Daftar Blog Saya

Selasa, 04 Oktober 2022

Arab, Damsyik, Siria, Kilikia

 

Seorang teman kesulitan “membayangkan” apa yang dikatakan Paulus dalam Gal 1:17-21 mengenai tempat-tempat, ketika merenungkan bacaan pertama hari ini: Gal 1:13-24. Paulus mau mengatakan bahwa ia mulanya pengikut fanatik agama Yahudi yang melakukan penganiayaan dan mengejar-ngejar umat kristiani. Dalam perjalanan ke Damsyik ia dibutakan cahaya Yesus dan bertobat. Yesus Kristus mengutus Paulus untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Ia mengajar berdasar pernyataan-pernyataan yang ia terima dari Yesus di “Tanah Arab”, lalu ke “Damsyik” yang adalah ibukota “Siria” dan kemudian ia pergi ke tanah kelahirannya di “Kilikia”. Semua nama tempat yang disebutnya adalah di luar Palestina, maksudnya di luar “wilayah Yahudi”.



Arab

Kata benda ‘arab dalam bahasa Ibrani digunakan dalam Perjanjian Lama baik untuk menyebut bangsa Arab maupun untuk daerah tempat tinggal mereka (Tanah) “Arab”. Kata itu dipahami untuk menyatakan berbagai-bagai suku padang pasir di seberang perbatasan Israel (2 Taw 17:11; 21:16; 22:1; 26:7; Ezra 27:21; Yes 21:13; Yer 25:24). Mereka juga disebut “putera Timur” (Kej 29:1; Hak 6:3; 1 Raj 4;30; 5:10), atau hanya “Timur” saja (Kej 25:6; Yes 2:6). “Arab” juga bisa menyatakan orang yang berpindah-pindah (Yes 13:20) atau seorang penyamun (Yer 3:2). Salomo melakukan hubungan dagang dengan raja Arab (1 Raj 10:15; 2 Taw 9:14), dan para penyerbu-penyerbu Arab sering mengganggu Yehuda (2 Taw 21:16; 22:1; 26:7). Menurut sejarawan Yahudi Yosephus, orang-orang Arab adalah keturunan putera Abraham, Ismael (Ant. 1.220 -221). Sekali-kalinya Tanah Arab disebut di dalam Perjanjian Baru adalah Surat Galatia. Dalam Gal 1:17 yang menyatakan bahwa Paulus pergi ke Arab setelah bertobat menjadi Kristen. Dalam Gal 4:25 ia menyebut Gunung Sinai adalah Tanah Arab.(Yang dikotak dalam peta di atas adalah "Tanah Arab" yang dikenal pada masa Perjanjian Baru).

Damsyik

Atau Damaskus adalah salah satu kota utama di Siria, yang terletak di dataran subur di antara dua aliran sungai, yaitu Sungai Abana (nama modernnya Barada) dan Sungai Parpar (2 Raj 5:12) di tepian gurun Siria. Suatu kota kuno yang tidak jelas asal-usulnya. Letaknya yang di jalan perdagangan utama membuat kota itu menjadi salah satu pusat dagang yang penting di kawasan itu. Di kota inilah adanya ibu negeri Kerajaan Aram selama abad ke sepuluh hingga ke delapan  SM dan dengan demikian banyak berurusan dengan kerajaan Israel, yang kadang-kadang bermusuh (bdk 1 Raj 15:18-20; 19:15; 20:22; 2 Raj 5-7; 8:7-15; 10:32-33). Namun dengan majunya Asyur, Damsyik terpaksa bergabung dengan negara-negara Timur Dekat lainnya termasuk Israel. Bangsa Asyur tertahan sebentar dalam pertempuran di Kargar pada tahun 853 SM tetapi kemudian tidak terbendung lagi dan Damsyik jatuh ke tangan Tiglat-pileser III sekitar tahun 732 SM dan digabungkan dengan kerajaan Asyur (2 Raj 16:9; Yes 7:8; 8:14.17; Yer 49:23; Amos 1:5). Kemudian Damsyik berpindah-pindah tangan kepada kerajaan-kerajaan berikutnya termasuk Babilonia, Persia, Aleksander Agung dan Seleukus (1 Mak 11:62; 13:32). Sesudah jatuhnya kerajaan Seleukus, Damsyik dibawak kendali bangsa Nabatea. Ketika Pompeyus Agung mendirikan Provinsi Kekaisaran Roma di Siria pada tahun 63 SM, bangsa Nabatea dibiarkannya tetap memerintah Damsyik. Kota itu akhirnya langsung berada di bawah kekuasaan Roma pada pertengahan abad pertama M.


                                                    Damaskus dulunya adalah Damsyik

                Ketika Paulus berada di Damsyik, kota itu masih di bawah kekuasaan Raja Aretas dari Nabatea (2 Kor 11:32). Komunitas Kristen didirikan di sana tak lama sesudah Yesus disalibkan dan berkembang dengan pesat dan Paulus (waktu itu bernama Saulus yang melakukan pengejaran pada orang kristiani) sedang melakukan perjalanan ke Damsyik ketika kemudian mengalami pertobatan. Dibutakan oleh kemuliaan Kristus di jalan menuju Damaskus, ia dibawa ke Jalan Lurus di Damsyik di rumah Yudas, di mana Ananias membaptisnya dan menyembuhkan kebutaannya. Ketika ia mewartakan Injil di kota itu, hidupnya terancam dan ia melarikan diri dengan diturunkan melampaui tembok kota dalam sebuah keranjang (Kis 9:1-5).

Siria

Wilayah tepat di sebelah utara Palestina dan di sebelah tenggara Asia Kecil. Di masa Perjanjian Lama Siria adalah kawasan suku-suku Aram dan kemudian menjadi tempat kedudukan Kerajaan Seleukus. Siria menjadi suatu provinsi Roma di tahun 64 SM setelah ditaklukkan oleh Pompeyus Agung. Pada masa Perjanjian Baru, Siria diperintah oleh legatus dari Roma yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di bagian sebelah timur Kekaisaran Roma (Luk 2:2; Kis 15:23. 41; 18:18; 20:3; 21:3; Gal 1:21).


                                      Kilikia adalah wilayah yang ditandai dengan spidol hitam

Kilikia

Suatu Provinsi Roma di Asia Kecil sebelah tenggara, di selatan pegunungan Taurus dan di sebelah barat Gunung Amanus. Dikenal sebagai dataran yang subur. Kawasan itu suatu ketika dikuasai orang Het, dan sebelum masa Roma merupakan bagian dari Kerajaan Seleukus (1 Mak 11:14; 2 Mak 4:36). Paulus dilahirkan di kota utama Kilikia, Tarsus (Kis 21:39; 22:3; 23:34); setelah ia menjadi Kristen ia kembali untuk sementara waktu di sana (Kis 9:30) dan aktif di dalam pewartaan Injil di tanah kelahirannya (Gal 1:21-23; bdk Kis 15:23.40-41; 18:23)

Samaria, Orang Samaria

 


Samaria adalah ibukota kerajaan utara Israel di bawah dinasti Omri pada awal abad kesembilan SM (1 Raj 16:23-24), sampai kota itu ditaklukkan oleh bangsa Asyur sekitar tahun 722 SM. Sekarang kota Samaria disamakan dengan kota modern Sebastiya (Sebaste). Orang-orang Samaria adalah penduduk Kanaan tengah, wilayah di sekeliling Samaria. Para ahli menduga nama penduduk itu berasal dari nama kotanya, tetapi ada ahli lain yang mengaitkannya dengan kata Ibrani yang berarti “penjaga” atau “pemelihara” .



 

I. Samaria

A. Kota

B. Wilayah

II. Orang Samaria

A. Perdebatan tentang Asal-usul

B. Agama Samaria

C. Orang Samaria dan Orang Yahudi

D. Yesus Di antara Orang-orang Samaria

 

I. Samaria

A. Kota

Tentang didirikannya kota Samaria dilukiskan dalam 1 Raj 16:24: “Kemudian ia [Omri] membeli gunung Samaria dari pada Semer dengan dua talenta perak. Ia mendirikan suatu kota di gunung itu dan menamainya Samaria, menurut nama Semer, pemilik gunung itu”. Sejak tahun ketujuh pemerintahan Omri, kota Samaria menjadi ibukota kerajaan utara, Israel.

      Samaria meluas dan diperindah oleh Raja Ahab (memerintah 874-853 SM), yang menambahkan istana gading (1 Raj 22:39; Am 6:4). Tetapi Dinasti Omri surut ke dalam bencana, dan kota Samaria mengikuti nasib kerajaan yang tak menentu. Samaria rusak berat oleh berbagai pengepungan selama pertempuran dengan Aram (1 Raj 20:1-2), dan pemberontakan Yehu (2 Raj 10:1-36). Akhirnya kota Samaria jatuh ke tangan Asyur di bawah Salmaneser V dan Sargon II (2 Raj 17:1-6) sesudah dikepung selama tiga tahun dari 725 dampai dengan 722 SM.

 

B. Wilayah

Catatan kronik Asyur menegaskan bahwa Sargon mengirim penduduk kota Samaria dan kawasan sekitarnya (sekitar 27 000 orang) ke tempat lain dan mendatangkan penduduk-penduduk baru dari tempat lain di Samaria dan sekitarnya: “Raja Asyur mengangkut orang dari Babel, dari Kuta, dari Awa, dari Hamat dan Sefarwaim, lalu menyuruh mereka diam di kota-kota Samaria menggantikan orang Israel; maka orang-orang itupun menduduki Samaria dan diam di kota-kotanya” (2 Raj 17:24; bdk Ezr 4:2.6). Pengaturan kependudukan ini menghasilkan sinkretisme agama dan budaya: penduduk baru terus beribadat kepada dewa-dewa dari negeri asal mereka, tetapi mereka juga beribadat kepada Allah sebagai dewa lokal (2 Raj 17:26-28). Selanjutnya Raja Hizkia mencoba mengubah praktek kultis Samaria (2 Taw 30:1-11), dan Samaria diikutsertakan dalam program reformasi Yosia yang luas (2 Raj 23:19).

      Samaria dikenal buruk karena kejahatannya. Para nabi tidak mengucapkan hal-hal yang baik tentang kota itu, tetapi mengecamnya dengan kata-kata yang paling keras. Yesaya menyebut Samaria sebagai “Mahkota kemegahan pemabuk-pemabuk Efraim” (Yes 28:3). Ia juga menubuatkan kebinasaannya: “dan bunga yang sudah mulai layu di perhiasan kepala mereka yang indah-indah itu--yaitu kota yang terletak tinggi di atas bukit, di atas lembah yang subur--nasibnya akan seperti nasib buah ara yang masak duluan sebelum musim kemarau: baru saja dilihat orang terus dipetik dan ditelan” (Yes 28:4). Ia berbicara tentang penaklukkan oleh Asyur (Yes 9:8-12; 10:9-11; 36:19). Amos menggambarkan para wanita Samaria sebagai: “lembu-lembu Basan, yang ada di gunung Samaria, yang memeras orang lemah, yang menginjak orang miskin, yang mengatakan kepada para suami mereka: bawalah ke mari, supaya kita minum-minum!” (Am 4:1). Hosea 7:1 dan 8:5 serta Mi 1:5-7 menyebut kejahatan kota ini; Mikha membandingkan Samaria dan Yerusalem dalam arti bahwa Samaria menjadi pusat kedosaan Israel, sedang Yerusalem menjadi pusat kedosaan Yehuda.



      Setelah Samaria ditaklukkan Asyur pada 722 SM kota itu lalu beralih ke tangan kerajaan-kerajaan lain selanjutnya, termasuk Persia, Seleukus dan Roma. Akhirnya Sikhem menggantikan Samaria sebagai kota utama di daerah Samaria, namun kota Samaria tetap penting secara strategis. Pada tahun 109 SM kota Samaria dihancurkan dalam pengepungan yang dilakukan Yohanes Hirkanus dan di kemudian hari dibangun lagi oleh bangsa Roma. Herodes Agung meluaskan dan membuatnya lebih indah pada tahun 25 SM dan memberinya nama baru Sebaste, atau dalam bahasa Latin, Augustus, kaisar pelindung Herodes). Herodes menempatkan beberapa ribu veteran prajurit Roma di kota itu. Distrik Samaria kemudian disatukan dengan Yudea dan membentuk bagian dari daerah kekuasaan Arkhelaus, tetapi setelah pemerintahan Arkhelaus jatuh, pemerintahan atas Samaria dilakukan oleh prokurator (Roma) untuk Yudea.

      Dalam Perjanjian Baru disebutkan beberapa tempat dalam kawasan itu termasuk Samaria (Sebaste), Sikhem, Sumur Yakub, dan Gunung Gerizim (Yoh 4:20, hanya disebut “Gunung”). Samaria menjadi penting pada hari-hari awal Gereja (Kis 1:8; 8:4-24)



 

II. Orang Samaria

A. Perdebatan tentang Asal-usul

Perkataan “Orang Samaria” muncul dalam PL hanya dalam 2 Raj 17:29, yang menggambarkan mereka sebagai kaum pemuja berhala. Orang Yahudi Palestina mamandang semua orang Samaria sebagai keturunan penduduk yang berasal dari daerah asing yang ditanamkan oleh bangsa Asyur – dan asal-usul itu membuat orang Yudea merendahkan derajat orang Samaria. Di pihak lain, orang Samaria menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Israel dari suku Efraim dan Manasye yang lolos dari kehancuran kota yang dilakukan Asyur.

      Dalam penilaian kitab 2 Raja-raja, agama Samaria adalah blasteran antara penyembahan berhala dan ibadat kepada Yahweh (2 Raj 17:29-34). Karena kerusakan iman ini, orang Samaria dan Yudea bermusuhan selama berabad-abad. Misalnya, ketika gelombang pertama kepulangan orang Yahudi dari tanah pembuangan bekerja dan akan bekerja membangun kembali Bait Allah, orang Samaria yang mau membantu upaya pemugaran itu dihina oleh para pejabat Yahudi (Ezr 4:1-4). Orang Samaria yang sakit hati kemudian mengusahakan untuk menghentikan proyek pembangunan itu dengan melakukan intimidasi dan gangguan politik (Ezr 4:5). Begitu pula nanti ketika Nehemia akan membangun kembali tembok-tembok kota Yerusalem, ia menghadapi oposisi keras dari musuh-musuh, termasuk di antaranya orang-orang Samaria (Ezr 4:7-24; Neh 4:1-9).

      Sejarah selanjutnya dari orang Samaria tidak bagus. Pada masa pemberontakan Makabe, orang-orang Samaria bersekutu dengan kaum Seleukus (1 Mak 3:10). Pada tahun 108 SM, Yohanes Hirkanus menghancurkan Bait Allah Samaria yang dibangun di atas Gunung Gerizim. Ketika di bawah pendudukan Roma, orang Samaria mengalami pembantaian besar-besaran atas perintah Pontius Pilatus pada tahun 35 M; peristiwa berdarah itu amat berlebihan dan menyebabkan Pilatus dicopot dari jabatannya sebagai prokurator.

 

B. Agama Samaria

Pada masa Yesus, orang Samara menjalankan agama Musa yang khas; yang tidak mau menerima semua tradisi yang berasal dari Daud. Mereka hanya mengakui Kitab Suci bagian Pentateukh Ibrani saja, dan mungkin juga kitab Yosua dan Hakim-hakim, tetapi bagian Nabi-nabi dan kitab-kitab lainnya mereka tolak. Mereka menunggu kedatangan Mesias (Yoh 4:25), menerima Sabat, perayaan-perayaan dan sunat. Tetapi mereka menolak Bait Allah Yerusalem dan keimaman dan mendirikan Bait Allah sendiri di Gunung Gerizim (Yoh 4:20).

 


C. Orang Samaria dan Orang Yahudi

Dalam perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria (Yoh 4:4-42), wanita itu heran bahwa ada seorang Yahudi mau bercakap-cakap dengan seorang Samaria. “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?'' Hal itu jelas aneh, ”Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria” (Yoh 4:9). Bahkan para rasul sendiri terheran-heran  karena Yesus bercakap-dengan dengan  wanita itu (Yoh 4:27). Sejarawan Yosephus menceritakan bahaya dari orang Samaria yang dihadapi para peziarah Yahudi dari Galilea yang hendak pergi ke Yerusalem melalui daerah Samaria. Pada suatu kali orang Samaria tidak mau bersikap ramah tamah terhadap Yesus dan para muridNya dalam perjalanan mereka dari Galilea menuju Yerusalem (Luk 9:52-56). Yesus mengecam amarah Yakobus dan Yohanes sehubungan dengan itu.

 

D. Yesus Di antara Orang-orang Samaria

Kendati permusuhan tradisional di antara orang Yahudi dan orang Samaria, Yesus berbicara baik mengenai orang Samaria dan mendapatkan beberapa dari mereka terbuka mau menerima pesanNya. Ia menggunakan seorang Samaria di dalam suatu kisah perumpamaan yang penting (Luk 10:30-37), menunjukkan gambaran kontras antara orang Samaria yang Baik Hati dengan imam dan orang Lewi di dalam contoh mengenai mengasihi sesama. Penderita kusta yang orang Samaria adalah satu-satunya yang mengucapkan terima kasih kepada Yesus dari antara kesepuluh orang kusta yang disembuhkan (Luk 17:16). Pada mulanya Yesus melarang para muridnya mewartakan Injil kepada orang Samaria (Mat 10:5), hal itu karena Injil harus diwartakan lebih dahulu kepada orang Israel. Ketika para rasul di kemudian hari mewartakan Injil kepada orang Samaria, mereka berhasil, dan salah satu jemaat Kristen yang didirikan pada masa awal adalah jemaat Kristen Samaria (Kis 8:4-17; 9:31; 15:3).



      Di dalam ajaran Yesus, orang Samaria menjadi sarana yang sangat kuat untuk mengungkapkan seruan radikal yang disampaikanNya di dalam Injil. Maka Injil adalah untuk orang Samaria juga, dan kasih Kristen berhasil menjembatani permusuhan yang sudah menahun dan menjangkau semua orang. Karena pada abad pertama tidak ada permusuhan yang lebih sengit dari pada permusuhan antara orang Yahudi dan orang Samaria, Yesus membuat tuntutan yang mencengangkan bahwa kasih kepada sesama juga berarti mengasihi orang Samaria, dan bahwa membangun persaudaraan termasuk dengan musuh besar itu. Yesus Sang Mesias menyatukan kerajaan Yehuda dan Israel yang terpisah di bawah kerajaan yang dipulihkan ketika Ia meresmikannya dengan Perjanjian Baru.

      Namun suatu kelompok kecil kaum Samaria terus bertahan melangsungkan tradisi agamanya dari abad ke abad. Mereka terus merayakan Paskah setiap tahun di Gunung Gerizim.


Senin, 03 Oktober 2022

KABAR DARI VATIKAN 2

 Misa peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II di Basilika St Petrus Vatikan, 11 Oktober 2022 pkl 17.00 waktu Roma atau pkl 23.00 WIB.:

UFFICIO DELLE CELEBRAZIONI LITURGICHE
DEL SOMMO PONTEFICE

NOTIFICAZIONE

CELEBRAZIONE EUCARISTICA
PRESIEDUTA DAL SANTO PADRE FRANCESCO

11 OTTOBRE 2022

 

CAPPELLA PAPALE

 

L’11 ottobre 2022, memoria di San Giovanni XXIII, papa, in occasione del 60° anniversario dell’inizio del Concilio Ecumenico Vaticano II, alle ore 17.00, il Santo Padre Francesco presiederà la Celebrazione Eucaristica nella Basilica di San Pietro.

Potranno concelebrare con il Santo Padre:

- i Patriarchi e i Cardinali, che si troveranno, alle ore 16.15, al Braccio di Costantino, portando con sé la mitra bianca damascata;

- gli Arcivescovi e i Vescovi, muniti di apposito biglietto, rilasciato dall’Ufficio delle Celebrazioni Liturgiche del Sommo Pontefice attraverso la procedura indicata nel sito biglietti.liturgiepontificie.va, che si troveranno, alle ore 16.00, al Braccio di Costantino, portando con sé amitto, camice, cingolo e mitra bianca;

- i Presbiteri, muniti di apposito biglietto, rilasciato dall’Ufficio delle Celebrazioni Liturgiche del Sommo Pontefice attraverso la procedura indicata nel sito biglietti.liturgiepontificie.va, che si troveranno, entro le ore 15.30, nella Cappella Gregoriana in Basilica, portando con sé amitto, camice, cingolo e stola bianca.

* * *

I Patriarchi, i Cardinali, gli Arcivescovi e i Vescovi e tutti coloro che, in conformità al Motu Proprio «Pontificalis Domus», compongono la Cappella Pontificia e, muniti della Notificazione richiesta per il tramite dell’indirizzo email: celebrazioni@celebra.va, desiderano partecipare alla celebrazione liturgica senza concelebrare, indossando l’abito corale loro proprio, sono pregati di trovarsi entro le ore 16.30 presso l’altare della Confessione, per occupare il posto che verrà loro indicato dai cerimonieri pontifici.

Città del Vaticano, 28 settembre 2022

Per mandato del Santo Padre

Mons. Diego Ravelli
Maestro delle Celebrazioni Liturgiche Pontificie




Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia 2023

Bicara Dengan Hati : Veritatem facientes in caritate (Eph 4:15) Tetapi dengan teguh berpegang pada kebenaran di dalam kasih

Tema ini terkait dengan ide tema  2022, “Mendengarkan dengan telinga hati”, dan dimaksudkan menjadi bentuk bagian khusus dari jalan yang membawa seluruh Gereja pada perayaan Sinode Para Uskup  Oktober 2023. Bicara dengan hati berarti membawa "dasar pengharapan"  (1 Ptr 3:14-17) dan melakukannya dengan lembut, munggunakan karunia komunikasi sebagai jembatan penghubung, bukan sebagai tembok pemisah. Di mana yang ditandai (juga dalam hidup Gereja) polarisasi dan debat sengit yang menimbulkan kemarahan, kita diundang untuk melawan arus.

Kita tak boleh takut menyatakan bahwa kadang2 kebenaran yang tidak menyenangkan mendapatkan dasarnya pada Injil, namun hendaknya pewartaan kebenaran itu disertai kasih, dalam peran serta pada suka dan duka sesama di zaman kita, seperti pelajaran yang dikisahkan Injil dalam dialog di antara peziarah misterius dan para murid di jalan ke Emaus. 

Di masa kini, dalam konteks dramatis konflik global yang kita alami, komunikasi afirmatif yang nadanya tidak bermusuh semakin penring. Suatu komunikasi yang membuka dialog, demi memajukan perlucutan senjata integral, dan menlunakkan efek psikosa perang yang meliputi hati kita, seperti yang dinyatakan secara profetis oleh Paus St Yohanes XXIII enam puluh tahun yang lalu dalam Ensiklik  Pacem in Terris. Setiap orang diharapkan melakukan upaya ini, khususnya mereka yang bekerja di bidang komunikasi, suatu panggilan profesi untuk misi membangun masa depan yang lebih adil, lebih bersaudara dan lebih manusiawi. 

$$$

Paus Fransiskus mendorong para penasehat dan konsultan keuangan bersikap mengutamakan kebaikan manusia peroreangan dan komunitas ketimbang bisnis. Hal itu dikemukakan Paus terkait  pengembangan manusia secara integral dalam sektor keuangan  dalam perjumpaan dengan para konsultan Deloitte, suatu perusahaan auditing global. Deloitte memberikan pelayanan jasa audit, konsultansi dan nasehat keuangan serta risiko pada hampir 90% perusahaan yang termasuk dalam  Fortune Global 500® dan ribuan perusahaan swasta lainnya, dengan sekitar  350,000 karyawan di seluruh dunia.

Paus Fransiskus berharap para profesional keuangan mengusahakan dunia yang semakin menusiawi, adil dan lebih bersaudara. Perlu mereka sadari kekuatan yang ada pada mereka untuk mendorong para manajer, pengusaha, bankir dan pejabat negara yang mereka layani agar menghasilkan dampak positif dan memacu pengembangan manusia integral. Kedua, memantapkan standar etika yang konsisten dengan visi ekonomi dan kemasyarakatan yang diresapi Injil, selaras dengan ajaran sosial Gereja. Hendaklah dampak keputusan atas komunitas, manusia dan lingkungan hidupnya lebih didahulukan sebelum dampak atas bisnis. Paus juga menyemangati Deloitte Global untuk memajukan keanekaan, sebab “keanekaan hayati entrepreneurial” merupakan “jaminan kebebasan berusaha dan kebebasan memilih bagi para pelanggan, konsumen, dan investor” dan “suatu syarat mutlak bagi stabilitas, keseimbangan dan kemakmuran bersama.”




Adalah suatu keprihatinan besar bahwa Diktator Daniel Ortega dari Nicaragua setelah mengusir Duta Besar Vatikan dengan alasan tidak transparan mengenai dana internasional yang ia terima, dengan alasan yang sama juga juga mengusir para suster misionaris dari Meksiko. Sebagian dari mereka sudah pulang ke Meksiko lebih dulu karena izin tinggal mereka tidak diperpanjang.

Di RRC pengadilan Kardinal Zen dari Hongkong atas tuduhan kurang transparan dalam laporan keuangan dan perpajakan ditunda.




Perspektif Pekan Ini : Menghargai dan menghormati Hidup

 

Perspektif Pekan ini.

Pekan ke-27 Masa Biasa Tahun Genap bagi umat katolik dapat dikatakan sebagai Pekan untuk Menghargai dan menghormati Hidup. Bahkan seluruh bulan Oktober didedikasikan untuk bersyukur atas hidup dan menghargai hidup anugerah Allah. Antifon dari Kitab Ratapan mematok nada dasar pekan ini: “Tuhan adalah baik bagi orang yang berharap kepadanya, bagi jiwa yang mencari Dia” (Rat 3:25).


                                                                St Fransiskus Asisi

Hari Selasa tanggal 4 Oktober kita memeringati St Fransiskus dari Asisi (1182-1226). Ia mengajar kita untuk mengasihi semua mahluk, bahkan seluruh alam ciptaan Allah yang baginya adalah “saudara-dan-saudari”. Sehubungan dengan itu kita mengancang upaya pemeliharaan bumi dan alam ciptaan Allah melalui Konferensi PBB COP-27 tentang Perubahan Iklim yang akan diadakan dari 6 hingga 18 November 2022 di Sharm El Sheikh, Mesir. Juga COP-15 tentang Keanekaragaman Hayati (yang sedianya akan diselenggarakan di Kunming, RRT, pada April 2022, namun karena pandemi Covid 22 ditunda hingga) 7-16 Desember 2022 di Montreal, Canada. Semoga menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk bumi kita dan kehidupan yang ada di bumi.



                                                                    St Faustina

Hari Rabu dalam pekan biasa 27, 5 Oktober 2022 adalah peringatan St. Faustina Kowalska (1905-1938), rasul kerahiman ilahi. Suster dari Polandia itu dipilih Yesus yang beberapa kali menampakkan diri padanya sebagai orang miskin untuk mengingatkan dunia tentang belas kasih Allah kepada dunia, kerahiman ilahi dari hati Yesus yang penuh belas kasih.

Hari Kamis pekan biasa 27, 6 Oktober 2022, boleh dikenangkan Beata Marie Rose Durocher (1811-1849) dari Quebec Canada, pendiri Tarekat Suster Hati Kudus Yesus dan Maria, yang kendati buruk kesehatannya sangat giat melayani orang-orang miskin dan mendoakan mereka.


                                                                Beata Durocher

Hari Jumat, 7 Oktober 2022, adalah Peringatan Santa Perawan Maria Ratu Rosario. Paus Benedictus XVI menghimbau semua keluarga mendaras Rosario untuk ujub Paus, misi Gereja dan Perdamaian Dunia. "Bunda kita mengundang kita untuk menemukan kembali keindahan doa rosario yang sederhana namun sangat mendalam”. Rosario adalah "suatu doa kontemplatif yang berpusat pada Kristus, yang tidak terpisahkan dari meditasi Kitab Suci," suatu "doa dari umat kristiani yang bergerak maju dalam peziarahan iman mengikut Yesus, dipandu oleh Maria”.

 


Hidup Harapan Masa Depan

 Pada hari Sabtu 1 Oktober 2022  terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, di mana kerusuhan pertandingan sepakbola menyebabkan 182 orang kehilangan hidupnya. Yang menyedihkan, banyak dari mereka yang mati masih terbilang muda usia. Minggu, 2 Oktober 2022, saya melayat isteri seorang teman yang meninggal karena menderita sakit penyempitan otak. Bacaan Injil hari ini (Luk 10:26) mengajukan pertanyaan terkait iman tentang "Hidup kekal".



Berbagai kata dalam Kitab Suci yang diterjemahkan dengan kata “hidup” kurang lebih mempunyai makna yang sama luasnya dengan pengertian kata “hidup” itu sendiri. Hidup bisa semata-mata suatu prinsip yang membedakan “benda hidup” dan “benda mati”, atau masa hidup seseorang, atau cara hidup seseorang, atau hidup kekal yang ada pada kaum beriman sekalipun sekarang, ke arah mana ia dipanggil sebagai suatu harapan masa depan (KGK 609-610, 994-996).

I.             Dalam Perjanjian Lama

A.            Allah Sumber Hidup

B.            Hidup yang Baik

C.            Hidup Kekal

 

II.            Dalam Perjanjian Baru

A.            Hidup Kekal Sebagai Fokus

B.            Iman pada Yesus sebagai Sarana Hidup Kekal

C.            Hidup Kekal Sudah Mulai Dari Sekarang

 

I.             Dalam Perjanjian Lama

A.            Allah Sumber Hidup

Semua yang hidup mendapatkan keberadaan dan kelangsungannya dari Allah, Sang Pencipta; ini merupakan prinsip dasar dalam Perjanjian Lama (Kej 2:7). Allah itu kekal, tetapi mahluk ciptaanNya adalah fana (2 Sam 14:14; Mzm 90:1-6). Berbeda dari ilah-ilah yang disembah bangsa-bangsa lain, Tuhan adalah “Allah yang hidup” (Yer 10:6-10; bdk 1 Tes 1:9). Ia menciptakan hidup dengan menghembuskan hidup itu pada manusia (Kej 2:7), dan hidup terus bertahan sepanjang Allah menempatkan roh di dalam manusia (Kej 6:3; Ayb 34:14-15). Kitab Amsal menekankan prinsip hidup yang berasal dari Allah dan seberapa jauh Ia menanamkannya pada segala yang hidup (Mzm 16:11; 133:3). Dia adalah “sumber hidup” (Mzm 36:10) dan “cahaya kehidupan” (Mzm 56:14). Karena hidup itu merupakan anugerah, kita wajib mensyukurinya, sebagaimana orang bersyukur karena dibebaskan dari kematian atau bahaya, atau bahkan dari kehilangan martabat (Mzm 30:3-4; 71:20; 80:18).

B.            Hidup yang Baik

Bahwa kematian merupakan akhir dari kehidupan yang tak terelakkan bagi mahluk yang fana mengembangkan pemikiran mengenai yang disebut “hidup yang baik”. Hidup yang baik sering dipandang merupakan umur panjang, yang berakhir dengan kematian “yang baik” pada usia lanjut (Kej 25:8; Ul 5:16; Hak 8:32; Ayb 21:23). Dalam banyak hal, keluarga merupakan pusat dari suatu hidup yang baik: mempunyai anak-anak merupakan tanda dari berkat (Mzm 128:1-6) dan memastikan bahwa garis keluarga akan terus berlanjut (Kej 35:29; 50:7-8; Ayb 42:16).  Sastra kebijaksanaan menekankan bahwa hikmat atau kebijaksanaan mendatangkan hidup baik, yang sering digambarkan sebagai umur panjang dan sejahtera (Ams 3:16; 8:18). Maka “hidup yang baik” adalah hidup di mana seseorang menikmati kedamaian, kebahagiaan, keluarga dan kerabat, teman dan sahabat, dan segala hal yang baik yang berasal dari hidup yang baik. Di pihak lain Kitab-kitab Kebijaksanaan seperti Ayub dan Pengkhotbah mengakui bahwa hikmat/kebijaksanaan saja tidak cukup untuk menghasilkan segala hal yang baik: “karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan” (Pkh 1:18). Sebagian dari masa hidup Ayub dijalani dalam kesusahan, apakah karena itu ia tidak mengalami “hidup yang baik”? Pada akhirnya, berserah kepada Allah merupakan satu-satunya arah yang pasti. “Akhir kata dari semua yang didengar adalah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena ini adalah kewajiban semua orang” (Pkh 12:13).

                Maka, hidup mempunyai suatu dimensi moral yang berkait dengan pelaksanaan perintah-perintah Allah dan terutama setia kepada perjanjian. Hidup merupakan suatu rahmat, dan hidup yang baik adalah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengikuti Hukum (Sir 24:22-23; bdk Ul 4:1; 6:24; 16:20).

“Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh Tuhan, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya. Tetapi jika hatimu berpaling dan engkau tidak mau mendengar, bahkan engkau mau disesatkan untuk sujud menyembah kepada allah lain dan beribadah kepadanya, maka aku memberitahukan kepadamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu akan binasa; tidak akan lanjut umurmu di tanah, ke mana engkau pergi, menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya” (Ul 30:15-18)

 C.           Hidup Kekal

Pada masa Pembuangan Babilon, pandangan berubah menjadi lebih bersifat eskatologis, merujuk ke arah kebangkitan menuju hidup kekal (Dan 12:2). Pandangan eskatologis itu semakin berkembang setelah sekian lama (2 Mak 7:9). Hidup sesudah kematian terletak di seberang hidup kita di dunia: “Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar hakekat-Nya sendiri” (Keb 2:23). Maka ada tujuan yang lebih dalam dari kesulitan-kesulitan yang dialami demi kebaikan: “Kalaupun mereka disiksa menurut pandangan manusia, namun harapan mereka penuh kebakaan”  (Keb 3:4).

  II.          Dalam Perjanjian Baru

A.            Hidup Kekal Sebagai Fokus

Hidup kekal melalui Yesus Kristus merupakan ajaran sentral Perjanjian Baru. “Hidup” di sini berarti hidup ilahi atau hidup kekal. Sebagai Pencipta, Kristus memberikan “hidup duniawi” kepada manusia (Yoh 1:1-4), dan sebagai Penebus Ia memberikan “hidup ilahi” dalam segala kelimpahannya (Yoh 10:10).

                Ini merupakan kelanjutan dari pandangan Perjanjian Lama tentang hidup, tetapi dengan orientasi yang lebih kuat pada keabadian. Hidup lebih dari sekedar memiliki (Luk 12:15); secara paradoksal, supaya memiliki hidup kekal, orang harus menyerahkan hidupnya kepada Yesus (Luk 14:26) sebagaimana Ia telah menyerahkan hidupNya bagi banyak orang (Mrk 10:45).  “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya” (Luk 17:33).

B.            Iman pada Yesus sebagai Sarana Hidup Kekal

Ketika menulis Injilnya Yohanes menyatakan kepada kita: “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Iman pada Penyaliban dan Kebangkitan Yesus Kristus membentuk dasar hidup kita (Yoh 3:16), dan di dalam baptis, kita diperbolehkan ikut ambil bagian dalam hidup baru yang “datang dari atas” (Yoh 3:3-5). Hidup kekal adalah karunia Allah bagi semua orang yang percaya (Rm 6:23) dan yang hidup dalam Roh (Rm 8:11-13).

                Di dalam Perjanjian Baru, hidup yang ideal adalah hidup yang didasarkan pada hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Cara hidup ini diikhtisarkan dalam Surat Kepada Jemaat Galatia: “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:19-20). Mirip dengan itu, Paulus menulis: “Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm 6:11 ; bdk 1 Kor 15:22; Flp 1:21). Yohanes terutama menekankan bahwa hidup kekal kita bergantung kepada Kristus: “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup” (1 Yoh 5:11-12).

C.            Hidup Kekal Sudah Mulai Dari Sekarang

Hidup kekal sudah datang kepada mereka yang beribadah kepada Allah, menaati perintah-perintahNya, dan mengikuti Kristus, “Pemimpin kepada hidup” (Kis 3:15; bdk. Kis 5:20; 13:48; 17:25). Hidup kekal dengan demikian merupakan cicipan atas hidup yang akan datang. Hidup ini sudah dimulai sejak baptisan, yang mendatangkan hidup baru dalam Kristus (Rm 6:4). Hidup yang lama sudah berlalu bagi pendosa, hidup dalam daging (Rm 8:12), dan suatu kebangkitan telah terjadi di dalam jiwa (Rm 6:13) yang mengantisipasi kebangkitan tubuh (Rm 8:11).

                Hidup kekal yang sepenuhnya akan dimiliki di surga, yang disebut Kitab Suci “hidup yang sebenarnya” (1 Tim 6:19), tetapi kita sudah mempunyai suatu bagian di dalam hidup kekal itu melalui karya sakramental Gereja: ''Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53).

Minggu, 02 Oktober 2022

GURUN

 Belakangan istilah kadal-gurun  (kadrun) viral di berbagai sosial media. Konotasinya negatif. Kadal gurun mengingatkan hewan-hewan yang berbahaya yang hidup dalam ekosistem gurun seperti kalajengking dan ular berbisa. Tetapi "gurun" sendiri sangat berarti dalam riwayat umat Allah, baik dalam arti kata harafiah maupun kiasan.



Gurun          

Dewasa ini para ilmuwan merumuskan gurun sebagai tempat yang kering dengan curah hujan rata-rata setahun kurang dari 25 sentimeter. Pada umumnya tumbuhan, binatang, dan air adalah langka di gurun.. Gurun dalam Kitab Suci merupakan bagian dari rangkaian gurun Sahara-Arabia. Gurun Sinai digambarkan dalam Ul 8:15 sebagai “padang gurun yang besar dan dahsyat, dengan ular-ular yang ganas serta kalajengkingnya dan tanahnya yang gersang, yang tidak ada air.”

      Padang gurun adalah suatu realitas hidup sehari-hari, karena terletak di sebelah selatan dan timur perbatasan dari tanah lintasan yang sempit namun subur yang adalah Tanah Suci Palestina. Untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sulit, orang perlu bekerja keras bersama-sama dan mengingat pelajaran dari masa lalu. Bahkan sekarang pun, banyak dari mereka yang tinggal di padang gurun merupakan suku yang berpindah-pindah (nomad), karena tinggal di satu tempat saja bisa kehabisan sumber daya alam dari gurun di situ.



      Kenangan akan padang gurun terutama penting sekali bagi umat Israel sebagai hasil dari pengalaman mereka keluar dari Mesir (kitab Keluaran). Di padang gurunlah Israel pertama kalinya berjumpa dengan Allah, dan tradisi senantiasa menempatkan perjumpaan seseorang dengan Allah di padang gurun.

      Padang gurun menonjol dalam kisah para bapa bangsa (Kej 12-50) dan terutama dalam kisah Keluaran dari Mesir dan pengembaraan bangsa Israel di gurun (Kel 15:22; 16:1; 17:1; 18:5; 19:1-2; Bil 14:33; 32:13). Di padang gurun bangsa Israel menerima perlindungan yang penuh kasih dari Allah, tetapi masa padang gurun juga merupakan masa ujian dan pembinaan. Maka padang gurun juga merupakan pengingat yang kuat tentang perlunya Israel setia kepada pokok-pokok perjanjian dan kasihnya kepada Allah (Hos 2:16; Kis 7:41; 1 Kor 10:5; Ibr 3-8).



      Padang gurun merupakan suatu tempat menyendiri dan pengungsian (Kej 16:7; Kel 2:15-3:1; 1 Sam 23-26; 1 Raj 19:1-4) antara lain Gurun Negev, dekat En-gedi.. Padang gurun juga muncul dalam Perjanjian Baru khususnya Gurun Yudea. Yohanes Pembaptis menyiapkan diri untuk tugas perutusannya di padang gurun (Mat 3:1-12; 1:7-10; Mrk 1:3-4; Luk 3:1-20; Yoh 1:23). Yesus dibawa Roh ke padang gurun untuk persiapan terakhir bagi karyaNya di dunia dan dicobai oleh setan (Mat 4:1-11; Mrk 1:12-13). Yesus juga mengundurkan diri ke gurun untuk mendapatkan ketenangan yang damai untuk merenung dan berdoa (Mat 14:13; Mrk 6:30-32; Luk 4:42; 5:16; Yoh 6:15).



Sabtu, 01 Oktober 2022

SAUDARA-SAUDARA TUHAN, SANDAL DAN WAJAH

 Sore tadi dua orang teman japri, seorang minta catatan tentang sandal dan wajah dalam kitab suci, entah iseng ingin tahu, entah untuk sesuatu. Seorang yang lain tampaknya terlibat diskusi mengenai ayat yang bicara tentang "saudara-saudara Tuhan". Yang belakangan ini mendesak. Yang sebelumnya bisa dijawab kapan-kapan. Namun untuk menghemat waktu kedua permintaan saya penuhi sekarang. Minta maaf jika sangat singkat.....

Sandal

Alas kaki yang lazim di dunia Kitab Suci. Sandal atau kasut kuno hanyalah selembar kulit yang diikatkan pada kaki dengan tali kulit dengan simpul di sekitar pergelangan kaki (Kej 14:23). Baik orang kaya maupun miskin mengenakan kasut, dan tak punya kasut menandakan keadaan yang sungguh buruk, seperti yang dialami tawanan perang (Yes 20:2-4). Melemparkan sandal pada seseorang menunjukkan tanda keunggulan atau dominasi (Mzm 60:8; 108:9).

                Sandal atau kasut umumnya dilepas ketika seseorang masuk rumah. Suatu kekecualian adalah ketika makan malam Paskah, sandal justru harus dikenakan di waktu makan sebagai tanda bahwa mereka siap melakukan perjalanan (Kel 12:11). Sandal juga dilepas pada waktu berduka cita (Yeh 24:17.23) dan ketika berada di tempat suci (Kel 3:5; Yos 5:15). Para pelayan melepaskan sandal tuan majikan mereka (Mat 3:11; Mrk 1:7; Luk 3:16; Yoh 1:27; Kis 13:25).

Ø

Saudara-saudara Tuhan  

Kerabat Yesus yang disebut beberapa kali di dalam Perjanjian Baru (Mat 12:46; 13:55; Mrk 3:31; 6:3; Luk 8:19; Yoh 2:12; 7:3; 20:17; Kis 1:14; 1 Kor 9:5; Gal 1:19). Dari antara mereka itu empat orang disebut namanya: Yakobus, Yose atau Yusuf, Simon dan Yudas (Mat 13:55; Mrk 6:3). Disebut “saudara-saudara” sebab digunakan dalam arti yang seluas-luasnya yang banyak terdapat dalam Kitab Suci. Saksi Perjanjian Baru  menjelaskan bahwa keempat “saudara-saudara” yang disebutkan itu bukan anak-anak Maria. Yesus menyerahkan Maria kepada muridNya, Yohanes (Yoh 19:26). Hal itu tak akan mungkin seandainya Ia punya saudara-saudara kandung untuk merawat ibuNya. Para pengarang Perjanjian Baru tidak menyebut yang disebut saudara-saudara Yesus itu sebagai “anak-anak Maria”. Tradisi yang paling tua mengatakan bahwa mereka itu anak-anak Yusuf dari perkawinan yang terdahulu. Mungkin yang lebih tepat adalah Santo Hieronimus yang menyatakan bahwa “saudara-saudara” Yesus itu adalah para sepupu; dengan membandingkan Injil-injil yang menyebutkan “saudara-saudara” itu, kita dapat menguatkan pendapat itu. Yakobus dan Yusuf adalah anak-anak seorang Maria yang lain, yang berdiri bersama [Maria] Ibu Yesus di kaki Salib (Mat 27:56; Mrk 15:40).

Ø

Wajah, Muka

Kata Ibrani untuk “muka, wajah” adalah panim. Kata itu muncul lebih dari 2100 kali dalam Perjanjian Lama. Bentuk kata Ibrani itu selalu plural, sebab dipahami untuk mewujudkan banyak ciri yang membentuk raut wajah manusia. Wajah bukan hanya melukiskan roman muka seseorang, tetapi juga menyatakan sifat dan sikap perilakunya. Maka muka atau wajah merupakan kata kiasan bagi diri atau bahkan keseluruhan pribadi atau kehadiran.

                Sikap rela atau keras kepala dapat tampak pada raut wajah (Ul 28:50; Ams 7:13; 21:29; Yes 50:7; Yer 5:3; Yeh 3:8). Marah karena gagal atau ditolak tampak dalam muka yang muram (Kej 4:5; Yer 5:3), sedang wajah takzim menunjukkan perasaan hormat dan kepatuhan. Demikian pula, memalingkan muka dapat menunjukkan rasa tidak suka atau menghindarkan diri (Yes 53:3) terutama ketika sedang bicara dengan Tuhan (Mzm 13:2; 27:9; 102:3; Yes 54:8; Yer 33:5). Menyenangkan atau menjadikan Tuhan berkenan adalah memaniskan wajahNya (Kel 32:11; 1 Raj 13:6; 2 Raj 13:4; 2 Taw 33:12; Yer 26:19). Kegembiraan dan kebahagiaan tampak dalam wajah yang bercahaya ceria (Ayb 29:24), tampak bagai dipandang Tuhan lagi (Bil 6:25; Mzm 4:7; 31:17; 44:4; 67:2; 80:4). Mengangkat wajah atau mendongak berarti menerima atau setuju, dan jika diterapkan pada Tuhan berarti tanda pemberian berkat (Ul 10:17; Ayb 34:19).

                Kel 33:20 menyatakan bahwa tak ada orang yang dapat melihat Tuhan atau wajah Tuhan dan tetap hidup. Dari sini, rujukan “melihat wajah Tuhan” (Kej 33:10; Ayb 33:26) dan berada di hadapanNya (Kel 23:15; 34:20; Mzm 42:3) menyatakan seseorang yang fana berada di tempat suci, yaitu tempat Allah berada. Yakub (Kej 32:31) dan Musa (Kel 33:11) bertemu muka dengan Tuhan, namun menurut tradisi hanya Musa saja yang berhadapan dengan Tuhan (Ul 34:10; bdk Ul 5:4; Hak 6:22; 13:22).

Salam

Bambang Kussriyanto

Katolik dan Politik, Suatu Penyegaran Konsientasi II

 


Bambang Kussriyanto

Perlunya penyegaran wawasan politik dianjurkan setiapmenjelang tahun politik. Suatu Nota Ajaran tentang Partisipasi Umat Katolik dalam Politik dari Kongregasi Ajaran Iman 24 November 2002 mengingatkan beberapa hal.

Pada tingkatan politik praktis, biasanya ada banyak partai politik yang menjadi wahana yang dipandang Konsili Vatikan II untuk orang katolik khususnya,  melalui pemilihan dewan legislatif melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara (GS 45 dan 73). Ini terjadi karena ada banyak pilihan untuk mengatur masyarakat, yang menimbulkan aneka ragam visi strategis berdasarkan interpretasi yang dapat berlainan atas dasar-dasar teori politik dan kompleksitas teknis berbagai masalah politik untuk menerapkan dan menjamin nilai-nilai yang sama. Berbagai pilihan yang sah atas partai politik yang digunakan menjadi titik tolak komitmen warga katolik pada kehidupan politik dan langsung berkaitan dengan ajaran moral dan sosial kristiani. Dalam terang ajaran inilah awam katolik seharusnya mendasarkan peran serta mereka dalam kehidupan politik sehingga menunjukkan tanggungjawab yang sesuai atas realitas tatanan masyarakat.

Gereja mengakui, kendati demokrasi merupakan ungkapan terbaik bagi peran serta warga dalam pilihan-pilihan politik, namun keberhasilannya sangat bergantung pada pengertian akan pribadi manusia (GS 25). Keterlibatan warga katolik dalam kehidupan politik janganlah berkompromi dalam prinsip martabat manusia ini, jika tidak, kesaksian iman kristiani di dunia dan kesatuan batin umat beriman mustahil terwujudkan.  Struktur demokrasi untuk menegakkan negara modern akan sangat rapuh jika tidak diletakkan atas dasar pentingnya hakekat pribadi manusia. Karena penghargaan pada pribadi manusialah maka peran serta demokrasi menjadi niscaya. Dalam ajaran Konsili Vatican II, “terjaminnya hak-hak pribadi merupakan syarat mutlak, supaya semua warganegara, masing-masing maupun secara kolektif, dapat berperanserta secara aktif dalam kehidupan dan pemerintahan negara” (GS 73).

Dari sini memancar semburat masalah yang kompleks, yang belum pernah dihadapi generasi masa lalu.  Kemajuan ilmiah telah menimbulkan kegalauan hati nurani pria dan wanita masa kini dan menuntut solusi yang selaras dengan prinsip-prinsip etika secara mendasar dan menyeluruh. Yaitu ketika kegiatan legislasi memajukan rancangan-rancangan yang kurang menyadari akibatnya pada keberadaan dan manusia masa depan terkait budaya dan perilaku sosial, justru menggerogoti dasar-dasar hidup manusia yang harusnya dijaga. Umat katolik, dalam situasi yang sulit ini, berhak dan berkewajiban mengingatkan masyarakat akan pengertian yang lebih mendalam mengenai hidup manusia dan tanggungjawab semua orang atasnya. Paus St Yohanes Paulus II, dengan meneruskan ajaran Gereja, telah berulang kali menyatakan bahwa mereka yang terkait dengan badan-badan pembuat undang-undang mempunyai “kewajiban yang berat dan jelas untuk menentang” setiap undang-undang yang merugikan hidup manusia. Mereka, sama seperti setiap warga katolik, sama sekali tak boleh mengusulkan atau memberi suara dukungan pada undang-undang seperti itu (Ensiklik Evangelium Vitae 73). St Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Evangelium Vitae membahas  situasi ini merujuk proses legislatif rancangan undang-undang aborsi yang di beberapa negara mencapai tahap menentukan; “pejabat terpilih, yang oposisi pribadinya terhadap aborsi jelas mutlak, dapat dengan sah mendukung proposal yang bertujuan membatasi kerugian yang disebabkan oleh undang-undang tersebut dan mengurangi konsekuensi negatifnya pada tingkat opini umum dan moralitas publik”(Evangelium Vitae 73).

Situasi yang sama dapat terjadi di bidang-bidang lain. Intinya, perlu diingat bahwa hati nurani kristiani tidak mengizinkan sesorang untuk mendukung program politik atau undang-undang yang berlawanan dengan isi dasar iman dan moral.  Iman kristiani merupakan suatu kesatuan utuh, maka tidak bisa mengecualikan sesuatu unsur tertentu terpisah dan merugikan keseluruhan ajaran kristiani. Komitmen politik pada salah satu aspek dari ajaran sosial Gereja janganlah memupus tanggungjawab atas kesejahteraan umum. Janganlah orang katolik mengira dapat menitipkan tanggungjawab kristianinya pada pihak lain; sebaliknya Injil Yesus Kristus memberinya amanat agar kebenaran tentang manusia dan dunia dia wartakan dan laksanakan.

Jika kegiatan politik sejalan dengan prinsip-prinsip moral yang tidak mengizinkan kekecualian, kompromi dan “pelarian”, maka komitmen katolik menjadi semakin jelas dan penuh tanggungjawab.   Secara analogi, keluarga perlu dilindungi dan didukung, atas dasar perkawinan monogam antara seorang pria dan seorang wanita, dan dilindungi kesatuan dan stabilitasnya berhadapan dengan hukum modern tentang perceraian: jangan sampai bentuk lain hidup-bersama disamakan dengan perkawinan, dan jangan pula diberi pengakuan hukum yang sama. Begitu pula kebebasan orangtua menyangkut pendidikan anak-anak mereka; ini tercantum sebagai hak yang diakui dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB. Perlu dikembangkan perlindungan masyarakat atas anak-anak dan pembebasan dari bentuk-bentuk perbudakan modern (penyalahgunaan narkoba dan pelacuran, misalnya).  Selain itu juga hak kebebasan beragama dan perkembangan ekonomi yang menunjang martabat manusia dan kesejahteraan umum, selaras dengan keadilan sosial, prinsip solidaritas dan subsidiaritas, "hendaknya diakui, dipatuhi dan didukung hak-hak semua pribadi, keluarga dan kelompok-kelompok beserta pelaksanaannya" (GS 75). Akhirnya, harus dikemukakan juga soal hidup tertib dan damai. Pandangan pasifistik dan ideologi tertentu sering condong bersifat sekularistik sementara di pihak lain ada soal pertimbangan etis yang amat naif yang melupakan kompleksnya soal itu. Damai selalu merupakan "hasil dari keadilan dan buah dari kasih" (KGK 2304). Ada tuntutan penolakan mutIak dan radikal terhadap semua tindak kekerasan dan terorisme yang terus menerus memerlukan komitmen yang konstan dan penuh kewaspadaan dari semua pemimpin politik. 




SOLA FIDE, HEBOH SOAL "PEMBENARAN"

 Dalam dua WAG yang saya ikuti beberapa hari yang lalu ramai dibicarakan "Pembenaran". Saya coba mencari suatu ikhtisar ajaran tentang "Pembenaran" baik menurut Kitab Suci maupun dari sejarah kristiani. Semoga berguna.

 


Pembenaran   

Salah satu cara untuk mengungkapkan ajaran tentang keselamatan dalam Perjanjian Baru. Dapat merujuk (1) tindakan ilahi maupun (2) proses perkembangan rohani. Sebagai suatu tindakan ilahi, pembenaran adalah saat di mana Allah membenarkan orang yang percaya kepada Kristus dan menempatkan dia dalam suatu hubungan perjanjian dengan DiriNya. Sebagai suatu proses, pembenaran adalah pertumbuhan dalam kebenaran dan rahmat  yang terjadi pada orang beriman yang mengikuti tuntutan Injil dan memercayakan dirinya dalam bimbingan Roh.

I.                    Terminologi

II.            Dalam Perjanjian Lama

III.           Dalam Perjanjian Baru

A.            Injil

B.            Surat-surat Paulus

C.            Surat Yakobus

IV.          Pentingnya Ajaran

 

I.             Terminologi

Kosa kata pembenaran merupakan antar-hubungan Bahasa Ibrani dan Yunani dalam cara tertentu yang dapat mengaburkan terjemahan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Kitab Suci ada suatu hubungan antara kata kerja “membenarkan” (bahasa Ibrani hisdiq; Yunani dikaioō), kata benda “keadilan, kebenaran” (Ibrani sedaqa; Yunani dikaiosyne) dan kata sifat “adil, benar” (Ibrani saddiq; Yunani dikaios). Kata-kata ini, yang digunakan untuk menggambarkan tindakan dan hasilnya pembenaran, mempunyai akar yang sama dalam kedua bahasa. Bahasa Inggris hanya sebagian saja dapat mengungkapkannya dengan trio “justify, justice dan just” (mengadili, keadilan,  adil) tetapi penerjemah sering menghindari dua kata terakhir karena hubungan yang berasal dari filsafat dan yurisprudensi klasik. Mereka cenderung lebih menyukai “kebenaran” dan “benar” karena lebih merupakan padan kata yang lebih cocok.  Sementara itu bahasa Inggris kekurangan kata kerja yang sepadan yang berintikan kata dasar “---right—“ untuk mengisi trio “........(?), righteousness (kebenaran), right (benar)”, [sehingga yang terjadi adalah gado-gado “justify, righteousness, right”]. Tapi sisihkan saja dulu soal teknis terjemahan, yang penting kita menyadari adanya kesatuan konseptual yang mendasari kosa kata alkitabiah mengenai pembenaran itu.

II.            Dalam Perjanjian Lama

Pembenaran mendapat tempat istimewa di dalam Perjanjian Baru, namun dasar-dasar ajarannya diletakkan dalam Perjanjian Lama. Awalnya dapat dilacak pada tatanan dan pelaksanaan hukum dan keadilan di Israel kuno, di mana kata kerja “membenarkan, justifikasi” berarti ”membuktikan kebenaran” atau ”membebaskan seseorang dari tuduhan” dengan menyatakan bahwa dia benar (secara negatif = tidak bersalah). Dalam arti ini pembenaran adalah suatu pernyataan resmi mengenai kebenaran atau ketidakbersalahan seseorang, oleh Allah di surga (Kel 23:7; 1 Raj 8:32; Yes 50:8) atau oleh seorang hakim yang sah di dunia (Ul 25:1; Ams 17:5; Yes 5:23).

                Tolok ukur penilaian adalah perjanjian antara Allah dan umatNya. Kebenaran dalam Kitab Suci tidak secara kaku disetarakan dengan nosi atau artian “keadilan” dalam zaman kuno klasik, yang menyangkut soal memberikan kepada seseorang di dalam masyarakat apa yang menjadi haknya, walaupun kedua gagasan itu bukannya terpisah sama sekali. Kebenaran adalah suatu situasi selaras dengan perjanjian, dan bertindak dalam kebenaran berarti memenuhi kewajiban dengan melaksanakan perintah-perintah perjanjian (Ul 6:25; 24:13; Yes 48:18; Luk 1:6). Ketika Allah disebut benar, itu berarti Ia bertindak dalam kesetiaan pada perjanjian yang dibuatNya – memenuhi janji-janji, memberkati yang benar, menghukum yang jahat (Neh 9:8.33; Mzm 119; 137; Dan 9:14; Za 8:8). Inilah sebabnya Pemazmur, sekalipun menderita karena dosa-dosanya sendiri, mengakui bahwa Allah benar dalam menghukum orang yang bersalah (Mzm 51:4).

                Konteks yang utama dan asli dari pembenaran adalah perjanjian historis antara Tuhan Allah dan Israel. Tetapi dalam satu ayat kunci, hal itu diproyeksikan kepada masa depan eskatologis. Kidung Hamba yang keempat dari Yesaya merupakan visi tentang seseorang yang ditolak dan dilecehkan oleh bangsanya sendiri (Yes 52:13-53:12). Kendati ia tidak bersalah, ia menyerahkan diri pada kekerasan yang mereka lakukan dengan cara menjadikan dirinya kurban persembahan demi kejahatan mereka semua. Sang nabi kemudian menyatakan bahwa hamba itu bukan saja akan menanggung ”dosa orang banyak” (Yes 53:12), tetapi ia juga akan membenarkan banyak orang (Yes 53:11); maksudnya, ia akan membuat banyak orang diperhitungkan sebagai benar. Hal ini niscaya tidak akan terlewatkan begitu saja oleh pembaca Kristen, karena di sini, pengertian pembenaran terkait erat dengan Mesias yang menderita, yang menyerahkan jiwanya bagi pengampunan para pendosa, yang hasilnya adalah situasi kebenaran yang baru bagi banyak orang.



III.           Dalam Perjanjian Baru

A.            Injil

Pembenaran tidak banyak dibicarakan oleh Yesus di dalam Injil-injil, sekurang-kurangnya tidak secara eksplisit. Namun ada dua ayat di mana soal ini dikemukakan secara langsung. Pada yang pertama, Yesus berkata: “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum'' (Mat 12:36-37). Di sini Ia membicarakan pembenaran akhir para kudus, keputusan yang dijatuhkan pada Pengadilan Terakhir yang membebaskan orang benar dari kata-kata dosa dan memastikan mereka masuk ke dalam Kerajaan. Pada kesempatan yang kedua, Perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai, Yesus menyampaikan cerita tentang dua orang yang berdoa di Bait Allah; yang satu seorang Farisi yang mengenal dirinya sendiri sebagai orang benar dan sambil berdiri memaparkan bukti-buktinya di hadapan Allah (Luk 18:9-12), dan yang lain adalah seorang pemungut cukai yang menyatakan dirinya sebagai orang berdosa menengadah ke langit, memukuli dirinya dan memohon belas kasihan Allah (Luk 18:13). Sambil merujuk kepada pemungut cukai itu, Yesus menyatakan: “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak” (Luk 18:4). Pelajarannya adalah bahwa pembenaran merupakan belas kasih Allah yang diberikan dengan murah hati kepada pendosa yang mengakui kesalahan, tetapi  pembenaran tidak diberikan kepada mereka yang menganggap dirinya benar karena kesalehan-kesalehan lahiriah.

 

B.            Surat-surat Paulus

Pembenaran dibahas secara mendalam dan rinci di dalam beberapa surat Paulus. Pada dasarnya itulah cara Paulus dalam membicarakan keselamatan. Bagi Paulus, pembenaran hanyalah mungkin berkat “darah” Kristus (Rm 5:9). Dan itu berarti bahwa kaum beriman “menjadi orang benar” (Rm 5:19) oleh ”kasih karunia” dariNya (Rm 3:24). Mereka yang dibenarkan “hidup dalam damai sejahtera” dengan Allah (Rm 5:1) karena mereka “telah bebas dari dosa” (Rm 6:7). Lebih dari itu, mereka yang dibenarkan “berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan” (Tit 3:7). Ini persisnya adalah karena Kristus telah memberikan kepada mereka “Roh yang menjadikan [mereka] anak Allah” (Rm 8:15) dan dengan demikian membuat mereka “anak-anak Allah” (Rm 8:16). Itulah rencana induk dari Allah sejak awal mula, karena rasul Paulus percaya bahwa Allah “mengutus Anak-Nya...supaya kita diterima sebagai anak” (Gal 4:4-5; bdk Ef 1:5).

                Karena berbagai alasan, Paulus terdesak untuk menjelaskan makna pembenaran melawan berbagai kemungkinan salah pengertian. Di satu pihak ia menyatakan iman sebagai dasar yang pokok: “Sebab kita yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3:28). Bahwa iman merupakan unsur pokok adalah sesuatu yang sering ia tegaskan di dalam ajarannya (Rm 3:21-26; 4:5; 5:1; Gal 2:16; 3:25-26; Ef 2:8; Flp 3:9). Namun, ia tidak pernah menyatakan bahwa hanya iman yang merupakan sarana pembenaran. Sesungguhnya, Paulus dengan lantang menyatakan bahwa iman tanpa kasih sama dengan kosong (1 Kor 13:2); yang sebenarnya adalah bahwa “iman bekerja melalui kasih” (Gal 5:6). Maka pengertian iman menurut Paulus hendaklah tidak direduksi sampai pada persetujuan atau kepercayaan secara batiniah saja, melainkan mencerminkan suatu tanggapan total dari kaum beriman kepada Kristus, dan itu termasuk “ketaatan” kepada Kristus (Rm 1:5; 16:26). Lebih-lebih, pembenaran karena iman adalah efektif dalam konteks liturgi baptis. Paulus menunjukkan hal itu ketika ia berbicara kepada jemaat Korintus: “Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11). Baptis sebagai sakramen iman dengan demikian merupakan sakramen pembenaran (Tit 3:5-7).

                Begitu juga, karena rahmat yang membenarkan adalah “suatu kelimpahan kasih karunia dan anugerah” (Rm 5:17), Paulus menegaskan bahwa manusia tidak bisa menjadi pengarang pembenarannya sendiri, baik dengan melakukan perbuatan baik pada umumnya (Tit 3:5) maupun dengan menaati pekerjaan khusus dari Hukum Taurat (Rm 3:28). Seandainya demikian, niscaya orang akan lebih membanggakan  dirinya sendiri  (Rm 4:2; Ef 2:8-9) ketimbang memuji Allah (1Kor 1:30-31).

C.            Surat Yakobus

Penjelasan penting dari ajaran pembenaran ini ditemukan dalam Surat Yakobus (Yak 2:14-26). Banyak ahli yakin bahwa Yakobus membahas soal ini karena adanya salah pengertian mengenai penekanan yang dilakukan Paulus atas pembenaran karena iman. Yakobus mengungkapkan aspek yang terus berlangsung dari pembenaran sebagai suatu proses – suatu gagasan yang juga apa pada Paulus tetapi kurang menonjol dibanding dengan gagasan pembenaran awal bagi kaum beriman.

                Tampaknya ada sebagian umat Kristiani dalam Gereja awal yang kelitu tafsir atas tekanan yang diberikan Paulus pada “iman”, sehingga baginya “hanya iman” saja yang membenarkan. Ini tidak tepat dan mengandung bahaya, terutama karena bisa mengurangi penghargaan pada pentingnya usaha memajukan karya-karya amal kasih (Yak 2:14-17). Maka Yakobus menegaskan bahwa kaum beriman juga “dibenarkan karena pekerjaan” (Yak 2:21). Untuk menunjukkan maksud pokoknya, ia berkata bahwa bukan saja Abraham dibenarkan karena imannya, sehingga ia berada di dalam suatu persahabatan dengan Allah (Yak 2:23), tetapi Abraham juga mewujudkan imannya dalam tindakan ketika Allah menghendaki dia mengorbankan Ishak (Yak 2:21). Tindakan ini juga menjadi suatu peluang pembenaran bagi Abraham: hanya saja tindakan bukanlah pernyataan awal mengenai pembenaran, melainkan suatu langkah lebih maju di dalam kebenaran yang dimungkinkan oleh iman yang aktif bekerja. Maka Yakobus menyimpulkan dari contoh alkitabiahnya: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yak 2:24).

                Paulus tentu setuju dengan pernyataan ini. Sebab ia terus menyatakan pentingnya pekerjaan, bukan sebagai suatu sarana untuk menjadikan seseorang berada di dalam hubungan perjanjian yang benar dengan Allah, melainkan sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perjanjian itu dan dengan demikian semakin berkembang dalam kebenaran (Rm 6:13.16). Baginya, iman yang menyelamatkan haruslah iman yang sedang bekerja, sebab “bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan” (Rm 2:13). Selain itu, satu-satunya jalan untuk mengikuti perintah Allah dan hidup sebagai anak-anak Allah adalah menyerahkan diri kita kepada rahmat Roh Kudus (Rm 8:1-7). Roh Kuduslah yang menuangkan kasih Allah ke dalam hati setiap umat beriman (Rm 5:5), dan membuat dia mampu mengasihi seperti yang diperintahkan Hukum Taurat (Rm 13:8-10).



IV.          Pentingnya Ajaran

Ajaran tentang pembenaran tidaklah lagi merupakan pokok perdebatan yang heboh dalam abad-abad terakhir, tidak seheboh yang terjadi pada zaman para rasul. Salah satu kekecualian adalah pada abad kelima, sebab pada waktu itu Santo Agustinus Uskup Hipo harus menghabiskan banyak sekali tenaga berkutat dengan ajaran ini dan menegaskan pemahaman asli tentang pengertiannya. Ia mengerjakan hal ini melawan bidat Pelagius, yang terlalu berlebihan menilai daya keinginan manusia untuk berbuat baik dan meremehkan kebutuhan manusia akan rahmat yang mengubah dirinya dan memberdayakannya untuk menghayati hidup Kristiani.

                Kekecualian yang kedua adalah abad keenam belas dengan timbulnya Protestantisme dan meluasnya pemahaman baru akan ajaran itu. Dalam tulisan-tulisan awal komponen reformasi, soal pembenaran disusutkan pada akibat kebenaran Kristus yang menjadikan pendosa “benar di hadapan Allah” tanpa mengubah dia dari dalam. Selain itu, para reformer mengajarkan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman saja, dan bukan oleh tindakan “keagamaan, moral atau apa saja” sebab jika tidak demikian, tindakan niscaya bisa mengubah pembenarannya atau mengurangi kepastian penyelamatannya.

                Gereja Katolik menanggapi teologi baru ini dengan Dekrit Mengenai Pembenaran yang dikeluarkan Konsili Trente 13 Januari 1547. Di sini pembenaran diterangkan sebagai “peralihan dari keadaan di mana seseorang dilahirkan sebagai anak Adam yang pertama kepada suatu keadaan rahmat dan diangkat menjadi anak Allah melalui Adam yang kedua, Yesus Kristus.” Ajaran ini dengan demikian harus dipahami dari segi keputeraan ilahi, dan ini berdasarkan penyuntikan rahmat dari dalam, bukan sekedar tempelan luar mengenai status benar dari luar pada kaum beriman. Konsili dengan demikian menyatakan sebab-sebab pembenaran sebagai berikut: sebab terakhirnya adalah adalah kemuliaan Allah, dan sebab yang sekunder keselamatan kekal manusia; yang merupakan sebab efisien dari pembenaran adalah belas kasih Allah, sedang sebab yang bersifat jasa adalah Yesus Kristus, yang melakukan penghapusan dosa dan mendapatkan rahmat pengudusan bagi kita; sebab instrumentalnya adalah sakramen baptis, dan bersama itu iman dari mereka yang mampu melaksanakannya; dan sebab formalnya adalah kebenaran Allah, yaitu rahmatNya yang membuat kita menjadi benar. (KGK 654, 1987-1995).

Santa Theresia Kanak-kanak Yesus dari Lisieux si Bunga Kecil atau si Burung Kecil

 


Bambang Kussriyanto

Hari ini Pesta St Theresia Kanak-kanak Yesus, Pujangga Gereja (1873-1897), yang dikenal sebagai si “Bunga Kecil” atau si “Burung Kecil”.  Walau seorang suster Karmel yang tinggal di biara tertutup, namanya mendunia sejak kematiannya pada 1897. St. Theresia adalah pelindung semua misionaris yang bekerja di negara lain;  Paus St. Yohanes Pauusl II menetapkannya sebagai Pujangga Gereja pada 1997.

Marie Thérèsia Martin dilahirkan di Alencon, Prancis pada 2 Januari 1873, sebagai yang bungsu dari lima puteri. Ayahnya, Louis, pembuat jam, dan ibunya, Zelie, meninggal karena kanker payudara ketika Thérèsia berusia empat tahun. Thérèsia dibesarkan dalam sati keluarga kristiani teladan. Sejak ia masih kanak-kanak ia sudah merasa tertarik untuk hidup membiara, dan ketika usianya 15 tahun ia diizinkan masuk biara Karmel di Lisieux. Selama 9 tahun selanjutnya dalam biara ia menjalani hidup bakti yang biasa-biasa saja. Tak ada catatan mujizat yang ia alami atau dibuatnya. Ia memeroleh kekudusan karena melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan setia dan gembira, dengan sikap anak kecil yang amat percaya kepada peyelenggaraan ilahi dan akan kasih sayang Tuhan, dan siap melayani sesama kapan saja. Ia juga sangat mencintai Gereja dan selalu berdoa untuk pertobatan jiwa-jiwa. Secara khusus ia selalu mendoakan para imam. Ia meninggal pada 30 September 1897 pada usia 24 tahun karena tubuhnya lemah dan sering sakit; ia dinyatakan sebagai santa pada 1925. "Aku akan lulus masuk surga dengan berbuat kebaikan di dunia." Kehidupan batinnya diketahui dari tulisan riwayat hidupnya sendiri yang diberi judul “Kisah satu Jiwa”. Paus St Yohanes Paulus II menetapkan Theresia sebagai Pujangga Gereja pada 1997 dengan Surat Apostolik Divini Amoris Scientia.

Dalam tradisi katolik Theresia adalah santa pelindung para florist penata bunga; misi pewartaan iman dan misionaris di tanah asing; pilot; penderita TBC; penderita AIDS; orang sakit; yatim piatu; ia bahkan menjadi pelindung  Australia; Prancis; Rusia. Ia digambarkan sebagai bunga mawar. Seorang suster Karmel yang memegang mawar. Atau dengan serumpun mawar di kakinya. Atau memegang gambar Kanak-kanak Yesus atau Wajah Yesus yang suci; atau membawa salib dan bunga, dan sebuah buku.