada. Tampaknya ia lebih suka menyelinap pergi meninggalkan novisiat mengunjungsi restoran bersama dengan kerabat yang datang menengok, sehingga asistem pemimpin novis mengatakan kepadanya bahwa ia tidak punya panggilan, maka ia pergi. Tapi dialah rahib Hyacinth Cormier, yang sesudahnya malah menjadi Pemimpin Ordo. Jadi memang tidak ada kontak sebelum aku bergabung dengan Ordo, tetapi ternyata aku punya seperdelapan dari susunan genetikku berkaitan dengan Pemimpin Ordo.

 Sebelum umurmu sembilan belas, apakah kamu tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang pastor atau biarawan?

 Tidak pernah. Bukannya karena imam atau biarawan sesuatu yang asing bagiku, tidak. Aku dekat dengan banyak anggota biara Benediktin. Aku tidak menganggap mereka sebagai mahluk dari planet lain, melainkan orang biasa yang menjadi teman-temanku, dan sering menjadi relasiku. Tetapi gagasan menjadi biarawan tidak pernah terlintas dalam pikiranku,

 Tidakkah guru-guru sekolah Benediktin, misalnya, pernah menyarankannya?

 Tidak. Mungkin karena aku punya kesan bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh....

 Pekerjaan apa yang bagimu menarik ketika muda dulu?

 Anehnya aku juga tidak pernah memikirkan bagaimana aku akan bekerja untuk hidup. Tapi aku ingat, ketika umurku sepuluh, aku mendengar percakapan tentang penanaman pohon untuk mengerem meluasnya gurun Sahara. Aku punya kesan bahwa gagasan itu bagus sekali, dan untuk beberapa waktu aku ingin dapat bertumbuh besar dan menjadi ahli kehutanan. Kemudian aku tertarik pada bidang penerbitan, dan aku pernah makan siang dengan Rupert Hart Davies membahas minat itu. Maka aku tertarik oleh keinginan menanam pohon dan membendung meluasnya gurun dan sekaligus menebang pohon untuk membuat kertas bagi buku-buku. Kukira aku selalu punya keinginan akan hal-hal yang bertentangan.

 Ketika kamu membuat keputusan mendadak untuk menjadi biarawan, apakah kamu merasakan suatu panggilan dari Tuhan?

 Aku tidak akan mengatakannya dengan cara seperti itu. Aku sungguh percaya akan gagasan mengenai panggilan. Aku yakin semua orang mendapat panggilan dari Tuhan. Setidaknya panggilan untuk melakukan sesuatu dibanding dengan panggilan untuk menjadi sesuatu. Dalam Kitab Suci kamu bisa lihat bahwa tema Penciptaan dan panggilan terkait erat. Segalanya ada karena Allah memanggil namanya. “Tuhan telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku” (Yes 49:1). Kita semua terpanggil pada kepenuhan hidup.

            Jadi aku percaya akan gagasan tentang panggilan itu. Tuhan memanggil. Tetapi prosesnya tidak seperti mendengar dering telepon, mengangkat pesawatnya, lalu mendengar Allah di ujung sana berkata, “Kemarilah, Timothy.” Melainkan sungguh lebih bersifat ontologis; ada di dalam relung keberadaanmu. Jadi aku tidak mendengar suara apapun, tapi juga bukan karena aku berkata pada diriku sendiri “Nah, itu pekerjaan yang mau kulakukan.” Aku menemukan bagaimana caranya dan untuk jadi siapa aku dipanggil.

 Bagaimana reaksi orang-orang di sekeliling kamu?

 Teman-teman terkejut, tapi orangtuaku tidak. Aku ingat betul saat ayah kuberitahu. Aku berdiri di depan perapian di ruang keluarga. Ayahku sedang membaca The Financial Times. Katanya “Kami akan mendukungmu, apapun yang akan terjadi, apakah kamu bertahan atau tidak. Kamu harus bebas mencobanya dan bebas pula meninggalkannya. Kami tak akan menganggap itu suatu kegagalan.” Itu penting: mereka memberikan padaku kebebasan. Ayah hanya memberi aku saran, supaya aku mengenal kesulitan-kesulitannya, agar aku menghubungi salah seorang temannya, seorang mantan seminaris yang menjadi wartawan terkenal.

            Kukira orang tuaku tidak ada masalah jika aku menjadi seorang biarawan. Banyak teman dan kerabat kami yang hidup membiara. Nenekku berasal dari suatu keluarga dengan sembilan atau sepuluh anak. Tujuh di antaranya menjadi religius. Di pihak lain, mereka merasa aneh bahwa aku memilih menjadi seorang Dominikan.

 Mengapa?

 Di Inggris, Dominikan dipandang sebagai “sayap kiri”. Misalnya, mereka sangat terkenal karena pandangan-pandangan teologis mereka [yang berhaluan kiri], karena dialog mereka dengan Marxisme. Di koran-koran, di televisi, kamu lihat pada Dominikan melakukan demonstrasi anti Perang Vietnam, menentang apartheid di Afrika Selatan, anti senjata nuklir. Ayahku termasuk golongan Konservatif yang tidak dogmatik: mereka tak pernah menyukai Margaret Thatcher, tetapi kupikir berat juga bagi mereka melihat anak mereka bergabung dengan suatu Ordo yang dipandang terlalu kiri.

 Apakah secara pribadi kamu menyadari reputasi Dominikan sebagai “sayap kiri” itu?

 Bukan itu yang membuatku tertarik. Aku tertarik pada pengejaran mereka akan kebenaran, sikap hidup mereka yang miskin, kehidupan doa dan persaudaraan mereka. Tetapi aku terguncang ketika bergabung dengan Ordo karena aku satu-satunya novis dengan latar belakang seperti itu. Aku terus menerus jadi ejekan. Aku juga mendapat kesan bahwa semua keluargaku dicap kapitalis imoral yang mengekploitasi kaum pekerja. Itu sangat menyakitkan bagiku karena aku tahu mereka itu orang baik, banyak yang kuanggap orang suci. Jadi bulan-bulan pertama sungguh sangat sulit.

            Kemudian saudara-saudara seordo mulai mengerem kritik mereka, dan pandangan politikku sendiri mulai berubah, sekalipun pandanganku terhadap kebaikan kerabatku tetap sama [tertawa].

 Kamu masuk biara pada pertengahan tahun 1960-an. Jadi kamu mengucapkan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, sepenuhnya menentang arus zaman itu, yang memproklamasikan konsumerisme, kebebasan seks dan tantangan radikal terhadap penguasa....

 Ya, memang benar bahwa waktu itu merupakan periode yang sangat sulit bagi Ordo. Banyak yang pergi meninggalkan Ordo. Hidup membiara tradisional sepertinya sedang runtuh. Kami tidak tahu masa depan nanti akan seperti apa; kami bahkan bertanya pada diri sendiri, apakah masa depan itu ada. Kami beruntung mempunyai superior-superior yang hebat. Mereka pun tidak bisa melihat masa depan, tetapi mereka berpihak kepada kaum muda dan memberi keyakinan kepada kami. Aku ingat suatu percakapan dengan seorang Dominikan tua, Gervase Matthew, seorang cendekiawan terkenal. Aku berkata kepadanya, “Pasti sangat berat bagi Anda, Gervase, menyaksikan semua keadaan ini.” Ia menjawab, “Oh, situasi di abad keempat belas jauh lebih buruk lagi.” Suatu perspektif sejarah dapat merelatifkan begitu banyak drama. Pada waktu yang sama, masa disintegrasi hidup membiara tradisional memaksa kami untuk memulai renungan yang mendalam tentang hakekat yang sesungguhnya dari panggilan kami. Kami harus membina kembali hidup Dominikan kami, mulai dari fondasinya, memeriksa bagaimana cara kami melakukan pertemuan-pertemuan komunitas, bagaimana kami berdoa, apa artinya kaul-kaul kami, apa artinya belajar teologi, bagaimana caranya berkhotbah. Masa itu merupakan masa yang luar biasa kreatif. Kami melakukan banyak kesalahan, dan sering berakhir dengan menemukan kembali kebijaksanaan yang yang tadinya kami tolak, kebijaksanaan tradisi. Namun tahun-tahun yang penuh gejolak itu menghasilkan buah juga, sekalipun membingungkan dan menyakitkan.

 Mari kita bicarakan triprasetia: kemiskinan, kemurnian, ketaatan dengan mendetil.

 Kaul kemiskinan bukan masalah. Ordo kami miskin, dan pada umumnya hal itu berkesan sangat positif pada kami, walaupun tidak dengan mudah. Aku ingat ketika aku bergabung, mahasiswa-mahasiswa Dominikan hanya diberi uang saku tiga puluh shilling [£ 1.50] per bulan, hanya cukup untuk beberapa gelas bir saja. Kami protes, “Pastor-pastor diberi £ 2: ini tidak adil. Harusnya kami ditambah, atau mereka dikurangi.” Bisa kamu bayangkan, uang saku kami ditambah. Tetapi kaul kemiskinan  memberikan kepada kami kebebasan hati dan pikiran yang besar. Jika kami melakukan perjalanan, sebagian dari kami selalu mencari tumpangan (hitch-hiking). Aku secara pribadi menikmati sikap miskin itu, yang sangat berbeda dari hidupku di masa lalu. Aku ingat suatu ketika aku mengunjungi salah seorang pamanku di Yorkshire. Ketika tiba waktunya untuk pamit, ia bertanya kepadaku, jam berapa keretaku berangkat. Aku menjelaskan bahwa aku akan mencari tumpangan untuk kembali ke London. Ia mau membelikan aku tiket kereta, tapi aku menolak. Akhirnya kami mencapai kompromi: sopirnya akan mengantar aku dengan Roll-Royce beberapa kilometer dari rumah dan meninggalkan aku untuk mendapatkan tumpangan. Ketika aku menemukan tempat yang baik untuk mencari tumpangan, aku minta sopir menurunkan aku. Ia mengulurkan tasku, dan sebuah truk memberi tumpangan kepadaku. Kudapatkan mobilitas di antara dua dunia – Roll-Royce dan truk – membebaskan aku. Itulah kebebasan bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan serba enteng.

 Ketaatan?

 Aku tidak ingat adanya kesulitan dalam bidang ini. Dalam tradisi kami, ketaatan berkaitan dengan dialog dan persaudaraan. Di Oxford aku beruntung mendapatkan seorang Prior yang luar biasa selama sembilan tahun : Fergus Kerr, yang adalah seorang teolog terkenal. Ia memimpin pertemuan-pertemuan komunitas dengan sangat bijaksana. Itu sungguh-sungguh suatu pendidikan dialog dan tanggungjawab yang sangat dalam yang sangat kusyukuri.

 Akhirnya, kemurnian?

 Itu yang paling sulit, sungguh, karena kami tidak mendapat pendidikan di dalam menghadapi seksualitas kami. Kami hanya disuruh mandi air dingin atau lari maraton. Soal itu jadi semakin lebih berat lagi, karena kami tidak terpisah sama sekali dari kaum muda lainnya. Jadi kami berbuat kesalahan. Perlu waktu juga untuk bersama-sama menemukan kembali nilai-nilai kemurnian.

 Bagaimana kamu merumuskan nilai kemurnian?

 Pertama-tama, kemurnian memberi kami kebebasan yang luar biasa dalam arti kata yang paling harfiah. Hari-hari ini aku menggunakan sebagian besar dari waktuku dalam setahun untuk melakukan perjalanan, mengunjungi Provinsi-provinsi Ordo. Ini tak akan bisa kulakukan jika aku punya keluarga. Kupikir kemurnian juga memberi kesaksian akan cinta yang dalam, yaitu persahabatan. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Persahabatan inilah yang kami hayati di dalam dan di luar Ordo. Di dalam Injil dan di dalam Kitab Suci  ada dua model kasih:  kasih suami isteri yang penuh gairah, dalam Kidung Agung dan dalam Surat Efesus, dan kemudian kasih persahabatan, dalam Injil Yohanes. Jika kita hendak menjadi saksi Allah yang adalah kasih, kita perlu mendapatkan kedua cara kasih itu di dalam Gereja. Kita memerlukan pasangan-pasangan yang menikah dan kaum religius, dan tentu saja mereka yang hidup lajang, yang menunjukkan dengan cara yang berbeda misteri kasih yang satu.

 Apakah kamu tidak membayar terlalu mahal demi kebebasan yang berasal dari kemurnian ini?

 Aku yakin bahwa aspek yang paling sulit dari kemurnian bukanlah tidak adanya kegiatan seksual, tetapi lebih-lebih lagi adalah kurangnya keintiman, yaitu kesadaran bahwa kamu adalah satu-satunya yang penting bagi seseorang, yang adalah juga sama pentingnya bagi kamu. Ada saat dalam hidupku ketika umurku tigapuluh, aku merasakan hal itu sebagai penderitaan besar. Aku ingat, aku memimpikan punya suatu keluarga, punya anak-anak, merindukan keintiman dengan penuh hasrat... Tetapi dalam kehidupan membiara aku juga menemukan kebahagiaan, kegembiraan, persahabatan, gelak tawa, spontanitas dan suatu cara mengasihi yang luar biasa. Kupikir panggilan ini memanggilseseorang ke padang gurun, dengan menyadari bahwa di sana, seperti dikatakan dalam Kitab Suci, Tuhan akan berbicara kepadamu dengan lembut. Jika panggilanmu yang sebenarnya adalah untuk pergi ke padang gurun, kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati di sana, suatu kebahagiaan yang dalam.

 Kamu tadi berkata, ada banyak yang meninggalkan Ordo. Bagaimana kamu menjelaskan fakta bahwa kamu tetap bertahan di dalamnya?

 Aku tak pernah ragu bahwa aku dipanggil untuk tetap berada di dalam Ordo. Yang juga membantuku adalah bahwa aku begitu jatuh cinta pada studi, aku mendapatkan bahwa aku sangat bergairah memelajari Sabda Tuhan. Kita harus punya gairah: tak seorang pun dapat sungguh-sungguh hidup tanpa gairah. Digabungkan dengan penemuan akan persahabatan di antara saudara-saudara seordo, kukira itulah yang memampukan aku bertahan, bahkan bukan sekadar bertahan saja. Aku tahu bahwa aku tidak akan menjadi lebih bahagia jika melakukan apapun yang lain dari itu.

 

[i] Biara di Bukit Aventin di Roma, tempat kantor pusat administrasi Ordo Dominikan.




Pendidikan Selanjutnya

 Bagaimana pendidikan selanjutnya yang kamu terima di dalam Ordo?

 Berawal di Oxford, terutama di biara Blackfriars tetapi juga di Universitas, di mana aku mendapatkan suatu gelar dalam teologi. Aku beruntung belajar dengan seorang Dominikan yang bernama Cornelius Ernst. Ayahnya seorang Inggris-Belanda dan Anglikan. Ibunya orang Sri Lanka dan seorang yang beragama Buddha. Pada masa mudanya di Sri Lanka ia seorang komunis sampai ia ditendang dari partai karena perbedaan pandangan. Ia datang di Cambridge untuk belajar dan menjadi murid filsuf Wittgenstein. Ia salah seorang dari “para penyair muda Cambridge” saat itu. Akhirnya ia menemukan bahwa hanya di dalam agama Katolik-lah ia bisa leluasa menampung dan memadukan Anglikanisme ayahnya dan Buddhisme ibunya, komunisme dari masa mudanya dan filsafat yang dipelajarinya dari Wittgenstein. Ia mendapatkan rumahnya dalam Gereja. Cornelius memainkan peran yang sangat penting dalam pendidikanku. Selama hampir enam tahun kami bertemu seminggu sekali dalam rangka tutorial (bimbingan studi) – hanya berdua saja. Sebulan sekali aku membeli sebotol anggur dan kami bercakap-cakap pada suatu malam – bicara tentang teologi dan mendengarkan musik. Ia seorang yang punya wawasan dan minat yang sungguh luas, yang disimbulkannya dengan suatu kata-kata pembukaan dari suatu kuliah, ketika ia menyatakan bahwa ia merenungkan Pembukaan Injil Yohanes dalam terang puisi terakhir karya Rimbaud dan teori matematik yang mutakhir! Aku bengong tidak paham apa yang dikatakannya! Memang tidak gampang memahami dia; tulisan-tulisannya padat luar biasa. Tetapi ia memdukan pengertian yang dalam tentang Gereja dan tradisinya dengan pemahaman yang nyata akan modernitas dan persoalan-persoalannya. Dengannya, kudapatkan bahwa tradisi dan modernitas tidak perlu dipertentangkan. Dua hal sungguh membinaku di Oxford. Yang pertama, khotbah-khotbah para saudara seordo, terutama Herbert McCabe. Memang dari khotbah-khotbah merekalah aku belajar sebagian besar dari teologiku. Khotbah mereka menunjukkan kecintaan yang besar untuk menguraikan Kitab Suci; khotbah itu mengajarkan perhatian yang tercurah pada suatu teks. Serentak dengan itu, dalam tradisi Inggris, di dalamnya ada humor. Itu menunjukkan bahwa keseriusan dan tawa bisa berjalan seiring. Yang kedua adalah pengalaman mendapatkan Cornelius dan yang lain-lain sebagai tutor pembimbing. Setiap pekan kamu harus menulis sebuah esai untuk tutormu dan kemudian membela pendapatmu. Belajar tidak cuma duduk dan mendengarkan kuliah dari seseorang; juga ada debat. Pada waktu itu, di Oxford, hal itu merupakan kesukaanku.

 Kenangan apa yang ada padamu dari masa belajar di Paris?

 Aku mendapat kehormatan untuk tinggal setahun bersama dengan Yves Congar dan Marie-Dominique Chenu, dua orang Bapa Konsili Vatikan II, di biara Saint-Jacques. Ketika aku tiba di sana, orang pertama yang kujumpai adalah seorang tua yang memelukku dan kemudian menjambak rambutku. Kupikir dia seorang rahib tua yang eksentrik. Malamnya barulah kuketahui bahwa dia adalah Marie-Dominique Chenu yang beken itu. Sikapnya yang sangat manusiawi begitu menyentuh hatiku, begitu pula cita rasa persaudaraannya dan perhatiannya yang penuh kepada apa yang sedang dipikirkan orang lain. Ia adalah seorang yang sangat periang dan sekaligus selalu waspada. Ia selalu lapar belajar, untuk mengerti. Congar jelas lebih serius pendiam. Tapi orang akan dapat merasakan gairahnya yang menggebu mengagumkan dalam mencari kebenaran. Salah satu pengalaman yang paling luar biasa dalam hidupku adalah pergi bersamanya ke Chartres. Aku banyak melakukan pekerjaan terjemahan baginya, dan suatu hari ia berkata, “Sebagai terima kasihku, hari ini kita akan berkunjung ke Chartres”. Aku mendorong kursi rodanya berkeliling katedral itu, sementara dia merenungi teologi dari mozaik kaca-kaca. Di Paris, aku sangat tertarik pada karya-karya Charles Foucault. Aku sangat menentang dia dengan teorinya tentang disintegrasi subyek. Kupikir di keliru, dan dalam mencari sebab kekeliruannya, aku belajar banyak.

 Kamu juga pernah tinggal beberapa lama di Yerusalem....

 Hanya enam minggu. Tapi aku benar-benar jatuh cinta dengan Yerusalem. Pertama-tama Yerusalem adalah tempat perjumpaan orang dari kepercayaan yang berbeda, pusat tiga agama monoteis yang besar. Kamu bisa melihat ini di jalanan, dari pakaian orang di sana: ada Yahudi Hassidi, Muslim yang sedang melakukan rukun haji, Fransiskan, Dominikan, para imam Ortodoks, imam Armenia, dan sebagainya. Yerusalem juga tempat di mana seseorang akan sangat terkesan oleh realitas Inkarnasi, yang bukan ajaran abstrak; suatu kepercayaan yang mengguncangkan bahwa Allah menjadi salah seorang dari kita, dilahirkan di tempat tertentu, pada saat tertentu, dalam budaya tertentu. Aku dibantu melihat hal ini oleh dua komunitas yang berbeda dari Ordo kami di Yerusalem. Setiap hari aku pergi ke Ecole Biblique, di mana aku berkenalan dengan arkeolog besar Roland de Vaux, seorang cendekiawan yang hebat namun juga sangat sederhana. Ketika ia menngundang aku untuk mengunjungi situs penggalian ia menyatakan bahwa para arkeolog menjelaskan pelbagai hal dalam istilah-istilah yang bisa kumengerti. Di sini orang melihat jejak-jejak sejarah keselamatan digali dari dalam bumi. Dan yang kedua, aku tinggal di Wisma Yesaya. Suatu komunitas saudara-saudara yang melakukan dialog dengan agama Yahudi. Di sini aku melakukan perjumpaan pertamaku dengan saudara sepupu dalam iman, komunitas Yahudi di mana Yesus dulu dilahirkan. Aku berusaha keras untuk melantunkan Mazmur dalam bahasa Ibrani. Aku bekerja keras untuk menyanyikan Bapa Kami dalam bahasa Ibrani, dan masih harus terus belajar untuk bisa melakukannya!

 Pada tahun 1971, setelah kaul kekal, kamu ditahbiskan menjadi imam. Memangnya kamu ingin jadi pastor?

 Aku merasa terpanggil untuk menjadi biarawan. Aku ingin menjadi bruder, saudara di antara para saudara se-ordo yang lain. Aku tidak tertarik menjadi imam, sebab aku masih (bahkan sampai sekarangpun masih) risih dengan apa pun yang berbau klerikal. Ada pastor-pastor yang memberi kesan lebih unggul ketimbang yang lain. Aku tidak merasa lebih baik dari orang lain, dan memang begitu. Adanya jarak pemisah dalam imamat itu membuatku tidak nyaman. Aku menerima tahbisan karena para saudara meminta aku, karena menurut mereka itu baik bagi misi. Jadi aku mengiyakan. Hal itu merupakan bagian dari ketaatanku pada Ordo.

            Aku berangsur angsur memahami kebahagiaan sebagai imam, pertama-tama melalui sakramen pengakuan. Pada suatu hari aku bertanya kepada Garvese Matthew, “Di antara hal-hal yang telah Anda lakukan, apa yang yang paling penting? Apakah buku Anda tentang estetika Bizantin, ataukah riset arkeologis di Etiopia?” Ia menjawab, “Mendengarkan pengakuan dosa.” Aku mendapatkan bahwa itu benar. Jika kamu mendengarkan suatu pengakuan, kamu akan sadar kamu bukan seorang yang unggul, yang lebih baik, yang menyampaikan pengampunan Tuhan kepada seseorang yang lain. Jika kamu jujur, kamu akan menyadari bahwa dosa-dosa orang lain adalah dosa yang kamu lakukan sendiri, atau setidaknya dapat kamu lakukan dengan mudah. Semakin orang membukakan hatinya dan membagikan konflik batin yang mereka alami, semakin kamu rasakan bahwa kamu sendiri seperti dia, seorang manusia, lemah dan gampang rusak, yang memerlukan kesembuhan dan ampunan. Jika imam bisa memberikan dorongan semangat, itu adalah karena dia sendiri membutuhkan kata-kata itu bagi dirinya. Maka dalam pengakuan dosa, kamu dapat berbagi pengampunan Tuhan dengan orang lain, mendapatkan pengampunan itu bersama dengan mereka, di dalam ziarah penyembuhan bersama-sama. Setelah beberapa tahun, aku aku juga melajar mencintai perayaan Ekaristi. Di waktu Ekaristi itulah – yang menjadi pusat hidupku dan teologiku – kamu dapat menghayati peristiwa dramatis yang merupakan intisari hubungan Tuhan dengan manusia: Tuhan telah menyerahkan diri kepada kita sebagai anugerah mutlak. Peranan imam bukanlah mengambil tempat Yesus sebagai pusat perhatian. Dengan cara tertentu bagaimana pun imam harus hilang, ia tidak boleh menguasai ruang dan menunjuk pada diri sendiri. Keberadaannya di situ hanya untuk membantu menghadirkan peristiwa ketika Yesus menyerahkan diri sepenuhnya kepada kita. Suatu momentum kemurahan, karunia bebas, risiko yang sungguh besar, yang tiada habis-habisnya membuatku takjub.

 Apa yang kamu lakukan setelah menyelesaikan studi?

 Cornelius Ernst memintaku mengajar dogma. Aku sudah belajar dogma tanpa henti sejak umur delapan tahun. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan bisa menjadi teolog yang baik tanpa mendapatkan pengalaman pastoral dulu. Maka aku minta kepada Provinsial supaya membebaskan aku selama satu atau dua tahun. Aku ditawari menjadi pastor mahasiswa di suatu Universitas di London, membantu seorang pastor Benediktin dan seorang Yesuit dalam suatu tim, bersama dengan seorang suster. Suster itu banyak mengajarku melalui kemanusiaannya, kesederhanaannya, keramahtamahannya – dengan kata lain, semua yang harus diajarkan biarawan Dominikan kepada orang lain. Sebagai pembimbing rohani mahasiswa, aku tinggal di Universitas di asrama mahasiswa bersama dengan 120 mahasiswa. Satu-satunya perbedaan di antara kami adalah bahwa mereka punya uang lebih banyak. Itu merupakan pengalaman yang membina diriku. Ketika datang di sana aku yakin aku tahu caranya berkhotbah, tetapi dengan segera aku sadar bahwa khotbah-khotbahku tidak nyambung dengan mereka, atau mereka tidak memahaminya. Dan hanya melalui persahabatan dengan mereka sajalah aku bisa belajar bagaimana caranya berkhotbah. Kami biasa minum bersama sesudah Misa, dan mereka mencabik-cabik khotbahku, menjelaskan kepadaku mengapa aku keliru.... Mereka tetap menjadi sahabat baikku. Dua tahun yang lalu, enam belas di antara mereka mengunjungi aku di Santa Sabina.

            Lalu pemimpin studi di biara Blackfriars, Simon Tugwell, memintaku untuk kembali ke Oxford dan mengajar Kitab Suci. Seharusnya aku melanjutkan pastoral dan mengajar dogma, dan aku tidak punya pengetahuan khusus tentang Kitab Suci. Ia menjawab, “Kamu akan mendapatkannya sambil berkarya.” Itu adalah pendekatan yang sangat Inggris: asal kamu punya dasar pendidikan intelektual yang baik, kamu pasti bisa melakukannya. Maka aku terjun mengajar Kitab Suci, dan aku melakukannya selama dua belas tahun! Aku sungguh-sunggh mensyukuri tahun-tahun itu di mana aku menggeluti Sabda Allah. Aku mempelajarinya, merenungkannya, bergumul dengannya, mengunyahnya setiap hari. Sungguh suatu karunia dan berkat yang tak kuharapkan!

 Apakah kamu menulis suatu tesis?

 Tidak. Aku langsung mengajar. Tidak ada waktu untuk menyelesaikan doktoral, selain itu di masa itu gelar doktor belum diwajibkan seperti sekarang.

 Seandainya harus membuat tesis, apa yang akan kamu tulis?

 Ada satu pokok yang menarik hatiku dan tentang itu aku punya rencana untuk menulis sebuah buku ketika aku dipanggil ke Roma sini: yaitu hubungan di antara cara-cara berteologi dan konteks historis dan sosial. Misalnya, mengapa bagi Yesus jalan yang terbaik dalam berteologi adalah dengan menyampaikan perumpamaan, sedangkan bagi Paulus adalah menulis sebuah surat? Mengapa dalam waktu tertentu di dalam sejarah Gereja kita harus menemukan suatu cara baru untuk menyatakan iman kita dengan menuliskan Injil-injil? Dan mengapa pada masa yang lain kita berhenti menulis Injil dan mulai menyatukan berbagai teks dan membentuk kanon Perjanjian Baru? Adalah menarik sekali melakukan kajian bagaimana teologi selalu berakar pada konteks budaya dan sosial tertentu.

 



Memimpin

 

Pada tahun 1988 kamu terpilih sebagai Provinsial (Ordo Dominikan) Inggris. Bagaimana reaksimu pada tanggungjawab ini?

 

Sebelum pemilihan aku merasakan kebutuhan akan suatu tantangan baru. Aku sudah akan mengakhiri masa bakti yang kedua sebagai Prior biara Blackfriars, Oxford, dan sudah mengajar nyaris tiga belas tahun lamanya. Aku merasa membutuhkan sesuatu yang baru, tapi tidak tahu apa itu. Jadi aku merancang suatu surat yang akan kusampaikan kepada Provinsial yang baru, meminta kepadanya agar aku diberi suatu tugas baru. Yang sama sekali tidak pernah kubayangkan adalah bahwa yang terpilih menjadi Provinsial baru adalah aku sendiri....

            Tantanganku yang pertama adalah mengenal dan mencintai Provinsiku sendiri. Aku selalu mencintai sifat universal dari Ordo. Bagiku, menjadi seorang Dominikan adalah lebih berhubungan dengan citarasa Ordo secara keseluruhan daripada dengan Provinsiku di Inggris yang kecil ini. Yang sebenarnya adalah, aku tidak begitu mengenal Provinsiku sendiri. Aku hanya sedikit saja berhubungan dengan komunitas-komunitas di Manchester, Glasgow, Leicester.... Maka tantanganku yang pertama adalah mengetahui dan kemudian mencintai karya-karya para saudara dari Provinsiku sendiri. Aku ingat keliling berkunjung di paroki Newcastle dengan pastor paroki dan untuk pertama kalinya melihat indahnya karya pelayanan paroki.

            Yang paling berat adalah meninggalkan pekerjaan mengajar.Selama dua puluh tahun aku bekerja di perpustakaan setiap hari, menggumuli Sabda Tuhan. Aku tidak menyadari sejah mana studiku menjadi bagian dari hidupku bahkan dari doaku. Aku akan kehilangan kebiasaanku tenggelam dalam keheningan, renungan meditatif ini. Dan kemudian juga kegembiraan dalam mengajar, kegembiraan dari mencelikkan mata para mahasiswa pada Sabda Tuhan. Sulit sekali menyesuaikan diri dengan cara hidup yng penuh dengan perjalanan ke sana ke mari, menjawab surat-surat, melakukan rapat ini rapat itu, pertemuan-pertemuan. Aku sangat gelisah jika harus menugasi bruder-brudes pindah ke komunitas yang lain, atau meminta mereka meninggalkan komunitas tertentu, di mana mungkin saja ia bahagia dan merasa sudah mendapatkan segalanya di sana, lalu harus pergi ke tempat lain, ke tempat yang mungkin tidak disukainya. Para bruder sangat murah hati dan penuh pengertian juga. Karena mereka memilih aku, mereka juga mendukung aku. Itulah bagusnya sistem demokrasi.

 

Bagaimana kamu mengelola suatu Provinsi?

 

Pengelolaan di dalam keputusan Dominikan merupakan sesuatu yang sangat demokratis. Tapi bukan demokrasi model partai politik di Inggris yang dasarnya adalah persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. Demokrasi kami didasarkan pada perundingan para bruder di tingkat sektor (kapitel, Chapter) kami, dalam upaya mencari kebaikan bersama. Mengusahakan konsensus, permufakatan melalui musyawarah, merupakan upaya dasar, walaupun hal itu tidak selalu bisa dicapai.

            Dengan demikian rahasia dari pengelolaan yang baik adalah menciptakan kondisi di mana kami dapat sungguh-sungguh bicara satu sama lain; dan bersama-sama mencapai suatu keputusan demi kebaikan bersama. Ini lebih dari sekedar pemungutan suara untuk pengambilan keputusan secara praktis. Dituntut suatu pengertian timbal balik dan pemahaman akan persoalan yang paling penting bagi setiap bruder. Salah satu contohnya begini. Ketika terpilih menjadi Provinsial, kurasakan pertemuan Dewan Provinsial tidak berlangsung selancar yang kuharapkan. Kadang-kadang sulit sekali mencapai kesepakatan mengenai soal praktis yang kecil saja, misalnya memperbaiki atap rumah biara salah satu Prior. Aku merasakan bahwa diskusi kami dikeruhkan oleh soal-soal yang lebih dalam yang belum diselesaikan. Maka alih-alih hanya menggunakan waktu setiap pertemuan langsung mengikuti agenda, kami memulai pertemuan pada malam sebelumnya, dengan pembicaraan yang sifatnya lebih  informal mengenai hal-hal yang paling memprihatinkan kami, tanpa mengambil keputusan. Sekalipun kita tidak selalu sependapat, setidaknya kita bisa memahami satu sama lain, dan tanpa saling pengertian itu tak akan ada pengelolaan yang baik.

 

Prakarsa apa saja yang terutama kamu ingat dari masa-masa menjadi Provinsial Inggris itu?

 

Salah satunya adalah karya yang kita lakukan bagi para penderita AIDS. Karya itu dimulai tahun 1982, ketika aku masih menjadi Prior di Oxford. Aku membaca di suratkabar bahwa seorang pemuda mati karena AIDS di rumah sakit, mutlak sendirian saja. Staf rumah sakit begitu takut ketularan sehingga jatah makanan si sakit hanya ditinggalkan di luar pintu kamar. Si penderita harus turun dari ranjang dan mengambilnya sendiri. Aku terguncang membayangkan seseorang menghadapi kematian sendirian dan kesepian. Kami memutuskan bahwa kita harus merenungkan bagaimana cara Gereja menghadapi persoalan ini. Ini merupakan suatu ujian bagi Gereja: apakah kita akan membuka pintu bagi mereka yang sedemikian ditolak itu?

            Kami menyelenggarakan suatu konferensi kecil dengan mengundang para pembimbing rohani dari rumah sakit, para penderita AIDS, para dokter dan para perawat. Kami berharap yang hadir sekitar 40 orang, ternyata yang datang 120 orang. Itu merupakan petunjuk yang baik bahwa ada suatu kebutuhan nyata di sana. Aku ingat khususnya pada Misa penutupan konferensi itu. Seorang pemuda penderita AIDS yang bernama Benedict, maju ke altar untuk menerima kecupan salam damai dariku. Kemudian ia membagikan kecupan itu kepada seluruh hadirin. Pada waktu itu, hanya sedikit saja orang yang tahu benar akan penyakit itu, dan kami cemas jika kami semuanya terkena bencana! Tapi kami telah berhasil mematahkan suatu tabu!

            Beberapa waktu kemudian seseorang penderita AIDS menghubungi aku dan memohon, apakah dia boleh tinggal di biara Blackfriars kami untuk beristirahat. Aku bertanya kepada komunitas dan mereka memberikan dua jawaban kepadaku: yang pertama, “Ya’; dan yang kedua, “Kamu tak perlu lagi menanyakan soal itu kepada kami. Siapa pun yang mau datang ke sini, dipersilakan. Apakah mereka penderita AIDS atau tidak, bukan masalah.” Itu sangat berkesan bagiku; para bruder membuka hati mereka untuk orang-orang yang paling ditolak!

 

Pada tahun 1992, ketika kamu 46 tahun, Kapitel Jendral yang diadakan di Meksiko memilihmu menjadi Pemimpin Ordo untuk sembilan tahun. Bagaimana kok bisa begitu?

 

Pada bulan-bulan sebelum Kapitel Jendral itu utusan-utusan dari berbagai daerah – Afrika, Asia, Amerika Utara dll – melakukan pertemuan untuk membahas siapa saja yang menjadi bakal calon atau kandidat Pemimpin Ordo itu.

 

Apa artinya “bakal calon” atau kandidat dalam konteks ini?

 

Mereka adalah orang-orang yang akan dipertimbangkan para pemilih pada waktu pemilihan nanti. Sebenarnya sangat bertentangan dengan tradisi kami bahwa seorang saudara menyatakan harapannya agar dipertimbangkan sebagai seorang bakal calon atau kandidat. Kupikir bahkan bukan suatu yang baik menanyakan sebelumnya kepada seorang saudara apakah ia kan bersedia dipilih. Bagi kami, menerima pilihan adalah bagian dari ketaatan kepada saudara-saudara kami. Aku tahu namaku muncul dalam pertemuan-pertemuan itu, tapi aku tidak menanggapinya secara serius. Kupikir umurku masih terlalu muda, terlalu kacau, kurang berbobot seperti yang diperlukan.... Pada awal Kapitel Jendral itu para “bakal calon” diwawancarai berdasarkan kelompok-kelompok bahasa. Aku bicara sedikit Perancis, sepotong dua potong bahasa Spanyol dan tak ada sepatah kata Italia-pun, tapi aku membuat mereka tertawa.

            Para utusan menentukan tiga kriteria: Pemimpin yang akan datang harus pada masa baktinya yang kedua sebagai Provinsial, harus punya pengalaman pastoral, dan mengenal Dunia Ketiga. Kemudian para bakal calon diminta untuk berpidato mengajukan visinya mengenai Ordo. Ketika sampai pada giliranku, aku menolak. Terlalu mirip dengan kampanye presiden. Aku hanya berkata, “Aku sedang menjalani masa bakti pertama sebagai Provinsial. Aku tak pernah bekerja di paroki. Dan aku tidak pernah tinggal di Dunia Ketiga. Aku tidak memenuhi ketiga kriteria itu.” Aku berhenti di situ. Sesudah pidato, setiap bakal calon harus meninggalkan ruangan supaya panitia pemilihan dapat membahas dia. Hampir seketika, seseorang mendatangiku dan memintaku untuk kembali lagi ke dalam ruangan, karena tidak ada yang mau bicara apapun tentang aku. Aku agak kecewa. Walaupun aku tidak berharap terpilih, aku ingin setidaknya ada satu orang saja yang bicara tentang diriku! Tapi, yah, waktu itu aku lega sekali.

            Hari berikutnya diadakan pemilihan. Pemilih diundang dalam urutan waktu pendirian Provinsi-provinsi – Provinsi |Spanyol, Provinsi Toulouse db.nya – sampai pada Provinsi-provinsi yang baru saja didirikn di Eropa Timur dan Asia – maka setiap orang dapat mempunyai pengertian mengenai seluruh sejarah Ordo. Segera saja jelas bahwa akulah yang dipilih. Sungguh saat yang aneh sekali; mendadak saja aku merasa kosong sama sekali. Kata-kata pertamaku sesudah terpilih adalah mengingatkan bahwa ketika seorang Dominikan menngucapkan kaul prasetya, ia ditanya : “Apa yang kamu cari?” Dan ia menjawab, “Ampunan dari Tuhan dan dari Anda”. Itulah juga yang kuminta pada waktu itu. Dan itu selalu diberikan kepadaku.

            Namun ketika aku sampai di Santa Sabina dan berjalan melalui deretan foto ke-83 pengganti Santo Dominikus yang terdahulu, aku mendadak merasa kecil, tidak mampu dan seharusnya aku tidak diterima. Akhirnya aku menghibur diri dengan pikiran bahwa banyak dari pendahuluku dulu biasa-biasa saja dan segera dilupakan. Aku akan bekerja sebaik-baiknya, dan mungkin aku akan dilupakan juga. Doaku waktu itu hanyalah memohon supaya aku tidak diingat-ingat orang karena mengalami kegagalan yang luar biasa.

 

Bagaimana kamu menjelaskan pilihan yang jatuh kepadamu?

 

Aku tak pernah mengajukan pertanyaan itu. Di dalam peran seperti ini, jika kamu terlalu sadar-diri, bertanya-tanya mengapa kok dipilih dan apa yang dipikirkan orang, lalu kita bisa kehilangan spontanitas. Itu merusak. Kupikir orang sebaiknya mengembangkan sikap melupakan-diri-sendiri, dan lakukan saja apa yang harus dilakukan.

 

Apa yang dilakukan Pemimpin Ordo?

 

Setiap hari berbeda, tidak ada yang khas. Dua pertiga dari setiap tahun aku melakukan perjalanan keliling dunia mengunjungi Provinsi-provinsi, berjumpa dengan para saudara dan anggota keluarga Dominikan, para rahib, para suster kontemplatif, suster-suster dan awam Dominikan. Peranku adalah memberi dukungan kepada mereka, terutama yang hidupnya di tengah-tengah kesulitan, berhadapan dengan kekerasan, perang, kemiskinan dan penganiayaan. Gaya kepemimpinan kami menekan campur tangan hingga sesedikit mungkin. Jika aku berkunjung ke suatu provinsi, aku menemui setiap saudara secara pribadi. Aku berusaha menganalisis tantangan apa yang dihadapi provinsinya; aku tidak punya maksud  menyuruh mereka melakukan apa pun, melainkan membantu mereka memikul tanggungjawab mereka sendiri sepenuhnya.

            Jika aku berada di Roma, waktuku terutama untuk melakukan rapat-rapat, dan kemudian menulis surat-surat; banyak sekali! Pelan-pelan aku sadar bahwa menulis surat bukanlah semata-mata kegiatan administrasi belaka; menulis surat selalu merupakan kegiatan pastoral dan persaudaraan, bahkan kegiatan teologis. Setelah mengajar tentang Santo Paulus begitu lama, akhirnya aku mulai paham bahwa menulis surat juga merupakan suatu cara berteologi!

 

Ketika kamu melakukan perjalanan mengunjungi provinsi-provinsi, apakah kamu sendirian?

 

Tak pernah. Biasanya aku ditemani oleh asisten untuk wilayah yang kutuju. Ordo dibagi menjadi delapan wilayah. Untuk provinsi-provinsi besar, aku punya dua asisten. Tentu saja, setelah aku tidak lagi menjabat Pimpinan Ordo, aku harus memelajari lagi cara merencanakan suatu perjalananan, bagaimana caranya memesan tiket pesawat, mendapatkan visa, menukar uang valuta asing. Sekarang aku bisa melakukan perjalanan selama berminggu-minggu tanpa membawa sepeser uang pun di sakuku. Seperti anak-anak atau Ratu!

 

Perjalanan mana yang paling berkesan bagimu?

 

Pertama, Rwanda di tahun 1993, pada permulaan perang. Ketika dengan mobil menuju ke utara, kami dihentikan empat atau lima kali oleh rintangan jalan yang dijaga oleh orang-orang bersenjata dan bertopeng. Setiap kali, kami harus keluar dari mobil dan bertanya-tanya apakah kami akan mati di sini. Tak kan pernah kulupakan seorang pemuda bertopeng yang memegang lenganku dengan lembut tetapi menimang-nimang sebuah belati, paduan antara kelembutan dan kekerasan. Yang sangat menyentuhku adalah ketika mengunjungi suatu klinik yang penuh dengan anak-anak yang kehilangan tangan dan kaki atau mata karena terkena ranjau darat. Aku teringat seorang anak yang menggandengku dan mengantarku berkeliling ruangan-ruangan, melompat-lompat dengan satu kaki. Aku menyelinap di balik pepohonan dan menangis. Malam itu kami merayakan Misa dengan beberapa suster. Aku sadar bahwa kami tidak bisa bicara apa-apa berhadapan dengan kekerasan yang sedemikian dahsyat, tapi hanya bisa melakukan sesuatu. Ketika kata-kata terasa tidak memadai, kita menggunakan upacara, gerak-gerik, sebagai bahasa yang diberikan kepada kita.

            Suatu perjalanan lain yang sangat penting adalah di Irak, pada bulan Februari 1998. Suatu perjalanan pulang ke asal-usul kita, ke tanah Abraham. Sewaktu mengadakan kunjungan itu ada bahaya besar yang sedang mengancam, yaitu serangan Amerika dan – sungguh malu aku mengatakannya – pemboman oleh Inggris.[1] Kudapatkan para saudaraku bruder dan suster Dominikan Irak tidak begitu peduli kepada ancaman maut itu; mereka lebih terserap kepada persoalan yang lebih mendasar lagi: kebenaran Injil, kemenangan akhir dari Allah atas iblis. Tampaknya setelah hidup bersanding maut sekian lamanya menghadapkan mereka pada persoalan dasariah mengenai makna keberadaan manusia. Kendati situasi krisis, ribuan orang datang mendengarkan khotbah mereka setiap minggu, didorong oleh kelaparan akan makna. Tak pernah kulihat kerinduan pada Allah sebesar itu.

            Aku juga teringat suatu Natal di Filipina, yang dirayakan bersama orang-orang kusta. Di sana ada cabang dari keluarga Dominikan, Bruder-bruder St Martinus, yang membaktikan diri di kalangan orang kusta dan banyak dari mereka sendiri terkena kusta. Mereka merayakan Natal dengan menyanyi dan menari, dengan kegembiraan besar.

            Aku terutama sangat tersentuh ketika berjumpa dengan seorang wanita penderita kusta. Sepanjang hayatnya ia tinggal di kalangan para penderita kusta. Untuk suatu masa yang lama, bahkan sesudah ia sembuh pun, ia tidak berani keluar dari kalangannya. Ia takut dengan apa yang dilihatnya di mata orang lain ketika mereka melihat wajahnya yang rusak. Suatu ketika, ia memeroleh kekuatan untuk pergi dan menjumpai penderita kusta di seluruh Asia untuk memberi mereka semangat supaya tidak takut kembali ke dalam masyarakat. Ia sungguh seorang pengkhotbah!

            Akhirnya aku teringat pada suatu pertemuan besar tahun lalu, bersama keluarga Dominikan di Argentina. Ada sekitar seribu orang di sana. Kebetulan saat itu adalah Hari Malvinas![1] Jalan-jalan penuh dengan bendera Argentina, dengan slogan di mana-mana: “Mampuslah Inggris!” Namun bagaimanapun aku dapat merayakan hari yang penuh kegembiraan itu dengan para bruder dan suster. Mereka menyambutku dengan ramah dan murah hati, bahkan membawakan sebuah bendera Inggris Union Jack untukku! Kami mempersembahkan misa untuk kesejahteraan jiwa mereka yang gugur, baik dari pihak Argentina maupun Inggris!

 



[1] Memperingati Perang Malvinas di  tahun 1980-an antara Argentina dan Inggris sehubungan dengan status Pulau Malvinas yang diklaim sebagai bagian historis dari wilayah Argentina tetapi de facto merupakan kepunyaan Inggris.



[1] Operasi itu ditunda pada menit terakhir karena campur tangan Sekretaris Jendral PBB waktu itu, Kofi Anan.