Daftar Blog Saya

Sabtu, 05 November 2022

MENUJU YUBILEUM 2025 (I)



Ketika diminta untuk menggambarkan seperti apa kehidupan pada 2025 setelah merebaknya pandemi global dan krisis lainnya dari tahun 2020, sekitar 915 inovator, pengembang, pemimpin bisnis dan pemerintahan, peneliti dan aktivis memberi jawaban mereka. Pandangan luas dan agak universal adalah bahwa hubungan antara manusia dan teknologi akan lebih mendalam sementara bagian besar orang makin mengandalkan koneksi digital untuk bekerja, belajar, pelayanan kesehatan dan transaksi perdagangan serta interaksi sosial yang penting. Sebagian memberi gambaran suatu dunia yang serba “tele-apasaja”. 

 Wawasan yang dibagikan para responden tentang perubahan yang akan datang perlu diperhatikan: 

 ketimpangan ekonomi akan memburuk karena mereka yang sangat terhubung secara digital dan paham teknologi akan makin jauh mendahului mereka yang kekurangan akses pada perlengkapan digital dan gaptek kurang terlatih dan kesulitan memanfaatkan teknologi, sementara perubahan teknologi melenyapkan sebagian pekerjaan;  

  meningkatnya kekuatan perusahaan teknologi dalam eksploitasi pasar dan mekanisme semacam arficial intelligence (AI) kiranya akan menggerogoti privasi and otonomi para pengguna; 

 berlipatgandanya penyebaran misinformasi ketika penguasa dan rakyat yang terpecah dalam berbagai kubu perang informasi dan saling mendiskreditkan satu sama lain. Banyak responden sangat cemas atas manipulasi opini, emosi dan penggiringan publik yang tampaknya sulit dicegah melalui disinformasi   – ujaran dusta dan kebencian dijadikan senjata secara sengaja untuk menimbulkan bias dan ketakutan yang merusak. Mereka mencemaskan keroposnya stabilitas dan ikatan  sosial  serta melemahnya pertimbangan rasional serta pembuatan kebijakan berbasis fakta. 

Serentak dengan itu, sebagian ahli menyatakan harapan bahwa perubahan akibat pandemi akan membuat situasi lebih baik bagi sebagian warga berkat perubahan yang:

  mendorong reforma baru untuk keadilan rasial dan persamaan sosial yang menentukan ketika tatanan ekonomi sekarang - dan kapitalisme - mendapat perhatian dan dukungan para penentu kebijakan; 

  meningkatkan mutu hidup bagi keluarga-keluarga dan para pekerja ketika diberlakukan aturan kerja yang lebih fleksibel, makin permanen dan masyarakat menyesuaikan diri;  

  menghasilkan percepatan perbaikan teknologi dalam realitas augmentasi atau virtual dan AI yang membuat orang hidup secara lebih cerdas, lebih aman dan lebih produktif, menghidupkan dalam banyak bidang "smart systems" misalnya dalam bidang penting perawatan kesehatan, pendidikan dan kehidupan sosial komunitas.


Sekitar 47% responden menyatakan bahwa hidup akan semakin buruk bagi banyak orang pada 2025 ketimbang sebelumnya. Sedang 39% menyatakan hidup akan lebih baik bagi banyak orang ketimbang sebelum pandemi.  Lalu 14% responden menduga pada 2025 seandainya tidak ada pandemi pun hidup tidak banyak berubah alias sami mawon. 

Di antara 86% yang yakin pandemi menghasilkan perubahan, pada umumnya membayangkan evolusi digital akan terus berlanjut membawa dampak baik positif maupun negatif. Para ahli mengaitkan ini dengan sikap umum yang menarik. Bahwa setelah pandemi usai pun kebanyakan orang ingin perubahan terus berlanjut.  

Gambaran berikut ini timbul dari wawancara tidak ilmiah, yang dilakukan atas sampling nonrandom. Hasilnya adalah opini individu yang menanggapi pertanyaan dan tidak dapat digeneralisasikan sebagai pandangan umum. 

Sebagian besar jawaban ahli diberikan secara tertulis dan memberi penjelasan atas jawaban mereka. Seolah mereka menyodorkan tema-tema besar tentang cara individu dan kelompok menyesuaikan diri berhadapan dengan krisis global , dengan memerikan peluang yang paling mungkin dan tantangan-tantangan yang tinbul sementara orang meningkatkan penggunaan dan aplikasi teknologi digital. Perlu dicatat bahwa jawaban2 dikumpulkan menjelang akhir 2020, sebelum selesainya pemilihan presiden di AS dan sebelum vaksin  COVID-19 mendapat persetujuan luas. 

 Ketika memikirkan apa yang terjadi pada pertengahan 2020 dan perubahan yang akan datang, para ahli menggunakan istilah “titik infleksi,” “ekuilibrium terjeda” “skala yang tak terbayangkan,” “proses eksponensial,” “disrupsi massif” dan “tantangan yang tak pernah ada sebelumnya.” 

Mereka menulis tentang perubahan yang dapat menata ulang realitas dasar seperti "kehadiran" fisik orang bersama yang lain, dan persepsi orang tentang kepercayaan dan kebenaran. Mereka juga memikirkan apakah orang dapat menerima secara efektif perubahan yang begitu jauh, ketika mereka diminta berfungsi dengan "emosi paleolitik, pranata abad tengah, dan teknologi yang bagaikan tuhan" menurut kata-kata biolog  E.O. Wilson. 

 Di antara skor perubahan yang menurut mereka sedang timbul adalah tampilnya “Internet Kedokteran dan Pengobatan” dilengkapi sensor dan peralatan yang memungkinkan pemantauan kesehatan pasien jenis baru; mesin gelombang milimeter smart untuk diagnosis orang yang mengalami gejala penyakit; kemajuan biologi sintetik dan komputasi virologi yang memerbaiki pengujian obat dan terapi penyakit target; skrining diagnostik yang mencakup seseorang, gen dan mikrobiome; alat deteksi genggam yang memungkinkan warga menanggapi persoalan lingkungan hidup; dan golongan baru pekerja pelayanan jarak jauh (tele-care workers).

 Tambahan lagi, para ahli ini memperkirakan munculnya sistem sosial media 3-D yang dapat memperkaya interaksi manusia (antara lain melalui hologram avatar); agen-agen mediasi digital (interdigital agents) yang semakin banyak mengambil alih pekerjaan yang berulang dan menghabiskan banyak waktu; “benda terbang Internet” seperti drone yang semakin prolifik untuk pengawasan, tugas eksplorasi dan pengiriman; realitas virtual di mana-mana; meluasnya ekonomi yang tumbuh dari pola kerja dari rumah (work-from-home)s; pertanian kota (urban farming) yang mencapai skala industrial; kemajuan dalam cryptocurrency yang memungkinkan sejumlah besar kolaborasi peer-to-peer; manufaktur atas permintaan berbasis lokal; rantai logistik yang “lokal dalam semangat maupun lokal dalam prakteknya” ; pasar pendidikan yang menawarkan banyak pilihan (merdeka) yang memungkinkan para pelajar memilih menu pelajaran sesuai pribadi ; kemajuan “tele-keadilan” yang memungkinkan penyelenggaraan sejumlah besar sidang pengadilan dari jauh; protokol “penilaian persentase kebenaran” yang mengurangi pengaruh disinformasi; dan reaktor nuklir kecil dan lebih aman untuk produksi listrik.  

Secara harian, para ahli memperkirakan akan terdapat mesin translasi bahasa real-time yang lebih baik, penenalan si penutur, wajah si penutur (termasuk perasaan yang tampak pada ekspresi wajah), dengan kapasitas menentukan kalimat2 kunci dan koreksi mandiri, busana bersensor, mesin pencarian video yang kuat, sendor gerak tubuh, kacamata 3D glasses, pusat data multimedia dan jaringan yang lebih luas "bandwidth" yang memungkinkan pengalaman virtual 3D sepenuhnya dan pengembangan AI yang dapat melayani lebih banyak macam kebutuhan orang. 

(Bersambung)


Jumat, 04 November 2022

Penutupan "Bahrain Forum for Dialogue: East and West for Human Coexistence"

 



Dalam Kunjungan Apostolik di Bahrain, hari ini Paus Fransiskus berkenan menutup Forum Dialog Bahrain : Hidup Berdampingan Barat dan Timur, "Bahrain Forum for Dialogue: East and West for Human Coexistence" dari pkl 14.00 nanti.

https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2022/november/documents/20221104-forum-bahrain.html

https://youtu.be/FzI-gVg2K00

Mengadakan Perjumpaan dengan Imam Besar dan Majelis Ulama Bahrain

https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2022/november/documents/20221104-councilelders-bahrain.html

https://youtu.be/FzI-gVg2K00

Dan Memimpin doa ekumenis dan Doa Mohon Perdamaian

https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2022/november/documents/20221104-incontroecumenico-bahrain.html


https://youtu.be/FzI-gVg2K00

PESTA CAHAYA, DIVALI, DAN BEBERAPA FAKTA TENTANG HINDU

 Pada 24 Oktober yang lalu umat Hindu merayakan Divali atau Dipavali, Pesta Cahaya. Pesta Cahaya melambangkan harapan atas kemenangan terang atas kegelapan, kebaikan atas keburukan, dharma atas adharma. Divali ditandai dengan doa syukur dan pemberian-pemberian dan penyalaan sumber-sumber cahaya, lampu-lampu, lilin dsb. Tahun ini istimewanya sebagian umat Hindu merayakan Divali dikaitkan dengan tampilnya tokoh Hindu di panggung politik dunia, ketika Rishi Sunak dipilih menjadi Perdana Menteri Inggris pertama yang beragama Hindu pada 22 Oktober.



                                                            PM Inggris Rishi Sunak

Maka banyak orang ingin tahu tentang umat Hindu. Jumlah umat Hindu di dunia sekitar 1,1 milyar. 94% berada di India dan Bangladesh. 95% umat Hindu di India merayakan Divali, 7% dari mereka ikut merayakan Idul Fitri, dan 17% ikut merayakan Natal. Ini menggambarkan level-level toleransi di India. Umat Islam di India 93% merayakan Idul Fitri, 20% ikut merayakan Divali, 10% ikut merayakan Natal. Umat Kristiani di India 97% merayakan Natal, 31% ikut merayakan Divali, dan 11% ikut Idul Fitri.



Divali merupakan perayaan keagamaan terbesar di India dan dirayakan 98% Jain, 90% Sikh, dan 79% Buddhis.



Mayoritas Hindu percaya pada satu Tuhan sebagai pribadi yang dekat (ishta devata). Hanya 7% percaya kepada banyak dewa. 61% percaya kepada satu Tuhan dengan banyak tampilan (manifestasi). 29% menyatakan dengan tegas hanya ada satu Tuhan saja.

Mayoritas umat Hindu India merasa lebih dekat pada Shiva. 35% dekat dengan Hanuman. 32% dekat dengan Ganesha. 28% dekat dengan Lhaksmi. 21% dekat dengan Krishna. 17% dekat dengan Rama. 

55% umat Hindu setiap hari melakukan sembahyang puja di rumah. 20% melakukan sembahyang puja di pura.

Kebanyakan umat Hindu percaya pada inkarnasi (44%) namun mereka yang lebih terdidik kurang percaya (21%)

Di India,  39% dari umat Hindu sekolah selama rata-rata 10 tahun. Di AS 15 tahun. Di Inggris 14 tahun. Baik di AS maupun di Inggris pendidikan umat Hindu lebih baik dari kebanyakan warga setempat.

64% umat Hindu di India merasa perlu menjadi 100% warga India dan menggunakan bahasa Hindi sebagai bahasa persatuan.


 Bahan2 dari Pew Research Center. Beberapa Hasil Penelitian dari 2018-2020.

Kamis, 03 November 2022

ALLAH ORANG HIDUP. SANTAPAN SABDA MINGGU BIASA XXXII

 


Hari Minggu Biasa ke XXXII

Bacaan: 2 Mak 7:1–2, 9–14; Mzm 17:1, 5–6, 8, 15; 2 Tes 2:16–3:5; Injil Luk 20:27–38

Dengan mengajukan teka-teki mengenai tujuh bersaudara dan janda tanpa anak, para Saduki dalam Injil hari ini mengolok-olok iman yang dibela ketujuh bersaudara Makabe dan ibu mereka dalam Bacaan pertama.

Para pejuang iman dan martir dari keluarga Makabe memilih kematian – disiksa dan dibakar hidup-hidup – ketimbang mengkhianati iman mereka menurut Taurat Musa. Kisah mereka yang disampaikan Gereja dalam Ekaristi pekan-pekan terakhir menguatkan kita untuk bertahan dalam iman, agar Langkah kita tidak goyah tetap mantap di jalan Tuhan.

Para Makabe dalam kematian berharap bahwa “Raja Dunia” akan membangkitkan mereka dan hidup selamanya (lih 2 Mak 14:46).

Kaum Saduki tidak percaya akan kebangkitan badan karena mereka tidak menemukan soal itu diajarkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Mereka berolok-olok merujuk suatu hukum yang mengatur seorang perempuan untuk menikahi ipar-iparnya jika suaminya keburu mati sebelum mempunyai keturunan: isteri siapa dia nanti di surg ajika ada kebangkitan badan? (Kej 38:8; Ul 25:5)

Namun Hukum Allah tidak diberikan untuk menjamin kebangkitan badan keturunan para bapak duniawi. Menurut Yesus, hukum diberikan agar kita layak menjadi “anak-anak Allah”, putera dan puteri yang lahir dari KebangkitanNya.

“Allah, Bapa kita” menurut Surat St Paulus, menganugerahkan kepada kita pengharapan baik dan penghiburan abadi dalam Kebangkitan Kristus. Berkat rahmat karuniaNya, kita dapat mengarahkan hati kita kepada kasih kerahimanNya.

Seperti para Makabe menderita karena Hukum lama, kita juga menderita demi iman Perjanjian Baru. Namun Ia akan melindungi kita dalam bayangan sayapNya. Ia akan menjaga kita sebagai biji mataNya, seperti yang dinyatakan dalam Mazmur. Para algojo keluarga Makabe terpesona pada keberanian para pahlawan iman itu. Kita juga dapat memuliakan Tuhan dalam penderitaan dan pengorbanan kita sehari-hari dalam iman kepadaNya.



Kita bahkan memiliki harapan yang lebih besar daripada para Makabe. Sebab Kristus yang telah bangkit dari mati memberikan janjiNya kepada kita – bahwa Dia adalah Allah orang hidup, agar Ketika kita dibangkitkan dari tidur kematian, kita akan memandang wajahNya dan Bahagia di hadiratNya (lih. Maz 76:6; Dan 12:2).

 

SCOTT HAHN

ILHAM ILAHI

 ILHAM ILAHI Suatu istilah teologi untuk menunjukkan bahwa Allah sendirilah yang menjadi pengarang Kitab Suci. Artinya, Roh Kudus bekerja dan melalui para pengarang manusia menggerakkan mereka untuk menuliskan apa yang dikehendaki Tuhan untuk dikomunikasikan dalam bentuk tertulis. Hasilnya adalah Kitab Suci, yang isi maupun cara penyampaiannya adalah sungguh-sungguh Sabda Tuhan.

 

I. Pandangan Kitab Suci tentang Ilham Ilahi

A. Perjanjian Lama

B. Perjanjian Baru

II. Ajaran tentang Ilham Ilahi

A. Allah Sebagai Pengarang

B. Manusia Sebagai Pengarang

C. Ruang Lingkup dan Cakupannya

III. Akibat dari Ilham Ilahi

A. Tidak Keliru menurut Sejarah

B. Tidak Keliru menurut Ajaran Paus

C. Tidak Keliru menurut Konsili Vatikan II

D. Tidak Keliru dalam Praktiknya

 

I. Pandangan Kitab Suci tentang Ilham Ilahi

A. Perjanjian Lama

Perjanjian Lama tidak mempunyai ajaran eksplisit mengenai ilham atas Kitab Suci. Tidak ada satu kata Ibrani pun yang digunaan untuk melukiskannya, dan tidak ada keraguan apapun atas peran Allah di dalam penulisan teks Kitab Suci. Namun, Perjanjian Lama meletakkan dasar atas ajaran tentang ilham ilahi yang muncul kemudian di dalam agama Yahudi dan dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru. Misalnya, sebagian dari Hukum Musa dihormati dan dipandang suci dan berwibawa karena mereka mengungkapkan kehendak Allah atas Israel. Demikian pula jelas bahwa Tuhan sering menggunakan para nabi sebagai sarana manusiawi untuk menyampaikan Sabda Allah dengan wewenang yang mengikat (mis Ul:18:18-19-19; 2 Sam 23:2; Yer 1:9; Yeh 3:4; Hos 1:1). Ketika ini menyangkut pandangan suatu masa depan atau suatu penyingkapan kebenaran yang belum diketahui sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Tuhan menerangi pikiran sang nabi dengan cara yang luar biasa. Dengan kata lain, ilham nubuat tidak persis sama dengan ilham Kitab Suci, tetapi keduanya berkaitan. Ilham nubuat merupakan rahmat untuk menyampaikan secara lisan Sabda Tuhan, sedang ilhami Kitab Suci adalah rahmat untuk menuliskan Sabda Tuhan.. Hanya saja jarang sekali kepada kita dinyatakan bahwa Tuhan menyuruh nabi-nabiNya menuangkan pesan-pesan ke dalam tulisan (misalnya Yes 30:8; Yer 36:1-2; Hab 2:2); dan baru pada abad pertama M kita dapatkan para penulis Yahudi bicara tentang “ilham” ilahi (bahasa Yunani, epipnoia) dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama (mis Yosephus, C.Ap. 1.7).

 


B. Perjanjian Baru

Perjanjian Baru membuat rujukan pada asal-usul ilahi dari Kitab Suci dan kepada karya Roh Kudus atas para pengarang manusia. Ada dua perikop yang sangat jelas dalam hal ini. Yang pertama adalah 2 Tim 3:16-17, yang menyatakan: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”. Ungkapan pokok di dalam perikop ini adalah ajektiva Yunani theopneustos , yang diterjemahkan sebahai “yang diilhamkan oleh Allah” namun mempunyai makna yang lebih tepat “yang dibisikkan oleh Allah” (diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di dalam Vulgata menjadi divinitus inspirata). Karena berasal dari mulut Allah maka kitab-kitab dalam Kitab Suci secara unik cocok untuk pembinaan moral dan spiritual bagi umat Allah. Maka Paulus menyatakan bahwa kitab-kitab itu adalah “tulisan-tulisan yang kudus” yang ditujukan untuk mengajar/mendidik pembaca “bagi keselamatan” (2 Tim 3:15). Folus di dini adalah atas asal-usul ilahi dari Kitab Suci tanpa melihat sumbangan manusiawi di dalamnya. Perikop yang kedua lebih membahas secara langsung  proses ilham sebagai pekerjaan Allah yang memengaruhi para penulis suci. Pernyataan ini ditemukan pada 2 Ptr 1:20-21 yang berbunyi : “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” Di sini kata yang berfungsi adalah kata kerja Yunani phero, yang berarti “menggerakkan” atau “mendorong terus” . Dapat dilukiskan seperti di dalam Kisah Para Rasul bagaimana tiupan angin (Roh Kudus) menggerakkan (Kis 2:2) dan bagaimana tiupan angin itu memberi dorongan untuk berlayar ke laut (Kis 27:15). Maka ucapan nubuat, entah spontan dalam ucapan lisan entah tertulis sebagai bagian dari Kitab Suci, adalah kata-kata ilahi yang berasal dari Allah dan disampaikan ungkapannya oleh Roh Kudus yang menggerakkan manusia penerimanya untuk disampaikan kepada orang lain.

      Di antara ayat-ayat lain di dalam Perjanjian Baru yang relevan dengan ilham ilahi,  kepada kita dinyatakan bahwa Tuhan berbicara melalui nabi-nabi Kitab Suci (Mat 1:22; Luk 1:70) dan bahwa Daud berbicara dalam atau menurut Roh Kudus ketika menyusun Mazmur (Mrk 12:36; Kis 1:16). Para pengarang Perjanjian Baru memandang tulisan-tulisan Perjanjian Lama sebagai “ketetapan Allah” (Rm 3:2), yang menjelaskan mengapa kadang-kadang apa yang dikatakan Tuhan disamakan dengan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci (Mat 19:4-5; Kis 4:24-26; Ibr 3:7). Sabda yang diucapkan Allah merupakan norma yang menjadi dasar hidup kita (Mat 4:4). Maka sabda yang berasal dari Allah selalu benar (Yoh 17:17), karena Allah tidak pernah berdusta (Tit 1:2) dan Kitab SuciNya tak pernah dibatalkan (Yoh 10:35).

      Walaupun kebanyakan dari perikop-perikop ini merupakan pernyataan tentang kitab-kitab Perjanjian Lama, asal-usul ilahi dari Perjanjian Baru juga diterima di kalangan Kristen purba. Di dalam 1 Tim 5:18 misalnya, suatu kutipan dari Ul 25:4 digabungkan dengan kutipan dari Luk 10:7 , dan kedua-duanya dikutip untuk menyatakan kepada kita apa “yang dikatakan Kitab Suci”. Demikian pula dalam 2 Ptr 3:16, “surat-surat” rasul Paulus ditempatkan sejajar dengan tulisan-tulisan Perjanjian Lama, yang disebut “tulisan-tulisan yang lain”.  Dengan suatu cara yang khas, kitab Wahyu menyatakan menyampaikan kepada kita rahasia-rahasia surga dan nubuat-nubuat yang dituliskan Yohanes dalam kitab itu (Why 1:1-3; 22:7.10.18-19).

II. Ajaran tentang Ilham

Untuk sebagian besar, ajaran Gereja Katolik tentang ilham ilahi telah dirumuskan dalam seratus tahun antara Konsili Vatikan I (1870) dan Konsili Vatikan II (1965). Benar bahwa para bapa gereja sungguh sangat menghargai Kitab Suci sebagai wahyu yang diilhami ilahi, namun pada waktu itu ilham ilahi belum merupakan bahan analisis teologi secara luas. Hal yang sama juga berlaku bagi pandangan yang menjunjung tinggi Kitab Suci pada Abad Tengah, dan walaupun ada suatu usaha di kalangan para ahli abad pertengahan untuk menjelaskan asal-usul ilahi dari Kitab Suci dengan bantuan prinsip-prinsip filsafat, suatu kajian yang menyeluruh tentang ilham ilahi belum dilakukan. Barulah pada tahun-tahun 1800-an, dengan timbulnya kritik historis modern dan merebaknya iklim skeptis di kalangan para intelektual, ajaran tentang ilham ilahi ini menjadi bahan kajian serius. Sejak itu zaman modern menyaksikan mengalirnya pernyataan-pernyataan Gereja yang menjelaskan keyakinan Gereja akan ilham ilahi dan mengecam kesalahan-kesalahan yang tidak selaras dengan itu.

A. Allah Sebagai Pengarang

Berhadapan kurang menyusutnya sikap hormat kepada Kitab Suci di kalangan para akademisi dan sehubungan dengan teori-teori baru tentang ilham ilahi yang jauh berbeda dari pemahaman tradisi, Konsili Vatikan I menetapkan pengertian tentang ilham ilahi yang akan berfungsi sebagai tonggak penopang sikap asli Katolik yang berkelanjutan. Para Bapa Konsili menggemakan kembali rumusan serupa yang dibuat oleh Konsili Trente, yang menyatakan ilham ilahi sebagai berikut:

Kitab-kitab [dalam Kitab Suci] ini yang oleh Gereja diyakini suci dan kanonik, bukan karena sesudah disusun semata-mata oleh ketekunan manusia semata, yang kemudian disetujui oleh wewenang Gereja sendiri, juga bukan semata karena mereka berisi wahyu ilahi tanpa kekeliruan, melainkan karena mereka setelah dituliskan atas ilham dari Roh Kudus, kitab-kitab itu mempunyai Tuhan sebagai pengarangnya dan dipercayakan sedemikian kepada Gereja (Dei Filius 2).

 

Ilham ilahi dengan demikian berarti bahwa Tuhan adalah pengarang ilahi dari kitab-kitab dalam Kitab Suci, dan inilah sebabny Gereja menghormati kitab-kitab itu sebagai suci dan kanonik. Tetapi perlu diperhatikan bahwa defisini itu ditentukan untuk melawan pengertian yang tidak benar tentang ilham ilahi. Pandangan-pandangan yang dimaksudkan adalah pandangan para teolog abad kesembilan belas D. Haneburg dan J Jahn. Haneburg menyatakan suatu teori mengenai persetujuan berikutnya, di mana Kitab Suci mula-lula ditulis oleh pengarang manusia, dengan cara yang sepenuhnya manusiawi, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Gereja. Teori yang ditolak Gereja ini, mengartikan ilham ilahi bukan merupakan hal yang intrinsik di dalam teks Kitab Suci, melainkan sesuatu yang diberikan oleh Gereja. Jahn menyatakan suatu teori tentang bantuan negatif, artinya Tuhan mencegah para pengarang Kitab Suci menyatakan sesuatu apapun dalam tulisan mereka yang tidak benar. Teori ini juga ditolak oleh Konsili bukan karena Kitab Suci mengandung hal-hal yang salah-informasi, tetapi karena kepercayaan Gereja bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan  tidak diperhitungkan. Tulisan manusia yang tidak mengandung kesalahan informasi tetap saja merupakan tulisan manusia, dan orang tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan bersabda dan mengungkapkan kehendakNya dalam Kitab Suci demi alasan itu saja.

      Pengertian ilham ilahi yang menunjukkan posisi Allah sebagai pengarang Kitab Suci ditegaskan oleh Gereja beberapa kali sejak Konsili Vatikan I. Misalnya, pada tahun 1893, melalui Ensiklik Providentissimus Deus art 41 dari Paus Leo XIII, pada tahun 1920 dalam Ensiklik Spiritus Paraclitus art 3, dari Paus Benediktus XV, pada tahun 1943 dalam Ensiklik Divino Afflante Spiritu art 1 dari Paus Pius XII, dan lagi pada tahun 1965, dalam Konstitusi Konsili Vatikan II, Dei Verbum art 11.

B. Manusia Sebagai Pengarang

Persoalan ilhami ilahi tidak berhenti dengan adanya pernyataan bahwa Allah adalah pengarang Kitan Suci. Adalah fakta bahwa Kitab Suci sungguh ditulis dengan pena oleh pengarang manusia di bawah pengaruh Roh Kudus. Maka ilham ilahi lebih penuh digambarkan sebagai suatu misteri kepengarangan ganda – bahwa Tuhan dan manusia bersama-sama [secara tandem] menyusun teks Kitab Suci.

      Salam sejarah selalu ditekankan bahwa Allah berperan sebagai pengarang ilahi Kitab Suci. Namun telaah-telaan modern semakin memberikan perhatian kepada sumbangan manusia. Ini benar bukan hanya dari pernyataan ahli-ahli teologi dan Kitab Suci, tetapi juga dari pernyataan Gereja tentang hakekat ilham ilahi, yang menyatakan bahwa pengarang manusia menulis sebagai sarana yang dibimbing oleh Roh Kudus. Kini semuanya sepakat bahwa rahmat yang memberi ilham dari Roh Kudus tidak menindas kebebasan dan kesadarab pribadi para penulis suci, mereka juga bukan sekedar  pasif, bertindak sebagai juru steno yang mencatat apa yang didiktekan. Sebaliknya, para pengarang manusia adalah benar-benar mengarang Kitab Suci dan secara aktif terlibat di semua tahap penyusunan karyanya. Aspek ilhami ilahi ini dengan tepat dikatakan oleh Konsili Vatikan II:

Dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka, - semua dan hanya yang dikehendaki-Nya saja yang dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh. (Dei Verbum, art 11).

 


Kebenaran dari pengamatan ini ditampilkan pada gaya yang khas dan temperamen dari para pengarang Kitab Suci. Misalnya, tak ada yang meragukan jejak kepribadian Paulus yang tertuang dalam surat-suratnya, dan bahwa gaya pribadi itu jelas berbeda dari pengarang lain seperti Matius atau Yohanes atau Petrus atau Yudas.

      Akhirnya, tradisi Katolik sering bicara tentang Tuhan sebagai pengarang utama Kitab Suci dan penulis manusia sebagai pengarang yang merupakan alat pelaksana dalam penulisan Kitab Suci. Pembedaan ini akar-akarnya berada di dalam teologi patristik namun mendapatkan ungkapannya dalam masa tengah oleh Santo Tomas Aquinas. Gereja menganggap hal itu merupakan cara yang tepat (walaupun belum tuntas) dalam mengungkapkan misteri kepengarangan ganda Kitab Suci (lihat Divino Afllante Spiritu, art 19).

C. Ruang Lingkup dan Cakupannya

Berdasarkan adanya pengarang ilahi dan manusia dari Kitab Suci itu lalu ada pemikiran untuk menduga luasnya jangkauan ilham ilahi. Pertanyaannya adalah apakah keseluruhan Kitab Suci itu diilhami ilahi ataukah ilham ilahi hanya terdapat dalam bagian-bagian tertentu saja. Konsili Vatikan I kemudian menggemakan kembali kata-kata yang digunakan dalam Konsili Trente, yang menyatakan bahwa ilham ilahi meliputi “kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru, semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya” (Dei Filius 2). Dengan kata lain, Kitab Suci sepenuhnya diilhami ilahi sejak permulaan sampai akhir, dan semua di antaranya. Ini meliputi semua kitab-kitab Deuterokanonika yang diterima Gereja sebagai Kitab Suci (misalnya tambahan Ester dan Daniel).

      Kendati ketetapan konsili itu, dan sebagian besar karena tekanan untuk membereskan kesulitan-kesulitan dalam Kitab Suci, para teolog yang menulis sesudah Konsili Vatikan I masih mengajukan lingkup ilham ilahi yang sempit. Teori-teori ini diajukan oleh A Rohling (1872), yang membatasi ilham ilahi hanya pada pernyataan-pernyataan mengenai iman dan moral; dari F Lenormant (1880) yang membatasi pada pemaparan ajaran yang tidak dikenal akal budi; dan dari Kardinal J.H. Newman (1884) yang menyatakan bahwa ilham ilahi tidak meliputi komentar-komentar sambil lalu (obiter dicta) yang tidak mempunyai muatan ajaran atau moral.

      Namun Gereja menolak semua usaha-usaha yang membatasi ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja. Paus Leo XIII pada tahun 1893 membuat penjelasan:

Namun sungguh keliru dan terlarang baik untuk menyempitkan ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja atau mengakui bahwa para penulis suci sudah melakukan kesalahan. Demi cara kerja dari mereka yang, di dalam rangka melepaskan diri dari kesulitan, tidak ragu menyatakan bahwa ilham ilahi hanya menyangkut soal iman dan ajaran dan tidak menyangkut yang lain, maka (karena mereka berpikir keliru) dalam mempersoalkan kebenaran atau kekeliruan suatu ayat, kita tidak begitu mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan melainkan apa maksud dan tujuan yang dipikirkanNya dalam menyatakannya – maka cara kerja itu tidak bisa diterima (Provindentissimus Deus art 40).

 

Alih-alih menerima pengertian ilham ilahi sebagian, Paus justru menegaskan kembali ilham ilahi yang menyeluruh. Ini adalah keyakinan bahwa seluruh isi Kitab Suci diilhami ilahi – semuanya maupun setiap bagiannya, tidak peduli apakah apapun yang dibahas atau dikatakan. Beberapa paus berikutnya menegaskan kembali hal ini, seperti Benediktus XV pada tahun 1920 dalam Spiritus Paraclitus art 5, dan Pius XII pada tahun 1943 dalam Divino Afflante Spiritu art 1).

      Akhirnya ada persoalan apakah ilham ilahi yang menyeluruh itu juga meliputi ilham atas kata- kata sepenuhnya.  Dengan kata lain, apakah Roh Kudus membimbing para pengarang Kitab Suci di dalam memilih tiap-tiap kata untuk Kitab Suci? Suatu jawaban yang negatif datang kembali dari teolog abad kesembilan belas, kardinal J.B. Franzelin. Ia mengajukan suatu teori yang kadang-kadang disebut “ilham atas isi”, yang menguraikan bahwa Roh Kudus membekali penulis suci dengan gagasan pokok yang harus disampaikan dalam Kitab Suci tetapi menyerahkan kepada si penulis pertimbangan-pertimbangan untuk mengungkapkan gagasan itu dengan kata-kata yang tepat. Menurut pandangan ini, Kitab Suci menyampaikan suatu pesan atas ilham ilahi dalam bahasa yang tidak terilhami. Kardinal menyatakan bahwa Roh Kudus mencegah pengarang manusia dengan cara negatif dalam penggunaan kata-kata yang tidak sesuai, namun pilihan positif atas kata-kata pada dasarnya masih merupakan pilihan manusia.

      Teori Franzelin mengenai ilham non-verbal itu dengan cepat dihadang oleh banyak kritik pada permulaan abad kedua puluh, sehingga hanya mempunyai sedikit pengikut saja. Dan walaupun Gereja tidak pernah secara resmi menolak atau membahas pandangan itu secara eksplisit, pada umumnya pandangan itu disikapi sebagai teori tentang ilham ilahi yang mempunyai kekurangan mendasar, yaitu yang secara simplistis dan artifisial memisahkan kata dan gagasan.

      Dari kedudukan ajaran Gereja, tidak pernah ada pernyataan yang tegas bahwa Allah mengilhami setiap kata dalam Kitab Suci. Namun ada beberapa petunjuk bahwa keseluruhan ilham atas kata-kata merupakan pandangan Katolik yang autentik.  Perhatikan berikut ini: (1) Baik Yesus maupun santo Paulus memberi pernyataan tentang rencana keselamatan Allah yang bergantung pada pentingnya dan makna dari tiap-tiap kata yang digunakan dalam Kitab Suci (lih misalnya Yoh 10:34-35, dan Gal 3:16). (2) Konsili Trente, Konsili Vatikan I dan Paus Leo XIII semuanya telah menggambarkan ilham ilahi dalam Kitab Suci dalam kerangka “pendiktean”. Sebab jika tidak demikian akan jelas bahwa pengarang manusia akan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya terlibat di dalam proses penulisan Kitab Suci, dan setiap petunjuk akan memerlihatkan bahwa pengaruh ilham ilahi tidak begitu kentara dalam kesadaran manusiawinya, sehingga tampak pasti bahwa suatu dikte mekanis atau stenografis tidak terbayangkan. Sebaliknya, perkataan “pendiktean” itu menunjukkan bahwa Tuhan memainkan suatu peran yang menentukan di dalam pemilihan kata dan frasa yang akan digunakan dalam menyampaikan pesanNya. (3) Tradisi Katolik sering menyatakan Kitab Suci sebagai “Sabda Tuhan”yang diilhami. Namun di dalam beberapa pernyataan Gereja, Kitab Suci dikatakan mengungkapkan Sabda yang sesungguhnya dari Tuhan. Misalnya, Paus Leo XIII menyatakan bahwa janji-janji Kitab Suci dikatakan ipsius Dei nomine et Verbis, ”dalam nama Tuhan dan dalam kata-kataNya sendiri” (Providentissimus Deus art 6). Begitu pula Paus Pius XII menyatakan bahwa Kitab Suci menyampaikan pada kita Dei verba humanis linguis expressa, “Sabda Tuhan yang diungkapkan dengan bahasa manusia” (Divino Afflante Spiritu, art 20). Pernyataan yang terakhir ini digunakan kembali di dalam dokumen Konsili vatikan II mengenai Wahyu Ilahi (lihat DV art 13). Menurut pernyataan-pernyataan itu, adalah sejalan dengan ajaran Katolik jika dikatakan bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan baik isi maupun ungkapannya.

III. Akibat dari Ilham

Ada banyak akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis. Salah satunya adalah kanonisitas Kitab Suci. Karena Kitab Suci adalah Sabda Tuhan yang dituliskan, disusun dengan bimbingan Roh Kudus, maka kitab-kitab itu suci, terpisahkan dari dokumen tertulis yang lain dan secara khas cocok untuk ibadat dan doa-doa. Maka, ketika Gereja menyusun daftar kanon Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Gereja sungguh mengakui kekudusan ilahi yang tersimpan di dalamnya. Akibat yang lain adalah sakramentali Kitab Suci. Dengan ini mau dikatakan bahwa Kitab Suci bukan hanya mengungkapkan kehendak Allah bagi umatNya, tetapi Allah juga mengungkapkan diriNya sendiri dengan suatu cara pada umatNya, sehingga membaca dan merenungkan Kitab Suci dapat mewujudkan perjumpaan dengan Tuhan yang bersifat mengubah. Demikian pula, wewenang/wibawa Kitab Suci merupakan konsekuensi dari ilham ilahi. Sebagai sabda Tuhan yang mengungkapkan perkataan Tuhan sendiri, maka Kitab Suci menjadi sumber primer ajaran Gereja tentang iman dan kehidupan. Konsili Vatikan II dengan demikian menegaskan bahwa Kitab Suci harus menjadi ”inti jiwa” dari teologi suci (DV, art 24).

A. “Tidak Mengandung Kekeliruan” Dalam Sejarah

Yang paling banyak diperdebatkan sebagai akibat dari ilham ilahi adalah soal “tidak mengandung kekeliruan”, yaitu keyakinan bahwa Kitab Suci benar dan bisa dipercaya, tidak mengandung sesuatu yang salah, sesat atau menyesatkan. Ini merupakan akibat logis dari Allah sebagai Pengarang Kitab Suci – jika Allah adalah pengarang utama Kitab Suci, dan Alllah sendiri adalah kebenaran yang sempurna, maka seluruh pernyataan Kitab Suci tentulah amat sangat benar. Gereja purba percaya mengenai hal ini dengan mutlak. Pada awal abad kedua para teolog menyatakan bahwa Kitab Suci seluruhnya sempurna (Santo Ireneus, Adversus Haereses, 2.28.2) dan benar (Santo Klemens dari Roma, 1 Klem 45.2). Kendati ada tegangan-tegangan yang nyata di dalamnya, tidak ada yang kontradiktif  (Santo Yustinus Martir, Dial, 65). Perasaan yang sama dikemukakan disepanjang masa patristik dan abad tengah, hingga samai zaman Pencerahan di Eropa, ketika seluruh tradisi konsensus Kristen pertama kalinya mendapat tantangan serius.

      Timbulnya tantangan ini dipicu oleh lahirnya kritik historis, yang mengalihkan sorotan kepada berbagai kesulitan ketika Kitab Suci bersentuhan dengan persoalan sejarah, geografis, keilmuan dan moral. Secara historis semua ini dipandang sebagai “kesenjangan yang nyata”, kesulitan-kesulitan yang diharapkan Tuhan tetap ada dalam Kitab Suci untuk menimbulkan kerendahan hati para pembacanya. Tentu saja sudah makin banyak upaya yang dilakukan untuk memecahkan teka-teki yang terdapat pada ayat-ayat yang bermasalah itu, tetapi tak seorang pun di masa Kristen kuno yang punya anggapan bahwa Kitab Suci keliru. Namun pada abad ketujuhbelas dan kedelapan belas para ahli dengan berbagai cara dan pendekatan mulai meragukan Kitab Suci karena mengandung “kesenjangan yang nyata” baik dalam hal fakta maupun perspektif.

B. “Tidak Mengandung Kekeliruan” menurut Ajaran Paus

Di tengah-tengah krisis yang timbul itu, Paus Leo XIII menerbitkan suatu pernyataan yang kuat dan menentukan mengenai ketidak-keliruan Kitab Suci yang menegaskan kembali tradisi Gereja yang sudah lama berlaku. Bertolak dari anggapan bahwa Allah adalah pengarang Kitab Suci, ia menyatakan:

Maka semua Kitab-kitab yang oleh Gereja diyakini suci dan kanonik, ditulis semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya karena didiktekan Roh Kudus. Dengan demikian sungguh tidak mungkin ada kesalahan di dalamnya yang berdampingan dengan ilham ilahi, sebab ilham ilahi itu pada dasarnya bukan saja tidak setara dengan kesalahan, tetapi juga menyisihkannya dan menolaknya secara absolut dan niscaya, sebagaimana mustahil Tuhan sendiri yang adalah Kebenaran Tertinggi mengucapkan sesuatu yang tidak benar (Povidentissimus Deus, art 40).

 

Ini merupakan pernyataan resmi Gereja yang pertama mengenai sifat Kitab |Suci yang tidak mengandung kekeliruan yang tidak terbatas. Namun, karena beberapa ahli merasa bahwa ajaran Paus itu tidak memadai, maka muncullah sejumlah teori mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang terbatas dari Kitab Suci yang menyatakan, misalnya, bahwa kesalahan-kesalahan bisa timbul dari pengarang manusia, bukan dari pengarang ilahi Kitab Suci, atau, jika tidak, mereka membatasi sifat tidak keliru Kitab Suci itu di bidang kebenaran agama, namun tidak dalam hal pernyataan-pernyataan realitas yang merujuk kepada soal-soal profan. Untuk itu, Paus Benediktus XV dengan kuat menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII bahwa Kitab Suci “mutlak bebas dari kekeliruan” dan menambahkan, “Kita tidak pernah menyatakan bahwa ada satu kekeliruanpun dalam Kitab Suci” (Spiritus Paraclitus, art 5). Begitu pula Paus Pius XII menegaskan lagi ajaran Leo XIII bahwa Kitab Suci bebas dari “kekeliruan apapun” dan menyatakan bahwa kebenarannya tidak terbatas “hanya pada soal iman dan moral” (Divino Afflante Spiritu art 1). Sesungguhnya, karena berlangsungnya perlawanan pada ajaran ini Pius terpaksa mengulas persoalan itu lagi dalam tempo belum sampai satu dasa warsa kemudian, ketika ia mengeluh, “Ada yang kebablasan... mengemukakan lagi pendapat yang sudah dikecam begitu sering, yang menyatakan bahwa Kitab Suci bebas dari kekeliruan hanya pada bagian-bagian Kitab Suci yang menyangkut perlakuan kepada Tuhan, atau soal moral dan keagamaan saja” (Humani Generis, art 22). Demikianlah ajaran yang jelas dan tetap dari para paus modern mengenai sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan.

C. “Tidak Mengandung Kekeliruan” menurut Konsili Vatikan II

Pernyataan yang paling baru mengenai Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan dikeluarkan Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, pada tahun 1965. Anehnya, perkataan dalam dokumen utama ini yang pada dasarnya menyarikan ajaran Gereja tentang Kitab Suci dan Tradisi Suci, oleh banyak orang dikatakan menjauh dari ajaran klasik mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang dikemukakan oleh para paus. Pernyataan yang terkait berbunyi sebagai berikut:

Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami ilahi atau para penulis suci, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita. (DV art 11)

      Persoalannya apakah Konsili Vatikan II menegaskan kembali suatu doktrin tentang sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas, melanjutkan ajaran para paus yang terdahulu, ataukah suatu pendirian mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, yang dengan demikian berbeda dari tradisi ajaran dari semua abad sebelumnya. Banyak yang menyatakan bahwa Konsili Vatikan II menunjukkan suatu perubahan inovatif di dalam perspektif kuasa mengajar Gereja di dalam frasa “demi keselamatan kita”. Pernyataan bahwa kebenaran disampaikan “dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan” hanyalah sejauh mengenai hal-hal yang langsung berkaitan dengan soal “keselamatan kita”. Dikatakan bahwa atas dasar pernyataan inilah Gereja tidak lagi berkutat mengaitkan diri dengan pernyataan tentang keberanan yang tidak ada kaitannya dengan soal keselamatan di dalam Kitab Suci. Sebagai implikasinya pernyataan-pernyataan tentang sejarah, geografi dan berbagai soal bukan agamis lainnya kini dikatakan berada di luar jangkauan  sifat tidak mengandung kekeliruan itu.

      Walaupun banyak ahli membela tafsiran ini dan akhirnya mengikuti pandangan mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, ada alasan untuk mengira bahwa ini merupakan salah pengertian atas maksud Konsili. Memang ada beberapa indikasi bahwa rumusan Konsili Vatikan II melanjutkan ajaran para Paus sebelumnya mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Pertimbangkan poin-poin berikut ini.

1. Ungkapan yang diperdebatkan “demi keselamatan kita” (Latin: nostrae salutis causa) merupakan suatu frasa preposisi yang digunakan sebagai frasa adverbial menggantikan “yang telah dicatat” (Latin consignari). Dengan kata lain, hal itu menjelaskan mengapa Tuhan menghendaki agar kebenaran dicatat dalam Kitab Suci, yaitu untuk menjamin keselamatan kita. Perkataan ini bukan merupakan frasa ajektiva yang mengubah kata benda “kebenaran”. Sesungguhnya perlu diketahui bahwa skema Dei Verbum sebelumnya menggunakan kata-kata ”kebenaran yang menyelamatkan” (Latin, veritatem salutarem), tetapi atas permintaan banyak Bapa Konsili dan desakan Paus Paulus VI diganti dengan kata “kebenaran” (Latin, veritatem) saja, sehingga lingkupnya tidak hanya terbatas menurut kata sifat “yang menyenyelamatkan” dari iman dan moral dan bukan yang lain-lain. Kata resmi terakhir dari Konstitusi dengan demikian menunjukkan maksud dari sifat tidak mengandung kekeliruan itu, bukan luas cakupannya.

2. Pada pernyataan Dei Verbum tentang kebenaran Kitab Suci itu diberikan suatu catatan kaki yang mengutip ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu – satu-satunya catatan kaki yang terpanjang di seluruh dokumen Konstitusi itu. Dimasukkan di dalamnya pernyataan dari Santo Agustinus, Santo Tomas Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, dan Paus Pius XII, yang kesemuanya menegaskan ilham ilahi atas Kitab Suci dan sifat sama sekali tidak mengandung kekeliruan. Karena sesungguhnya semua catatan kaki yang terdapat di seluruh dokumen menyoroti dokumen sebagai kelanjutan dari ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu, maka sangat tidak mungkin pernyataan “demi keselamatan kita” itu menjadi titik tolak pergeseran dari keyakinan Gereja yang tetap mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas.

3. Paus Leo XIII menyebut ajaran tentang sifat tidak mengandung kekeliruan yanpa batas “iman Gereja sejak awal dan tidak berubah” (Providentissimus Seus art 41). Ini merupakan pandangan patristik dan teolog abad pertengahan, dan pandangan itu diajarkan dengan kewenangan Paus Leo XIII, Benediktus XV dan |Pius XII. Maka terdapat garis kesinambungan dari kekristenan awal hingga abad pertengahan sampai pada abad keduapuluh mengenai apa artinya Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan. Tentulah para Bapa Konsili Vatikan II mempunyai kewajiban berat untuk mengingatkan umat seandainya memang terdapat pemahaman baru mengenai tidak mengandung kekeliruan itu setelah 1965. Bahwa mereka tidak melakukan itu menunjukkan indikasi bahwa mereka tidak benar-benar mengubah pendirian dari ajaran klasik Katolik mengenai soal ini.

      Dengan menimbang semua kemungkinan itu maka berdasarkan sejarah ajaran dan pokok-pokok pertimbangan di atas, ajaran resmi Katolik tetap berkenaan dengan sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Konsili vatikan II tidak menerbitkan perubahan apapun mengenai ajaran ini, juga tidak memberikan kepada kita tanda-tanda pergeseran yang nyata dari dekrit para paus modern. Adasah sah jika dikatakan bahwa terdapat suatu penekanan baru yang diajukan oleh Konsili, tetapi bukan pemahaman baru atas ajaran ini. Hanya dalam pengertian yang terbatas inilah terjadi perkembangan ajaran yang menyangkut sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan.

D. “Tidak Mengandung Kekeliruan” dalam Praktiknya

Sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas diyakini sebagai sifat Kitab Suci yang sepenuhnya dan seluruhnya benar di dalam semua pernyataan maksudnya. Si dalam halaman-halamannya tidak ada yang secara faktual keliru, atau yang berdusta atau menyesatkan. Dalam hal isinya, Kitab Suci mencerminkan pikiran Allah, yang adalah Kebenaran sempurna.

      Apa artinya ini, pada tingkat praktis membutuhkan penjelasan. Jika tidak, pendirian Katolik bisa dirancukan dengan ajaran serupa dari fundamentalisme Protestan. Para Fundamentalis percaya kepada sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan sepenuhnya, tanpa memedulikan jenis sastra yang digunakan dalam Kitab Suci ataupun maksud semula dari pengarang manusia. Maka, mereka condong menafsirkan kata-kata Kitab Suci secara nominal – artinya secara harfiah, bukan secara literer berdasarkan jenis tulisan yang digunakan untuk menyampaikan maksud si pengarang. Ini sering menimbulkan kesalahpahaman, terutama ketika Kitab Suci dikatakan mengajarkan unsur-unsur ilmu pengetahuan yang berbeda dengan temuan-temuan modern.

      Menurut ajaran Katolik dalam hal ilham ilahi dan sifat tidak mengandung kekeliruan, Kitab Suci tidak membuat pernyataan yang sifatnya langsung ilmiah. Sebaliknya, ketika penulis Kitab Suci berbicara mengenai alam, mereka menggunakannya sebagai “gambaran kiasan” atau secara “fenomenologi”, yaitu menurut cara-cara yang dapat dipahami. Misalnya rujukan pada timbulnya matahari bukanlah merupakan pernyataan ilmiah bahwa bumi ini tetap berada di tempatnya dan matahari mengikutinya dengan pola gerak naik dan turun. Ungkapan seperti itu didasarkan pada persepsi inderawi dan pengalaman biasa, dan masih banyak digunakan orang hingga sekarang. Santo Agustinus yang pandangannya diserap dalam ajaran para paus modern yakin bahwa Kitab Suci tidak dituliskan bagi kita sehubungan dengan “hakekat segala sesuatu yang tampak di alam raya” (Gen Litt 9.20, dikutip dalam Providentissimus Deus art 39 dan Divino Afflante Spiritu art 3). Maka, karena Kitab Suci tidak bermaksud menyajikan pernyataan ilmiah, maka tidak bisa dituduh mengajarkan kekeliruan sehubungan dengan hal-hal ilmiah.

      Namun situasinya lain sehubungan dengan hal-hal sejarah. Kitab Suci membuat pernyataan yang tak terbilang banyaknya tentang peristiwa-peristiwa yang terjasi di zaman lampau, dan ini tentu saja termasuk lingkup sifat tidak mengandung kekeliruan. Untuk sebagian, ini karena kata-kata dan karya tindakan Allah di dalam sejarah secara rumit dikaitkan bersama dalam Kitab Suci; yaitu, Allah mengungkapkan diriNya densiri dan melaksanakan keselamatan kita melalui karya-karya historis maupun melalui kata-kata tertulis dan lisan (lihat DV art 2). Catatan tentang peristiwa-peristiwa itu sudah barang tentu harus bisa dipercaya dan benar, sebab jika tidak, wahyu Allah tidak bisa dikomunikasikan secara berhasil. Begitu pula, orang tidak bisa berusaha memisahkan sejarah keselamatan dari sejarah profan dalam Kitab Suci, sebab semua kejadian yang ada di dalam Kitab Suci diatur dengan ilham ilahi untuk tujuan keselamatan kita. Karena itu ajaran Gereja secara konsisten mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan dalam menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah. Paus Benediktus XV misalnya mengecam mereka yang menyatakan bahwa “bagian sejarah dari Kitab Suci tidak didasarkan pada kebenaran mutlak dari fakta-fakta”, sebab mereka yang berpendirian demikian ”tidak sejalan dengan ajaran Gereja” (Spiritus Paraclitus art 6). Gagasan dasarnya adalah bahwa  ilham ilahi menjamin akurasi faktual pernyataan-pernyataan historis Kitab Suci sejauh maksud historiografis dari si penulis dapat diperlihatkan.

      Akhirnya, ajaran tentang sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan tanpa batas bukan merupakan sangkalan bahwa masih ada kesulitan-kesuitan di dalam penafsiran kita atas Kitab Suci. Ada banyak ayat yang kelihatannya kontadiktif satu dengan yang lain, banyak yang sungguh senjang dari sumber-sumber di luar Kitab Suci, bahkan ada beberapa yang terkesan bagi kita kurang pantas sehubungan dengan sifat Tuhan. Namun semua ayat yang bermasalah ini bukanlah pernyataan yang keliru mengenai kebenaran yang digambarkan. Mereka lebih merupakan undangan untuk bersikap rendah hati. Santo Agustinus dengan bijaksana menyatakan bahwa seseorang menemukan adanya sesuatu kekurangan dalam Kitab Suci, ia harus beranggapan bahwa mungkin teks itu keliru dikutip, atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan, atau si penafsir sungguh tidak bisa memahami maknanya (lihat Epist 82). Dalam keadaan apapun adalah tepat menyatakan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan.

Perjalanan Apostolik Paus Fransiskus Ke Bahrain 3-6 November 2022


 

Hari ini Paus Fransiskus akan bertolak melakukan Kunjungan Apostolik ke Kerajaan Bahrain untuk menutup Forum Dialog Bahrain: Timur dan Barat hidup berdampingan. Di Bahrain Paus akan bertemu dengan keluarga Kerajaan di Istana Shakir, bertemu para pemimpin pemerintahan, masyarakat dan korps diplomatik. Ada acara pertemuan khusus dengan Imam Besar Al Ashar dan Majelis Ulama Bahrain. Setelah itu doa bersama ekumenis untuk Perdamaian di Katedral Bunda Maria Arabia. Setelah Misa Umat akan dilanjut dengan perjumpaan dengan kaum muda. Ditutup dengan pertemudan dengan para Uskup, Imam, Seminaris dan Rohaniwan-rohaniwati.

Kita doakan agar Sri Paus tetap sehat, penerbangan dan seluruh perjalanan lancar dan aman, dan kunjungan berhasil menjadi berkat bagi siapa saja.


https://www.vatican.va/content/francesco/en/travels/2022/outside/documents/bahrain-2022.html

Climate Action, Planet Earth in caring hands

 


Pada KTT Iklim PBB di Paris 2015 yang disemangati oleh Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si, COP (Conference of Partners) 21, pemerintah-pemerintah setuju untuk lebih kuat dan lebih ambisius memobilisasi tindakan iklim yang sangat mendesak diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan Persetujuan Paris. Tindakan Iklim berasal dari pemerintah sendiri, kota-kota, wilayah, perusahaan dan investor. Masing-masing mempunyai peran sendiri dalam implementasi Paris Agreement.

Persetujuan Paris 2015 secara resmi mengakui pentingnya meningkatkan respon global pada perubahan iklim, dengan dukungan ambisi yang lebih besar dari pemerintah-pemerintah. Komitmen dari semua pelaku diakui dalam teks keputusan Persetujuan Paris, termasuk yang diluncurkan melalui Agenda Aksi Lima-Paris. 

Pemberdayaan Aksi Untuk Iklim (PAI) atau Action for Climate Empoerment (ACE) merupakan istilah yang diterima dalam Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) dan dituangkan dalam artikel 6 Konvensi dan artikel 12 Persetujuan Paris.

Tujuan utama PAI atau ACE adalah memberdayakan semua anggota masyarakat dalam tindakan atas iklim. Ada enam elemen di dalamnya: pendidikan tentang perubahan iklim, kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim, pelatihan, partisipasi umum, akses publik untuk informasi, dan kerja sama internasional. 

Implementasi keseluruhan keenam elemen PAI/ACE sangat menentukan untuk respon global terhadap perubahan iklim. Setiap orang, termasuk dan terutama kaum muda, perlu memahami dan berpartisipasi dalam transisi dunia menuju pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca hingga serendah-rendahnya, dan mewujudkan dunia yang tahan perubahan iklim.

Gaya hidup yang berkelanjutan, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan bersifat fundamental untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan umum atas dampak yang tak terelakkan dari peribahan iklim. Keberhasilan dalam hal ini memerlukan kerjasama seluruh tingkatan pemerintahan dan semua sektor masyarakat.


Gaya hidup setiap orang meninggalkan jejak karbon yang dapat dihitung setiap tahun. Dengan mengetahui berapa banyak jejak karbon yang dihasilkan, sesuai gaya hidup yang diterapkan, orang dapat mengubah atau mengurangi bagian-bagian dari gaya hidupnya dan menyumbang tindakan mengatasi perubahan iklim bagi kebaikan seluruh dunia. 

Sehubungan dengan Pemberdayaan Aksi terhadap Iklim (PAI/ACE) kita perlu membahas : Apa yang perlu dan dapat kita lakukan sebagai pribadi? Apa yang perlu dan dapat dilakukan sebagai organisasi Ikatan Alumni? Sebagai FTW? Sebagai Gereja? Kita ingat enam elemen di dalamnya: pendidikan tentang perubahan iklim, kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim, pelatihan, partisipasi umum, akses publik untuk informasi, dan kerja sama internasional.



Rabu, 02 November 2022

SAKRAMEN KITAB

 SCOTT  HAHN

Sakramen Kitab

Ada suatu tradisi kuno yang menceritakan kisah Santo Romanos Penggubah Lagu, komposer homili dalam bentuk lagu dari abad keenam, dan bagaimana ia menerima panggilannya.

               Ia lahir di Siria, seorang anak yang saleh yang mencintai rumah Allah. Sejak usia muda ia sudah melayani Gereja, mula-mula sekedar untuk menyalakan lampu-lampu, dan menyiapkan dupa untuk liturgi. Ketika bertambah besar, ia mengikuti pendidikan di Beirut, dan di sana ia ditahbis sebagai diakon.

               Romanos adalah tipe mahasiswa cum amore, yang bisa mendapat nilai baik karena para pengajar menghargai kegigihan usahanya. Ia punya tekat kuat, dan tekatnya itu memampukan dia melaknakan karya-karya baik kendati kecerdasannya hanya sedang-sedang saja. Sesudah tiga tahun di Beirut, ia pindah melayani Gereja di ibukota kekaisaran, Konstantinopel.

                Ia cukup rendah hati mengakui kekurangannya, dan ia menerima kekurangan-kekurangan itu. Sesungguhnya, ia menggunakan istilah “yang hina” sebagai sebutan untuk dirinya. Namun ia ingin sekali memuliakan Tuhan seperti para diakon yang adalah penyanyi-penyanyi yang lebih baik. Musik merupakan bagian yang penting dalam liturgi suci, terutama di Gereja Timur. Sedih hati Romanos sebab mutu musik dalam ibadat yang dipimpinnya begitu rendah dibanding ibadat yang dipimpin teman-temannya.

               Ia berdoa kepada Tuhan memohon agar Tuhan menganugerahkan rahmat dalam hal ia punya kekurangan, baik karena kodrat maupun dalam didikan. Pada suatu malam selagi berdoa ia jatuh tertidur, dan ia bermimpi dikunjungi Santa Perawan Maria. Bunda Maria mengulurkan suatu gulungan kitab dan berkata kepadanya: “Ambil dan makanlah!” Ia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ia menyantap gulungan kitab itu. Lalu ia bangun, dan dengan segera ia tahu apa yang harus dilakukan.

               Ia mengenakan pakaiannya dan lari ke Gereja. Ia naik ke atas mimbar dan mulai menyanyikan homili tentang kelahiran Yesus. Lagu yang dinyanyikannya sekarang dikenal sebagai “maha-karya”-nya – salah satu dari ribuan kalimat homili (kontakia) yang digubahnya pada masa hidupnya. Seribu lima ratus tahun kemudian, karya-karyanya masih dinyanyikan hingga sekarang di hari-hari raya Gereja.

****



Santap Sabda. Bahkan pembaca biasa pun mungkin dapat mengenali penampakan yang dialami St Romanos sebagai kisah kejadian atau gambaran yang biasa terdapat di dalam bacaan mistik. Dalam contoh yang lebih tua lagi, nabi Yehezkiel (Yeh 2:9-3:4) mengungkapkan perjumpaan serupa dengan malaikat ilahi:

Aku melihat, sesungguhnya ada tangan yang terulur kepadaku, dan sungguh, dipegang-Nya sebuah gulungan kitab, lalu dibentangkan-Nya di hadapanku. Gulungan kitab itu ditulisi timbal balik dan di sana tertulis nyanyian-nyanyian ratapan, keluh kesah dan rintihan. Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel."  Maka kubukalah mulutku dan diberikan-Nya gulungan kitab itu kumakan. Lalu firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu." Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku. Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, mari, pergilah dan temuilah kaum Israel dan sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka.

 Kisah demikian terjadi lagi dalam Perjanjian Baru, dalam adegan Yohanes si pelihat yang berjumpa dengan “malaikat yang kuat” yang turun dari surga, “berselubungkan awan, dan pelangi ada di atas kepalanya”, mukanya “sama seperti matahari, dan kakinya bagaikan tiang api” (Why 10:1dst).

Dalam tangannya ia memegang sebuah gulungan kitab kecil yang terbuka. Lalu aku pergi kepada malaikat itu dan meminta kepadanya, supaya ia memberikan gulungan kitab itu kepadaku. Katanya kepadaku: "Ambillah dan makanlah dia; ia akan membuat perutmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis seperti madu." Lalu aku mengambil kitab itu dari tangan malaikat itu, dan memakannya: di dalam mulutku ia terasa manis seperti madu, tetapi sesudah aku memakannya, perutku menjadi pahit rasanya. Maka ia berkata kepadaku: "Engkau harus bernubuat lagi kepada banyak bangsa dan kaum dan bahasa dan raja."

 

Memakan kitab adalah suatu episode yang jelas ganjil, dan bertambah menakjubkan karena terjadi bukan di satu teks kitab suci saja, tetapi di dua kitab. Tidak mengherankan jika kemudian hal itu menarik perhatian banyak komentator di kalangan jemaat Kristen di masa awal. Pada waktu mendapat penampakan, di tahun 518, Romanos yang hidup di dalam suatu komunitas biara, tentulah sudah pernah mendengar karya-karya para penafsir besar yang dibacakan berulang kali. Maka tentulah ia sedikit pun tidak menyangsikan makna mimpinya.

               Santo Hippolitus dari Roma, pada abad ketiga, adalah salah seorang komentator kitab suci masa awal yang menghasilkan banyak ulasan komentar tebal. Ia menulis bahwa gulungan kitab, yang ditulisi di kedua muka, depan dan belakang, “menandakan nabi-nabi dan rasul-rasul. Pada gulungan kitab itu Perjanjian Lama ditulis di satu muka, dan Perjanjian Baru di sebaliknya”. Lebih dari itu, gulungan kitab itu menyimbolkan, “ajaran rohani rahasia… Ada semacam hubungan antara membaca bagian muka dengan memahami sebaliknya”. Maka ada hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan hanya orang yang menyantapnya yang dapat melihat hubunga itu.

               Bagi Santo Hieronimus, teks Yehezkiel berisi pesan khusus untuk para pengkhotbah: “Tanpa menyantap buku yang terbuka itu terlebih dahulu, kita tak dapat mengajar anak-anak Israel”.

               Dalam generasi pasca-Romanos, Santo Gregorius Agung mengalami ketakjuban serupa hingga berulangkali membaca teks nabi Yehezkiel itu.  Gregorius, yang adalah seorang paus dan pembaharu liturgi, juga seorang ahli tafsir yang mendalam. Dalam karyanya, Komentar atas Kitab Yehezkiel, ia menulis: “Apa yang dijanjikan Perjanjian Lama, diwujudnyatakan Perjanjian Baru. Yang diwartakan dengan cara tersembunyi oleh yang terdahulu, dinyatakan secara terbuka oleh yang kemudian bahwa sudah hadir. Maka Perjanjian Lama merupakan nubuat Perjanjian Baru; dan penjelasan terbaik untuk Perjanjian Lama adalah Perjanjian Baru.”

               Bagi para Bapa Gereja – mulai dari Hippolitus sampai Romanos dan Gregorius – maknanya amat sangat jelas: Keselamatan datang dalam rupa suatu Perjanjian (sama dengan bahasa Latin Testamentum); dan perjanjian itu harus disantap agar dapat dibagikan.

*******

Bagi umat kristiani Katolik pada abad pertama maupun pada abad ke duapuluhsatu, kisah-kisah mistik selalu membangkitkan misteri sakramental. Dalam contoh-contoh yang saya sampaikan sejauh ini tak ada bedanya. Kitab visioner nabi Yehezkiel dan Wahyu Yohanes sangat kaya dengan lukisan liturgis. Yehezkiel masih terfokus pada Bait Allah. Sedang Yohanes memandang baik surga maupun sejarah dalam hal liturgi kurban: altar dan imam, piala dan pedupaan, terompet dan lagu-lagu pujian, memuncak pada perjamuan suci. Di kedua kitab itu, adegan menyantap kitab terjadi di tengah pengalaman akan ibadat surgawi.

               Dalam tutur Yohanes, dan di kemudian nanti dalam kisah Gereja tentang hidup Romanos, terdapat warna dasar Ekaristi. Keduanya dipanggil dan disuruh “ambil” dan “makan”, dua kata kerja yang terdapat dalam kisah penetapan Ekaristi sejak abad pertama (misalnya lih. Mat 26:26). Mereka menerima perjanjian sebagai kata-kata, dan kemudian mengambil dan memakan “sabda” sebagai makanan, santapan.

               Pada abad ketiga, Origenes, guru besar dari Aleksandria, telah berbicara mengenai pernyataan alkitabiah itu sebagai analog dari komuni sakramental:

Kalian yang terbiasa menghadirkan misteri ilahi tentu tahu, bagaimana ketika menerima tubuh Tuhan, kalian menjaganya dengan sangat hati-hati dan hormat, agar tidak ada remah sekecil apapun yang tercecer, agar tidak ada bagian dari anugerah suci itu hilang. Sebab kalian sendiri yakin bahwa kalian bersalah, dan memang demikian, jika ada remah yang jatuh karena sikap kalian yang kurang hati-hati. Namun jika kalian begitu cermat dan hati-hati menjaga tubuh-Nya, dan sungguh demikian, mengapa kalian mengira tidak begitu bersalah jika melalaikan sabda Allah, jika dibanding dengan melalaikan tubuh-Nya?

Bagi Origenes, ada kualitas sakramen pada gulungan kitab. Kitab itu harus dipegang dan disantap dengan rasa hormat dan kehati-hatian yang sama seperti roti Ekaristi – namun juga disertai rasa lapar sejati.

               Baik pada roti maupun pada sabda terdapat kehadiran nyata. Baik dalam pewartaan maupun dalam sakramen, kerajaan datang bersama dengan sang Raja sendiri. Paus Emeritus Benediktus XVI menulis, “Maka kita semakin tumbuh dalam kesadaran, yang sudah begitu jelas bagi para Bapa Gereja, bahwa pewartaan sabda isinya adalah Kerajaan Allah (bdk Mrk 1:14-15), yang dalam istilah Origenes yang tak terlupakan, adalah pribadi Yesus sendiri (autobasilea).”

               Inilah kebenaran yang dikenal Romanos da Hieronimus, Gregorius Agung dan yang dialami oleh Yohanes Rasul, serta yang dinubuatkan Yehezkiel. Keselamatan datang dalam rupa perjanjian – suatu perjanjian yang terwujud dalam Sabda, Sabda yang menjadi manusia, Sabda yang dimakan.

               Para nabi dan pelihat berbicara kepada kita menggunakan gambaran-gambaran, dan gambar yang mereka lukiskan itu membawa misteri di dalamnya. Begitu kita mendekat pada pemahaman akan misteri itu, kita harus menggunakan kata-kata untuk bicara tentang mereka. Allah menciptakan kita untuk berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata. Ia sendiri menciptakan aspek kodrati manusia ini dan memanfaatkannya ketika Ia mengilhami Kitab Suci – yang secara harafiah adalah hai graphai, “tulisan-tulisan”. Bagi Yehezkiel dan Yohanes Rasul, Allah memateri sabda-Nya pada suatu gulungan kitab sebelum mengundang mereka untuk memakannya.

               Allah mewahyukan diri dan memberikan diri-Nya dalam gulungan kitab. Namun, apa yang dulunya dimulai sebagai puisi, kini kita biarkan saja berubah menjadi jargon; dan begitulah maka istilah-istilah Yunani-Latin “covenant”, testament,” (keduanya = perjanjian), “liturgi” dan “Ekaristi”, semuanya adalah kata-kata biasa sehari-hari yang dulunya mampu menggerakkan para leluhur kita untuk menyanyi, sekarang bahkan turun lagi martabatnya sebagai jajaran kosa-kata teknis belaka.

               Boleh jadi hal ini bukan soal baru, namun sudah merupakan cobaan berabad-abad lamanya. Namun penemuan kita akan “kebaruan” kata-kata itu, New Testament, New Covenant, Perjanjian Baru, terutama sangatlah penting dan mendesak sekarang, ketika Gereja sedang mulai melancarkan upaya Evangelisasi Baru.

               Evangelisasi merupakan suatu proses yang dinamis, di mana kita membagikan Injil (Kabar Baik) kepada orang lain. Namun kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki lebih dulu. Nabi Yehezkiel lebih dahulu memakan kata-kata untuk pesan-pesan kenabiannya. Begitu pula Yohanes Rasul mengambil dan memakannya. Romanus memakan gulungan, mencernanya, dan menjadikannya bagian dari dirinya; baru kemudian ia membagikan kepada orang lain apa yang telah diterimanya. Mereka itulah orang-orang pertama yang mengenal komuni Sabda, dan hanya dengan demikian mereka mampu mewartakan Sabda itu ke seluruh dunia.

               Kita semua perlu merasakan lagi apa yang dulu dirasakan oleh Nabi Yehezkiel, citarasa perjamuan Yohanes Rasul, citarasa nyanyian Romanos. Itulah alasannya mengapa saya menulis buku ini: untuk memelajari beberapa istilah Kristiani yang sifatnya mendasar, untuk mendapatkan makna istilah-istilah itu menurut para penulis suci, para rasul pengkhotbah, dan para pendengar mereka yang pertama. Jika kita menyantap Sabda sesuai dengan yang mereka maksudkan ketika mereka dulu melayani Sang Sabda, niscayalah kita pun dapat diubah sebagaimana para murid perdana dulu telah diubah, dan kemudian mungkin dunia kita pun dapat dijadikan kembali dan diperbarui sebagaimana dunia para murid perdana dulu telah dijadikan kembali dan diperbarui.

Diterjemahkan Bambang Kussriyanto dari Consuming the Word. The New Testament and The Eucharist in the Early Church. Bab I. Crown Publishing Group dari Random House, New York, 2013.

Inovasi: Hidrogen Bukan Untuk Perang Tapi Untuk Perdamaian

Bambang Kussriyanto 

Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki adalah bom hidrogen. Daya rusaknya sangat besar dan mengerikan. Namun penelitian lanjutan atas manfaat hidrogen menghasilkan solusi masa depan untuk perubahan iklim yang diakibatkan gas rumah kaca khususnya CO2 (karbon dioksida). Pemisahan elektrokimia atas kalsium karbonat (yang terdapat pada mineral yang murah dan banyak terdapat seperti limestone) diusulkan menjadi cara baru untuk membentuk senyawa hidroksida yang dapat menyerap, menetralkan dan mengikat karbon dioksida dari udara dan dari aliran limbah.  CaCO3 dipisahkan dengan anolit acid dari selektrolisa sel air saline, membentuk Ca(OH)2 dan H2CO3 (atau H2O dan CO2). Dengan mempertahankan tingkat keasaman pH antara 6 dan 9 pada hasil pemisahan itu, selanjutnya reaksi hidroksida dengan CO2 menghasilkan kalsium bikarbonat yang terurai, Ca (HCO3)2. Untuk setiap mol CaCO2 yang diurai dapat diikat 1 mol CO2.Ca(HCO3)2 yang dihasilkan dapat digelontorkan ke laut, disimpan, atau dibuang ke reservoir di darat. Hasil akhirnya adalah H2 atau hidroksida yang bersih tanpa karbon. Biaya proses ditaksir USD 100/ton CO2.   

Mengancang sasaran program emisi CO2 nol pada 2050 nanti di dunia sedang diupayakan produksi "super green H2" pada skala besar-besaran untuk menetralkan karbon dioksida pada industri-industri yang dikenal menjadi emitor besar CO2 seperti baja, petrokimia, pupuk, moda angkutan besar, perkapalan, dan penerbangan dan menunjang pembangkit listrik. Terdapat lebih dari 680 proyek hidrogen antara lain 103 di Amerika Utara, 154 di Asia dan China, 314 di Eropa, 54 di Oceania, 25 di Amerika Latin, 34 di Timur Tengah dan Afrika. Hidrogen bersih diperkirakan akan menyumbang pengurangan 20% emisi karbon dioksida pada 2050.


Diperlukan modal besar untuk upaya produksi H2 super green. 

Gereja-gereja termasuk Vatikan pada 2014 menarik investasinya dari produsen energi fossil (minyak bumi dan batubara) dan mengalihkannya pada pusat-pusat energi yang terbarukan dan bersih. Produksi H2 sebagai sarana untuk menetralkan CO2 dapat menjadi alternatif investasi Gereja dalam rangka merawat bumi dan mengatasi perubahan iklim. 


PowerPoint Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II dan Tantangan Selanjutnya



Setelah Ikafite menyelenggarakan Peringatan Syukur 60 Tahun Konsili Vatikan II 15 Oktober 2023, saya menerima tawaran beberapa pihak untuk sosialisasi Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II dan Tantangan selanjutnya. Maka saya membuat garis besar presentasi dalam PowerPoint. Mungkin juga berguna bagi teman-teman lain untuk diperbaiki mutatis mutandis menurut situasi audiens masing-masing.

https://sg.docworkspace.com/d/sIO--jq8nnfqHmwY?sa=00&st=0t