Daftar Blog Saya

Senin, 24 Oktober 2022

Sarasehan Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II oleh Ikafite

 Setelah melaksanakan persembahan Ekaristi, Puji Syukur atas anugerah Konsili Vatikan II dilanjut dengan makan siang bersama, Ikatan Alumni Filsafat Teologi (Ikafite) Sanata Dharma juga menyelenggarakan Sarasehan tentang Konsili Vatikan II di Aula Seminari Tinggi St Paulus, Kentungan, Yogyakarta pada hari Sabtu 15 Oktober 2022.

Tampil sebagai Narasumber: - Mgr. Dr. Petrus Boddeng Timang Pr, Uskup Keuskupan Samarinda - Romo Dr. CB Mulyatno, Pr Dekan Fakultas Teologi Wedabhakti, Sanata Dharma - Prof. Dr. Phil. Al Makin, S. Ag., M.A. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta - Romo Prof. Dr. FX. Mudji Sutrisno, SJ, dari STF Drijarkara Jakarta - Bapak FX Hadi Rudyatmoko, mantan Walikota Surakarta - Ibu MY Esti WIjayati, anggota DPR RI - Romo Dr. St. Gito Wiratmo, Pr, pembina Ikafite - Yustinus Prastowo, Staf Menkeu, dan dipandu oleh moderator - Dr. YCT Tarunasayoga dari Unika Soegijapranata Semarang yang juga anggota Ikafite.




















Mgr Rubiyatmaka Uskup dari Keuskupan Agung Semarang menyampaikan sambutan video:

"Teman-teman Ikafite dan semua hadirin yang saya cintai, selamat pagi dan Berkah Dalem. Betapa bahagianya, seandainya saya bisa ikut hadir dan bergabung dengan anda semua, merayakan syukur atas 60 tahun pembukaan Konsili Vatikan II. Meskipun demikian, saya cukup bangga dan bergembira khususnya atas inisiatif dari Ikafite untuk mengadakan Perayaan Ekaristi dan Sarasehan menyambut 60 tahun pembukaan Konsili Vatikan yang kedua ini. Dari sini, saya berharap banyak bahwa semangat pembaharuan yang telah dicanangkan oleh para Bapa Konsili, tetap mewarnai semangat kehidupan menggereja kita. Dari waktu ke waktu, khususnya semenjak Konsili Vatikan II, gereja di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat luar biasa, khususnya selalu mencoba untuk mengembangkan, memajukan dinamika kehidupan bersama ini sesuai dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi. Semoga di tahun ke 60 dan selanjutnya, kita selalu dimampukan untuk menghadirkan semangat aggiornamento itu, sehingga gereja kita tetap senantiasa aktual, tetap senantiasa signifikan dan relevan bagi masyarakat di sekitar kita dan mampu membawa perubahan-perubahan yang memajukan kehidupan bersama di tengah masyarakat khususnya di Indonesia ini. Maka dalam kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih atas inisiatif ini, atas kebersamaan kita dan atas kehadiran anda. Semoga nanti dihasilkan butir-butir rekomendasi yang bisa kita bawa pulang untuk menjadi - katakanlah - penyemangat kita untuk hidup menggereja yang semakin berkenan kepada Tuhan dan semakin membuahkan perubahan-perubahan yang baik di tengah masyarakat kita. Matur nuwun, Berkah Dalem, dan selamat untuk bernostalgia bersama teman-teman"

Sekitar 350 hadirin mengikuti jalannya Sarasehan yang berlangsung 3 jam dimulai dari pkl 13.00 hingga pkl 16.00 itu.

Rektor Universitas Sanata Dharma Rm. Albertus Bagus Laksana SJ menyampaikan sambutannya:

Saudara-saudariku, kita sungguh bersyukur dengan pembaruan Gereja yang dihembuskan oleh Konsili Vatikan II. Pembaruan ini sungguh luar biasa. Tetapi setelah 60 tahun, kebanyakan dari kita tidak ingat lagi mengenai Gereja Katolik sebelum KV II dan mungkin gema pembaruan ini agak menghilang. Beberapa tahun lalu, teolog Srilanka, Aloysius Pieris, menulis buku yang berjudul Give Vatican II A Chance. Pieris menengarai bahwa ada kekuatan-kekuatan dalam Gereja sendiri yang bergerak ke arah yang berbeda. Maka, sungguh penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan menegaskan komitmen kita kembali.

Tanda-tanda Zaman Selain wacana dan dinamika internal Gereja sendiri, pelbagai krisis dunia pun mengingatkan kita untuk melanjutkan komitmen pembaruan KV II secara lebih luas dan global. Dunia kita sedang mengalami krisis politik yang cukup serius. Setelah rezim totalitarian dan otoritarian bertumbangan sejak tahun 1990-an, dunia kita dilanda oleh gerakan politik kanan dan populis. Setelah terpilihnya Donald Trump dan kepemimpinan brutal Vladimir Putin, kita baru saja menyaksikan terpilihnya Giorgia Meloni dari partai The Brothers of Italy. Orang zaman sekarang ini merasa takut, dan cemas terhadap masa depan yang tidak jelas, lalu menggantungkan pengharapan mereka pada pihakpihak yang berjanji memberikan kepastian. Donald Trump berhasil terpilih dengan formula demikian: “Berikan aku kekuasaan, dan aku akan memberimu keamanan” (Give me the power, and I will give you the security).

Dalam analisis Zygmunt Bauman, kita hidup dalam zaman cair (liquid time). Tidak ada seorangpun, atau satu pihak manapun, yang sungguh bisa mengontrol dan memegang kendali. Kita hanya bisa melakukan peran yang begitu kecil (there is so little we can do). Semua serba sementara, dan sewaktu-waktu bisa hilang dan kolaps. Ada unsur randomness dalam dinamika masyarakat kita.

Menarik bahwa Zygmunt Bauman berbicara tentang ketakutan yang “cair” (liquid fear) dan “precariat.” Ketakutan dan kecemasan di zaman kita itu begitu mendasar dan menyebar. Kita berjalan di atas pasir; atau kita seperti berjalan di ladang ranjau (mine-field), kita sadar bahwa ranjau bisa saja ada di mana-mana, dan tidak ada wilayah yang sungguh aman. Sekali lagi, ketakutan dan kecemasan tersebar ke mana-mana, di semua ranah kehidupan. Pemerintah yang paling kuat pun tidak berdaya dan mengalami krisis. Kerapuhan ini menjadi semakin nyata selama Pandemi. Pekerjaan paling aman pun terancam. Hubungan partnership di antara manusia juga menjadi semakin rapuh. Keputusan-keputusan kita buat tanpa ada jaminan. Kata Bauman, kita semakin bebas, tetapi tidak semakin aman.

Menurut Bauman, sebab utama dari keadaan ini adalah pemisahan antara “power” dan “politics.” Power adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu, sedangkan “politik” adalah otoritas dan kemampuan untuk memilih apa yang perlu dan hendak dilakukan. Dahulu dua kekuatan ini tergabung dalam kekuatan dan legitimasi negara-bangsa (nation-state) dengan batas-batas yang jelas. Sekarang, power atau kekuasaan itu dibebaskan atau dipisahkan dari politik. Kemudian, power itu berkembang dan mengalir dalam arus-arus (flows) lain, seperti pasar (market), modal (capital), perdagangan narkoba (drug trafficking), dan di ranah dunia digital (Cf. Bauman, Liquid Fear).

Tanggapan dan dinamika Gereja Ketidakpastian mengenai perjalanan Gereja Katolik sesudah KV II waktu itu juga muncul di banyak kalangan. Ada orang yang merasa kehilangan identitas dan kepastian. Dunia modern yang hendak dimasuki Gereja dianggap dunia yang berbahaya dan tidak bisa diandalkan. Kata pepatah yang sering dikutip: “Barangsiapa mau menikahi zaman, akan cepat menjadi duda atau janda!” Artinya, jangan cepat-cepat menyesuaikan diri dengan zaman, karena zaman terus berubah dengan sangat cepat.

Namun, sesudah 60 tahun, kita bersyukur bahwa ketakutan-ketakutan ini tidak menenggelamkan usaha Gereja untuk terus membarui diri, untuk terjun dalam medan dunia sebagai medan inkarnasi, sebagai medan sejarah tempat karya penebusan terus terjadi. Gereja tidak lari dari dunia, tetapi menerima perutusan untuk diutus ke dunia tetapi bukan dari dunia. (Yoh 17:15-16), yang digaungkan dengan sangat jelas dalam Gaudium et Spes, sebuah dokumen KV II yang termasuk paling populer di Gereja Indonesia.

Konsili Vatikan II adalah pembaruan yang mengobarkan kebersamaan yang sekarang ini, di bawah Paus Fransiskus, diperkuat lagi dengan perspektif sinodalitas. Unsur berjalan bersama ini juga ditekankan oleh Federasi Konferensi-Konferensi Uskup Asia (FABC), yang sudah berusia lebih dari 50 tahun.

Selama 60 tahun terakhir Gereja Katolik merajut “identitas,” di tengah gelombang ketidakpastian dunia seperti yang digambarkan Bauman. Gereja tentu tidak bermain politik identitas. Karena, identitas ini adalah sebuah identitas yang terjaring dan terkait dengan perutusan Gereja yang mendalam (sakramen keselamatan), dengan realitas yang lebih luas, dan dengan semua pihak, dalam sebuah dinamika perjalanan peziarahan menuju pengharapan akan kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam kebersamaan ini, Gereja berusaha memberi oase, menjadi tempat bertumbuh, berteduh dan berlindung bagi manusia-manusia modern yang hidupnya terombang-ambing dan mencari makna, termasuk kaum “precariat” yang disebut Bauman.

Paus Fransiskus mengajak Gereja dan dunia untuk berjuang demi kelompok “precariat” khusus pengungsi dan migran, kaum miskin, orang muda, dan orang jompo, juga mereka yang mendambakan kabar “sukacita” dalam hidupnya yang berat.

Dalam hal ini Gereja menjadi bagian dari kekuatan global untuk bertindak demi kemanusiaan. Inspirasi ini perlu lebih menggelora lagi dalam Gereja Indonesia sesudah 60 tahun KV II ini. Secara umum Gereja Katolik di Indonesia tidak ragu untuk memeluk visi kebangsaan, sebuah warisan yang sudah dirajut oleh komunitas Katolik di Indonesia jauh sebelum KV II tetapi dikembangkan dengan lebih antusias dan programatis di zaman sekarang. Secara khusus Dokumen Gaudium et Spes dan Nostra Aetate telah menginspirasi Gereja Indonesia, mendorongnya untuk menjadi Gereja yang srawung. Perfectae Caritatis membuat kongregasi dan tarekat di Indonesia juga lebih dinamis dan kontekstual.

Gereja Katolik Indonesia pun telah berusaha mengatasi problem “keliyanan” (otherness) yang melekat dalam dirinya. Gereja tidak menjadi “liyan” yang mengancam, dan bahkan bisa berteman dengan banyak pihak, termasuk kekuatan-kekuatan Muslim. Tetapi dalam proses ini Gereja harus bisa juga melepaskan pelbagai ketakutan dan kecemasannya: cemas kalau tidak lagi menjadi pemain kunci dan dominan dalam bidang tertentu, misalnya pendidikan dan kesehatan.

Kita mungkin juga cemas karena kurang berpengaruh dalam politik nasional, dan bingung karena meningkatnya gerak Islam politik. Semangat kolaborasi mestinya menggantikan godaan dominasi. Gereja perlu terus mencari wilayah atau bidang keterlibatan yang paling dibutuhkan dan yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini. Di awal bulan November 2002 Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot, ketua Komisi Kepausan untuk Dialog Antaragama (Pontifical Commission for Interreligious Dialogue) akan menerima gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga bersama dengan KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan tokoh Muhammadiyah, Hajrianto Tohari yang sekarang juga menjabat duta besar Indonesia di Lebanon.

Setelah peringatan 60 tahun Kita semua tahu bahwa politik identitas, demokrasi dan Pemilu yang kurang bermartabat karena dipakai demi kepentingan pribadi dan kelompok, terus mengancam kehidupan kita sebagai bangsa, terutama di tahun-tahun ini dan ke depan. Kita perlu mengem-bangkan teologi publik dan interreligius, yang disertai program tindakan kolaboratif berjangka panjang. Vatikan II harus selalu menjadi inspirasi, agar Gereja semakin terlibat.

Terimakasih untuk IKAFITE yang sangat bersemangat dalam meneruskan gerak pembaruan KV II dalam pelbagai kegiatan, termasuk acara Perayaan Syukur 60 Tahun Konsili Vatikan II ini. Adalah tugas para anggota IKAFITE, bersama seluruh Fakultas Teologi Wedabhakti dan Universitas Sanata Dharma, untuk terus menggelorakan semangat pembaruan ini dalam banyak cara.

Semoga kita semua diberkati Tuhan dalam gerak Roh ini.

Mgr Agustinus Agus Uskup Keuskupan Agung Pontianak memberikan skema dokumen hasil2 Konsili Vatikan II.


Jalannya Sarasehan dapat disimak dalam rekaman live streaming berikut:




Ikafite Persembahan Syukur atas Konsili Vatikan II

Pada hari Sabtu 15 Oktober 2022 Ikatan Alumni Filsafat Teologi Sanata Dharma mempersembahkan Ekaristi sebagai ungkapan syukur atas 60 tahun Konsili Vatikan II di Kapel Seminari Tinggi St Paulus, Kentungan, Jl. Kaliurang km 7, Yogyakarta. Misa konselebrasi dilaksanakan dengan konselebran utama Mgr Yustinus Harjosusanto MSF Uskup Agung Samarinda dan Mgr Dr Piet Boddeng Timang Pr Uskup Keuskupan Banjarmasin.

Perayaan syukur yang dimulai dari pukul 10.00 ini dihadiri sekitar 450 orang memenuhi kapel dan tenda di luar.

Sebelum Misa dimulai, disampaikan Video Sambutan Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta dan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Isinya sebagai berikut:

"Saya sungguh sangat menghargai prakarsa yang dilakukan oleh Ikatan Alumni Filsafat dan Teologi Universitas Sanata Dharma atau yang juga dikenal sebagai Fakultas Teologi Wedabhakti, untuk mensyukuri anugerah
Konsili Vatikan II genap 60 tahun. Kita semua tahu, salah satu kata kunci dalam Konsili Vatikan II adalah aggiornamento, yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti pembaharuan. Semoga acara yang dibuat oleh alumni Filsafat dan Teologi Universitas Sanata Dharma ini mengingatkan kita semua, mengingatkan seluruh gereja, khususnya Gereja Katolik di Indonesia, untuk terus membaharui diri.

Akhir-akhir ini pembaharuan itu menjadi sangat jelas bagi kita semua. Saya menyebut misalnya proses Sinode yang sedang berjalan untuk menyiapkan Sinode pada tahun 2023. Temanya sangat jelas : “Menuju Gereja Sinodal
: Persekutuan, Keterlibatan dan Misi” Di balik rumusan itu, ada pembaharuan yang sungguh sangat mendasar. Kalau disederhanakan, menjadi gereja yang mengajar, menjadi gereja yang berjalan bersama-sama. Tidak asal berjalan bersama-sama, tetapi berjalan bersama-sama untuk menemukan kehendak Tuhan di dalam realitas dunia yang semakin kompleks ini.

Maka tidak mengherankan kalau katekese yang dilakukan oleh Paus Fransiskus akhir-akhir ini, secara berseri adalah mengenai pembedaan roh.

Itulah yang harus dilakukan di dalam berjalan bersama itu. Ketika berjalan bersama itu, sungguh-sungguh menjadi upaya untuk membedakan roh, menemukan kehendak Tuhan, kebersamaan itu pasti akan membuahkan
persekutuan atau communio. Kalau communio itu bertambah buat, dengan sendirinya keterlibatan akan tumbuh pula. Keterlibatan semakin tumbuh, persekutuan semakin kuat dan begitu terus dan proses ini buah-buahnya
menjadi misi, menjadi kesaksian. Jelas sekali pembaruan yang seperti itu dilakukan di dalam proses menuju Sinode 2023 yang belum pernah ada sebelumnya.

Pembaharuan yang kedua menjadi sangat jelas pula di dalam Konstitusi Apostolik Praedicate Evangelium yang ditulis dan diumumkan oleh Paus Fransiskus. Isinya adalah pembaharuan dalam lingkup Kuria Romana.
Pembaharuannya menjadi sangat konkrit. Misalnya nama Kongregasi Suci, sekarang tidak dipakai lagi. Yang dipakai untuk semua adalah dicasteri.
Artinya sangat umum, itu berarti departemen atau kementerian atau pelayanan. Dua hal yang sangat berbeda. Kalau Konggregasi Suci biasanya dipimpin oleh seorang Kardinal. Tetapi ketika menjadi dicasteri, siapapun
bisa memimpin. Awam bisa, termasuk awam perempuan, bisa memimpin dicasteri itu kalau sesuai dengan profesionalitasnya. Suatu langkah yang sangat besar.

Yang kedua, di dalam Praedicate Evangelium itu, juga ada daftar dicasteridicasteri. Ada yang menarik di dalam daftar itu. Yang pertama di dalam daftar itu tidak lagi diletakkan dicasteri untuk Ajaran Iman tetapi dicasteri
untuk Pewartan Injil. Baru pada nomor dua diletakkan dicasteri untuk Pengajaran Iman. Dan yang nomor tiga adalah suatu dicasteri baru, yang diberi nama dicasteri Pelayanan Kasih. Itulah satu, dua, tiga di dalam daftar
dicasteri di Kuria Romana sekarang. Waktu pertemuan dengan Paus ada yang bertanya, lha dicasteri Liturgi diletakkan di mana. Jawabannya sederhana. Semua dicasteri mempunyai tempat yang sejajar. Hanya, sekarang yang menjadi perhatian utama adalah tiga dicasteri itu. Inipun sesuatu yang sangat istimewa karena ada tambahan dicasteri untuk Pelayanan Kasih.

Tentu ini bukan sekedar pembaharuan organisasi di dalam Kuria. Bukan sekedar menempatkan orang-orang baru sebagai pimpinan dari dicasteri itu. Dengan sangat jelas dikatakan, ini bukan sekedar new (baru), tetapi renewal (pembaharuan). Dan pembaharuan itu menyangkut tiga bidang.

Pertama pembaharuan spiritual, pasti. Kedua pembaharuan di dalam keunggulan kualitas manusiawi dan yang ketiga adalah keunggulan profesionalitas. Yang jarang disebut yang nomor tiga ini. Masih banyak diskusi, masih banyak pertanyaan tetapi sudah diputuskan di dalam Konstitusi Apostolik itu dan akan berjalan.

Paus Fransiskus sangat menekankan bahwa pembaharuan itu pertama-tama adalah pertobatan. Kalau kita melihat di dalam hidup Paus Fransiskus sendiri, pertobatan itu dalam arti yang seluas-luasnya bukan sekedar mengaku dosa, tetapi mengarahkan hidup kepada Allah, menjadi sangat jelas pada waktu Paus Fransiskus berusia 17 tahun mengalami wajah Allah yang maharahim. Di dalam peristiwa panggilan Mateus, yang sekarang masih tertulis di dalam banner atau semboyan untuk setiap Paus dan setiap Uskup juga punya. Semboyan Paus Fransiskus adalah “Miserando atque eligendo". Rumusan bebasnya, ketika Yesus memandang Mateus dengan wajah penuh kerahiman, Ia memanggil dia. Pengalaman akan Allah yang maharahim itu menentukan seluruh hidup Paus Fransiskus. Pada usia 17 tahun, ia memutuskan untuk menjadi imam di dalam Serikat Jesus.

Yang sangat terkenal tentu adalah pembaharuan itu tampak di dalam pilihan-pilihannya. Saya sebut satu, yang kita semua tahu. Pada hari Kamis Putih ada upacara pembasuhan kaki para rasul. Dulu yang dibasuh adalah kaki semua laki-laki dan diambil dari biasanya orang-orang yang terpandang. Paus Fransiskus karena pengalamannya akan Allah yang maharahim itu membuatnya berbeda. Ada orang di penjara, ada orang yang tidak Kristiani, perempuan dibasuh kakinya. Kenapa ? Pilihan atas dasar pengalaman akan Allah, bahwa wajah Allah itu maharahim. Jadi pengalaman akan Allah, transformasi pribadi yang tampak di dalam pilihan-pilihannya dan sekarang buahnya adalah transformasi institusi : gereja yang berubah gereja yang membaharui diri.

Semoga acara syukur 60 tahun Anugerah Konsili Vatikan II mengajak kita mencari jalan-jalan baru supaya gereja katolik di Indonesia khususnya, sungguh-sungguh menjadi gereja yang relevan bagi umatnya sendiri dan
menjadi gereja yang sungguh berarti bagi masyarakat yang luas. Selamat mengadakan acara. Semoga pada waktunya ada buah-buah yang sungguh dapat kita petik, kita persembahkan kepada Tuhan, kita jadikan berkat bagi
gereja. Terima Kasih."



















Rabu, 12 Oktober 2022

Bersihkan yang ada di kantong



Luk 11: 37-41

Yesus diundang makan di rumah orang Farisi, Dia dikritik karena tidak mencuci tangan. 

Maka Yesus berkata, “Kamu orang-orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan.”

Yesus melanjutkan, “Hai orang-orang bodoh, bukankah Dia yang menjadikan bagian luar, Dia juga  yang menjadikan bagian dalam? Akan tetapi, berikanlah isinya sebagai sedekah dan semuanya akan menjadi bersih bagimu"

Sehubungan dengan perikop ini seorang teman yang pandai bertanya kepada muridnya, tahukah kamu dari mana iblis merasuki manusia? 

Muridnya menjawab sekenanya umumnya menyangkut tempat- tempat angker. 

"Tidak. Iblis masuk menguasai kita dari dalam kantongmu. Jadi bersihkanlah isi kantongmu, berikanlah sebagai sedekah maka semuanya akan bersih bagimu".

Senin, 10 Oktober 2022

PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL OLEH KLERIKUS IV

 

Karena memerlukan, beberapa pihak meminta saya memposting bagian lampiran dari Vademecum Penanganan Perkara Pelecehan Seksualterhadap anak-anak oleh Klerikus. Maka bagian lampiran ini saya dahulukan atas permintaan, menyela serial runtut dari postingan ketiga. Kelanjutan postingan ketiga akan saya sampaikan dalam postingan kelima.

Postingan keempat ini aslinya dipetik dari VADEMECUM PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Kongregasi Ajaran Iman, Roma 16 Juli 2020, yang diterjemahkan RD Yohanes Driyanto. Diterbitkan Dokpen KWI. Pada tahun 2021 KAI menerbitkan Vademecum versi 2.0. Beberapa perubahan di dalamnya terutama perubahan besar KHK Kan 1336 saya cantumkan dalam postingan ini dengan huruf merah. Karena mendesak sebagian belum sempat saya terjemahkan. Jelas perubahan/sisipan terjemahan dengan huruf merah ini menjadi tanggungjawab saya, namun mohon dipertimbangkan dengan teliti.

RINGKASAN TABULASI UNTUK PERKARA TINDAK PIDANA YANG DIRESERVASI

[1] Art.  8 SST - § 1. Tindak kejahatan untuk tindak pidana yang direservasi bagi KAI berhenti dengan daluwarsa 20 tahun.

§ 2. Daluwarsa berjalan sesuai dengan norma kan. 1362 § 2 KHK dan kan. 1152 § 3 KKGKT. Tetapi dalam tindak pidana yang disebut dalam art. 6 § 1 no. 1, daluwarsa mulai dihitung dari hari saat anak mencapai usia 18 tahun.

§ 3 The Congregation for the Doctrine of the Faith has the right to derogate from prescription for all individual cases of reserved delicts, even if they regard delicts committed prior to the coming into force of the present Norms.

[2] Art. 24 SST - §1. Dalam perkara yang berkenaan dengan tindak pidana yang disebut dalam art. 4 § 1, Tribunal tidak dapat mengungkapkan nama pelapor kepada terdakwa atau pelindungnya (patronus) kecuali pelapor dengan tegas telah menyetujuinya. § 2. Tribunal yang sama harus sungguh-sungguh memperhatikan pentingnya mengenai kredibilitas pelapor. § 3. Namun demikian, harus selalu ditaati bahwa setiap bahaya pelanggaran rahasia sakramental harus dihindari sama sekali.

[2] Art. 4 § 2 SST - In the cases concerning the delicts mentioned in § 1, it is not permitted for anyone to indicate the name of the accuser or the penitent either to the accused or to his or her patron, unless the one making the accusation or the penitent has expressly consented; the question of the credibility of the accuser is to be considered attentively; and any danger of violating the sacramental seal is to be altogether avoided, taking care, however, that the right of defence of the accused remains intact.

[3] Art. 8 SST - § 2. Tribunal tertinggi juga mengadili tindak pidana lain yang terdakwanya didakwa oleh Promotor Iustitiae, dengan alasan hubungan dengan orang atau keterlibatan dalam kejahatan.

[3] Art. 9 § 2 SST - This Supreme Tribunal, only in conjunction with the delicts reserved to it, also judges other delicts for which a defendant is accused by reason of connection of person and of complicity in a delict.

[4] Kanon 1428 KHK – § 1. Hakim atau ketua Tribunal Kolegial dapat menunjuk seorang auditor, yang dipilih dari hakim-hakim tribunal atau dari orang-orang yang disetujui uskup untuk tugas itu, untuk melakukan instruksi perkara. § 2. Uskup dapat menyetujui untuk tugas auditor seorang klerikus atau awam yang unggul dalam moral, kearifan, dan ajaran. Kan. 1093 KKGKT – § 1. Seorang hakim atau ketua tribunal kolegial dapat menunjuk seorang auditor untuk melakukan instruksi perkara. Auditor itu dipilih dari antara hakim tribunal atau orang beriman kristiani yang diizinkan untuk tugas itu oleh uskup eparkial. § 2. Uskup eparkial dapat menyetujui untuk tugas auditor anggota umat beriman kristiani yang unggul dalam moral, kearifan, dan ajaran.

[5] Kanon 1722 KHK – Untuk menghindari skandal, untuk melindungi kebebasan para saksi, dan mengamankan jalannya keadilan, ordinaris, sesudah mendengarkan promotor iustitiae … dapat memberhentikan terdakwa dari pelayanan suci atau dari beberapa jabatan dan tugas gerejawi, dapat memerintahkan atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu, atau juga melarang dia mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi Mahakudus secara publik … Kan. 1473 KKGKT – Untuk menghindari skandal, melindungi kebebasan para saksi, dan melindungi jalannya keadilan, hierarki, setelah mendengarkan promotor iustitiae dan memerintahkan terdakwa, pada tahap atau tingkat apa pun dari peradilan pidana dapat melarang terdakwa melaksanakan tahbisan suci, jabatan, pelayanan, atau suatu tugas lain, dapat memerintahkan atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah, atau bahkan melarang penerimaan publik Ekaristi ilahi …

[6] Kanon 1339 KHK – § 1: Orang yang berada dalam kesempatan terdekat untuk melakukan kejahatan, atau yang setelah dilakukan penyelidikan layak dicurigai telah melakukan tindak-pidana, dapat diberi peringatan oleh Ordinaris, secara pribadi atau lewat orang lain. §2. Ordinaris juga dapat menegur orang yang tingkah-lakunya menimbulkan skandal atau gangguan berat tatanan, dengan cara yang sesuai dengan kekhasan pribadi dan keadaan peristiwanya. §3. Mengenai adanya peringatan dan teguran haruslah selalu nyata sekurang-kurangnya dari suatu dokumen, yang hendaknya disimpan dalam arsip rahasia kuria.

Kanon 1340 § 1 KHK: Penitensi, yang dapat diwajibkan dalam tata-lahir, ialah suatu perbuatan keagamaan, kesalehan, atau amal-kasih yang harus dilaksanakan. Kanon 1427 KKGKT – § 1: Dengan tetap mengindahkan hukum partikular, teguran umum harus dilakukan di depan notarius atau dua saksi atau lewat surat, tetapi dalam cara yang sedemikian sehingga penerimaan dan tujuan surat ditetapkan dalam dokumen. § 2. Harus diperhatikan bahwa teguran umum itu sendiri tidak menyebabkan rasa malu yang lebih besar pada orang yang melakukan tindak pidana daripada yang sewajarnya.

[7] Article 26 SST – It is the right of the Congregation for the Doctrine of the Faith, in whatever stage and grade of the unfolding of the proceedings, to present directly the most grave cases mentioned above in artt. 2-6 to the decision of the Supreme Pontiff with regard to dismissal or deposition from the clerical state, together with dispensation from the law of celibacy, when it is manifestly evident that the delict has been committed, after having given the guilty party the possibility of defending himself.

[8] Kan. 1483 KHK – Kuasa hukum dan pengacara haruslah orang dewasa dan memiliki nama baik; selain itu pengacara harus katolik, kecuali Uskup diosesan mengizinkan lain, dan bergelar doktor dalam hukum kanonik, atau kalau tidak mungkin sekurang-kurangnya sungguh ahli serta disetujui oleh Uskup itu juga.

[9] Analog dengan kan. 1527 KHK – § 1. Bukti macam apa pun, yang kiranya perlu untuk memeriksa perkara dan licit, dapat diajukan.

[10] Analog dengan kan. 1572 KHK – Dalam menilai kesaksian-kesaksian, jika perlu setelah meminta surat-surat kesaksian, hakim harus mempertimbangkan berikut ini: 1) bagaimana keadaan pribadi serta kejujurannya; 2) apakah ia memberi kesaksian dari pengetahuan sendiri, terutama karena telah melihat dan telah mendengar sendiri, atau itu perkiraannya saja, dari berita atau mendengar dari orang lain; 3) apakah saksi konstan dan konsisten, apakah berubah-ubah, tidak pasti atau tidak menentu; 4) apakah ada saksi-saksi lain atas kesaksiannya, ataukah diperkuat oleh unsur-unsur pembuktian lain atau tidak.

[11] Kanon 1336 KHK – § 1. Hukuman-hukuman silih, yang dapat secara tetap atau untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, mengena pada orang yang melakukan tindak-pidana, di samping lain-lain yang mungkin akan ditetapkan oleh undang-undang no.2-5, ialah sebagai berikut:

§2. Suatu perintah 1* untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu, 2* membayar denda atau sejumlah uang untuk kepentingan Gereja, sesuai pedoman yang ditetapkan Konferensi Uskup.

§ 3. Suatu larangan:

1° tinggal di tempat atau wilayah tertentu;

2° melakukan, di mana saja atau di dalam atau di luar tempat atau wilayah tertentu, semua atau beberapa jabatan, tugas, pelayanan atau fungsi, atau hanya beberapa pekerjaan yang terkait pada jabatan atau tugas;

3° melaksanakan semua atau beberapa tindakan dari kuasa tahbisan;

4° melaksanakan semua atau beberapa tindakan dari kuasa kepemimpinan;

5° menggunakan setiap hak atau privilegi atau memakai lambang atau sebutan;

6° pemberian suara aktif maupun pasif dalam pemilihan kanoni atau keikutsertaan menggunakan hak pilih dalam dewan eklesial atau kolese;

7° mengenakan busana eklesiastikal atau religious.

§ 4. Perlucutan:

1° dari semua jabatan, tugas, pelayanan atau fungsi, atau hanya fungsi tertentu terkait jabatan atau tugas;

2° dari mendengarkan pengakuan atau memberikan khotbah;

3° dari delegasi kuasa kepemimpinan;

4° dari beberapa hak atau privilegi atau lambang atau sebutan;

5° dari semua balas jasagerejawi atau sebagian darinya menurut pedoman yang ditetapkan Konferensi Uskup, tanpa mengurangi ketentuan kan. 1350 § 1.

§ 5. Pemecatan dari status klerus.

 [12] Kanon 1337 KHK – § 1. Larangan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu dapat mengena pada baik klerikus maupun religius; tetapi perintah untuk tinggal, dapat mengena pada klerikus sekular dan, dalam batas-batas konstitusi, dapat mengena pada religius. §2. Untuk memerintahkan tinggal di tempat atau wilayah tertentu, perlu ada persetujuan Ordinaris wilayah itu, kecuali mengenai rumah yang diperuntukkan bagi klerikus luar keuskupan yang harus melakukan penitensi atau harus menjalani pemulihan.

Kanon 1338 KHK – § 1. Pencabutan dan larangan yang disebut dalam kan. 1336 §1, no. 2 dan 3, tidak pernah mengena pada kuasa, jabatan, tugas, hak, privilegi, fakultas, kemurahan, gelar, tanda penghargaan, yang tidak berada dibawah kekuasaan Superior yang menjatuhkan hukuman. §2. Tidak dapat dilakukan pencabutan kuasa tahbisan, melainkan hanyalah larangan untuk melaksanakan kuasa itu atau beberapa tindakan dari kuasa itu; demikian pula tidak dapat dicabut gelar-gelar akademis. §3. Mengenai larangan-larangan yang ditunjuk dalam kan. 1336 §1, no. 3 haruslah ditepati norma yang diberikan mengenai censura dalam kan. 1335. § 4. Only those expiatory penalties enumerated as prohibitions in can. 1336 § 3, or others that may perhaps be established by a law or precept, may be latae sententiae penalties. § 5. The prohibitions mentioned in can. 1336 § 3 are never under pain of nullity.

[13] Kan. 54 KHK – § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas yang mengeluarkannya. §2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan norma hukum. Kan. 55 KHK – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir. Kan. 56 KHK – Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang bersangkutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menandatanganinya.

[14] Kanon 1429 KKGKT – § 1. Larangan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu hanya dapat mengena pada klerikus dan religius atau anggota serikat dengan kehidupan bersama seperti religius; perintah untuk tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu mengena hanya pada klerikus yang tercatat dalam eparkia, dengan tetap mengindahkan hukum Lembaga Hidup Bakti. § 2. Dalam memberi perintah untuk tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu, dibutuhkan persetujuan hierarki setempat, kecuali hal ini berkenaan dengan rumah dari Lembaga Hidup Bakti berhukum kepausan atau patriarkhal, yang dalam hal ini membutuhkan persetujuan pemimpin yang berwenang, atau mengenai rumah yang dimaksudkan untuk perbaikan dan pembinaan kembali klerikus dari beberapa eparkia.

[15] Kan. 1430 KKGKT – § 1. Pencabutan hukuman hanya dapat mengena pada kuasa, jabatan, pelayanan, tugas, hak, privilegi, kewenangan (facultas), kemurahan, gelar, lencana, yang tunduk pada kuasa otoritas yang menetapkan hukuman, atau hierarki yang memulai peradilan pidana atau yang mengenakannya lewat dekret; hal yang sama berlaku untuk pemindahan kepada jabatan lain yang merupakan hukuman. § 2. Tidak mungkin dilakukan pencabutan kuasa tahbisan suci, tetapi hanya larangan melaksanakan semua atau beberapa tindakan tahbisan sesuai dengan norma umum; tidak mungkin juga dilakukan pencabutan gelar-gelar akademis.

[16] Kan. 1737 § 2 KHK – Rekursus harus diajukan dalam batas waktu peremptoir limabelas hari-guna, yang … dihitung menurut norma kan. 1735.

[17] Art. 27 SST – Rekursus melawan tindakan administratif kasus demi kasus yang telah disampaikan dengan dekret atau disetujui oleh KAI dalam perkara tindak pidana yang direservasi, mungkin diajukan. Rekursus itu harus diajukan dalam waktu (peremptoir) 60 hari kanonik kepada Sidang Biasa Kongregasi (yaitu Feria IV) yang akan mengadili manfaatnya dan legitimitas dekret itu. Rekursus berikutnya seperti disebut dalam art. 123 Kontitusi Apostolik Pastor Bonus dihapuskan.

[17] Article 24 SST – § 1. Against singular administrative acts of the Congregation for the Doctrine of the Faith in cases of reserved delicts, the Promoter of Justice of the Dicastery and the accused have the right to present recourse within the peremptory term of sixty useful days to the same Congregation, which judges the merits and legitimacy of the recourse, excluding any further recourse whatsoever as described in art. 123 of the Apostolic Constitution Pastor bonus

HIDUP KITA YANG PENUH GALAU

Ini semacam kritik-diri untuk menata hidup rohani dan membuat jeda bagi kontemplasi menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari.



Mungkin tak ada kata lain yang menangkap sifat dan rasa budaya kita seperti istilah galau resah-gelisah. Kita  adalah orang yang galau resah-gelisah.

                Tidaklah sulit untuk melukiskan galau resah-gelisah itu. Lawannya adalah tidak bisa tenteram istirahat. Istirahat tenteram adalah salah satu dari tujuan yang digariskan di dalam diri kita. Kita melukiskan istirahat tenteram itu pada titik yang kita samakan dengan surga: “Berilah kami istirahat (ketenteraman) abadi.”

                Hidup kita semakin penuh tekanan. Kita semakin lelah. Dan ketika kita mulai bicara tentang penat-bosan-habis-tenaga, kita berfantasi lebih banyak tentang istirahat yang tenteram. Kita membayangkan suatu tempat yang tenang tenteram. Berjalan-jalan di tepi telaga, memerhatikan matahari sedang tenggelam dengan tenteram, udud mengisap rokok di kursi goyang teras. Gambaran istirahat tenteram itupun mungkin masih suatu kegiatan lain, momong anak atau cucu, berkebun, merawat tanaman, sesuatu yang kita lakukan yang membuat kita segar kembali... untuk  kemudian kembali lagi pada kesibukan hidup yang normal sehari-hari.

                Namun istirahat tenteram adalah sebentuk kesadaran, suatu suatu cara berada dalam hidup. Yaitu berada dalam hidup sehari-hari dengan suatu cita-rasa ringan, syukur, penghargaan, damai dan doa. Kita istirahat tenteram jika hidup sehari-hari sudah cukup.

                Thomas Merton menuliskan suatu pengalaman harian sehubungan dengan suatu masa menyendiri yang cukup lama, antara lain ia menulis begini:

Dengan cara hidup manusia sehari-hari yang biasa cukuplah kita rasakan lapar dan tidur, kedinginan dan hangat, bangun dari atau berangkat tidur. Mengenakan atau membuka selimut, membuat dan minum kopi. Mencairkan gumpalan es di kulkas, membaca, merenung, bekerja, berdoa, aku menjalani hidup sama seperti ayahku, nenek moyangku di dunia ini, sampai akhirnya aku mati nanti. Amin. Aku tidak perlu menegaskan bahwa inilah hidupku, inilah yang khas milikku, sebab sudah jelas ini bukan hidup orang lain. Aku harus berangsur-angsur melupakan program dan semua rencana. 

Sekarang ini tampaknya tak ada yang cukup bagi kita. Kegembiraan hidup yang sederhana yang digambarkan Merton di atas sebagian sudah hilang ketika kita makin galau resah-gelisah, terdorong-dorong, terpacu, dan jadi hiper (sangat aktif). Dalam hidup kita rasa santai berkurang diganti oleh demam; ketenteraman berkurang digantikan oleh kegiatan yang obsesif; kenikmatan berkurang digantikan oleh ekses. Ini semua adalah tanda-tanda yang makin jelas dari suatu kegalauan yang rumit dan tak terurai.

                Namun bukankah kita pada dasarnya memang selalu resah-gelisah? Bukankah kita ini peziarah di dunia ini, dan hati kita dibuat sedemikian agar merindukan yang tak terbatas, namun terperangkap dalam hidup yang sangat fana dan terbatas? Haruskah kita heran karena kita terus menerus tersiksa oleh ketidakcukupan dari apapun yang sudah kita peroleh? Menjadi galau resah gelisah terus memberikan tambahan bukti bahwa kita ini hidup, sehat secara emosional dan normal. Bukankah memang Tuhan membuat kita terus galau resah-gelisah sampai akhirnya nanti kita beristirahat dalam Dia?

                Resah gelisah memang situasi yang normal. Tetapi seperti halnya suhu badan, di atas titik tertentu  suhu itu berubah menjadi demam yang tidak sehat. Sekarang ini, tampaknya suhu psikis kita sudah meningkat menjadi suatu demam. Resah-gelisah kegalauan kita sudah berlebihan. Resah gelisah yang mulanya sehat sudah mendorong kita tidak puas secara sehat terhadap keterbatasan hidup itu,  sudah menjadi tidak sehat seperti yang dilukiskan Merton ketika “tidaklah cukup berada dalam cara hidup manusia sehari-hari yang wajar, dan kita harus membuat penegasan inilah hidup kita.”

                Di dalam budaya sekarang, kegalauan resah gelisah  itu sudah mendorong kita melampaui ambang yang sehat. Konsekuensinya ada tiga faktor yang dampaknya merugikan kemampuan kita mengelola hidup rohani:

i)             Rakus akan pengalaman

Ketika keadaan galau resah-gelisah itu berlebihan, tidaklah mungkin untuk memuaskannya dengan sekedar menjadi seseorang yang biasa-biasa saja (dengan “merasakan lapar dan tidur kita sendiri, dingin dan hangat, membuat dan nyruput kopi”). Yang terasa dasar dan sederhana, cita-rasa tubuh sendiri dan citarasa kopi sendiri, telah tenggelam dalam kerakusan yang obsesif akan pengalaman.

                Filsafat skolastik biasa mengatakan bahwa tujuan yang memadai dari kerinduan manusia adalah segala yang ada sejauh bisa diketahui dan baik. Pernyataan yang agak abstrak itu sebenarnya mau mengatakan bahwa pada akhirnya yang memuaskan kita adalah jika kita dapat mengalami setiap orang dan segala sesuatu, dan sebaliknya kitapun dialami oleh setiap orang dan segala sesuatu. Tubuh, pikiran dan hati kita dengan demikian rakus akan pengalaman.

Ketika keadaan galau resah-gelisah itu menjadi berlebihan maka kerakusan akan pengalaman yang biasanya secara sehat mendasari dan menggerakkan seluruh tindakan kita, sekarang lalu mendorong kita keluar, sehingga tindakan kita itu tidak memancar dari semacam pusat yang bebas, melainkan dari suatu keharusan. Hidup kita lalu ditelan oleh suatu gagasan, bahwa jika kita tidak mengalami segalanya, tidak pergi ke semua tempat, tidak melihat segala sesuatu, dan tidak menjadi bagian dari sejumlah besar pengalaman orang lain, maka hidup kita ini kecil dan tak ada artinya. Kita menjadi tidak sabar dengan setiap rasa lapar, setiap kerinduan, dan setiap bidang yang belum tuntas dalam hidup kita dan kita jadi yakin bahwa jika kita belum merasakan semua kesenangan yang kira inginkan, kita tidak bahagia.

                Dalam situasi kegalauan yang rumit tak terurai seperti ini, sikap kita di hadapan hidup adalah sangat rakus, begitu sarat dengan hasrat dan harapan yang tak terwujud, dan tak dapat menerima bahwa di sini, dalam hidup ini, semua simfoni tak akan terselesaikan. Jika ini terjadi, kegalauan yang berlebihan ini membuat kita tak bisa istirahat atau membuat kita tak bisa puas karena kita yakin bahwa semua yang terasa serba kekurangan, yang serba tegang dan semua keinginan yang belum terpenuhi adalah tragis. Maka sungguh tragislah jika kita sendirian; jika kita tetap tidak menikah; jika kita menikah namun tidak terpuaskan sepenuhnya secara romantis dan seksual; jika tampang kita buruk; jika kita tidak sehat, tua dan renta.  Adalah jadi tragis jika kita terbelenggu oleh tugas dan komitmen yang membatasi kebebasan kita, tragislah jika kita ini miskin, tragislah jika hidup kita susah dan tidak dapat mencicipi semua kesenangan di dunia dan tak bisa memuaskan semua potensi yang ada dalam diri kita. Jika kita terobsesei dengan cara demikian, maka sangat sulit bagi kita untuk berdoa. Kita terlalu terfokus pada berbagai kerinduan kita sendiri sehingga tak bisa terbuka dan tak bisa menerima apapun.

ii)            Tidak sabar dan kurang murni hati.

                Di dalam budaya kita ada ketidakmampuan untuk menunggu, dan di dalam ketidaksabaran ini terdapat kekurangan dalam hal kemurnian hati, dan inilah yang langsung sangat merugikan hidup rohani. Dengan tak mau menunggu, tidak sabar, maka kita juga serentak mendorong hidup kita untuk menolak tak mau menunggu berbagai hal, tak mau hidup dalam tegangan, dan memastikan bahwa tak seorang pun dan tak ada sesuatu pun yang berhak untuk menyangkal keinginan kita.

                Akibat dari ketidaksabaran kita adalah sama saja di mana-mana. Kita menemukan akibat itu dalam ekonomi kita, dalam moralitas seksual kita dan dalam kecenderungan kita untuk berdasarkan hak meraup segalanya yang pada hakekatnya adalah anugerah.

                Kemurnian hati biasanya dipahami berhubungan dengan seks, tidak bernoda, suci, terkendali, atau bahkan selibat dalam hal seks. Namun pengertian  ini terlalu sempit. Kemurnian hati pertama-tama bukanlah konsep seksual. Tetapi kemurnian berhubungan dengan batas-batas dan ketepat-gunaan dari segala pengalaman, termasuk yang seksual. Menjadi murni hati berarti mengalami hal-hal, semua hal, dengan respek, dan mereguk pengalaman hanya jika sudah siap saja. Kita melanggar kemurnian jika mengalami apa pun tanpa sikap menghargai, atau jika terlalu dini. Sikap tidak hormat dan prematur tergesa-gesa merupakan pelanggaran terhadap kemurnian.

                Pengalaman bisa baik bisa buruk. Bisa merekat jiwa, bisa membuat ambyar cerai berai. Bisa menimbulkan kegembiraan, tetapi juga bisa menghasilkan kekacauan hati. Perjalanan, bacaan, prestasi, seks, mencoba hal baru, menerobos tabu-tabu, semuanya bisa baik jika dialami dengan sikap hormat dan pada saat yang tepat. Sebaliknya, semua itu bisa merobek jiwa (walaupun pada dirinya sendiri tidak salah) jika dialami secara tidak murni, yaitu, jika dialami dengan cara yang tidak menghargai yang lain, entah orang entah sesuatu, yang adalah subyek di dalam pengalaman itu, atau jika dengan tidak menghargai integritas diri kita sendiri.

                Kegalauan yang rumit tak terurai membuat kita jadi tidak sabaran secara tidak sehat akan pengalaman, dan hal ini sering membawa kita melampaui ambang kemurnian hati. Kerakusan dan ketidaksabaran mendorong kita ke arah pengalaman yang sifatnya prematur dan tidak bertanggungjawab. Ini bisa sangat pelik. Sebab kita bisa melakukan banyak hal yang sebenarnya tidak salah, namun pada akhirnya melanggar kemurnian hati. Maka misalnya, kita bisa menuruti saja ketidaksabaran dan permintaan anak-anak kita, dan memberikan kepada mereka setiap pengalaman yang mereka minta... tamasya pada usia yang sangat muda, segala macam barang konsumsi, membiarkan mereka menonton segala macam film dan video yang mereka inginkan, berpacaran pada usia dua belas tahun, melakukan seks ketika berusia enam belas tahun,... dan kemudian kita heran mengapa mereka bosan, sinis dan loyo tak punya semangat pada usia dua puluh tahun.

                Allan Bloom dalam komentarnya tentang situasi ini menyatakan bahwa kurangnya kesabaran dan kemurnian mengantar pada suatu situasi “eros yang lumpuh”. Bicara hanya dari sudut seorang humanis dan pendidik, bukan dari perspektif agama, ia menyatakan bahwa kita dilahirkan untuk suatu tujuan yang luhur. Diri kita dibina untuk tujuan itu. Kita diluncurkan ke dalam hidup dengan suatu kegilaan yang berasal dari ketidaklengkapan kita dan karenanya kita percaya bahwa kita dapat memeroleh keutuhan diri kita kembali dengan merangkul yang lain, mengabadikan benih kita, dan berkontemplasi pada Tuhan. Menurut Bloom kita telah mengecilkan makna kerinduan akan kepenuhan diri kita itu dan mengartikannya menjadi sesuatu yang lebih konkret, sesuatu yang kecil, sesuatu yang remeh. Bagi kita, kerinduan itu sekarang hanyalah tertuju pada hidup yang enak, sukses, kesenangan, hal-hal yang manis dalam hidup. Pada suatu tempat ia mengutip Plato (filsuf Yunani dari Atena, 428-348 sebelum Kristus) yang dalam karyanya, Symposium, menyuruh para muridnya duduk di sekelilingnya dan “menceritakan kisah yang indah tentang makna kerinduan yang abadi.” Bloom melaporkan bahwa para muridnya duduk di sekitar dan bercerita tentang kisah yang tidak indah tentang kerinduan seksual yang jauh lebih konkret disalurkan.

                Di dasar semua ini, menurut Bloom, adalah kurangnya kemurnian hati. Bicara di luar lingkup pertimbangan moralitas Kristiani, ia menyatakan bahwa ini merupakan pengalaman yang belum saatnya (prematur) dan tidak-integral (tidak menyumbang keutuhan jiwa), suatu kekurangan dalam hal kemurnian hati, yang sekarang membelah jiwa dan menumpulkan eros. Katanya, pengalaman yang prematur adalah buruk, persisnya karena pengalaman itu didapat sebelum saatnya tiba. Periode kerinduan yang berkembang sebenarnya dimaksudkan untuk sublimasi, dalam arti membuat jadi luhur, atas  pengarahan kecenderungan dan kerinduan jiwa muda menuju kasih yang luhur, seni yang luhur, prestasi yang luhur. Pengalaman yang prematur adalah seperti ekstase palsu karena narkotika yang di dalamnya “membuat rangsangan untuk mengeluarkan lenguh kepuasan yang secara alamiah terkait dengan diselesaikannya suatu usaha besar – seperti kemenangan yang didapat dari perang secara ksatria, perpaduan cinta yang total dalam sanggama, kreasi seni, devosi keagamaan, dan penemuan kebenaran.”  Kurangnya kemurnian mengakibatkan terkurasnya entusiasme dan harapan besar. Pada hal hal-halini hanya dapat dibina melalui sublimasi, tegangan dan penantian.

                Di dalam melukiskan hal ini Allan Bloom menceritakan pengalamannya sebagai seorang pengajar, yang mendapatkan para mahasiswanya megalami ketergantungan serius pada narkotika – dan setelah dapat mengatasinya – mereka kesulitan dalam membangun entusiasme dan pengharapan... “seolah-olah warna-warna menghilang dari hidup mereka dan semua yang mereka lihat dalam hidup ini hanya hitam dan putih...  Mereka berfungsi dengan baik, namun kering dan monoton. Energi mereka telah terserap habis, dan akhirnya mereka tidak mengharapkan kegiatan hidup mereka menghasilkan apa-apa selain sekadar hidup saja.”

                Satu generasi sebelumnya, Albert Camus menulis:  “Kemurnian hati sendiri terkait dengan kemajuan pribadi. Ada kalanya jika bergerak melampauinya, adalah suatu kemenangan – lepas dari  moral. Tetapi segera sesudah pencapaian semua terasa sebagai kekalahan.”

                Beberapa hal menjadi hambatan besar bagi hidup rohani seperti ketidaksabaran dan kurangnya kemurnian hati. Dan sesungguhnya, kesabaran dan kemurnian hati sendiri nyaris merupakan defisini dari kontemplasi dalam hidup rohani. Pengenalan dan penerimaan akan Tuhan sebagaimana jelas dalam pedagogi (pengajaran tentang) inkarnasi terkait dengan suatu pengalaman akan adven, suatu masa tegangan dan masa untuk hidup dalam kemurnian hati, untuk menyilakan Tuhan menjadi Tuhan dan kasih menjadi karunia.

iii)           Hilangnya kerohanian

Sokrates pernah menyatakan bahwa “hidup yang tidak disadari baik-baik tidaklah berharga untuk dijalani”. Namun belakangan ini, karena kegalauan kita, semakin berkurang dan makin sedikit dari kita yang meluangkan waktu untuk menyadari dengan baik hidup kita.

                Di dalam budaya kita justru yang semakin biasa adalah perhatian yang terpencar-pencar; sedang kontemplasi, kesunyian dan doa justru bukan barang biasa. Mengapa? Baik berdasarkan pilihan maupun ideologi, kita tidak dipersiapkan menghadapi kebudayaan yang melawan hidup rohani. Kita berbeda dari masa lalu, sebagaimana telah kita lihat dalam merenungkan pragmatisme, bukan karena keburukan kita, melainkan karena kesibukan kita. Kita lain dari mereka juga di dalam derajat kegalauan kita.

                Henri Nouwen melukiskan situasi galau kehidupan zaman sekarang sebagai berikut: Salah satu sifat yang paling jelas dari kehidupan sehari-hari kita adalah bahwa kita sibuk. Kita mengalami hari-hari kita penuh dengan agenda yang harus dikerjakan, orang yang harus ditemui, proyek yang harus diselesaikan, WA dan postingan yang harus ditulis, telepon yang harus dihubungi, janji temu yang harus dilakukan. Hidup kita sering seperti kopor yang penuh sesak dan jebol kelimannya. Kita selalu sadar bahwa telah terlambat di belakang jadwal. Kita terganggu oleh perasaan akan tugas yang belum selesai, janji yang belum dipenuhi, saran yang belum diwujudkan. Selalu masih ada hal lain yang harus diingat-ingat, yang harus diselesaikan atau dikatakan. Selalu masih ada orang yang kelupaan belum kita ajak bicara, belum kita tulisi surat, atau belum kita kunjungi. Maka walaupun kita sudah sangat sibuk, kita masih merasa belum sepenuhnya memenuhi kewajiban kita....

                Namun di dasar hidup kita yang terus galau gelisah itu ada sesuatu yang terus berlangsung. Sementara hati dan pikiran kita sarat dengan banyak hal, kita ragu apakah mampu memenuhi harapan yang membebani diri kita, baik harapan diri sendiri maupun harapan orang lain, kita punya perasaan yang mendalam tentang sesuatu yang belum tuntas. Sementara sibuk dan cemas oleh banyak hal, kita jarang merasa sungguh-sungguh puas, damai, kerasan. Suatu perasaan akan sesuatu yang belum tuntas terus mengusik di bawah hidup kita yang sibuk... Paradoks besar dari zaman kita adalah banyak di antara kita ini sibuk namun serentak dengan itu juga bosan. Sementara berlari dari satu hal kepada hal berikutnya, kita punya keraguan di dalam relung hati kita apakah segala sesuatu ini sungguh demikian. Sementara kita pontang-panting melaksanakan tugas dan kewajiban kita yang begitu banyak, kita tidak begitu yakin apakah semua itu ada bedanya dengan seandainya kita tidak melakukan apa-apa. Sementara orang terus mendesak kita ke segala jurusan, kita ragu apakah mereka itu sungguh peduli. Pendeknya, sementara hidup kita penuh sesak, kita tetap merasa kosong sebagian.

Perasaan “penuh sesak, namun kosong juga” berasal dari cara berada tanpa kerohanian yang dalam.  Bila tak pernah ada waktu dan ruang untuk berdiri di balik hidup kita sendiri dan merenungkannya, maka berbegai tekanan dan carut marut hidup begitu saja menelan kita, sampai kita kehilangan kendali akan hidup kita sendiri.

                Selain itu, kurangnya kerohanian ini sebagian besar merupakan buah dari galau resah-gelisah yang belum diatur dengan disiplin. Bila kita tidak suka merenung, itu jelas karena kegalauan kita kekurangan sikap asketis dan dengan demikian mendorong kita dihanyutkan arus kegiatan yang membuat kita sibuk dan mewarnai permukaan hidup, dengan kesibukan mata pencarian, dengan melakukan banyak hal, dengan banyak hal yang memerlukan perhatian, dan dengan hiburan. Kemudian tindakan-tindakan kita tidak lagi timbul dari suatu pusat yang ada dalam diri kita, sebaliknya merupakan hasil dari suatu paksaan. Kita melakukan banyak hal namun kita tak tahu lagi mengapa. Kita merasa terus-menerus tertekan, dijadikan korban dan begitu diburu-buru. Kita kelebihan pekerjaan, namun kita merasa bosan; kita banyak berhubungan dengan orang, namun sekali gus kesepian; dan kita bekerja hingga kehabisan daya, namun rasanya hidup kita terbuang percuma.

                Inilah hidup yang tidak disadari dengan baik-baik, seperti yang dikatakan Sokrates. Inilah yang tersirat dalam mitologi Yunani di dalam Mitos tentang Sisipus. Sisipus adalah seorang yang dipidana, karena alasan yang tidak baik, untuk memanggul batu ke atas bukit selamanya. Setiap kali ia hendak mencapai puncak bukit, batu itu menggelinding lagi ke kaki bukit dan ia harus memanggulnya naik lagi. Ini merupakan gambaran suatu frustrasi, gambaran melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak seorang pun kuasa menghentikannya. Ini juga merupakan suatu gambaran dari buah-buah hidup yang tidak kontemplatif.

                Resah-gelisah dan galau, tanpa renungan yang memadai, menghancurkan kontemplasi hidup rohani, dan serentak dengan itu kehilangan kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari. Mengapa? Karena jika kita bekerja terdorong keluar oleh kegalauan itu, bukan karena pusat yang benar dari diri kita, yang dalam perkataan Santo Agustinus adalah Tuhan yang bersemayam dalam diri kita, kita terasing di luar diri kita sendiri.

                “Berbahagialah yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat Allah.” Apa yang menjadikan hati kita murni? Itu bukanlah semata-mata dosa, moral yang cacat, atau niat buruk. Narsisisme, pragmatisme dan kegalauan yang berlebihan dapat mengeruhkan kesadaran kita dan dapat menghambat kita melihat Tuhan di dalam kesadaran kita sehari-hari.