Daftar Blog Saya

Jumat, 20 Januari 2023

PERJANJIAN

 Bacaan dari Surat Ibrani hari ini (Ibr 8:6-13) bicara tentang "Perjanjian". "Perjanjian pertama", "perjanjian yang telah menjadi tua"; "perjanjian kedua" - "perjanjian baru". Ada baiknya mengingat latar umum Perjanjian.


Perjanjian (1)  

Ikatan kesepakatan puak di antara dua pihak, dengan persyaratan atau kewajiban-kewajiban, ditetapkan dengan sumpah atau yang semacam. Perjanjian ada di mana-mana di Timur Dekat, seperti di dalam budaya Yunani-Roma, sebagai cara untuk membina dan memelihara hubungan antar pribadi, antar keluarga, antar suku, bahkan antar-bangsa. Perjanjian juga merupakan tema-induk dari Kitab Suci, yang mencatat betapa dalam berbagai cara di sepanjang sejarah Allah berusaha menarik manusia ke dalam suatu hubungan keluarga dengan DiriNya sendiri melalui sumpah atau janji  ilahi.

      Pengalih-bahasaan kata “covenant” (bahasa Ibrani berit, Yunani diatheke) atau perjanjian sebagai “testament” dalam tradisi Latin telah mengaburkan fakta itu hingga Kitab Suci dibagi menjadi Tulisan-tulisan Suci berdasarkan dua perjanjian, yang Lama dan yang Baru. Namun pembagian kanon atas dasar perbedaan perjanjian merujuk pada tempat sentral konsep perjanjian yang tak dapat disangkal itu dalam wawasan alkitabiah serta teologi Kristen. Lagi pula, bagi umat Katolik, fakta bahwa sumber dan puncak hidup Kristen, yaitu Ekaristi, oleh Kristus dikatakan sebagai “Perjanjian yang Baru” (Luk 22:20) mestinya cukup untuk menunjukkan pentingnya perjanjian pada rencana keselamatan.

 I. HAKEKAT DAN PENGERTIAN PERJANJIAN

Pengertian “perjanjian” banyak diperdebatkan para ahli Kitab Suci. Khususnya di kalangan para ahli Jerman ada kecenderungan untuk menyusutkan nosi “perjanian” menjadi “hukum” atau “kewajiban”. Perjanjian memang sering berisi ketetapan-ketetapan hukum atau kewajiban-kewajiban. Tetapi penelitian atas perjanjian-perjanjian Timur Dekat dalam belahan kedua abad keduapuluh berhasil memntapkan suatu konsensus di antara para ahli Protestan (Frank Moore Cross, Gorden Hugenberger), Katolik (D.J. McCarthy, Paul Kalluveettil) dan Yahudi (Moshe Weinfield, David Noel Freedman) bahwa “perjanjian”, pada hakekatnya, adalah sarana legal untuk mengadakan pertalian di antara kelompok-kelompok yang tadinya tidak berhubungan. Sarjana Harvard Frank Moore Cross menjelaskan bahwa suatu perjanjian “...adalah...suatu sarana hukum yang luas dengan mana kewajiban dan hak suatu puak diperluas pada perorangan atau kelompok lain termasuk orang asing”. Hubungan puak atau kekeluargaan ini diatur dengan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang diperinci di dalam upacara pembuatan perjanjian, yang biasanya terdiri dari suatu ritus keagamaan yang memuncak pada pengucapan janji lisan atau ritual oleh salah satu atau kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.



      Adalah tidak tepat memandang suatu perjanjian sebagai kontrak. Biasanya kontrak menyangkut pertukaran barang, sementara suatu perjanjian menyangkut relasi antar pribadi. Berbeda dari kebanyakan kontrak, perjanjian bukan hanya ikatan sipil perdata, melainkan juga ikatan suci, di mana sumpah digunakan sebagai seruan pada Tuhan (atau dewa-dewa di dalam masyarakat politeis) untuk memateri kewajiban-kewajiban perjanjian itu.

 II. TATA CARA PENYELENGGARAAN PERJANJIAN

Kitab Suci dan berbagai teks kuno dari Timur Dekat menggambarkan berbagai cara yang digunakan untuk menyelenggarakan dan merayakan perjanjian di antara dua pihak.

      Hampir dalam berbagai kesempatan tindakan utama pembuatan perjanjian adalah pengucapan sumpah oleh salah satu atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian (Kej 21:31-32; 22:16; 26:28; Yos 9:15; Yeh 16:59; 17:13-19). Sumpah biasanya berbentuk kutuk atas diri sendiri. Yang melakukan perjanjian menyerukan kepada Tuhan atau dewa-dewa agar mendatangkan kematian atau bencana besar atas dirinya seandainya ia gagal melaksanakan kewajiban perjanjian yang ditetapkan. Sumpah ini diucapkan secara lisan, atau bisa dinyatakan dalam bentuk suatu ritual. Berbagai teks sekular dari Timur Dekat di masa kuno mencatat berbagai ragam ritual kutuk diri, seperti yang digambarkan dalam teks Asyur dari tahun 754 SM berikut ini:

Kepala ini bukan kepala seekor domba, tetapi kepala Mati’ilu (orang yang bersumpah). Jika Mati’ilu menyalahi perjanjian ini, hendaklah, sebagaimana kepala domba ini copot...copot juga kepala Mati’ilu. (ANET 532).

Suatu ritual kutuk diri dilakukan dengan membelah hewan menjadi dua, lalu berjalan di antara belahan-belahannya (Kej 15: Yer 34). Hal ini secara ritual menyatakan maksudnya, “Semoga aku terbelah seperti binatang-binatang ini jika aku tidak menepati perjanjian ini” (lihat Yer 34:18). Kitab Suci juga mencatat ritual kutuk diri yang lain juga: mengurbankan hewan dan memercikkan darahnya (Kel 24:8; Mzm 50:5), menyatakan ”Semoga darahku tercurah seperti darah hewan ini”; dan sunat (kej 17:10) menyatakan, “Semoga aku terpotong jika tidak menaati perjanjian.”



      Ritual lain yang dikaitkan dengan perayaan perjanjian di dalam Kitab Suci tidak mengungkapkan kutuk diri tetapi menunjukkan aspek lain dari hubungan perjanjian. Seringkali pihak-pihak yang membuat perjanjian makan bersama untuk meneguhkan hubungan kekeluargaan yang baru (Kej 26:30; 31:54; Kel 24:11; Yos 9:14-15; Luk 22:14-23). Penggunaan sebutan-sebutan kekerabatan (“saudara” 1 Raj 20:32-34; “ayah” dan ”anak” Mzm 89:26-28; 2:7; 2 Sam 7:14) dan pertukaran pakaian (1 Sam 18:3) atau pemberian lain (Kej 21:27) juga dapat menyatakan keakraban kekeluargaan.

      Perjanjian Baru ditetapkan pada waktu Perjamuan Makan Terakhir, suatu perjamuan komunal antara pihak-pihak yang membuat perjanjian serupa dengan Musa dan para penatua yang makan bersama Tuhan di Gunung Sinai (bdk Kel 24:11). Di pihak lain, kata-kata Yesus sendiri, “Inilah darahKu, darah perjanjian” (Mat 26:28), mengingatkan kata-kata Musa ketika memercikkan darah hewan kurban dalam ratifiksi perjanjian di Gunung Sinai (Kel 24:8). Ekaristi dengan demikian adalah jamuan makan keluarga sekaligus perayaan kurban Perjanjian Baru.



      Kebanyakan ritual yang digunakan untuk pengikatan perjanjian atau pembaruan perjanjian pada dasarnya bersifat liturgis. Dilaksanakan menurut kebiasaan suci, di hadapan Tuhan (atau dewa-dewa) yang dipanggil untuk menjadi saksi dan mengesahkan kewajiban-kewajiban perjanjian. Karena kehadiran ilahi adalah penting bagi ritus liturgis pengikatan perjanjian, maka lokasi-lokasi yang suci seperti rumah Tuhan, kuil-kuil, atau gunung suci lebih disukai untuk pelaksanaan ritual perjanjian.

      Memelajari upacara pengikatan perjanjian membantu kita mengetahui bahwa perjanjian mempunyai matra kekeluargaan, legal (hukum), dan liturgis. Pendeknya, suatu perjanjian adalah suatu ikatan kekeluargaan yang ditetapkan dengan sumpah yang mengikat secara hukum, dan sumpah itu diucapkan dalam suatu ritual liturgis. Kesemua aspek ini tampak dalam upacara perjanjian di Gunung Sinai (Kel 24:3-11). Ikatan kekeluargaan digambarkan dengan makan bersama antara Tuhan dengan para penatua Israel di Gunung Sinai (Kel 24:9-11). Sumpah yang mengikat secara hukum diungkapkan dengan janji umat yang dilanjutkan dengan pemercikan darah, suatu ritus kutuk-diri (Kel 24:7-8), yang mengikat mereka untuk menaati kewajiban hukum yang diuraikan dalam Kel 20-23. Suatu ritus liturgi menjadi konteks bagi pengucapan janji sumpah: persembahan korban di altar di tempat suci (Kel 24:4-5) dengan menyerukan nama Tuhan (Kel 24:7-8).

 III. BERBAGAI KATEGORI PERJANJIAN

Perjanjian-perjanjian dapat dikelompokkan menjadi dua kategori menurut  status pihak-pihak yang mengadakan perjanjian: perjanjian “manusiawi” adalah di antara pihak-pihak yang sesama manusia, dan perjanjian “ilahi” karena Allah menjadi salah satu pihak di dalamnya.

      Perjanjian-perjanjian juga dapat dibuat kategorisasinya berdasarkan pihak yang sesungguhnya mengucapkan janji sumpah yang menetapkan perjanjian.

      Jika kedua pihak mengucapkan janji sumpah perjanjian, maka terjadilah suatu perjanjian “puak” (atau “kesetaraan”). Jenis perjanjian ini disebut “puak” karena ikatan perjanjian yang bersifat kekeluargaan tampak sebagai latar-depan hubungan, bukan menempatkan salah satu pihak di bawah pihak yang lain. Pengucapan janji sumpah timbal balik menunjukkan bahwa kedua belah pihak menerima tanggungjawab untuk menaati ketetapan-ketetapan wajib dari perjanjian, menghasilkan suatu hubungan setara atau setidaknya timbal balik di antara kedua belah pihak. Beberapa jenis perjanjian puak di dalam Kitab Suci mencakup acara jamuan makan kekeluargaan di dalam rangka ritual pengikatan perjanjian (Kej 26:30; 31:54; Kel 24:11).

      Jika hanya pihak yang lebih rendah saja yang mengucapkan janji sumpah, maka berlaku perjanjian jenis “vasal”. Dalam situasi ini pihak yang lebih tinggi kedudukannya memaksakan suatu ikatan perjanjian pada yang lebih rendah, yang biasanya adalah budak yang suka memberontak. Contoh-contoh perjanjian jenis vasal dari Timur Dekat Kuno meliputi Perjanjian Vasal Esarhadon (Raja Asyur 681-669 SM) yang terkenal, di mana Esarhadon memaksa raja-raja bawahan yang kurang bisa dipercaya untuk menjamin kesetiaan mereka kepada pewarisnya, Asurbanipal. Contoh Kitab Suci meliputi perjanjian sunat dalam Kej 17, di mana hanya Abraham yang melakukan ritus sumpah perjanjian (yaitu sunat); dan perjanjian dalam Kitab Ulangan, di mana hanya bangsa Israel yang melakukan kutuk-diri (yaitu sumpah) demi memenuhi kewajiban perjanjian (Ul 27:11-26; Yos 8:30-35).

      Jika pihak yang lebih tinggi saja yang mengucapkan janji sumpah, ia membuat perjanjian jenis “anugerah” kepada pihak yang lebih rendah. Perjanjian “anugerah” ini sering digunakan oleh raja-raja Timur Dekat Kuno dalam rangka memberi pahala kepada hamba-hamba yang setia, seringnya dengan memberikan sebidang tanah raja (dari sinilah asalnya istilah “grant” atau “anugerah”) untuk selamanya. Dalam bentuk perjanjian ini pihak yang lebih tinggi menanggung seluruh tanggungjawab pemeliharaan perjanjian, dengan mengingat jasa-jasa pihak yang lebih rendah di masa lalu. Contoh Kitab Suci untuk jenis ini adalah bentuk terakhir dari perjanjian Abraham (lihat Kej 22:15-18) dan perjanjian Daud, terutama yang dipaparkan dalam Mzm 89:3-37.

 III. PERJANJIAN MANUSIA DI ZAMAN KUNO DAN DALAM KITAB SUCI

Arkeologi Timur Dekat Kuno menghasilkan kejelasan atas beberapa teks perjanjian dari kalangan di luar Israel. Ada dua koleksi yang lebih besar dari teks-teks ini yaitu Perjanjian Sukubangsa Het dan Perjanjian Vasal Esarhadon yang sudah disebut di depan. Perjanjian-perjanjian Sukubangsa Het berasal dari milenium kedua SM dan terdiri dari perjanjian-perjanjian antara raja negeri Heti (sekarang Turki) dengan raja-raja dari bangsa-bangsa lain di sekelilingnya, yang fungsinya serupa dengan perjanjian internasional di zaman kuno. Teks-teks perjanjian ini umumnya mengikuti suatu struktur umum, yang juga jelas dari Kitab Ulangan:

(1). Pembukaan (1:1-5)

(2). Prolog Historis (1:6-4:49)

(3). Ketentuan-ketentuan (5:1-26:19)

(4). Berkat dan Kutuk (27:1-30:20)

(5). Ketentuan tentang Penyimpanan dan Pembacaan (31:1-34:12)

      Beberapa ahli menunjukkan keserupaan struktur di antara Kitab Ulangan dan Perjanjian Het sebagai argumen untuk memastikan bahwa Kitab Ulangan ditulis pada milenium kedua SM (konsisten dengan pendapat bahwa Musa adalah penulisnya), sebab perjanjian kuno dari Timur Dekat yang berasal dari milenium pertama SM tidak mengikuti struktur yang sama. Perjanjian Vasal Esarhadon (abad kedelapan SM) misalnya, menghilangkan prolog historis dan berkat. Perjanjian yang keras yang dipaksakan oleh Esarhadon kepada raja-raja bawahan itu sangat luar biasa panjangnya dan penuh dengan daftar kutuk aneka macam, yang sebagian mirip-mirip dengan Ul 28:15-68.

      Sejumlah perjanjian di antara dua pihak sesama manusia direkam dalam Kitab Suci; Antara Abraham dan Abimelekh (Kej 2:22-33), Ishak dan Abimelekh (Kej 26:26-33), Yakub dan Laban (Kej 31:43-54), suku Israel dan suku Gibeon (Yos 9:15), Daud dan Yonatan (1 Sam 18:1-4; 20:8), Ahab dan Benhadad (1 Raj 20:32-34); Yoyada dan para pengawal istana (2 Raj 11:4), dan lain-lain. Berbagai perjanjian antar sesama manusia yang terdapat dalam Kitab Suci ini menunjukkan penggunaan perjanjian secara luas di dalam masyarakat kuno dalam kurun masa yang panjang. Perjanjian-perjanjian ini membentuk ikatan-ikatan suci yang tidak boleh dilanggar tanpa mendatangkan sanksi kutuk, sekalipun perjanjian itu diikat dengan sikap pura-pura atau dusta (Yos 9:19; Yeh 17:11-21).

 V. PERJANJIAN ILAHI DALAM KITAB SUCI

Bangsa Israel adalah unik di antara bangsa-bangsa kuno yang percaya bahwa Allah telah mengadakan perjanjian dengan mereka dan dengan para leluhur mereka. Kitab Suci disusun menurut tata rangkaian perjanjian-perjanjian ilahi yang diadakan antara Tuhan dan manusia, melalui perantaraan pribadi-pribadi yang berbeda: Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan akhirnya Yesus Kristus.

      Sekalipun narasi Penciptaan (Kej 1-3) tidak menggunakan kata “penjanjian” (bahasa Ibrani berit), di sana ada indikasi secara implisit dan tidak langsung bahwa terjadi perjanjian antara Allah dan ciptaan, dengan Adam sebagai pengantara: (1) cerita penciptaan memuncak pada Sabat, yang adalah “tanda” perjanjian di tempat lain (Kel 31:12-17); (2) dalam Kej 6:18 kata kerja yang dipakai dalam pengikatan perjanjian dengan Nuh tidak lazim bagi permulaan  (Ibrani karat) perjanjian, tetapi suatu istilah yang menunjukkan pemeliharaan atau pembaruan perjanjian yang sudah ada (Ibrani heqim). Kemiripan bahasa antara Kej 6 dan Kej 1 menunjukkan bahwa perjanjian yang sedang “diperbarui” dengan Nuh adalah perjanjian yang ada dalam kisah pencptaan; (3) Dalam Hos 6:7 sang nabi membandingkan Israel dengan Adam dalam hal ketidaksetiaan pada perjanjian “Seperti Adam mereka telah melanggar perjanjian” (versi terjemahan Indonesia baik pada Alk maupun KKK bunyinya agak lain, “Adam” terasa punya konotasi tempat setelah kata depan “di”; bdk Like Adam they transgressed the covenant [Versi Kitab Suci yang digunakan pengarang]; Like Adam they have broken the covenant [NIV]; But they like men have transgressed the covenant [KJV]; But they, like Adam, have transgressed the covenant [Douay-Rheims]).

      Penciptaan atau Perjanjian Adam mengikat Allah dengan Adam, yang statusnya adalah Anak Allah (bdk Kej 1:26-27; 5:1) dan wakil penguasa ciptaan (Kej 1:28). Syarat perjanjian adalah larangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej 2:16-17); kutuk yang terkait adalah kematian (Kej 2:17).

      Adam dan Hawa di kemudian hari melanggar perjanjian dan mendatangkan maut dalam sejarah umat manusia (bdk Kej 4:8) dan memulai siklus dosa yang akhirnya menentukan perlunya pembersihan dunia dengan Air Bah. Sesudah Air Bah itu perjanjian penciptaan yang asli diperbarui dengan Nuh (Kej 9:1-17), walaupun dengan beberapa perubahan: hubungan damai tenteram yang pernah ada di antara manusia dengan alam sudah rusak (bdk Kej 1:29-30; 9:2-6).

      Allah memulai proses penebusan manusia dengan Abraham, penerima perjanjian yang menjadi contoh paling utama dalam Perjanjian Lama. Setidaknya Tuhan membuat dua perjanjian dengan Abraham dalam Kej 15:1-21 dan 17:1-27. Selain itu, dalam terang hubungan erat antara “janji-sumpah” dan “perjanjian (lih Kej 21:31-32; Yeh 17:13-19), tampaknya sumpah ilahi dalam Kej 22:15-18 juga menetapkan perjanjian dengan Abraham. Seluruh perjanjian ini harus dipandang berkembang, yang baru didasarkan pada yang terdahulu.

      Kej 15 menetapkan perjanjian awal antara Abraham dengan Tuhan, meneguhkan janji awal bahwa Abraham akan menjadi suatu “bangsa yang besar” (Kej 12:2). Janji dalam perjanjian Kej 15 meliputi anugerah keturunan yang tak terbilang banyaknya kepada Abraham dan suatu negeri yang akan menjadi tanah air mereka sendiri, unsur-unsur yang penting untuk suatu bangsa yang besar.

      Kej 17 menambah perjanjian yang terdahulu dengan Abraham, termasuk suatu janji mengenai kerajaan bagi keturunan Abraham (Kej 17:6), dan harapan bahwa Abraham bukan hanya menjadi satu bangsa saja melainkan “banyak bangsa-bangsa” (Kej 17:5-6). Juga diungkapkan sebagai ikatan untuk pertama kalinya kewajiban perjanjian berupa sunat (Kej 17:9-14).

      Dalam Kej 22, sesudah nyaris dikorbankannya “putera tunggal” (Ibrani: yahid) Abraham Ishak yang sedemikian kuat membayangkan korban Kalvari, Tuhan mengucapkan janji sumpah perjanjian kepada Abraham menegaskan kembali janji-janji yang terdahulu tetapi juga mengukuhkan janji berkat bagi segala bangsa melalui keturunan Abraham (Kej 22:18), suatu janji yang diberikan sebelumnya dalam Kej 12:3 namun belum termasuk sebagai ketetapan perjanjian baik di dalam Kej 15 maupun Kej 17. Dalam Kej 22:15-18 perjanjian Abraham mencapai bentuk akhirnya.

      Selebihnya, perjanjian ilahi yang tercatat di dalam Kitab Suci didasarkan pada perjanjian Abraham. Kitab Keluaran mencatat kepergian keturunan Abraham meninggalkan Mesir dan pertemuan mereka di kaki Gunung Sinai untuk menerima perjanjian dari Tuhan melalui Musa. Perjanjian ini mengandung potensi pemenuhan janji yang telah disampaikan kepada Abraham sehubungan dengan bangsa yang besar, kerajaan, dan berkat bagi bangsa-bangsa. Keturunan Abraham telah berlipat ganda banyak sekali, tanah Kanaan terbentang di hadapan mereka, dan mereka akan menerima suatu hukum pembentuk, sebagaimana adanya, undang-undang dasar mereka sebagai suatu entitas politik, suatu ”bangsa yang besar”. Selain itu, janji yang mendahului turunnya perjanjian Sinai (atau perjanjian Musa) ini menyatakan bahwa ketaatan pada perjanjian akan membuat Israel mempunyai status sebagai “imamat rajawi” (dalam bahasa Ibrani mamleket kohanim; Kel 19:6) yaitu suatu bangsa imam-imam raja, memenuhi janji dalam Kej 17 (“raja-raja akan berasal darimu”) dan dalam Kej 22:18 yang menyangkut berkat bagi bangsa-bangsa, sebab salah satu fungsi utama imam adalah memberikan berkat (bdk Bil 6:22-27).

      Sayangnya, pemenuhan janji dari perjanjian Abraham ini tidak terlaksana di bawah perjanjian Musa, karena segera terjadi pelanggaran perjanjian dengan dibuatnya patung anak lembu jantan dari emas (Kel 32). Insiden itu menentukan perlunya pengulangan pembuatan perjanjian Musa kembali (Kel 34:1-35) di mana imamat umum anak sulung bangsa Israel dipindahkan kepada suku Lewi (Kel 32:27-27-29; Bil 3:5-51) dan ada banyak lagi tambahan hukum lainnya (Kel 35-Im 27). Pemberontakan lain yang terjadi di padang gurun (Bil 11, 12, 14, 16, 17), terutama penyembahan berhala dan perzinahan di Betpeor (Bil 2) sekali lagi menyebabkan pengulangan pembuatan perjanjian Musa yang dilukiskan dalam Kitab Ulangan. Ditetapkan di Betpeor di Dataran Moab (Ul 1:5; 3:29; 4:44-46) hampir empat puluh tahun sesudah peristiwa Sinai, perjanjian Ulangan (Deuteronomi) jelas merupakan suatu perjanjian yang berbeda yang meningkatkan perjanjian yang terdahulu dan yang yang diperbarui di Sinai (juga disebut Horeb, lihat Ul 29:1). Untuk yang pertama kalinya hukum yang diberikan kepada Israel emngizinkan adanya raja manusia (Ul 17:14-20), perang total (Ul 20:16-18), dan perceraian (Ul 24:1-4). Yesus nantinya akan menunjukkan bahwa setidaknya beberapa dari ketetapan perjanjian ini tidak bersifat ilahi melainkan suatu kelonggaran untuk ketegaran hati bangsa Israel (Mat 19:8-9).

      Catatan sejarah Israel berikutnya di bawah perjanjian Musa belang-belang, tetapi rencana Tuhan bagi umatNya memuncak di bawah Daud dan awal pemerintahan Salomo (2 Sam 5 – 1 Raj 10). Daud mempersatukan bangsa di bawah suatu pemerintahan pusat yang kuat di ibu negerinya di Yerusalem (2 Sam 5) dan membuat ibadat yang benar kepada Tuhan sebagai prioritas nasional (2 Sam 6-7). Tuhan menganugerahkan kepada Daud suatu perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam 2 Sam 7:5-16, kendati kata “perjanjian”  baru tampil belakangan sebagai rujukan pada peristiwa itu (2 Sam 23:5; Mzm 89:19-37, 132:1-18; Yes 55:3; 2 Taw 13:5; 21:7; Yer 33:20-22). Istilah perjanjian ini menjadikan Daud dan pewarisnya anak-anak Allah (2 Sam 7:14; Mzm 89:26-27) dan raja-raja yang tinggi di bumi (Mzm 89:27; 2:6-9) yang pemerintahannya tak akan berakhir (2 Sam 7:13.16) dan yang akan membangun Rumah Allah – yaitu Bait Allah (2 Sam 7:13).

      Sesudah periode kemuliaan yang singkat di bawah Salomo, dalam mana janji-janji Allah tampaknya akan terpenuhi (1 Raj 4-10), kerajaan Daud memasuki periode kemerostan yang panjang, mulai dari pembagian Israel menjadi sepuluh kawasan suku-suku di utara dan selatan Yehuda (2 Raj 12). Dalam situasi umat Allah yang terbelah-belah itu para nabi menyerukan akan datangnya suatu perjanjian baru (Yer 31:31; bdk Yes 55:1-3; 59:20-21; 61:8-9; Yeh 34:25; 37:26) yang akan berbeda dari perjanjian Musa yang gagal (Yer 31:32; bdk Yeh 20:23-28; Yes 61:3-4). Serentak dengan itu, perjanjian Daud akan diperbarui (Yer 33:14-26; Yes 9, 11, 55:3; Yeh 37:15-28).

      Injil-injil, terutama Matius dan Lukas, dengan jelas menggambarkan Yesus sebagai Putera (pewaris) Daud dan dengan demikian yang akan memulihkan perjanjian Daud (Mat 1:1-25; Luk 1:31-33.69; 2:4). Pada Perjamuan Terakhir, secara eksplisit Yesus menyatakan tubuh dan darahNya sebagai Perjanjian Baru (Luk 22:20; 1 Kor 11:25) yang dijanjikan oleh para nabi (Yer 31:31), sehingga jelas-jelas memenuhi janji Yesaya bahwa Hamba Tuhan tidak hanya membuat suatu perjanjian tetapi menjadi suatu perjanjian (Yes 42:6; 49:8). Menurut Surat Ibrani, Perjanjian Baru lebih unggul daripada yang lama (yaitu perjanjian Musa) karena dibuat oleh pengantara yang lebih baik (Kristus versus imam agung; Ibr 8:6; 9:25); didasarkan atas persembahan yang lebih baik (darah Kristus versus darah binatang; Ibr 9:12.23), di tempat suci yang lebih baik (surga sendiri versus kemah duniawi; Ibr 9:11.24).

      Karena Perjanjian Baru jauh lebih unggul daripada perjanjian Musa, ia memulihkan dan menyempurnakan perjanjian Daud. Yesus Kristus adalah Putera Daud yang akan memerintah selamanya dari Sion surgawi (Ibr 12:22-24) dan menyatakan pemerintahanNya atas Israel dan segala bangsa (Mat 28:18-20) melalui menteri utama, Petrus (bdk Mat 16:18-19; Yes 22:15-22, terutama 22) dan pejabat-pejabat lainnya, para rasul (Luk 22:32; Mat 19:28; bdk 1 Raj 4:7). Demikianlah Yakobus memandang pertumbuhan Gereja di antara bangsa Yahudi dan Bangsa-bangsa lain sebagai pemenuhan nubuat Amos bahwa Allah akan memulihkan ”kemah” yang rubuh (yaitu kerajaan) dari Daud (Kis 15:13-18; bdk Am 9:11-12).

      Perjanjian Baru meliputi pemenuhan perjanjian-perjanjian yang lain dalam sejarah keselamatan juga. Maka Yesus adalah seorang Adam yang baru (Rm 5:12-19) yang membuat kita ciptaan yang baru (2 Kor 5:17; Gal 6:15). Ia memenuhi semua janji-janji yang diberikan kepada Abraham (Luk 1:68-75, terutama 72-73), termasuk menjadi bangsa yang besar (Gereja; 1 Ptr 2:9); pemerintahan raja (Why 19:16), bapa segala bangsa (Rm 4:16-18) dan berkat bagi bangsa-bangsa dialami dalam pencurahan Roh Kudus kepada semua orang (Kis 3:25-26; Gal 3:6-9. 4-18). Bahkan perjanjian Musa, yang dalam bagian tertentu telah diubah (Gal 3:19-25), pada dasarnya juga terpenuhi oleh Perjanjian Baru yang menganugerahkan kepada kaum beriman kuasa Roh Kudus untuk memenuhi inti Hukum Musa, yaitu perintah kasih kepada Allah dan kepada sesama (Rm 8:3-4; 13:8-10; Mat 5:17; 22:37-40).

 

VI. TERJEMAHAN ISTILAH PERJANJIAN

Kata yang digunakan untuk “perjanjian” dalam Perjanjian Lama adalah kata Ibrani berit. Terjemahan Yunani kuno Perjanjian Lama, Septuaginta, secara konsisten mengalihbahasakan istilah berit itu dengan kata [Yunani] diatheke. Tetapi karena banyak pengarang Yunani klasik menggunakan kata diatheke merujuk kepada suatu “testament” (bhs Inggris a will. Bahasa Indonesia wasiat), maka beberapa terjemahan Inggris lama semisal King James Version menterjemahkan diatheke sebagai “testament”, a will, wasiat, dalam beberapa ayat. Beberapa terjemahan baru sudah memerbaiki kesalahan ini, namun ada beberapa yang tidak (misalnya RSV, NIV). Misalnya, Ibr 9:15-17 lalu diterjemahkan [dalam bahasa Inggris dan turun ke dalam bahasa Indonesia, baik Alk maupun KKK] sbb:

15. Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian (diatheke) yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian (diatheke) yang pertama. 16. Sebab di mana ada wasiat (diatheke), di situ harus diberitahukan tentang kematian pembuat wasiat (diatheke) itu. 17. Karena suatu wasiat (diatheke) barulah sah, kalau pembuat wasiat (diatheke) itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pembuat wasiat (diatheke) itu masih hidup.

 

Kata diatheke diterjemahkan sebagai “perjanjian” dalam ayat 15, tetapi kemudian diterjemahkan sebagai “wasiat” dalam ayat 16 dan 17. Banyak orang mengira pengarang berganti menggunakan makna klasik diatheke dalam ayat-ayat 16-17, sehingga percakapan berkisar pada pelaksanaan suatu wasiat dengan kematian seseorang. Tetapi, tampaknya pengarang surat Ibrani tetap memaksudkan “diatheke” itu sebagai “perjanjian”, juga dalam ayat 16-17. Perjanjian yang dibahas adalah perjanjian Sinai yang dilanggar, yang menuntut kematian orang-orang Israel menurut ritus kutuk diri menurut Kel 24:8 (lih Kel 32:9-10). [Dalam terjemahan KJV dan Douay-Rheims (yang bersumber dari Vulgata) semua kata diatheke seluruhnya diterjemahkan menjadi testament sekalipun konotasi dalam ayat 16-17 menjadi wasiat]. Maka bahasa Yunani dari kalimat-kalimat ayat 16-17 itu sebaiknya diterjemahkan sbb:

16. Sebab di mana perjanjian (diatheke) dilanggar, di situ dituntut kematian pembuat perjanjian (diatheke) itu. 17. Karena suatu perjanjian (diatheke) yang dilanggar, baru berlaku kembali kalau pembuat perjanjian (diatheke) yang melanggar itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pelanggar perjanjian (diatheke) itu masih hidup.

 

      Pengarang Surat Ibrani menekankan bahwa pelanggaran perjanjian Sinai menuntut kematian bangsa Israel (Kel 32:9-10), sebab mereka mengucapkan kutuk mati bagi diri mereka sendiri dalam upacara pengikatan perjanjian itu (Kel 24:8). Kutuk kematian itu belum ditunaikan ketika bangsa Israel berpaling dari Tuhan dan beribadat pada anak lembu emas (Kel 32:14) tetapi akhirnya ditunaikan oleh Kristus sendiri atas nama Israel (Ibr 9:15).

      Persoalan serupa tampak dalam Gal 3:15: “Saudara-saudara, baiklah kupergunakan suatu contoh dari hidup sehari-hari. Suatu wasiat (diatheke) yang telah disahkan, sekalipun ia dari manusia, tidak dapat dibatalkan atau ditambahi oleh seorangpun.” [Versi Alk; kurang lebih sama konotasinya dengan versi KKK].

      Di sini malah sangat lemah alasan untuk menerjemahkan diatheke sebagai “wasiat”. Di dalam konteks Gal 3:15-18, Paulus membahas sifat tetap dari perjanjian-perjanjian. Jika perjanjian manusia saja tidak dapat diubah sesudah disepakati (Gal 3:15; bdk Yos 9:18-20), apalagi perjanjian ilahi (Gal 3:17). Tuhan tidak mengubah perjanjianNya dengan Abraham (Kej 22:15-18) untuk memberikan berkat kepada bangsa-bangsa melalui keturunan Abraham (Kej 22:18; bdk Gal 3:14) dengan menambahkan Hukum Musa sebagai syarat empat ratus tahun kemudian (Gal 3:17-18). Perubahan perjanjian setelah diratifikasi tidak diperbolehkan menurut keadilan manusia, apalagi dalam kerangka ilahi.

      Ringkasnya, semua kata diatheke dalam Perjanjian Baru sebaiknya dan seharusnya diterjemahkan menjadi “perjanjian” seturut contoh Septuaginta.



Perjanjian (2)

Terjemahan dari bahasa Inggris Testament. Nama yang diberikan kepada dua bagian utama Kitab Suci Kristen. Asalnya dari istilah Latin Testamentum, yang pada dasarnya sama dengan “covenant” (Perjanjian). Penyebutan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagian diilhami oleh Paulus yang membedakan “perjanjian baru” dari “perjanjian lama” dalam 2 Kor 3:6.14. Kitab Suci bahasa Latin Vulgata kemudian menggunakan ungkapan ini masing-masing novum testamentum (perjanjian baru) dan vetus testamentum (perjanjian lama).

      PL merupakan himpunan empat puluh enam kitab, ditulis terutama dalam bahasa Ibrani, meliputi bentang sejarah keselamatan mulai dari penciptaan hingga menjelang masa Mesias. PB merupkan himpunan dua puluh tujuh kitab yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Yunani yang mengemukakan puncak sejarah keselamatan dalam Kristus dan pertumbuhan Gereja dalam abad pertama Masehi.

      Konsili Vatikan II di dalam Konstitusi mengenai Wahyu Ilahi, Dei Verbum, menyatakan PL sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Kitab Suci, dengan kitab-kitab yang diilhami ilahi sehingga mempunyai nilai yang tetap: “Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus, Penebus seluruh dunia, serta Kerajaan al Masih, dan mewartakannya dengan nubuat-nubuat” (DV 15). Selain itu kitab-kitab PL “yang mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, mencantumkan ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri-hidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkian, akhirnya secara terselubung mengemban di dalamnya misteri keselamatan kita” (DV 15). Mengenai PB, Dei Verbum menyatakan, “Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman, disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru” (DV 17).

            Menurut Gereja, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersama-sama membawa kesaksian mengenai rencana ilahi untuk keselamatan yang satu (bdk 1 Kor 10:6.11; Ibr 10:1; 1 Ptr 3:21). Dengan demikian jemaat Kristen membaca PL sebagai persiapan jalan bagi Yesus Kristus, dan PB dibaca sebagai pemenuhan lengkap PL. Santo Agustinus meringkas hal ini dalam kata-kata yang tak terlupakan, “Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru” (St Agustinus, Quaest. Hept. 2.73; bdk DV 16) (KGK 121-130) 

Kamis, 19 Januari 2023

ORANG TERTUA DI DUNIA WAFAT




Selasa, 17 Januari 2023 seorang suster Prancis yang dianggap orang tertua di dunia saat ini wafat pada usia 118 tahun 340 hari. Dia adalah Suster Andre (nama lahir Lucile Randon). Wafat di wisma purnakarya di Toulon, Prancis, menjelang perayaan ulang tahunnya yang ke 119. Ia dilahirkan pada 11 Februari 1904. Ia seorang anggota tarekat Putri Kasih / Daughter of Charity (PK/DC). Ia pensiun dari karya pada usia 75 tahun pada tahun 1979 dan tinggal di rumah tua di Savoie. Lalu pada usia 105 tahun ia dipindah ke Toulon 25 Oktober 2009.

Pada 2019 Suster Andre dinyatakan sebagai warga kehormatan di Toulon, mendapat surat pribadi dan sebuah rosario dari Paus Fransiskus. 

Kendati usia tua, pada Februari 2021 Suster Andre yang positif terinfeksi Covid-19 sembuh setelah 3 minggu.

Guinness World Records menyatakan Suster Andre orang tertua di dunia sesudah Kane Tanaka dari Jepang meninggal bulan April 2022 pada usia 119-tahun.

Pada ulang tahunnya yang ke 118 pada tahun 2022 Suster Andre menerima surat pribadi dari Presiden Prancis Emmanuel Macron. 

Atas wafatnya penduduk Toulon berduka cita bersama Walikota Toulon yang sering mengunjungi Suster Andre.



Suster Andre sehari-hari menggunakan kursi roda, buta dan agak tuli, namun suka coklat dan minum segelas anggur tiap hari.

Sebelum Perang Dunia II Suster Andre seorang guru sekolah. Setelah Perang Dunia II ia bekerja melayani anak-anak yatim piatu dan di panti jompo selama 28 tahun di Vichy.

Sepeninggal Sster Andre, orang tertua di dunia yang masih hidup menurut catatan The Gerontology Research Group adalah wanita Spanyol kelahiran Amerika  Maria Branyas Morera, yang berusia 115 tahun. (Lahir 4 Maret 1907). 

Rekor orang tertua di dunia menurut catatan Guinnes Record of the World masih dipegang wanita Prancis Jeanne Louise Calment yang meninggal pada usia 122 tahun 164 hari pada tahun 1997.


GEOGRAFI INJIL HARI INI MRK 3:7-12

 Galilea

Bahasa Ibrani, artinya mungkin “distrik, wilayah.”

Suatu kawasan di Palestina utara yang berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah barat, Sungai Yordan dan Laut Galilea di sebelah timur, dataran Esdralon di sebelah selatan, dan Nahr el-Qasimiyeh di sebelah utara. Keadaan geografisnya beraneka ragam. Pegunungan Lebanon terentang sampai di bagian utara Galilea, dengan kawasan bukit-bukit karang yang terjal, sementara Galilea selatan adalah bukit-bukit landai dan dataran subur.

      Pada masa penaklukan Kanaan, Galilea mempunyai sejumlah kota suku Kanaan yang dominan. Setelah penaklukan (Yos 11), kawasan itu dibagi-bagi di antara suku-suku Zebulon, Naftali, Asyer dan Isakhar (Yos 19:10-30). Pada masa Salomo, kawasan itu relatif tidak penting sehingga Salomo memberikan kepada Hiram dari Tirus dua puluh dari kota-kotanya untuk pembayaran bahan material yang digunakan dalam pembangunan Bait Allah di Yerusalem (1 Raj 9:10-13). Kawasan itu direbut oleh Tiglat-pileser III dari Asyur sekitar 732 AM dan dijadikan bagian dari provinsi-provinsi Asyur (2 Raj 15:29). Hubungan Galilea dengan bangsa-bangsa lain diperhatikan oleh Yesaya (Yes 9:1), tetapi di sana tinggal orang-orang Israel di sepanjang masa Kitab Suci (1 Mak 5:14-23). Galilea di kemudian hari menjadi bagian dari wilayah tetrarka Herodes Antipas (Luk 3:1; 13:31).

      Galilea dikenang sebagai medan untuk sebagian besar karya Yesus. Dia dibesarkan di Nazaret, sebuah kota di Galilea, dan para rasul (selain Yudat Iskariot) adalah orang-orang Galilea. Sejumlah kota di Galilea disebutkan dalam Perjanjian Baru, termasuk Kana, Kapernaum, Nazaret dan Tiberias. Dalam masa Perjanjian Baru, orang Yahudi Galilea tidak begitu dihargai oleh sesamanya di Yerusalem dan Yudea (Yoh 1:46; 7:52), mungkin karena banyaknya bangsa-bangsa lain yang lama menetap di Galilea (bdk Mat 4:15) dan karena jarak  antara Galilea dan Yerusalem. Di luar Injil, Galilea hanya  disebutkan di dalam Kisah Para Rasul (Kis 9:31).

Galilea, Danau/Laut

Danau Galilea adalah danu air tawar yang terbesar di Palestina (Mat 4:18; Mrk 7:31; Yoh 5:1). Bagian dari sistem aliran Sungai Yordan di Lembah Karang Besr yang memisahkan Galilea dari Golan dan Dekapolis. Banyak nama digunakan untuknya. Dalam Perjanjian Lama danau itu disebut Kinerot (Bil 34:11; Yos 12:3;13:27; berasal dari bahasa Ibrani untuk ”lira”). Sejarawan Yosephus menyebutnya “danau Genasar” (BJ 2.573; 3.463,506,515-516; Ant 5.84; 13.158;18.28,36). Dalam Perjanjian Baru Lukas menggunakan sebutan Danau Genasaret (Luk 5:1; bdk 1 Mak 11:67) atau hanya “danau” saja (Luk 5:2; 8:22.23.33). Markus dan Matius juga menggunakan kata ”danau”, tetapi mereka sering menggunakan kata ”laut” dan “laut Galilea” (Mrk 1:16;  7:31; Mat 4:18; 15:34). Yohanes menyebut “Laut Galilea, yang adalah Laut Tiberias” (Yoh 6:1).

            Panjang Laut Galilea sekitar 14,5 kilometer dan lebarnya delapan kilometer, dengan kedalaman lebih dari 245 meter di bawah permukaan laut. Terkenal banyak ikannya sehingga pekerjaan sehubungan dengan menangkap dan berdagang ikan vital dan aktif di sana, dan dilakukan sebelumnya oleh beberapa rasul (lihat misalnya Mat 4:18-22; Luk 5:1-11). Laut Galilea juga terkenal dengan badai yang datang mendadak dan keras (Mat 8:24). Kebanyakan karya Yesus dilaksanakan di dekitar Laut |Galilea dan beberapa mujizat terjadi di sana, termasuk berjalan di air (Mat 14:21-33; M|rk 6:45-52 dan meredakan badai (Mat 5:23-27; Mrk 35-41; Luk 8:22-25). 



Idumea, dulunya Edom

Edom. Bahasa Ibrani, artinya “merah”. Nama suatu kawasan yang terbentang dari sebelah selatan dan timur Laut Mati hingga ke Teluk Aqaba. Penduduknya adalah suku Edom. Mereka digambarkan sebagai keturunan Esau, putera sulung Yakub (Kej 25:30; 32:4; 36:1; 1 Taw 1:35). Para ahli arkeologi melacak asal-usul suku Edom sampai pada suku-suku Semit yang menetap, yang bermigrasi ke tempat itu pada abad ketigabelas SM. Tampaknya rakyat di kawasan Edom terbagi dalam dua belas suku (Kej 36:20-30) di bawah seorang ketua besar, walaupun mereka mempunyai seorang raja, sebelum kedatangan bangsa Israel (Kej 36:31). 

      Suku Edom tidak mau memberi jalan lewat bagi suku-suku Israel dalam perjalanan mereka menuju Tanah Terjanji (Bil 20:14-21) sehingga mereka terpaksa jalan memutar di sekeliling kawasan Edom. Pada kesempatan lain, mereka memberi izin lewat kepada suku-suku Israel dan Musa dilarang  Allah menyerang suku Edom (Ul 2:4-8; Bil 21:4). Namun, orang Edom tidak termasuk anggota umat Allah (Ul 23:8). 

      Lokasi Edom berada di jalan utama perdagangan, dan mereka menguasai Jalan Raya Raja yang merupakan lalu-lintas perdagangan di antara Arabia dan Siria. Karena itu kawasan Edom sangat penting secara ekonomis dan strategis (Bil 20:17). Berulangkali Edom dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tetangga. Saul menglahkan suku-suku Edom, tetapi secara resmi mereka ditaklukkan di bawah Daud (2 Sam 8:14). Edom tetap membayar upeti kepada Yehuda sampai pada masa Raja Yoram dari Yehuda (849-842 SM; 2 Raj 8:20-22). Di bawah Amazia (800-783 SM) dan Uziah (783-742 SM), Edom kembali lagi di bawah kuasa Yehuda (2 Raj 14:7.22). Edom berhasil memeroleh kemerdekaan pada masa Ahas dari Yehuda (2 Raj 16:6), tetapi kemudian jatuh di bawah kekuasaan Asyur. 

      Suku Edom membantu Nebukadnezar berperang melawan Yerusalem (587 SM) dan merayakan jatuhnya Yehuda (Mzm 137:7; Rat 4:21-22; bdk Am 1:11-12; Yes 11:14; 21:11.12; 34: 2-17; Yer 49:7-22). Kota-kota Edom kemudian ditaklukkan oleh Yohanes Hirkanus I pada tahun 129 SM yang memaksa penduduk yang bukan-Yahudi agar disunat (1 Mak 4:36-59; 2 Mak 10:1-8). Dalam abad pertama SM Idumea (Edom yang berbahasa Yunani) berada di bawah kekuasaan Dinasti Hasmona, dan kasawan itu meluas dari daerah perbukitan di selatan Yudea, sebelah selatan Bet-zur, hingga perbatasan Negeb. 

      Dengan reorganisasi politik besar-besaran yang dilancarkan oleh Pompeyus di Palestina pada tahun 63 SM, Idumea menjadi bagian dari Provinsi Roma di Siria, namun tetap berada di tangan keluarga Hasmona. Dengan demikian Edom memberikan dasar politik bagi bangkitnya Herodes Agung dan peningkatan wibawa secara berangsunr-angsur dari keturunan Herodes. Setelah Herodes Agung mati pada tahun 4 SM, Kaisar Augustus memberikan Idumea kepada tetrarka Arkhelaus, namun kemudian Idumea jatuh ke tangan Herodes Agripa I sejak tahun 41-44 dan kemudian di bawah kekuasaan Roma sepenuhnya, sebagai bagian dari Provinsi Siria. 


Tirus dan Sidon  

Tirus salah satu kota pelabuhan utama di pantai Punisia. Tirus terletak di sebelah selatan Sidon, dan di sebelah utara Ako. Sebagian dari kota itu merupakan pulau lepas pantai, dan sebagian lagi berada di daratan. Kota itu didiami penduduk sejak milenium ketiga SM dan merupakan salah satu kota dan pelabuhan terbesar pada milenium pertama SM.

      Sesudah gelombang serangan asing pada akhir milenium kedua yang menghancurkan Sidon, Tirus muncul sebagai pelabuhan utama Punisia dan disebut “Puteri Sidon” (Yes 23:12) karena ada begitu banyak pelarian dari Sidon berlindung di balik tembok-tembok kota. Benteng Tirus terkenal di seluruh Palestina (Yos 19:29; 2 Sam 24:7). Puncak kejayaan Tirus tercapai pada abad ke sepuluh SM pada masa pemerintahan Hiram I (sekitar 980-947 SM). Pada masa itulah Daud dan Hiram menjalin hubungan yang sangat erat dalam politik dan perdagangan. Hiram mengirim kayu aras dan pekerja untuk membantu pembangunan istana Daud (2 Sam 5:11).

      Salomo melanjutkan hubungan baik itu dan membuat suatu kontrak dengan Hiram untuk pembangunan Bait Allah di Yerusalem (1 Raj 5:1-12; 2 Taw 2:1-16). Kedua raja itu juga melakukan kerjasama perdagangan luar negeri melalui Ezion-geber di Teluk Aqaba ke Ofir (1 Raj 9:26-28; 10:11-12; 2 Taw 8:17-18; 9:10-11), karena Tirus  besar wibawanya dan pengaruhnya dalam bidang maritim (Yes 23:8; Yeh 27:1-4). Kapal-kapal orang Tirus mengunjungi pelabuhan-pelabuhan asing dn melakukan perdagangan antara lain kaca dan bahan-bahan warna yang terkenal, yang disebut warna Tirus (lihat Pewarnaan). Hiram membangun suatu jalan yang menghubungkan bagian pulau dan daratan kotanya, memugar kuil-kuil dan meluaskan wilayah kekuasaan Tirus melalui politik kolonisasi yang agresif. Kemudian, pada abad kesembilan SM, Etbaal naik tahta dan mengawinkan puterinya Izebel dengan Ahab dari Israel (1 Raj 16:31). Perkawinan itu meluaskan praktik penyembahan Baal di Samaria dan memererat hubungan Tirus dengan Samaria hingga kematian Izebel (1 Raj 16:32-33; 2 Raj 9:30-37).

      Kemerosotan Tirus dimulai dengan munculnya Asyur yang menuntut upeti dari Tirus sekitar tahun 841 SM. Akhirnya kota itu jatuh ke tangan Asyur pada tahun 724 SM di bawah Sargon II dan kemudian ditundukkan Asyur lagi ada tahun 701 SM di bawah Sanherib. Esarhadon mengangkat seorang Asyur sebagai raja Tirus dan mendapatkan berbagai-bagai konsesi. Sebaliknya, Tirus memeroleh hak-hak khusus yang sangat luas untuk melakukan perdagangan di Laut Tengah. Berkali-kali para Nabi menyampaikan keputusan hukuman Allah atas Tirus (Am 1:9-10; Yl 3:4-8; Za 9:2-4).

      Setelah hancurnya Yerusalem pada tahun 586 SM, bangsa Babilonia di bawah Nebukadnezar mengepung Tirus selama tiga belas tahun hingga kota itu menyerah (586-573 SM). Kemudian, di bawah bangsa Persia, |Sidon bangkit lagi hingga melebihi Tirus. K|ejadian besar terakhir di dalam sejarah kota terkenal itu adalah pada tahun 332, ketika Aleksander Agung mengepung kota itu selama tujuh bulan dan akhirnya merebut kota daratan dalam suatu perjuangan yang nyaris legendaris. Tirus tidak begitu berperan di dalam Perjanjian Baru. Yesus mendapat pengikut dari Sidon dan Tirus (Mrk 3:8). Ia juga mengunjungi kawasan itu (Mrk 7:24) dan menyatakan bahwa kota itu niscaya bertobat seandainya menyaksikan mujizat-mujizat yang telah dilakukanNya di Palestina (Mat 11:21-22). Paulus singgah sebentar di kota itu (Kis 21:13).

Yordan, Sungai 

Bahasa Ibrani, mungkin berarti “yang turun”. Sungai yang paling penting di Palestina. Mata airnya dimulai dengan salju yang meleleh dari lereng-lereng Gunung Hermon, yang membentuk beberapa aliran utama yang bergabung lagi di Yordan. Dari sana sungai itu mengalir ke arah selatan ke dalam Danau Huleh, dan kemudian ke Laut Galilea (lihat Laut Galilea), dan akhirnya bermuara di Laut Mati. Bagian sungai di sebelah  utara dari Laut Galilea disebut Yordan Atas (Hulu); bagian sungai di selatan Laut Galilea adalah Yordan Bawah (Hilir). Sungai Yordan merupakan sungai yang letaknya paling rendah di dunia, hingga 213 meter di bawah permukaan laut ketika mencapai Laut Galilea, dan hingga 392 meter di bawah laut ketika sampai di Laut Mati. Secara keseluruhan jika ditarik garis lurus dari utara ke selatan, panjang Sungai Yordan mencapai 128 kilometer, namum karena berkelok-kelok panjangnya hingga 320 kilometer, sedang lebarnya antara 27-30 meter. Di kanan kirinya sungai ini pada umumnya dibatasi oleh tebing-tebing terjal pegunungan, terutama di bagian timur, kecuali di sebelah utara Galilea.

            Di dalam Kitab Suci Sungai Yordan adalah sungai yang sangat penting, yang membagi wilayah Israel menjadi bagian barat dan bagian timur. Yordan Bawah (Hilir) merupakan batas di antara suku-suku Ruben, Gad,dan separoh suku Manasye di bagian Transyordan (seberang Yordan) dengan suku-suku lain yang berada di sebelah barat Yordan di Kanaan yang sebenarnya. Sungai Yordan juga bersentuhan dengan batas-batas wilayah Isakhar (Yos 19:22), Efraim (Yos 16:7), Benyamin (Yos 18:12) dan Yehuda (Yos 15:5). Yordan Atas (Hulu) merupakan batas timur wilayah suku Naftali (Yos 19:33-34).


Yudea 

Nama yang diberikan bangsa Roma untuk wilayah Yehuda di Palestina selatan. Batas geografisnya berubah-ubah dari masa ke masa. Dalam Kitab Ezra dan Nehemia, wilayah ini didiami oleh orang-orang Yahudi yang pulang dari Pembuangan pada abad keenam SM, dan pada waktu itu secara teknis kawasan ini dikenal sebagai suatu Provinsi Persia yang dalam bahasa Aram disebut Yehud. Luas Yehuda pada waktu itu lebih kecil daripada Yerusalem dan distrik-distrik di sekitarnya. Luasnya bertambah banyak pada masa Makabe dan Dinasti Hasmona hingga mencapai daerah pantai, Idumea, dan Lembah Yordan. Sesudah pendudukan Roma pada tahun 63 SM, nama Yudea kadang-kadang digunakan untuk Palestina seluruhnya, termasuk Samaria dan Galilea, namun dalam pengertian yang lebih sempit menunjuk pada distrik Yudea yang lebih kecil yang terpisah dari Galilea dan Samaria.

      Raja Herodes memerintah atas Yudea dari tahun 37 SM hingga 4 SM; kerajaannya meliputi seluruh Palestina dan beberapa wilayah di sebelah timur Sungai Yordan. Anaknya, Arkhelaus, memerintah sebagai raja-muda atas Yudea, Samaria dan Idumea, tetapi di luar Perea dan Galilea. Sesudah Arkhelaus dicoot dari kedudukannya pada tahun 6 M, Yudea ditambahkan sebagai bagian dari Provinsi Roma di Siria dan secara lebih langsung dikelola dengan sistem Roma dengan adanya para pro-kurator atau wali negeri (Luk 3:1). Luas wilayah Yudea di bawah pemerintahan Roma sama dengan Yudea ketika diperintah oleh Arkhelaus, walaupun pusat pemerintahan (Roma) berada di Kaisarea; pada masa Herodes Agripa I, Galilea ditambahkan ke dalam yurisdiksi (wilayah hukum) Yudea. Pengertian Yudea yang lebih luas diungkapkan oleh sejarawan Yosephus (Ant., 17.13; 18.1) dan Perjanjian Baru (Luk 1:5; 7:17; Kis 1:8; 26:20). 

Yerusalem

Kota di Yehuda. Yerusalem terletak pada suatu dataran tinggi kapur kira-kira 32 kilometer di sebelah barat Laut Mati dan 48 kilometer sebelah timur pantai Laut Tengah pada suatu rangkaian paralel di jajaran pegunungan tengah Palestina. Ketinggian rata-rata perbukitan sekeliling Yudea adalah 2300 kaki atau 700 meter di atas permukaan laut. Kota itu dibatasi oleh lembah-lembah curam di ketiga sisinya – Lembah Kidron di sebelah timur, yang membagi kota dari Bukit Zaitun, dan Lembah Hinom di sebelah selatan dan barat, yang berfungsi sebegai benteng pertahanan alamiah. Maka karena letaknya itu Yerusalem sangat sulit ditaklukkan, karena hanya dapat diserbu dari utara.

Daud memperkuat pertahanan Yerusalem dan menjadikannya pusat pemerintahan. Ia juga memindahkan tabut perjanjian ke Yerusalem, dan memantapkan Yerusalem sebagai ibukota keagamaan Israel. Salomo menyelesaikan perkembangan ini dengan membangun Bait Allah.

      Ketika suku-suku utara mengalami kemunduran (lihat Israel, Kerajaan), Yerusalem menjadi ibukota Yehuda. Lalu kota itu mengalami kesulitan karena keputusan-keputusan yang buruk dan ketidaksetiaan raja-raja Yehuda. Bait Allah dan istana dirusak oleh pasukan Mesir (1 Raj 14:25-28), dan Yerusalem mendapat serangan dari Siria dan Israel, Kerajaan Utara (2 Raj 14:11-14; 2 Taw 25:21-24), gempuran dari Asyur (2 Raj 18:13-19; 2 Taw 32:1-22; Yes 36-37), dan akhirnya dilindas Babilonia (2 Raj 24:1-25:21). Beberapa raja seperti Uzia dan Hizkia berusaha memperkuat pertahanan dan memperbaiki persediaan air bagi kota. Yerusalem secara ajaib luput dan kehancuran dahsyat seperti yang menimpa kerajaan utara, tetapi bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Asyur, munculnya Babilonia menghadapkan ancaman baru yang bahkan lebih berat.

      Yerusalem dikepung pertama kali oleh Nebukadnezar pada tahun 597 SM (2 Raj 24:10-17). Dan kemudian, setelah melakukan kepungan selama delapan belas bulan, bangsa Babilonia menguasai Yerusalem pada tahun 586 SM. Kota Yerusalem mengalami keursakan yang sangat parah karena konflik itu, dan Nebukadnezar membuang penduduknya yang masih hidup, dan hanya meninggalkan sebagian kecil penduduk yang terdiri dari para petani miskin (2 Raj 25:1-17).

      Sesudah bangsa Persia menaklukkan Babilon pada tahun 539 SM, Koresh Agung mengizinkan orang Yahudi pulang ke Yerusalem dan membangun Bait Allah yang baru pada tahun 538 SM (Ezr 1-7; Neh 1-4). Tembok kota diperbaiki lagi di bawah Nehemia pada tahun 445 SM.

      Ptolemeus dari Mesir menguasai Yerusalem setelah Aleksander Agung mati pada abad keempat SM, dan Palestina jatuh ke tangan Dinasti Seleukus di bawah Antiokhus II Teos di tahun 198 SM. Orang Seleukus di bawah Antiokhus IV Epifanes memasuki Yerusalem, menistakan Bait Allah dan meruntuhkan tembok-temboknya; suatu pasukan Siria ditinggalkan untuk melakukan penjagaan. Usaha agresif untuk menyebarkan pengaruh budaya Yunani, Helenisasi, atas penduduk Yahudi menimbulkan pemberontakan Makabe. Bait Allah disucikan lagi pada tahun 164 SM (1 Mak 4:36-59).

      Setelah Makabe memeroleh kemerdekaan bagi orang Yahudi, Dinasti Hasmona memerintah di Yerusalem sampai datangnya pasukan Roma pada tahun 63 SM. Pada waktu itu, Pompeyus Agung merebut Yerusalem dan memulai pemerintahan Roma yang akan berlangsung selama berabad-abad. Herodes Agung dijadikan raja bawahan Roma dan bertanggungjawab atas pelaksanaan beberapa proyek pembangunan besar di kota, termasuk suatu benteng tentara (Antonia; Kis 21:34) dan terutama pembangunan Bait Allah baru (Yoh 2:20).

Bagaimana pentingnya Yerusalem bagi Yesus tampak dalam Injil-injil, dan keempat penulis Injil mencatat bahwa karya Yesus bergerak ke arah Yerusalem, kota kudus, sebagai tempat bagi Sengsara, Wafat dan KebangkitanNya. Yesus memberitahukan kematianNya di kota itu dengan kata-kata: “sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem. Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Luk 13:33-34; bdk Mrk 10:32-34). Yesus menyatakan bahwa para nabi dibunuh di kota itu dan membayangkan kota itu dikepung oleh tentara (Luk 21:20|) dan dihancurkan oleh pasukan musuh (Luk 19:41-44).

      Namun Yesus memasuki Yerusalem dengan jaya sebagai Mesias, putera Daud (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-11; bdk Za 9:9). Kota kudus itu merupakan titik sumber darimana Injil mulai diwartakan kepada seluruh dunia (Luk 24:47; Kis 1:18). Yerusalem adalah tempat di mana Roh Kudus dicurahkan pada waktu Pentakosta dan tempat di mana jemaat Kristen perdana terbentuk (Kis 2:1-13).


PUNCTA HARI MINGGU BIASA III - TAHUN A-I

 Bacaan I: Yes 8:23–9:3; Mazmur 27:1, 4, 13–14; II  1 Kor 1:10–13, 17

Injil Mat 4:12–23



Liturgi hari ini memberi kita pelajaran tentang geografi dan sejarah Israel kuno.

Nubuat Yesaya dalam Bacaan Pertama hari ini dikutip oleh Matius dalam Injil hari ini. Keduanya bermaksud mengingat kembali jatuhnya kerajaan yang dijanjikan kepada Daud (lihat 2 Sam 7:12–13; Mzm 89; Mzm 132:11–12).

Delapan abad sebelum Masehi, bagian dari kerajaan tempat tinggal suku Zebulon dan Naftali diserang  bangsa Asyur, dan suku-suku tersebut dibawa ke pembuangan (lihat 2 Raj 15:29; 1 Taw 5:26).

Itu menandai permulaan dari berakhirnya kerajaan. Kerajaan Daud akhirnya runtuh pada abad keenam SM ketika Yerusalem direbut oleh Babel dan suku-suku yang tersisa dibawa ke pengasingan (lihat 2 Raj 24:14).

Yesaya menubuatkan bahwa Zebulon dan Naftali, kota-kota yang pertama dihancurkan, akan menjadi yang pertama melihat terang keselamatan Allah. Yesus hari ini menggenapi nubuat itu—mengumumkan pemulihan kerajaan Daud tepat di tempat di mana kerajaan mulai runtuh.

Injil Kerajaan-Nya mencakup tidak hanya dua belas suku Israel tetapi semua bangsa—disimbolkan dengan “Galilea Bangsa-Bangsa.” Ia memanggil murid-murid pertamanya, dua nelayan di Danau Galilea, Dia menjadikan mereka "penjala manusia", untuk mengumpulkan umat hingga ujung-ujung bumi.

Mereka harus memberitakan Injil, kata Paulus dalam Suratnya hari ini, untuk mempersatukan semua orang sepikiran dan setujuan — dalam kerajaan Allah yang mendunia.

Melalui khotbah mereka, janji Yesaya telah disampaikan. Dunia yang berada dalam kegelapan telah melihat cahaya. Kuk perbudakan dan dosa, yang ditanggung oleh umat manusia sejak awal masa, telah dihancurkan.

Dan sekarang kita, seperti yang kita nyanyikan dalam Mazmur hari ini, boleh tinggal di rumah Tuhan, untuk menyembah Dia di negeri orang hidup.

DOA UNTUK PERSATUAN UMAT KRISTIANI

 Dari 18 Januari

Tuhan Yesus Kristus, Engkau bersabda kepada Para Rasul, "DamaiKu Kutinggalkan padamu, DamaiKu Kuberikan untukmu". Jangan perhatikan dosa kami, tetapi pandanglah iman GerejaMu, dan restuilah kami untuk hidup bersatu dengan rukun sesuai kehendakMu, sebab Engkaulah Pengantara kami, yang hidup dan memerintah, Allah, kini dan sepanjang masa. Amin 




Rabu, 18 Januari 2023

YESUS MODEL EVANGELISASI - KATEKESE AUDIENSI UMUM 18 JANUARI 2023

Dari Serial Katekese tentang Gairah Evangelisasi Paus Fransiskus, Rabu, 18 Januari 2023 di Aula Paulus VI Vatikan.



2. Yesus, model Evangelisasi

Rabu lalu kita memulai siklus katekese tentang gairah evangelisasi, tentang semangat kerasulan yang menghidupkan Gereja dan setiap orang Kristiani. Hari ini, mari kita lihat model evangelisasi yang tiada bandingnya: Yesus. Injil Natal mendefinisikan dia sebagai “Firman Allah” (bdk. Yoh 1:1). Fakta bahwa dia adalah Logos, yaitu Firman, menyoroti aspek esensial dari Yesus: Dia selalu membuat hubungan keluar, tidak pernah terisolasi, selalu berelasi, keluar. Sabda, Firman, sesungguhnya ada untuk ditransmisikan, dikomunikasikan. Begitu pula dengan Yesus, Sabda kekal dari Bapa, menjangkau kita, dikomunikasikan kepada kita. Kristus tidak hanya memiliki kata-kata tentang kehidupan, tetapi membuat hidupNya suatu Firman, sebuah pesan: yaitu, bahwa Dia selalu menghadap Bapa dan menuju kita. Dia selalu memandang Bapa yang mengutus Dia dan melihat kita kepada siapa Dia diutus.

Demikianlah jika kita melihat hari-harinya seperti yang dijelaskan dalam Injil, kita melihat keintiman dengan Bapanya – doa – memeroleh tempat pertama. Inilah sebabnya Yesus bangun pagi-pagi, ketika hari masih gelap, dan masuk ke daerah terpencil untuk berdoa (bdk. Mrk 1:35; Luk 4:42), untuk berbicara dengan Bapa-Nya. Dia membuat semua keputusan dan pilihan penting setelah berdoa (bdk. Luk 6:12; 9:18). Secara khusus, di dalam hubungan ini,  dengan doa yang menghubungkan dia dengan Bapa dalam Roh, Yesus menemukan arti diriNya sebagai manusia, keberadaanNya di dunia karena dia sedang mengemban misi untuk kita, diutus oleh Bapa kepada kita.



Karena itu menarik untuk diperhatikan tindakan publik pertama yang Dia lakukan setelah bertahun-tahun hidup tersembunyi di Nazaret. Yesus tidak melakukan mujizat hebat, Dia tidak mengirimkan pesan yang efektif, tetapi Dia berbaur dengan orang-orang yang akan dibaptis oleh Yohanes. Dengan cara ini, Dia menawarkan kepada kita kunci untuk bertindak di dunia: dalam mengorbankan diri bagi orang berdosa, Dia menempatkan dirinya dalam solidaritas dengan kita tanpa jarak, dengan berbagi kehidupan sepenuhnya. Ketika berbicara tentang misiNya, Dia berkata bahwa Dia tidak datang “untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawaNya” (bdk. Mrk 10:45). Setiap hari setelahnya berdoa, Yesus mencurahkan seluruh harinya untuk mewartakan Kerajaan Allah dan mendedikasikannya bagi orang-orang, terutama yang miskin dan lemah, kepada orang berdosa dan orang sakit (bdk. Mrk 1:32-39). Jadi, Yesus berhubungan dengan Bapa dalam doa dan kemudian dia berhubungan dengan semua orang melalui misiNya, melalui katekese, dengan mengajarkan jalan menuju Kerajaan Allah.

Nah, jika kita hendak menuangkan gaya hidupNya dengan sebuah gambar, tidak akan sulit bagi kita untuk menemukannya: Yesus sendiri menawarkannya, kita telah mendengarnya. Pertama, Ia berbicara tentang diriNya sebagai Gembala yang Baik, yang “menyerahkan nyawanya bagi domba-domba” (Yoh 10:11). Itulah Yesus. Sesungguhnya untuk menjadi seorang gembala bukanlah hanya sekedar pekerjaan, tetapi membutuhkan waktu dan banyak dedikasi. Itu benar dan cara hidup yang tepat: dua puluh empat jam sehari, tinggal bersama kawanan, menemani mereka di padang rumput, tidur di antara domba-domba, merawat mereka yang paling lemah. Dengan kata lain, Yesus tidak sekedar melakukan sesuatu untuk kita, tetapi Dia memberikan segalanya, dia memberikan hidupNya bagi kita. Dia memiliki jiwa pastoral (lih. Ez 34:15). Dia adalah gembala bagi kita semua.

Memang, untuk meringkas tindakan Gereja dalam satu kata, digunakan istilah khusus “pastoral”. Dan untuk mengevaluasi "kepastoralan" kita, kita perlu bercermin pada model, menghadapkan diri kita sendiri dengan Yesus Gembala yang Baik. Yang terpenting, kita dapat bertanya pada diri sendiri: apakah kita meniru Dia, minum dari sumur doa agar hati kita bisa selaras denganNya? Keintiman dengan-Nya adalah, sebagai dikatakan oleh Abate Chautard "jiwa dari setiap kerasulan". Yesus sendiri dengan jelas berkata kepada murid-muridnya, “Tanpa aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Dengan tinggal bersama Yesus, kita menemukan hati pastoral yang selalu berdetak untuk orang yang bingung, tersesat, dan jauh. Dan bagaimana dengan kita? Betapa sering kita mengungkapkan sikap kita tentang orang yang agak sulit, atau orang yang membebani kita dengan sedikit kesulitan: “Itu kan masalah mereka, biarkan mereka sendiri menyelesaikannya….” Yesus tidak pernah berkata begini, tidak pernah. Dia dirinya selalu pergi menemui semua orang yang terpinggirkan, pendosa. Dia dituduh ini - bersama orang berdosa - agar Dia dapat membawa keselamatan Allah tepat kepada mereka.

Kita juga telah mendengar perumpamaan tentang domba yang hilang yang terdapat dalam Injil Lukas 15: 4-7. Yesus bicara tentang dirham yang hilang dan juga tentang anak yang hilang di sana. Jika kita ingin melatih semangat kerasulan kita, kita harus selalu mencermati Lukas pasal 15. Sering-seringlah membacanya. Kita dapat mengerti di sana apa itu semangat kerasulan. Di sana kita menemukan Tuhan tidak tinggal merenung di kandang domba, juga tidak mengancam mereka agar mereka tidak pergi. Sebaliknya, jika satu domba pergi dan tersesat, dia tidak membiarkan domba itu, tetapi pergi mencarinya. Dia tidak bilang, "Kamu bangun dan pergi - itu salahmu - itu urusanmu!" Jiwa pastoralnya bereaksi dengan cara lain : hati pastoral prihatin dan hati pastoral ambil risiko. Bahwa menderita: ya, Tuhan juga menderita karena mereka yang pergi dan, sementara Dia berduka kehilangan mereka, dia bahkan lebih mencintai. Tuhan menderita ketika kita menjauhkan diri kita dari hatiNya. Dia menderita untuk semua orang yang tidak mengetahui keindahan cintaNya dan kehangatan pelukanNya. Tapi, sebagai tanggapan atas penderitaan ini, Dia tidak menarik diri, melainkan  mengambil risiko. Dia meninggalkan sembilan puluh sembilan domba yang aman dan keluar mencari yang hilang, melakukan sesuatu yang berisiko dan tidak masuk akal, tetapi selaras dengan hati pastoralNya yang merindukan  yang hilang, kerinduan akan seseorang yang telah pergi – ini adalah sesuatu yang konsisten pada Yesus. Dan ketika kita mendengar bahwa seseorang telah meninggalkan Gereja, apa yang kita katakan? "Biarkan mereka menyelesaikannya?" Tidak. Yesus mengajarkan kita untuk merindukan mereka yang telah pergi. Yesus tidak merasa marah atau benci tetapi rindu yang tulus untuk kita. Yesus merindukan kita dan ini adalah semangat Tuhan.



Dan saya bertanya-tanya – apakah kita memiliki perasaan yang sama seperti itu? Mungkin kita malah melihat mereka yang telah meninggalkan kawanan sebagai lawan atau musuh. “Dan orang ini? Bukankah dia pergi ke seberang? Dia kehilangan iman…. Mereka akan masuk neraka…” dan kita tenang-tenang saja. Saat kita bertemu mereka di sekolah, di tempat kerja, di jalan-jalan di kota kita, mengapa kita tidak berpikir bahwa kita memiliki kesempatan yang indah untuk bersaksi kepada mereka tentang sukacita seorang Bapa yang mencintai mereka dan tidak akan pernah melupakan mereka? Bukan untuk menyebarkan agama, tidak! Tetapi agar Sabda Bapa dapat menjangkau mereka sehingga kita dapat berjalan bersama. Menginjili bukanlah untuk merekrut pengikut. Itu adalah sesuatu yang kafir, itu bukan agama atau pewarta injil. Ada kata yang baik untuk mereka yang telah meninggalkan kawanan, dan kita mendapat kehormatan dan amanat mengucapkan kata itu. Karena Firman, Yesus, meminta ini dari kita – agar selalu mendekat pada semua orang dengan hati terbuka karena Dia seperti itu. Mungkin kita telah mengikuti dan mencintai Yesus untuk beberapa waktu dan tidak pernah bertanya-tanya: apakah kita berbagi perasaan denganNya, apakah kita menderita dan ambil risiko selaras dengan hati Yesus, dengan hati pastoral ini, dekat dengan hati pastoral Yesus! Ini adalah bukan tentang cari pengikut, seperti yang saya katakan, sehingga orang lain menjadi "salah satu dari kita" - tidak, ini bukan tindakan Kristiani. Ini adalah tentang mengasihi ,agar mereka menjadi anak-anak Allah yang berbahagia. Dalam doa, marilah kita memohon rahmat mendapatkan hati pastoral, hati yang terbuka dan mendekat kepada semua orang, untuk membawa pesan Tuhan serta sekaligus merasakan kerinduan Kristus atas mereka. Karena tanpa cinta yang menderita dan mengambil risiko, hidup kita tidak berjalan dengan baik. Jika kita orang Kristiani tidak memiliki kasih yang menderita dan mengambil risiko, kita ambil risiko menggembalakan hanya diri kita sendiri. Gembala yang menggembalakan diri sendiri bukanlah gembala kawanan, tetapi mereka yang memilih menyisir domba yang “indah” saja. Kita tidak perlu menjadi gembala bagi diri kita sendiri, tetapi gembala bagi semua orang.

MENENGOK PENGADILAN PIDANA KEUANGAN VATIKAN PER JANUARI 2023




Sejak mengawali kepausannya pada 2013, Paus Fransiskus mengusahakan untuk membersihkan Vatikan dari kemelut korupsi, kejahatan dan segala macam penyelewengan keuangan. Selain berusaha menguatkan sistem dan prosedur keuangan, kasus-kasus keuangan terbuka untuk pengadilan publik. Untuk itu semua hak privilese kardinal dan uskup dihapuskan dan sejauh menyangkut tanggungjawab keuangan semua orang sama di depan hukum. Seperti orang dan awam biasa, kardinal dan uskup dapat digugat dan dihadapkan dalam pengadilan umum. Paus Fransiskus menjelaskan bahwa prioritas reformasi hukum pidana itu adalah untuk memastikan agar semua anggota gereja diadili secara setara, dengan posisi dan martabat yang sama, tanpa ada yang memiliki hak istimewa apapun.Agar tidak menghalangi jalannya pengadilan, seperti yang menyangkut pejabat publik yang harus dinon-jobkan, bahkan seorang kardinal dilucuti dari semua wewenangnya dan dipecat. Ini langkah keadilan, walau  oleh beberapa kardinal tradisional dipandang tidak adil. Dulunya, perkara kardinal diadili oleh suatu tribunal yang terdiri dari sesama kardinal.



Setelah penyelidikan dua tahun, dari kuartal pertama 2021 seorang kardinal, uskup, pejabat tinggi dan staf di lingkungan Sekretariat Negara Vatikan harus berhadapan dengan pengadilan sehubungan dengan kejahatan keuangan. Inti kasus adalah kerugian ratusan juta euro yang diderita Vatikan berkenaan dengan investasi suatu gudang di London pada tahun 2014, yang diubah menjadi mall barang mewah, dan kemudian menjadi apartemen. Pers menyebut pengadilan ini pengadilan keuangan terbesar dalam abad ini.

Lihat juga: EKSES PENERTIBAN KEUANGAN VATIKAN

Terkait: Kardinal George Pell Wafar dan Kemelut Sepeninggalnya

Pemeriksaan dimulai sejak penggeledahan di Kantor Sekretariat Negara Vatikan 1 Oktober 2019, mulai dari Otoritas Informasi Keuangan (AIF) Vatikan. Sekretariat Negara Vatikan pada 2014 menanamkan investasi bernilai 240 juta dolar, sebagian besar dananya berasal dari sumbangan pada gereja itu, ke dalam dana yang dioperasikan oleh Mincione. Setengah dari jumlah itu digunakan untuk membeli 45% properti mewah di London dan sisanya untuk investasi lain. Tak lama kemudian Vatikan menyadari bahwa investasi itu tidak saja tidak menguntungkan, tetapi membawa risiko kerugian yang juga akan sangat besar. Kardinal Angelo Becciu Kepala Staf Sekretariat Negara Vatikan pada waktu itu dan sembilan terdakwa lainnya, termasuk mantan kepala unit keuangan Vatikan, pengacara Swiss Rene Bruelhart, dan dua bankir investasi Italia – Raffaele Mincione dan Gianluigi Torzi diajukan ke pengadilan atas peristiwa itu.



Kardinal Angelo Becciu, yang berusia 73 tahun, dituduh melakukan penggelapan dan penyalahgunaan jabatan untuk nepotisme, kolusi dan korupsi. Para pialang dan pengacara diduga menjerumuskan Kardinal Becciu menyetujui pembelian aset yang merugikan di London. Seorang wanita intel yang akrab dengan Kardinal Becciu memanfaatkan hubungannya dengan Becciu menarik uang dari Vatikan untuk membeli barang-barang mewah dari kasus pembayaran uang tebusan untuk membebaskan seorang suster yang disekap suatu sel ISIS.



Proses pengadilan atas 10 terdakwa bergulir dari 22 Juli 2021 satu per satu. Sidang dimulai dengan pemeriksaan kasus masing-masing terdakwa dan mendengarkan keterangan dari pihak terdakwa. Pada sidang 6 Oktober 2021, Hakim pengadilan sempat memerintahkan jaksa untuk mengulang penyelidikannya terhadap empat terdakwa dan empat perusahaan. Sidang dilanjutkan lagi 17 November 2021. Hingga  Maret 2022 sidang pemeriksaan sudah berlangsung 40 kali. Mereka yang terlibat adalah Kardinal Angelo Becciu, Msgr. Alberto Perlasca, Gianlugi Torzi, Raffaele Mincione, Fabrizio Tirabassi, Enrico Crasso, René Brülhart,  Tommasso Di Ruzza, Cecilia Marogna. Lima dari mereka orang dari luar Vatikan.



Terjadi patahan dan perluasan bukti-bukti perkara yang semakin bertambah banyak dan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang didengarkan dalam sidang, tersembul kemungkinan-kemungkinan tuduhan baru yang memerlukan pendalaman. Misalnya korupsi dan nepotisme yang menyangkut mengalirnya dana bantuan kepada koperasi yang dijalankan keluarga kardinal Becciu, yang terkuak kemudian dan mendapatkan bukti-bukti pembayaran yang meragukan otorisasinya. Gambaran bahwa saksi utama Msgr Alberto Perlasca didikte seorang wanita yang tahu banyak permasalahan, Francesca Immacolata Chaouqui, menimbulkan kerumitan: dari mana asal informasinya. Integritas penuntut umum pun menjadi sorotan. Sejauh ini jalannya sidang selama ini dirasakan seperti alur cerita serial opera sabun atau drama teve yang sedang mencapai tahapan yang ruwet dan belum memberi petunjuk kendati jelas kerugian Vatikan ratusan juta euro, siapa bersalah atas apa. Tampaknya memasuki tahun ketiga jalannya persidangan perkara kita nasih harus bersabar untuk memeroleh gambaran kasus-kasus di sekitar Angelo Becciu.



HARAPAN PERDAMAIAN UNTUK CONGO

Paus Fransiskus akan mengunjungi Republik Demokrasi Congo di Afrika pada akhir Januari 2023 hingga awal Februari 2023. Kunjungan sudah dirancang tahun lalu dan diharapkan akan membawa harapan dan angin segar untuk rakyat Republik Demokrasi Congo pada umumnya, dan umat katolik Congo khususnya untuk perdamaian dan kerukunan hidup beragama. Umat Katolik Congo merupakan 50% dari jumlah penduduk Congo. Mereka hidup berdampingan dengan umat kristen Protestan (20%),  umat kristen Baptis Kimbungi (10%), umat Islam (10%) dan lain-lain.



Suatu bom meledak pada hari Minggu 15 Januari 2023 di kota Kasindi, Congo Timur, di sebuah gereja Pentakosta yang sedang melakukan upacara pembaptisan warga. Bom itu menewaskan 18 orang dan melukai 40 orang lainnya. Sementara suatu sel Islamic State (pecahan ISIS) menyatakan bertanggung jawab, pihak militer Republik Demokrasi Congo menunjuk pihak Allied Democratic Forces (ADF) bertanggungjawab atas peritiwa itu. ADF menerima bagian dari ISIL yang terusir dari negara tetangga Uganda sebagai bagian darinya, dan melakukan pengacauan di Congo Timur. Pasukan Uganda berulangkali menyerang markas dan tempat latihan perang ADF. Sebaliknya pihak ADF melakukan penyerangan atas penduduk sipil dan menyebabkan pengungsian rakyat besar-besaran yang merepotkan pemerintah dan PBB.




Congo menjadi kancah pengacauan sekitar 120 kelompok bersenjata yang tidak segan membunuh rakyat dan menyebarkan teror selama beberapa dasa warsa terakhir. Sekitar 6 juta penduduk mengungsi menghindari daerah kekerasan bersenjata. Tentara Congo kekurangan tenaga untuk menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah negara Afrika Timur yang luasnya hampir sama dengan 2/3 Eropa Barat itu. 

Selasa, 17 Januari 2023

SABAT, ABYATAR, ANAK MANUSIA

 Untuk memperkaya latar informasi renungan bacaan Injil hari ini: Mrk 2:23-28



Sabat    

Hari ketujuh dalam pekan Yahudi, dari matahari tenggelam hari Jumat hingga matahari tenggelam hari Sabtu (Kel 20:8-11). Dalam Hukum Taurat, hari Sabat dihormati sebagai hari istirahat dan suatu tanda perjanjian di antara Tuhan dan Israel (Kel 31:12-17). Di antara umat Kristen Sabat dipindahkan dari hari ketujuh dalam pekan menjadi hari pertama dalam pekan, yaitu Minggu, sebagai pengakuan pada ciptaan baru yang ditandai dengan Kebangkitan Kristus pada hari Minggu (KGK 2168-2176).

 

I. Dalam Perjanjian Lama

A. Hukum Dasar Bagi Umat Allah

B. Tanda Perjanjian Tuhan

C. Seruan Nabi agar Sabat Diindahkan

II. Dalam Perjanjian Baru

A. “Sabat Diadakan Untuk Manusia”

B. Hari Minggu, Sabat Umat Kristen.

 

I. Dalam Perjanjian Lama

A. Hukum Dasar Bagi Umat Allah

Istilah Ibrani sabat muncul lebih dari seratus kali dalam Perjanjian Lama, empat puluh di antaranya dalam Pentateukh, dan berasal dari akar Ibrani yang berarti “berhenti atau beristirahat”. Pentingnya Sabat berawal dari Penciptaan (Kej 1:1-2|:4), di mana Sabat merupakan puncak pekerjaan Allah, ketika Ia beristirahat (Ibrani: sabat). Sabat juga sangat penting karena mengindahkan sabat berarti melaksanakan salah satu dari Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:8-10; Ul 5:12-15). Sabat adalah hari yang suci dan penuh berkat (Kej 2:3; Yes 58:13).

 

B. Tanda Perjanjian Tuhan

Tuhan tidak hanya beristirahat pada hari ketujuh; Ia juga memberkati dan menguduskan hari itu (Kej 2:2-3). Ia tidak beristirahat karena kecapaian, tetapi karena bermaksud menetapkan hari Sabat sebagai tanda perjanjian-Nya (Kel 31:12-17). Hari Sabat bukan sekedar suatu waktu untuk beristirahat tetapi juga saat untuk merenungkan karya Allah sebagai Pencipta. Dalam terang ini, dalam konteks Perjanjian Lama Sabat menimbulkan rasa syukur dan kebergantungan serta iman kepada Tuhan (KGK 345-347).

      Sesudah membebaskan Israel dari Mesir pada waktu Keluaran, Sabat juga menjadi tanda bagi karya penebusan Tuhan: yaitu campurtangan Tuhan dalam sejarah yang memberikan kepada Israel istirahat dari beban perbudakan. Maka perintah mengenai hari Sabat di dalam kitab Keluaran terkait dengan Sabat bersama Tuhan Sang Pencipta, dan Sabat dari kitab Ulangan terkait dengan Sabat bersama Tuhan Sang Penebus.

      Sabat kemudian mendapat tempat dalam inti Hukum Israel; bersama dengan sunat, kepatuhan pada ketentuan-ketentuan itu menjadi tanda lahiriah bagi keanggotaan seseorang dalam Israel (bdk Yeh 20:13; Neh 13:17-18). Sabat merupakan hari keagamaan untuk berhimpun dan beribadat (Im 23:1-3). Hukum Perjanjian (Kel 21-23) memuat berbagai ketetapan dan syarat perjanjian, termasuk istirahat pada hari Sabat, “hari yang ketujuh” (Kel 23:12). Jelas bahwa ini merupakan hukum yang ramah dan praktis, namun tujuan utama Sabat adalah mengenangkan Tuhan dan tindakanNya yang menyelamatkan (Ul 5:15): “haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya Tuhan, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat.”

      Semua bentuk pekerjaan yang tidak wajib dilakukan dilarang dikerjakan pada hari Sabat. Bahkan pelayan dan hewan-hewan pun harus mendapatkan istirahat (Kel 20:8-10; 31:13-17). Berbagai peraturan khusus dikeluarkan sehubungan dengan memasak (Kel 16:23), membajak dan menuai (Kel 34:21), mengumpulkan kayu (Bil 15:32-36), menyalakan api (K|el 35:3), perdagangan dan pertukaran (Neh 13:15-22), mengangkut beban (Yer 17:21-27), dan membebani binatang (Neh 13:15). Karena pekerjaan dilarang, makanan harus disiapkan pada hari sebelum Sabat; maka hari sebelum Sabat dikenal sebagai hari persiapan (Mat 27:62; Mrk 15:42).

 C. Seruan Nabi agar Sabat Diindahkan

Pelanggaran atas hari Sabat bisa dikenai hukuman mati (Kel 31:14-15; Bil 15:32-36), namun kendati ada hukuman seperti itu, ketidakpatuhan pada peraturan Sabat sudah menjadi masalah baik sebelum maupun dalam masa Pembuangan (Yer 17:19; Yeh 20:13.16.21.24; 22:8; 23:38). Amos menggambarkan keadaan kepatuhan hukum yang menyedihkan dalam kerajaan Israel dengan menunjukkan bergairahnya perdagangan untuk hari Sabat sampai matahari terbenam (Am 8:5). Para nabi dengan demikian menekankan kepatuhan yang tepat (Yes 1:13; 56:6; Yeh 20:12). Yesaya memandang Sabat bukan sebagai beban, melainkan sebagai kegembiraan dan sukacita:

Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan", dan hari kudus Tuhan "hari yang mulia"; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena Tuhan, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut Tuhanlah yang mengatakannya  (Yes 58:13-14)

 Yeremia menyatakan bahwa kelangsungan hidup kerajaan Yehuda sungguh bergantung kepada kepatuhan pada perjanjian dan tuntutan Sepeluh Perintah Allah, termasuk perintah menghormati Sabat (Yer 17:19-27; bdk Rat 2:6). Yehezkiel seperti Yesaya dan Yeremia, menyatakan bahwa Sabat adalah hari Tuhan (Yeh 20:12-13.20-21.24; 22:26; 23:38; 44:24) dan suatu tanda perjanjian (Yeh 20:12).

      Dengan kepulangan dari pembuangan Babilon, Sabat terus dipatuhi secara longgar, suatu sumber keprihatinan bagi Nehemia. Dalam reformasi selanjutnya, suatu komitmen yang teguh atas Sabat menjadi tulang punggung pengakuan keaslian jati diri Yahudi (Neh 13:15-22). Namun pada akhirnya kepatuhan pada Sabat diwarnai oleh kekakuan yang berlebihan melampaui Hukum. Pada masa Makabe, sebagian orang Yahudi membiarkan diri dibantai oleh pasukan Seleukus ketimbang bertempur dan membela diri pada hari Sabat (1 Mak 2:35-38; 2 Mak 8:26). Yang lain, seperti Matatias dan teman-temannya, memilih membela diri dan mengikuti pendekatan yang tidak terlalu ketat walaupun mereka berhenti melakukan penyerangan musuh pada hari Sabat (1 Mak 2:39-41).

 II. Dalam Perjanjian Baru

A. “Sabat Diadakan Untuk Manusia”

Dalam Perjanjian Baru kepatuhan pada hukum Sabat menjadi topik perbantahan, paling sering di dalam Injil-injil. Pada umumnya dikatakan bahwa Yesus sebagai seorang Yahudi yang saleh pasti terbiasa mengikuti aturan-aturan Sabat, karena kita lihat Ia sering hadir di sinagoga di Galilea (Mrk 1:21; 3:1; Luk 4:16). Tetapi tindakanNya pada hari Sabat menjadi sumber ketegangan dengan para ahli kitab dan kaum Farisi, karena Yesus sering memilih melakukan penyembuhan dan mujizat-mujizat pada hari suci untuk istirahat itu (mis Mat 12:9-14; Mrk 1:21-28; Luk 14:1-16; Yoh 5:1-9). Menurut para pemimpin agama, ini merupakan pekerjaan yang melanggar hukum, dan Yesus harus dikecam atau disingkirkan (Mat 12:14; Yoh 5:1-9). Bagi para ahli kitab dan kaum Farisi, ketidakpatuhan Yesus merupakan bukti bahwa “''Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat.” (Yoh 9:16).

      Yesus menanggapi tuduhan ini dengan cara yang mengungkapkan misteri yang lebih dalam dari jatidiriNya dan makna yang lebih mendalam dari Sabat sendiri juga. Di satu pihak, ia menyatakan diriNya sebagai “Tuhan atas hari Sabat” (Mat 12:8; Mrk 2:28). Karena Bapa-Nya di surga adalah Pencipta hari Sabat, dan Bapa sendiri terus bekerja pada hari Sabat, Putera ilahi hanya dapat melakukan apa yang dilakukan Bapa (Yoh 5:8). Orang Yahudi menangkap pernyataan ini sebagai usaha Yesus “menyamakan diri dengan Allah” (Yoh 5:18). Di pihak lain, Yesus menanggapi tuduhan bahwa dirinya melanggar Sabat dengan menyatakan sebaliknya, bahwa Ia memenuhi maksud Sabat yang sebenarnya (Luk 13:10-17). Dengan kata lain, dengan menyembuhkan dan memulihkan, ia mengangkat beban dari kehidupan orang-orang, dan memberikan istirahat, membebaskan mereka dari beban fisik dan rohani yang mereka tanggung selama bertahun-tahun. Maka Sabat adalah membebaskan, bukan membelenggu (Luk 13:10-17). Sabat “dibuat untuk manusia”, bukan sebaliknya (Mrk 2:27). Tindakan amal kasih dan yang wajib dilakukan dengan demikian selaras dengan pentingnya Sabat dalam pengertian yang paling dalam (Mat 12:1-6; Luk 6:9).

 B. Hari Minggu, Sabat Umat Kristen.

Paulus menggolongkan Sabat di antara kepatuhan ritual |yahudiyang tidak lagi wajib dilakukan umat Kristen (Kol 2:16; Gal 4:9-10; Rm 14:5). Namun Paulus biasa menghadiri ibadat Sabat di sinagoga bukan karena ia berkewajiban melakukannya, melainkan karena ia mengambil kesempatan untuk mewartakan Injil di kalangan sesama orang Israel. Tampaknya Sabat tidak dibicarakan dalam Konsili Yerusalem, tetapi kaum beriman yang berasal dari bangsa lain berhimpun pada hari Minggu (Kis 20|:7-12; 1 Kor 16:2), yang kemudian menjadi hari ibadat Kristen mengenangkan Kebangkitan Tuhan (KGK 349.2174-2176).

      Akhirnya dalam Ibr 4 ada kaitan antara Sabat dengan warisan kekal dalam Perjanjian Baru. Istirahat dalam Perjanjian Lama yang ditandai oleh istirahat Sabat di akhir penciptaan (Kej 2:2), juga oleh istirahat yang diberikan Yosua kepada Israel di Tanah Terjanji.

Abyatar

Seorang keturunan Itamar, anak bungsu Harun, dan anak Ahimelekh dari keluarga Eli (1 Sam 22:2-23; 1 Raj 2:27; 1 Taw 24:3). Abyatar menjadi imam di Nob bersama Ahimelekh. Ia memberi roti sajian untuk Allah kepada Daud yang kelaparan untuk makan (1 Sam 21:1-6; Mrk 2:23-26). dan satu-satunya yang selamat dari pembantaian para imam yang diperintahkan oleh Saul di Nob (1 Sam 22:20). Ia melarikan diri kepada Daud dengan membawa efod (1 Sam 23:6), dan selanjutnya menjadi imam utama Daud selama masa dikejar-kejar Saul. Tugasnya pada masa itu tidak menentu, tetapi ia teguh setia kepada Daud selama pemberontakan Absalom (2 Sam 15:1-12). Sesudah pemberontakan, Abyatar tetap mengabdi kepada Daud bersama dengan Zadok di Yerusalem. Selama pemerintahan Daud, Abyatar terbilang sebagai salah seorang imam kepala (bdk 1 Taw 15:11; 2 Sam 20:25).

      Ketika Daud hampir mati, Abyatar memberikan dukungannya bukan kepada Salomo, melainkan kepada Adonia, sedang Zadok membela Salomo (1 Raj 1-2, 19,25; 2:22). Begitu dinobatkan, Salomo mencopot jabatan iman Abyatar dan mengasingkannya ke Anatot; Abyatar tidak dihukum mati karena pengabdiannya selama banyak tahun kepada Daud (1 Raj 2:26-27). Zadok mendapatkan jabatan Abyatar (1 Raj 2:35). Berakhirnya masa jabatan imam Abyatar memenuhi ramalan yang dibuat 150 tahun sebelumnya (1 Sam 2:27-36) bahwa keluarga imam Eli akan berakhir karena ketidaksetiaan. 


Lihat juga: Anak Manusia

DANA GRANT UNTUK RISET LINGKUNGAN HIDUP

 

Meneruskan

Tawaran Grant untuk Penelitian Lingkungan hidup

https://www.lakemac.com.au/Our-Council/Grants-and-funding/Environmental-Research-Grants

2022-2023 applications are now open, and will close at 5pm Tuesday 31 January 2023.

The Lake Macquarie Environmental Research Grants Program is designed to support projects that will assist Council and other environmental managers to develop appropriate land-use practices, plan remedial and preventative works and adjust management strategies.

University researchers (students and academics) and research-based organisations are encouraged to apply. Successful applicants can receive up to $8000, and higher sums have been approved in special circumstances.

Grant funds are available to cover consumables and costs incurred during field work including travel expenses. Funds can also cover laboratory work, computing and printing costs. Payment of wages, purchasing of durables or living allowances is not eligible to be grant funded. The Program cannot fund university administration charges or overheads charges by your institution.   

Projects

This year, Council and the Sponsors are particularly interested in projects that have not previously attracted research proposals, being:

  • Alternative sources and efficient use of energy and water.
  • Use of smart technology to further sustainability goals.
  • Impacts of transport.
  • Waste and quarry rehabilitation.
  • Mosquitoes and their impacts on health.
  • Impacts of tourism, recreational fishing and boating.
  • Biodiversity offsetting to address the loss of biodiversity values.
  • Techniques to track progress towards sustainability goals.
  • Glass recycling including the application of glass fines and improved processes for cleaning of glass fines from MRF waste stream.
  • Strategies for businesses and households to retain value from past investment in rooftop solar PV.
  • Identifying opportunities for residential energy efficiency upgrades.
  • Use of composts derived from curbside food and garden organics collection services.
  • Adaptable building and infrastructure design.
  • Environmental impact of extreme weather events.

For further information or to submit an application, click here.

Deadline: January 31, 2023



PERCIKAN ISYU DARI PACEM IN TERRIS

 


Pacem in Terris adalah Ensiklik Paus St Yohanes XXIII (Paus yang Baik) yang terbit pada April 1963, dua bulan sebelum beliau wafat. Tahun penerbitan penting untuk melihat latar belakang situasi saat itu. Ada beberapa hal unik pada Pacem in Terris yang dapat menjadi subyek studi tersendiri, dengan bahasan progresif, mulai dari dampak pengaruhnya setelah waktu penerbitan hingga sekarang.

1. Pacem in Terris adalah ensiklik atau malahan ajaran sosial pertama yang mengangkat persoalan perdamaian di dunia, sebagai visi dan sebagai program kerja (PT 166-172).

2. Pacem in Terris keluar dari jalur tradisi yang biasa mengalamatkan surat eksiklik kepada anggota gereja saja, adalah ensiklik pertama yang juga menyapa orang di luar gereja, "kepada semua orang yang berkehendak baik".

3. Pacem in Terris adalah Ensiklik pertama yang membahas Hak Asasi dan Kewajiban Asasi Manusia (PT 11-35) dan atas dasar itu menguraikan fungsi masyarakat, negara dan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) (PT 39-44; PT 41-79; PT 80-106; PT 142-145).

4. Pacem in Terris adalah Ensiklik pertama yang membahas perlombaan persenjataan, menyarankan pengurangan senjata bahkan perlucutan senjata (PT 109-113).

5. Pacem in Terris adalah Ensiklik pertama yang menyuarakan Kerjasama Global demi kesejahteraan manusia. Globalisasi kesejahteraan (PT 130-141).

6. Pacem in Terris walaupun sepintas kilas adalah Ensiklik pertama yang mendorong upaya memajukan peranan wanita (PT 41 dan 19).



7. Metodologi Pacem in Terris mulai dengan Hukum Alam (PT 1-7) secara induktif, dan diakhiri dengan Hukum Alam (PT 157) dibumbui dengan etika Kristiani (PT 158-173). Ada yang menarik jika metodologi ini dibandingkan dengan dokumen Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II,

Ada yang menemukan topik lain?

Baca Juga: PERDAMAIAN DI DUNIA