Daftar Blog Saya

Jumat, 07 Oktober 2022

ORANG KATOLIK KOSMETIK



HomilĂ­a del Cardenal Jorge M. Bergoglio (Paus Fransiskus)

Dalam perumpamaan Mat 21:28-32, Yesus berbicara kepada ahli hukum, orang-orang Farisi, yang adalah orang-orang yang seperti dikatakan kepada kita, “menganggap dirinya benar”, bahwa yang mereka lakukan adalah baik, adalah sempurna dan memandang rendah semua orang lain. Mereka menganggap orang lain adalah tidak sempurna, orang lain adalah orang berdosa, dan seterusnya.

Aku ingat perumpamaan lain, kisah Yesus lainnya (Luk 18:9-14, Perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai), yang menceritakan suatu ketika di Bait Allah seorang  Farisi maju berdiri di hadapan altar dan berdoa, "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti orang lain, " (Luk 18:11) aku memenuhi semua, aku sempurna, dan Yesus mengatakan bahwa jauh di sana adalah seorang pemungut cukai, yang berbaring menengadah, memukul-mukul dirinya dan mengakui bahwa  dirinya seorang berdosa. Pemungut cukai  itu menyadari diri sebagai pengkhianat negeri mereka sendiri,  menjadi kaki tangan  dalam mengumpulkan pajak, dan membayarkannya ke Kekaisaran Romawi, maka pemungut cukai itu berkata: "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini" (Luk 18:13). Yesus berkata, "orang ini (pemungut cukai) pulang kerumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah, sedang orang yang lain itu (orang Farisi), tidak " (bdk Luk 18:14)

Selanjutnya ada lagi perumpamaan serupa.  Di sini dikisahkan seorang bapa, yang merupakan gambaran bagi Allah, memunyai dua orang anak laki-laki dan yang satu sangat santun, sangat baik, selalu bilang ya pada segalanya yang diperintahkan agar dilakukannya.  Anak yang lainnya dilukiskan lebih temperamental, suka mengungkapkan kemarahan atau perasaannya, tetapi hatinya  terbuka pada kesusahan Tuhan dan karena itu bertobat. Kepada orang Farisi Yesus bertanya: “Di antara kedua anak itu, mana yang melakukan kehendak ayahnya?” Apakah anak yang menjawab, "Aku tidak mau" yang pada saat itu sedang ngambek, memang ia ngambek, tapi kemudian ia berpikir bahwa ia harus mematuhi ayahnya, lalu memikirkan tugasnya dan memenuhi kehendak bapanya.  Ataukah anak yang  lain yang menjawab "Baik ,bapa" tetapi ia tidak pergi melaksanakannya.  Dia tidak memenuhi kehendak ayahnya, tetapi terus berusaha tampil seolah-olah ia patuh. Dari situ muncullah persoalan orang-orang Kristen 'kosmetik', orang-orang Kristen yang tampak bersikap baik, tapi sebenarnya adalah kebiasaan yang buruk.


- Saya benar-benar seorang Katolik, saya anggota perkumpulan katolik ini dan itu.
- Katakan padaku, apakah kau punya pembantu rumah tangga di rumah?
- Ya

-          dan apakah kamu membayarnya secara adil, atau membeda-bedakan?

-          Tentu sungguh baik jika Anda berhenti  mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu…

-          Dengan mengajukan pertanyaan.

 

Dan jika Anda terus bertanya, akan tampak bahwa ia menjalani kehidupan ganda yang mencemaskan. Orang Kristen seperti ini, adalah orang Kristen Farisi, yang menimbulkan lebih banyak kerusakan pada umat Allah. Maka Yesus berkata kepada orang banyak "lakukanlah segala sesuatu  yang mereka ajarkan kepadamu karena mereka mengajarkan hal-hal yang baik, tapi jangan turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka tidak melakukan apa yang mereka ajarkan, " (Mat 23:3) karena mereka menjalani kehidupan ganda. Yesus menyebutkan dua kata sifat yang cocok benar bagi mereka. Yang pertama berulang kali  mereka disebut munafik, "Romo, saya sehari-harian ke gereja dan  melakukan banyak hal" dan Yesus menyebutnya “munafik”, karena apa yang tampak berbeda dari apa yang diamalkan dalam hidup. Dan kata sifat yang kedua adalah gambaran  "kuburan yang dilabur putih," (bdk Mat 23:27) seperti kuburan yang indah, semua bagus di luar namun kita tahu apa yang ada di dalamnya: busuk (Mat 23:27).  Orang Kristen di permukaan belaka.  
Dan di sini Yesus menyatakan kehendak-Nya agar kita tidak ikut-ikutan jalan orang yang berpuas diri.

 

Ketahuilah bahwa untuk menjadi seorang Kristen yang baik sangat penting untuk mengakui bahwa kita adalah orang berdosa. Jika seseorang di antara kita menganggap dirinya tidak berdosa, dia bukan orang Kristen yang baik. Ini adalah syarat pertama. Karena itu kita khususnya mengakui secara konkret: "Saya berdosa dalam hal ini, dalam hal itu, karena ini .... " Ini adalah syarat pertama untuk mengikut Yesus. Dari sini kita memahami kata-kata dalam kalimat yang begitu sulit pada akhirnya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai (yang adalah pengkhianat negara) dan perempuan-perempuan sundal  akan mendahului kamu masuk dalam Kerajaan Surga." Maksudku, Yesus menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan dia berkata: Bapa di surga bukanlah bapa yang melaksanakan keadilan secara legalistik. Dia adalah Bapa yang penuh belas kasihan”.  

 

Dan doa dari Misa hari ini menyatakan satu hal yang mungkin kurang kita pahami, kita berseru kepada Allah, "Allah yang lebih kuat kuasa dalam belas kasihan dan pengampunan." Begitu besarnya kuasa Allah hingga memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia, namun Ia memiliki kuasa yang lebih besar lagi untuk mengampuni, tapi untuk itu kita perlu menyediakan ruang, untuk membuka hati kita, yang memadai untuk menyilakan masuk rahmat dan pengampunan-Nya.

 

Maka marilah lanjut lagi sekarang, dengan merayakan ulang tahun Komunitas Sant'Egidio, yang terus-menerus berkaitan dengan upaya membuka jalan bagi mereka yang merasa diri tidak layak, karena tampaknya tidak ada tempat bagi mereka dan karena kurang disukai, mintalah anugerah Tuhan supaya membuka hati kita.

 "Bapa: Bagaimana saya tahu apakah saya seorang Kristen di permukaan saja ataukah saya seorang pengikut Yesus? "

“Perhatikanlah, salah satu ciri orang Katolik di “permukaan” yang munafik, kuburan yang dilabur putih, adalah bahwa ia selalu mengkritik orang lain, ia selalu bicara buruk tentang orang lain, entah  seseorang anggota keluarga, entah tetangga atau rekan kerja. Di sebaliknya ia mengulangi  perbuatan orang Farisi yang berdiri di depan altar dan berkata: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti orang lain. " Ada suatu pepatah kecil : “Untuk menutupi rasa malu pada tetangga karena memakai pakaian putih sebagai tanda pengakuan bahwa ia berdosa," maka ia malahan melontarkan kecaman-kecaman. Itu adalah ciri pertama Kristen yang kaku, munafik, seorang Farisi selalu berbicara buruk tentang orang lain.


Mari
lah kita sekarang memohon kepada Yesus rahmat dari-Nya untuk membuka hati dan budi kita bagi rahmat pengampunan-Nya, katakanlah kepada Tuhan: ya, Tuhan saya berdosa, saya berdosa karena ini, ini dan ini.
Datanglah, ya Tuhan, datanglah membenarkan saya di hadapan Bapa.



Diterjemahkan Bambang Kussriyanto dari Cristiani di facciata.

HomilĂ­a del Cardenal Jorge M. Bergoglio en ocasiĂłn del 43Âş Aniversario de la Comunidad de Sant’Egidio (Buenos Aires - Catedral Metropolitana – 24 de Septiembre de 2011) 



Persoalan dan Serangan Fundamentalis Terhadap Gereja Katolik


 


                Fundamentalisme menganggap Kitab Suci sebagai dasar iman mereka. Paham mereka tentang inspirasi dan sifat tidak bisa salahnya Kitab Suci berasal dari pengertian Benjamin Warfield tentang inspirasi verbal-sepenuhnya, yang berarti bahwa para pengarang Kitab Suci mendapat ilham dan ilham itu meliputi tidak hanya berkenaan dengan pesan yang hendak disampaikan Allah saja, tetapi juga setiap kata-kata yang dipilih oleh para penulis suci. Bagi banyak orang fundamentalis, khususnya mereka yang tidak mempunyai kecenderungan intelektual, inspirasi disusutkan menjadi teori dikte – yaitu bahwa para pengarang insani itu hanya semata-mata tukang steno, yang tugasnya hanya membuat alih-tulisan atas Suara.  Tentu saja ini menyiratkan pengertian bahwa Kitab Suci bukan saja tanpa kesalahan, yang juga merupakan pendirian Katolik asli, tetapi juga bahwa Kitab Suci sama sekali tidak mengandung bias makna (ambiguitas) dan juga kiasan-kiasan, sehingga kata-kata dipahami dalam arti kata yang harfiah, dan sering baru bisa dimengerti jika kata-kata itu dilepaskan dari konteksnya. (salah satu kekecualian adalah Yoh 6, di mana Ekaristi dijanjikan. Bab ini anehnya tak pernah diterima harafiah apa adanya oleh kaum fundamentalis, melainkan oleh umat Katolik).

                Persoalan pokok pada pemahaman fundamentalis atas Kitab Suci ialah bahwa mereka tidak punya dasar rasional untuk apa yang mereka yakini. Kedengarannya penilaian ini kasar sekali, namun memang begitulah yang sebenarnya, dan kaum fundamentalis mengakuinya. E.J. Young berkata, “Jika Kitab Suci sendiri bukan saksi yang dapat dipercaya karakternya, kita tak punya jaminan bahwa iman Kristiani didasarkan pada kebenaran.”Ia menyatakan bahwa penolakan menjadikan Kitab Suci satu-satunya norma niscaya mencakup “hasil-hasil yang bertentangan dengan Kekristenan yang adi-kodrati.”  Kitab Suci harus diterima sebagai satu-satunya penentu iman karena adanya pendirian yang lain akan menyelewengkan Kekristenan, dan karenanya, menggunakan kata-kata Churchill, sesuatu terjadi tanpa bisa kita kendalikan. Kita percaya bahwa Kitab Suci pasti benar, kata kaum Fundamentalis, karena berpendirian lain berarti menyangkal kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Tidaklah sulit melihat pendirian ini lalu jarang menimbulkan pemikiran intelektual selanjutnya, karena ada implikasi bahwa orang tetap diselamatkan meskipun menerima pengertian yang keliru tentang Kitab Suci sejauh kebenaran-kebenaran dasar Kristen, apa pun isi yang dipikirkan, tetap dipertahankan.

                Walaupun ajaran tentang inspirasi dan kebenaran mutlak Kitab Suci adalah yang pertama dikatakan oleh orang yang paling fundamentalis, ajaran yang mendahului logisnya adalah keilahian Kristus. Bagi umat Katolik, keilahian ini diterima baik menurut ajaran yang berwenang dan tak dapat salah dari Gereja maupun karena pemeriksaan yang cermat atas Kitab Suci dan sejarah umat Kristiani awal menunjukkan bahwa Kristus tentulah sungguh seperti yang dinyatakan, yaitu Allah. Secara praktis, kebanyakan umat Katolik mengikuti cara yang pertama [menerima ajaran Gereja]; namun banyak juga yang menggunakan cara yang kedua [mempelajari Kitab Suci] tanpa menyangkal cara yang pertama [menerima ajaran Gereja]. Apologet Arnold Lunn  adalah contoh yang baik. Manapun cara yang ditempuh melibatkan penalaran tertentu. Namun bagi fundamentalis, jaminan keilahian Kristus bukan berdasarkan penalaran, juga bukan melalui iman dalam arti kata yang dipahami umat Katolik, tetapi dari suatu cara yang lain.

                Warfield menyatakan, “Bukti utama bagi setiap orang Kristen mengenai keilahian Tuhan terdapat dalam pengalaman batin masing-masing atas daya kuasa Tuhan yang mengubah hati dan hidupnya.”  Salah satu konsekuensi dari pendirian ini jelas menjadi payah bagi kaum fundamentalis. Jika orang jatuh ke dalam dosa, atau jika semangat pertobatannya memudar, daya pengubah dari Kristus serasa pergi juga, dan bersamanya hilang pula kepercayaan orang itu pada keilahian Kristus. Adalah persoalan lain jika dikatakan bahwa kepercayaan harus mewujud sendiri dalam diri orang Kristen sehingga orang lalu “melihat bagaimana mereka itu saling mengasihi”. Adalah hal yang berbeda menyatakan kebenaran tentang keilahian Kristus berdasarkan kekudusan dan penghiburan rohani manusiawi. Ini menyebabkan banyaknya pengikut yang meninggalkan fundamentalisme. Malam gelap jiwa, yang menghinggapi banyak orang, menyebabkan goyahnya pendirian fundamentalis, dan kemudian yang sering diikuti bukanlah bentuk lain dari Kekristenan, melainkan sikap agnostisisme yang ragu.

                Salah satu tambahan pada ajaran keilahian Kristus dan dianggap sama pentingnya dalam seri buku The Fundamentals adalah Kelahiran Kristus dari Seorang Perawan. (Sebagian fundamentalis meyisihkan soal ini tersendiri, sehingga ajaran dasar mereka bukan lima, melainkan enam). Jika soal realitas surga dan neraka atau keberadaan Allah Tritunggal bisa dikemudiankan, soal Kelahiran dari Seorang Perawan merupakan keyakinan yang vital, karena keyakinan itu melindungi keyakinan akan keilahian Kristus. Namun perlu diingat, bahwa jika kaum fundamentalis bicara tentang kelahiran Kristus dari Seorang Perawan, yang mereka maksudkan adalah bahwa keadaan perawan itu hanya bertahan sampai Kristus dilahirkan saja. Pada umumnya mereka punya pengertian bahwa Maria nantinya punya anak-anak lain, yang oleh semua murid disebut sebagai “saudara-saudara” Kristus.

                Menanggapi ajaran aliran Injil Sosial yang menyatakan bahwa Kristus tidak lebih hanya memberikan teladan moral yang baik, kaum fundamentalis awal mengajukan butir ketiga dari fundamental mereka, yaitu bahwa Kristus wafat sebagai silih dosa. Dia tidak hanya memikul dosa-dosa kita; Dia juga benar-benar menanggung hukuman yang  seharusnya kita terima. Dia dihukum Bapa menggantikan kita.

                Dalam hal Kebangkitan kaum fundamentalis tidak berbeda dari kepercayaan asli Katolik. Kristus bangkit dari mati dengan ragaNya, bukan hanya simbolis. KebangkitanNya bukanlah hasil halusinasi bersama dari para pengikut atau sesuatu yang ditemukan oleh para penulis suci beberapa tahun kemudian. Kebangkitan itu sungguh terjadi dan menyangkal kebenaran kebangkitan berarti menyangkal kebenaran Kitab Suci.

                Topik yang paling banyak diperdebatkan di antara kaum fundamentalis sendiri adalah Kedatangan yang Kedua. Kalaupun ada kesepakatan hanyalah berkenaan dengan kembalinya Kristus secara fisik di dunia. Kapan terjadinya masih diperdebatkan. Kelompok pramilenialis menyatakan bahwa saatnya adalah sebelum milenium, yaitu pemerintah seribu tahun. Aliran pasca-milenialis menyatakan saatnya sesudah masa pemerintahan seribu tahun itu. Sedang tentang apa yang dimaksud dengan masa pemerintahan seribu tahun itu saja pun masih belum ada kesepakatan yang memadai pula. Juga ada perdebatan tentang Pengangkatan ke Surga para kudus dalam keadaan hidup (Rapture) dan tentang Penghakiman. Sehubungan dengan yang terakhir, ada perbedaan yang luas tentang sifat dan saatnya dalam kaitan dengan pemerintahan seribu tahun (milenium). Ada yang berpendapat bahwa hal itu sudah dekat sekali, dengan  Rusia yang berperan sebagai kekuatan dari utara di dalam Kitab Daniel.  Yang lain menyatakan bahwa masih jauh di masa depan. Jika umat Katolik sebagian tertarik kepada nubuat Santo Malakius tentang para Paus dan kepada tiga rahasia dari Fatima, kaum fundamentalis dapat dikatakan terserap dalam membuat tawarikh Hari-Hari Akhir, dengan satu-satunya kesulitan tidak ada dari setiap dua orang yang sependapat tentang apa yang akan terjadi dan kapan terjadinya. 

                Itulah lima atau enam pokok masalah yang dibicarakan di dalam buku-buku yang menyebabkan fundamentalisme mendapatkan nama sebutannya.  Semua itu bukanlah hal-hal khas yang paling membedakan fundamentalisme dewasa ini. Misalnya sudah jarang sekali dibicarakan soal Kelahiran Kristus dari Seorang Perawan. Tentu saja tidak ada persoalan mengenai kepercayaan kaum fundamentalis pada ajaran itu (bukan tentang keperawanan yang lestari dari Maria), namun bagi umum, dan bagi kebanyakan kaum fundamentalis sendiri, fundamentalisme sekarang mempunyai tekanan yang lain.

Yang paling menyolok adalah sikap fundamentalis dalam mengandalkan Kitab Suci  sama sekali mengesampingkan wewenang apapun dari Gereja. Yang kedua adalah pernyataan iman mereka akan Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. “Apakah saudara menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi?” tanya mereka. “Sudahkah saudara diselamatkan?” Tanpa tedeng aling-aling itulah individualisme Kristiani. Individu diselamatkan sama sekali tanpa memandang gereja, jemaat, atau apa pun yang lain. Suatu hubungan satu-satu, tidak ada pengantara, tidak ada sakramen, hanya orang Kristen perorangan dengan Tuhan.  Orang Kristen tahu bahwa ia telah diselamatkan, hingga jam dan menit penyelamatannya, karena keselamatan itu tiba ketika ia “menerima” Kristus. Datangnya seperti kilat, tak akan terlupakan, seperti yang dialami Paulus di jalan menuju Damaskus.

                Dalam sekejab, keselamatan fundamentalis sudah terjamin. Tidak ada sesuatupun yang dapat membatalkannya. Tanpa saat itu, ia pasti celaka. Itulah sebabnya hal ketiga yang menyolok dari fundamentalisme adalah pewartaan Injil mereka. Jika para pendosa tidak mendapatkan pengalaman keselamatan seperti para fundamentalis, mereka akan masuk neraka. Fundamentalis menganggap penyebaran iman sebagai suatu tugas kewajiban – kasih mana lagi yang lebih besar dari memberi peluang kepada orang lain untuk lepas dari neraka? – dan dalam hal itu mereka sangat sukses.

                Keberhasilan mereka sebagian adalah karena ketekunan mereka. Seluruh pembicaraan mereka tentang Gereja Katolik adalah bahwa mereka itu “budak-aturan”, namun mungkin tak ada orang Kristen dewasa ini yang lebih diatur sedemikian ketat daripada kaum fundamentalis. Aturan-aturan mereka – mungkin dapat dibilang tidak alkitabiah – bukan hanya menyangkut soal agama dan praktek keagamaan yang tepat, tapi meluas sampai seluruh segi kehidupan sehari-hari. (Yang biasanya segera diingat adalah larangan minum minuman keras, berjudi, berdansa dan merokok) . Selain itu, fundamentalis sangat ketat terlibat dengan aktivitas jemaat setempat.

                Banyak orang yang kembali lagi ke pangkuan Gereja Katolik setelah sempat mengikuti fundamentalisme mengeluh, karena sebagai fundamentalis mereka tak punya waktu untuk diri sendiri; segala sesuatu memusat di sekitar Gereja. Semua teman-teman mereka adalah anggota Gereja; semua kegiatan sosial mereka diselenggarakan oleh Gereja. Mangkir dari ibadat Rabu Malam sebagai tambahan untuk satu atau dua ibadat hari Minggu, tidak hadir dalam Pelajaran Kitab Suci atau kumpulan Kaum Muda, tidak mengenakan pakaian seperti teman-teman satu jemaat – semua ini dengan segera dapat mendatangkan kecaman keras, dan di Gereja yang kecil (hanya sedikit saja Gereja fundamentalis yang anggotanya lebih dari seratus orang) ini sudah menyebabkan pengasingan dari jemaat.

                Banyak pengaruh yang mencuat pada fundamentalisme termasuk perpecahan dalam unit-unit baru dari Protestantisme abad kesembilan-belas, yang merupakan tanda-tanda puritanisme – tentu saja bukan puritanisme dari Kaum Puritan abad ketujuh-belas, namun sikap yang merupakan inti setiap pemisahan diri dari Kekristenan tradisional, yaitu hasrat untuk kembali pada kemurnian Gereja perdana. Ragam puritanisme ini tetap menjadi daya dorong fundamentalisme, seperti yang diperlihatkan oleh salah satu tuduhan pokok mereka terhadap Gereja Katolik, yaitu mengaburkan kemurnian Kristen karena memberikan berbagai tambahan berlapis-lapis yang dianggap tidak alkitabiah selama berabad-abad. Bagi fundamentalis, salah satu tugas utama adalah menangkap esensi Kekristenan dari apa yang diucapkan Pendirinya – dan tidak mengakui satupun ”penemuan pembaruan”.

                Banyak orang Katolik yang menulis mengenai fundamentalisme keliru memahaminya. Dengan teori psikologi mereka memandang fundamentalisme sebagai gumpalan perlawanan emosional. Mereka menerima pandangan media populer bahwa fundamentalisme bukanlah suatu teologi melainkan gejala patologis (penyimpangan keseimbangan mental). Dikatakan bahwa orang yang mengikuti pendirian fundamentalisme adalah karena malu menjadi orang miskin, atau karena tidak berpendidikan, atau karena pastor atau pendeta dari Gerejanya yang terdahulu keliru memperlakukan dia, dan dia keluar untuk membalas sakit hatinya atau mencari elusan yang menghibur pada punggungnya. Fundamentalisme tidak diterima seperti cara orang liberal yang mendapat pencerahan menerima liberalisme, dengan pertimbangan dan wawasan panjang. Sementara pengecam bahkan sangat nyaris menyimpulkan setiap orang fundamentalis sebagai orang bodoh yang tak berguna. Memang sebagian demikian – tetapi sebagian orang Katolik juga seperti itu, begitu pula sebagian kecil sekularis.

                Peggy L. Shriver, asisten sekretaris umum pada Dewan Nasional Gereja-gereja Kristus di Amerika Serikat menyatakan bahwa “karena ego yang merasa tidak aman dapat ditopang oleh perancah iman fundamentalis, tidaklah mengherankan bahwa banyak orang yang ‘terpinggirkan’ dalam masyarakat tertarik kepada fundamentalisme. Berbagai kajian menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang kaya dan terdidik menganggap diri fundamentalis, namun sejumlah besar orang yang berpenghasilan kecil dan kurang berpendidikan loncat ke sana.”  Pendapat yang meremehkan secara lembut ini tanpa sikap hati-hati digemakan oleh para penulis Katolik, yang mungkin terperangah ketika tahu bahwa orang-orang fundamentalis seperti Loraine Boettner di dalam bukunya Roman Catholicism, melontarkan tuduhan yang sama terhadap agama Katolik, dengan menyatakan bahwa masyarakat Katolik adalah terbelakang dibanding dengan masyarakat Protestan, seperti kelihatan di Spanyol dan Irlandia, lalu di Inggris dan Amerika Serikat. Gereja Katolik, kata mereka, dipeluk oleh golongan masyarakat miskin, suatu tanda bahwa Katolisisme tidak diberkati oleh Tuhan, karena pilihan ilahi mewujud sendiri melalui kemakmuran material.

                Apapun kekuatan yang mengantar orang menjadi fundamentalis, (memang harus diterima bahwa faktor emosional memainkan peran, seperti umumnya dalam pelbagai pertobatan, ke arah manapun) pertama-tama ia tetap menjadi fundamentalis karena alasan-alasan ajaran. Walaupun mungkin seseorang meninggalkan Gerejanya yang lama karena marah atau frustasi, mungkin ia tertarik kepada kelompok fundamentalis karena pendeta di sana pengkhotbah yang bagus atau anggota Gereja itu bersikap baik kepadanya.

                Dorongan dan tarikan emosional ini berlangsung hanya sebentar, dan dalam sebagian besar kasus hanya membantu orang yang berganti keyakinan melakukan kehendaknya. Ia mungkin dapat menemukan para pendeta yang fasih bicara atau anggota gereja yang baik dalam salah satu gereja arus utama Protestan atau dalam suatu kultus yang eksentrik, namun mungkin yang penting dengan faktor-faktor itu adalah bahwa mereka bukanlah alasan pokok untuk ganti haluan. Perubahan keyakinan itu terjadi karena ajaran. Pelbagai ajaran yang sudah dianutnya bukanlah ajaran yang ditemukannya sendiri, dengan membaca Kitab Suci di larut malam selagi isteri dan anak-anaknya tidur. Ajaran-ajaran itu mula-mula diajarkan kepadanya, dan Kitab Suci digunakan untuk membenarkannya.



                Fundamentalisme menggunakan Kitab Suci untuk melindungi rumus kepercayaan mereka yang adanya mendahului Kitab Suci, dan Kitab Suci ditafsirkan sedemikian sehingga membenarkan apa yang sudah mereka yakini, walaupun sebagian besar fundamentalis mengira bahwa keyakinan mereka langsung berasal dari teks Kitab Suci dan bahwa mereka semata-mata mengetahui makna dari teks itu. Kerancuan dari pihak mereka ini bertemu dengan kerancuan dari pihak sebagian besar non-fundamentalis yang mengira bahwa bahwa kaum fundamentalis menafsirkan Kitab Suci dengan cara yang sungguh harfiah. Ini keliru. Fundamentalis tidak memaknai setiap kata dalam Kitab Suci dengan arti kata yang harfiah, meskipun umum mengira mereka berlaku demikian. Untuk membenarkan sebagian dari ajaran mereka, fundamentalis harus mendapatkan dalam suatu kiasan tafsiran Kitab Suci yang secara “harfiah” baru, dan mereka sering mendapatkan diri saling bertentangan sehubungan dengan kata yang makna harfiahnya justru bersifat perlambang yang berbahaya. Mereka cepat mengenali bacaan mana yang diperlukan untuk mempertahankan pendirian mereka – pendirian yang adanya mendahului tafsiran Kitab Suci mereka.

                Dengan cara yang sama, fundamentalis melibatkan diri dalam kegiatan anti-katolik, menafsirkan bukan saja Kitab Suci, namun juga sejarah kekristenan dan kepercayaan Katolik dan karya apologetik dengan cara apapun yang perlu untuk membuktikan pendirian utama mereka, bahwa agama Katolik hanya mempunyai kemiripan-kemiripan saja dengan agama yang didirikan oleh Kristus, dan bahwa Katolik adalah agama yang didirikan oleh manusia, bukan oleh Tuhan.


Bagaimana menanggapi Kaum Fundamentalis?

KHK Buku I Norma Umum Kan 35 – Kan 95

 



Tentang Tindakan Admnistratif; Dekrit dan Perintah (Instruksi); Reskrip; Privilegi; Dispensasi; Statuta dan Tertib-Acara

JUDUL IV TINDAKAN-TINDAKAN ADMINISTRATIF UNTUK KASUS DEMI KASUS

BAB I NORMA-NORMA UMUM

Kan. 35 Tindakan administratif untuk kasus demi kasus, baik dekret atau perintah maupun reskrip, dapat dilakukan dalam batas kewe-nangannya oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 76, § 1.

Kan. 36 - § 1. Tindakan administratif harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri dan pemakaiannya yang lazim; dalam keraguan, tindakan administratif yang menyangkut sengketa, atau ancaman hukuman atau hukuman yang harus dijatuhkan, atau yang membatasi hak-hak seseorang, atau yang merugikan hak-hak yang telah diperoleh pihak lain, atau yang berlawanan dengan undang-undang yang menguntungkan orang-perorangan, harus ditafsirkan secara ketat; semua yang lain harus ditafsirkan secara luas.

§ 2. Tindakan administratif tidak boleh diperluas pada kasus-kasus lain selain yang disebut.

Kan. 37 - Tindakan administratif yang menyangkut tata-lahir harus diberikan secara tertulis; demikian juga tindakan pelaksanaannya kalau diberikan dalam bentuk dipercayakan-kepada-perantara.

Kan. 38 - Tindakan administratif, biarpun mengenai reskrip yang diberikan dalam bentuk Motu Proprio, tidak mempunyai efek sejauh merugikan hak yang telah diperoleh pihak lain, atau bertentangan dengan undang-undang atau kebiasaan yang telah diakui, kecuali otoritas yang berwenang dengan jelas mencantumkan suatu klausul yang menguranginya.

Kan. 39 - Syarat-syarat dalam tindakan administratif hanya dianggap disertakan demi sahnya, apabila dinyatakan dengan kata kalau, kecuali, asalkan.

Kan. 40 - Pelaksana suatu tindakan administratif tidak sah melaksana-kan tugasnya, sebelum menerima surat serta menyelidiki otentisitas dan keutuhannya, kecuali sebelumnya telah dikirim berita tentang hal itu kepadanya oleh otoritas yang mengeluarkan tindakan itu.

Kan. 41 - Pelaksana tindakan administratif yang hanya ditugaskan untuk melaksanakannya, tidak dapat menolak pelaksanaan tindakan itu, kecuali jelas bahwa tindakan itu tidak sah, atau karena alasan lain yang berat tidak dapat dipertahankan, atau syarat-syarat yang dicantumkan dalam tindakan administratif itu sendiri tidak terpenuhi; tetapi kalau pelaksanaan tindakan administratif itu nampak tidak pada tempatnya karena alasan keadaan orang atau tempat, pelaksana hendaknya menunda tindakan itu; dalam kasus-kasus itu hendaknya otoritas yang mengeluarkan tindakan itu segera diberitahu.

Kan. 42 - Pelaksana tindakan administratif harus bertindak menurut norma mandat; tetapi kalau syarat pokok yang dicantumkan dalam surat tidak dipenuhinya dan bentuk hakiki dari prosedur tidak ditepatinya, pelaksanaan itu tidak sah.

Kan. 43 - Menurut pertimbangannya yang bijaksana pelaksana tindakan administratif dapat menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya, kecuali penggantian itu dilarang, atau ia sengaja dipilih karena kuali fikasi pribadinya atau penggantinya telah ditentukan; tetapi dalam kasus-kasus itu pelaksana boleh mempercayakan tindakan-tindakan persiapan kepada orang lain.

Kan. 44 - Pelaksanaan tindakan administratif dapat juga dilakukan oleh pengganti pelaksana dalam jabatan, kecuali pelaksana tersebut sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya.

Kan. 45 - Kalau seorang pelaksana melakukan kesalahan dalam pelak-sanaan tindakan administratif, ia boleh melakukannya sekali lagi.

Kan. 46 - Tindakan administratif tidak berhenti dengan berakhirnya hak orang yang menentukannya, kecuali dalam hukum dengan jelas dinyata-kan lain.

Kan. 47 - Pencabutan tindakan administratif dengan tindakan administratif lain dari otoritas yang berwenang memperoleh efek hanya sejak saat hal itu diberitahukan secara legitim kepada orang yang bersangkutan.



BAB II DEKRET DAN PERINTAH UNTUK KASUS DEMI KASUS

Kan. 48 - Yang dimaksud dengan dekret untuk kasus demi kasus ialah suatu tindakan administratif yang dikeluarkan oleh otoritas eksekutif yang berwenang; sesuai dengan norma hukum tindakan itu memberikan keputusan atau pengaturan untuk kasus partikular yang menurut hakikatnya tidak mengandaikan permohonan dari seseorang.

Kan. 49 - Perintah untuk kasus demi kasus ialah suatu dekret yang secara langsung dan legitim mewajibkan seseorang atau orang-orang tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; hal itu diberikan terutama untuk mendorong pelaksanaan undang-undang.

Kan. 50 - Sebelum mengeluarkan dekret untuk kasus demi kasus, otoritas yang bersangkutan harus mencari informasi dan bukti yang perlu dan sedapat mungkin mendengarkan mereka yang haknya dapat dirugikan.

Kan. 51 - Dekret harus diberikan secara tertulis; jika menyangkut suatu keputusan, alasan-alasannya harus dinyatakan sekurang-kurangnya secara ringkas.

Kan. 52 - Dekret untuk kasus demi kasus mempunyai kekuatan hanya mengenai hal-hal yang diputuskan dan untuk orang-orang yang diberi dekret itu; tetapi dekret itu mewajibkan mereka di manapun, kecuali pasti lain.

Kan. 53 - Kalau dekret-dekret bertentangan satu sama lain, dekret khusus harus diutamakan di atas dekret umum dalam hal-hal yang dirumuskan secara khusus; kalau sama-sama khusus atau umum, dekret yang kemudian mengubah dekret yang mendahuluinya, sejauh bertentangan dengannya.

Kan. 54 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas yang mengeluarkannya.

§ 2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan norma hukum.

Kan. 55 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita-acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir.

Kan. 56 - Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang bersang-kutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menanda-tanganinya.

Kan. 57 - § 1. Setiap kali undang-undang memerintahkan untuk menge-luarkan dekret atau orang yang berkepentingan mengajukan secara legitim permohonan atau rekursus untuk memperoleh dekret, otoritas yang berwenang harus mengurus hal itu dalam waktu tiga bulan sesudah permohonan atau rekursus diterima, kecuali dalam Undang-undang ditentukan batas waktu yang lain.

§ 2. Kalau batas waktu itu telah lewat dan dekret belum diberikan, jawaban diandaikan negatif berkaitan dengan pengajuan rekursus lebih lanjut.

§ 3. Jawaban yang diandaikan negatif tidak membebaskan otoritas yang berwenang dari kewajibannya untuk mengeluarkan dekret, bahkan juga untuk memberi ganti rugi yang mungkin timbul, sesuai dengan norma kan. 128.

Kan. 58 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara legitim oleh otoritas yang berwe-nang dan juga dengan berhentinya undang-undang yang untuk pelaksa-naannya diberikan dekret itu.

§ 2. Perintah untuk kasus demi kasus yang tidak diberikan dengan dokumen legitim berhenti dengan berakhirnya hak pemberi perintah itu.



BAB III RESKRIP

Kan. 59 - § 1. Reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh otoritas eksekutif yang berwenang, yang menurut hakekatnya memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang.

§ 2. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai reskrip berlaku juga untuk pemberian izin dan kemurahan yang dibuat secara lisan, kecuali pasti lain.

Kan. 60 - Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang yang dengan jelas tidak dilarang.

Kan. 61 - Kecuali pasti lain, reskrip dapat diperoleh untuk orang lain, juga tanpa persetujuannya, dan berlaku sebelum penerimaannya, dengan tetap berlaku klausul-klausul yang berlawanan.

Kan. 62 - Reskrip yang diberikan tanpa pelaksana mempunyai efek sejak saat surat diberikan; yang lain-lain sejak saat pelaksanaannya.

Kan. 63 - § 1. Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran menghalangi sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyata-kan demi sahnya, kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.

§ 2. Demikian juga obreptio atau menyatakan sesuatu yang tidak benar menghalangi sahnya reskrip jika dari alasan-alasan yang dikemu-kakan sebagai motif bagi reskrip tak satupun benar.

§ 3. Dalam reskrip tanpa pelaksana alasan yang menjadi motif untuk memberinya haruslah benar pada waktu reskrip itu diberikan; dalam reskrip yang lain, pada waktu pelaksanaannya.

Kan. 64 - Dengan tetap berlaku hak Penitensiaria untuk tata-batin, kemurahan yang ditolak oleh salah satu dikasteri Kuria Roma, tidak dapat diberikan dengan sah oleh dikasteri lain dari Kuria itu atau otoritas lain yang berwenang dibawah Paus di Roma, tanpa persetujuan dikasteri yang mulai menanganinya.

Kan. 65 - § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan § 2 dan § 3, tak seorang pun boleh memohon kepada Ordinaris lain kemurahan yang sudah ditolak oleh Ordinarisnya sendiri, tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi walaupun disebut, janganlah Ordinaris itu memberikan kemurahan itu, kecuali telah memperoleh alasan-alasan penolakan dari Ordinaris pertama.

§ 2. Kemurahan yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal, tidak dapat diberikan dengan sah oleh seorang Vikaris lain dari Uskup yang sama, walaupun alasan-alasan penolakan itu telah diperoleh dari Vikaris yang menolaknya.

§ 3. Adalah tidak sah kemurahan, yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal dan kemudian diperoleh dari Uskup diosesan tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi kemurahan, yang telah ditolak oleh Uskup diosesan, tidak dapat diberikan dengan sah oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopalnya tanpa persetujuan Uskup diosesan, walaupun penolakan itu disebutkan.

Kan. 66 - Reskrip tetap berlaku walaupun terdapat kekeliruan tentang nama orang yang menerimanya atau yang memberinya, atau tentang tempat tinggalnya atau tentang hal yang dipersoalkan, asal saja menurut penilaian Ordinaris tidak ada keraguan tentang orang atau hal yang dimaksudkan.

Kan. 67 - § 1. Jika terjadi bahwa mengenai suatu hal yang sama diperoleh dua reskrip yang bertentangan satu sama lain, maka reskrip khusus, yang merumuskan hal-hal khusus, diutamakan diatas reskrip umum.

§ 2. Kalau sama-sama khusus atau umum, reskrip yang mendahului diutamakan diatas yang kemudian, kecuali dalam yang kedua dengan jelas disebutkan mengenai yang pertama; atau penerima pertama tidak menggunakan reskripnya karena tipu-muslihat atau kelalaian berat.

§ 3. Dalam keraguan apakah reskrip sah atau tidak, hendaknya dimohon keterangan kepada orang yang memberi reskrip itu.

Kan. 68 - Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa pelaksana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperolehnya, hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa.

Kan. 69 - Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan waktunya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak ada kebohongan dan tipu-muslihat.

Kan. 70 - Kalau dalam reskrip pemberian kemurahan itu dipercayakan kepada pelaksana, dia dapat menyetujui atau menolak memberikan kemurahan itu menurut pertimbangan yang arif dan suara hatinya.

Kan. 71 - Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain secara kanonik ia wajib menggunakannya.

Kan. 72 - Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.

Kan. 73 - Reskrip tidak dicabut dengan undang-undang yang berten-tangan, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan lain.

Kan. 74 - Walaupun kemurahan yang diberikan secara lisan dapat digunakan orang dalam tata-batin, ia wajib membuktikannya untuk tata-lahir, setiap kali hal itu secara legitim diminta dari padanya.

Kan. 75 - Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau dispensasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati.



BAB IV PRIVILEGI

Kan. 76 - § 1. Privilegi atau kemurahan yang diberikan lewat suatu tindakan khusus demi keuntungan baik perorangan maupun badan bukum tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang dan juga oleh otoritas eksekutif yang diberi kuasa itu olehnya.

§ 2. Pemilikan selama seratus tahun atau sejak waktu yang tidak diingat lagi menimbulkan pengandaian bahwa privilegi itu telah diberikan.

Kan. 77 - Privilegi harus ditafsirkan menurut norma kan. 36, § 1; tetapi selalu harus digunakan penafsiran yang sedemikian sehingga mereka yang menerima privilegi sungguh-sungguh memperoleh suatu kemurahan.

Kan. 78 - § 1. Privilegi diandaikan bersifat tetap, kecuali dibuktikan kebalikannya.

§ 2. Privilegi personal, yakni yang mengikuti persona, terhenti bersama dengan matinya persona itu.

§ 3. Privilegi real terhenti dengan kehancuran total benda atau tempatnya; tetapi privilegi lokal (atas tempat) hidup kembali, kalau tempat itu dibangun lagi dalam waktu limapuluh tahun.

Kan. 79 - Privilegi terhenti dengan pencabutan oleh otoritas yang berwenang menurut norma kan. 47, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 81.

Kan. 80 - § 1. Tiada privilegi yang terhenti karena seseorang melepaskannya, kecuali hal itu diterima oleh otoritas yang berwenang.

§ 2. Setiap orang dapat melepaskan privilegi yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri.

§ 3. Privilegi yang diberikan kepada suatu badan hukum, atau yang diberikan karena luhurnya tempat atau benda, tidak dapat dilepaskan oleh perorangan; badan hukum itu sendiri tidak dapat melepaskan privilegi yang diberikan kepada dirinya, kalau hal itu merugikan Gereja atau pihak-pihak lain.

Kan. 81 - Dengan berbentinya hak pemberi, privilegi itu sendiri tidak terhenti, kecuali diberikan dengan klausul ad beneplacitum nostrum (atas perkenan kami) atau klausul lain yang senilai.

Kan. 82 - Dengan tidak digunakannya atau digunakannya secara bertentangan, privilegi yang tidak merupakan beban bagi orang lain, tidak terhenti; sedangkan privilegi yang merupakan beban bagi orang lain, hilang kalau sudah kedaluwarsa secara legitim.

Kan. 83 - § 1. Privilegi terhenti kalau waktunya telah lewat atau telah terpenuhi jumlah kasus untuknya privilegi itu diberikan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 142, § 2.

§ 2. Juga terhenti kalau menurut penilaian otoritas yang berwenang dengan perjalanan waktu situasi begitu berubah, sehingga privilegi mulai merugikan dan pemakaiannya menjadi tidak licit.

Kan. 84 - Kalau seseorang menyalahgunakan kuasa yang diberikan kepadanya dengan privilegi, selayaknya privilegi itu dicabut dari padanya; karena itu kalau Ordinaris telah memperingatkan pemilik privilegi itu dengan sia-sia, hendaklah ia mencabut privilegi yang telah diberikannya sendiri dari orang yang menyalahgunakannya secara berat; kalau privilegi itu diberikan oleh Takhta Apostolik, Ordinaris berwajib memberitahukan kepadanya.

BAB V DISPENSASI

Kan. 85 - Dispensasi atau pelonggaran dari daya-ikat Undang-undang yang semata-mata gerejawi dalam kasus tertentu, dapat diberikan oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif dalam batasbatas kompetensi-nya, dan juga oleh mereka yang memiliki secara eksplisit atau implisit kuasa memberikan dispensasi, baik atas dasar hukum maupun atas dasar delegasi yang legitim.

Kan. 86 - Tidak dapat diberikan dispensasi dari undang-undang sejauh undang-undang itu merumuskan unsur-unsur yang secara hakiki konsti-tutif dari lembaga atau tindakan yuridis.

Kan. 87 - § 1. Setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepen-tingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun parti-kular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya, tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu otoritas lain.

§ 2. Jika rekursus ke Takhta Suci sulit dan sekaligus ada bahaya kerugian besar kalau tertunda, maka setiap Ordinaris dapat memberikan dispensasi dari undang-undang tersebut, juga kalau dispensasi direser-vasi Takhta Suci, asalkan mengenai dispensasi yang biasa diberikan dalam situasi yang sama, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291.

Kan. 88 - Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi dari undang undang diosesan; dan setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan kaum beriman, juga dari undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu Konsili paripurna atau provinsi, atau juga oleh Konferensi para Uskup.

Kan. 89 - Pastor-paroki dan imam-imam lain atau diakon tidak dapat memberi dispensasi dari undang-undang universal dan partikular, kecuali kuasa itu dengan tegas diberikan kepadanya.

Kan. 90 - § 1. Jangan diberikan dispensasi dari undang-undang gerejawi tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dengan memperhatikan keadaan kasus dan bobot undang-undang yang didispensasi; kalau tidak demikian dispensasi tidak licit dan, kecuali diberikan oleh pembuat undang-undang sendiri atau atasannya, dispensasi itu juga tidak sah.

§ 2. Dalam keraguan mengenai cukup-tidaknya alasan, dispensasi diberikan dengan sah dan licit.

Kan. 91 - Seseorang yang memiliki kuasa untuk memberikan dispen-sasi, dapat melaksanakannya, juga kalau ia berada di luar wilayahnya, terhadap bawahan-bawahannya, walaupun mereka sedang berada di luar wilayahnya; dan kalau tidak dengan jelas ditentukan lain, juga terhadap pendatang yang sedang berada di wilayahnya, dan juga terhadap dirinya sendiri.

Kan. 92 - Penafsiran sempit berlaku bukan hanya untuk dispensasi menurut norma kan. 36, § 1, melainkan juga untuk kuasa itu sendiri dalam memberikan dispensasi untuk kasus tertentu.

Kan. 93 - Dispensasi yang memiliki penerapan berturut-turut terhenti dengan cara-cara yang sama seperti halnya privilegi, dan juga dengan terhentinya secara pasti dan menyeluruh alasan yang menjadi motif dispensasi itu.



JUDUL V STATUTA DAN TERTIB-ACARA

Kan. 94 - § 1. Statuta dalam arti sebenarnya ialah peraturanperaturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum); dan di dalamnya dirumuskan tujuan, penataan, kepemimpinan dan tata-kerjanya.

§ 2. Yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok orang hanyalah orang yang secara legitim adalah anggotanya; yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok benda ialah para pengurusnya.

§ 3. Ketentuan-ketentuan statuta yang dibuat dan diundangkan atas dasar kuasa legislatif, diatur dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.

Kan. 95 - § 1. Tertib-acara ialah aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditepati dalam sidang-sidang, baik yang ditentukan oleh otoritas gerejawi maupun yang diadakan dengan bebas oleh umat beriman kristiani, dan juga dalam perayaan-perayaan lain, di dalamnya dirumus-kan hal-hal yang berhubungan dengan penataan, kepemimpinan dan tata-kerja.

§ 2. Dalam sidang atau perayaan, aturan tata-tertib itu mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya.


Dipetik untuk keperluan studi dari Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi terjemahan Bahasa Indonesia, KWI 2005.



APOLOGIA KREATIF BERTOLAK DARI KONSILI VATIKAN II

 Bambang Kussriyanto




Dalam perjumpaan dengan para pengurus Ikatan Alumni Filsafat-Teologi (Ikafite) Sanata Dharma, sebelum diangkat menjadi Rektor Sanata Dharma Ketua Fakultas Teologi Wedabhakti Rm Bagus Laksana SJ mengharapkan para alumni yang tergabung dalam Ikafite di dalam hidup bermasyarakat melaksanakan “Apologia Kreatif”. Ia mengandaikan kita semua tahu apa yang dimaksudkan dengan “apologia kreatif” itu. Dan hadirin pun tidak ada yang bertanya apa itu “apologia kreatif”, mengandaikan masing-masing “sudah tahu” atau “kira-kira tahu”; yang jelas tidak tampak pengandaian “tidak tahu sama sekali”. Maklumlah, semua yang hadir waktu itu “alumni” Fakultas Filsafat-Teologi.

Saya menempatkan diri pada asumsi “kira-kira tahu” mengandalkan pengajaran yang saya terima dulu dari IFT dan pengembangan yang saya lakukan setelah “di luar IFT”, dengan juga mengandaikan ada hal-hal yang belum saya ketahui dan masih perlu saya ketahui. Maka saya coba merekontsruk apa yang saya ketahui dengan harapan mendapat pencerahan dari dialog setelah tulisan ini saya publikasikan.


Perkembangan “pedoman-pedoman” untuk penyelenggaraan Fakultas-fakultas Gerejawi demi menghasilkan alumni yang sesuai harapan Gereja sudah sangat berkembang lebih jauh sejak Surat Apostolik Paus Benediktus XV “Maximum Illud” 1919 yang mendasari penyelenggaraan Seminari-seminari di Indonesia dan banyak dikutip dalam bagian “sejarah” lembaga pendidikan calon imam. Paus Pius XI menerbitkan Konstitusi Apostolik Deus Scientiarum Dominus pada 1931 meneruskan pengajaran kebijaksanaan Kristiani untuk pembinaan kehidupan dan tingkah laku manusia. Untuk membantu universitas-universitas Katolik mencapai tujuan dengan lebih baik, Paus Pius XII telah berusaha mendorong kegiatan bersama dari universitas-universitas dengan mendirikan secara resmi Federasi Internasional Universitas-Universitas Katolik lewat Surat Apostolik tertanggal 27 Juli 1949. Ketika membuka Konsili Vatikan II dengan semangat aggiornamento Paus St Yohanes XXIII meminta keterhubungan yang tekun dengan realitas, dan para teolog juga didorong untuk mencari cara yang lebih sesuai untuk mengomunikasikan ajaran pada orang-orang sezaman mereka yang bekerja di pelbagai bidang pengetahuan, karena “khazanah iman atau kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam ajaran iman itutidaklah identik dengan cara perumusannya, meskipun makna dan arti yang samadipertahankan.” Hal ini akan menjadi sangat berguna sehingga di antara Umat Allah, praktik religius dan kesalehan jiwa bisa bertumbuh sama cepatnya dengan kemajuan ilmu dan teknologi, dan sehingga, dalam karya pastoral, umat dapat dituntun secara bertahap pada kehidupan iman yang lebih dewasa dan murni. Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Katolik (GE, 1965) menegaskan bahwa “Gereja memberi perhatian besar pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi,” dan juga sungguh mengusulkan agar universitas-universitas Katolik mesti “dibangun di tempat-tempat yang cocok di seluruh dunia” dan agar “para mahasiswa perguruan-perguruan itu menjadi sungguh unggul dalam ilmu pengetahuannya, siap siaga untuk menunaikan tanggung jawab besar dalam masyarakat, dan menjadi saksi-saksi iman di dunia” (GE 10). Konsili Vatikan II menyampaikan Dekret “Optatam Totius” 1965 untuk meninjau kembali secara setia dan kreatif program-program studi gerejawi (bdk.Nomor 13-22). Pedoman-pedoman pembinaan para calon imam yang dikeluarkan MAWI pada kurun 1970-an sudah mengisyaratkan perkembangan yang lebih jauh, terutama setelah diskusi-diskusi Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) sejak 1974 tentang inkulturasi dalam pendidikan dan pewartaan iman. Sesudah studi yang saksama dan percobaan yang bijak, peninjauan kembali tersebut menghasilkan Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana, yang dipromulgasikan oleh Santo Yohanes Paulus II pada 15 April 1979.

Dalam kurun waktu hampir 50 tahun, perubahan-perubahan besar telah terjadi tidak hanya dalam masyarakat sipil, tetapi juga di dalam Gereja sendiri. Peristiwa-peristiwa penting, teristimewa Konsili Vatikan II, ... telah mempengaruhi kehidupan internal Gereja dan relasi eksternalnya dengan orang-orang Kristen dari pelbagai gereja, dengan orang-orang non-Kristiani, dan dengan orang-orang yang tidak beriman, serta dengan semua orang yang menginginkan peradaban yang lebih manusiawi.

Karenanya Paus Fransiskus menerbitkan Konstitusi Apostolik Evangelium Gaudium pada 8 Desember 2017 tentang Universitas dan Fakultas Gerejawi. Di dalamnya ditegaskan kembali tujuan “Fakultas Gerejawi melalui penelitian ilmiah, memelihara dan memajukan disiplin-disiplin ilmu mereka sendiri, yaitu (disiplin-disiplin) yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan wahyu Kristiani atau yang secara langsung membantu misi Gereja, dan karena itu secara khusus memperdalam pengetahuan atas wahyu Kristiani dan hal-hal yang berkaitan dengannya, mengungkapkan secara sistematis kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya, mempertimbangkan dalam terang wahyu tersebut pelbagai kemajuan terbaru dari ilmu pengetahuan, dan menghadirkannya pada manusia zaman sekarang dengan cara yang sesuai untuk banyak budaya” (Veritatis Gaudium 3.1).



Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana telah menunjukkan penelitian sebagai “kewajiban utama”, dalam “kontak langsung dengan realitas […] untuk mengomunikasikan ajaran pada orang-orang sezaman [kita] dalam pelbagai budaya.” Namun, di zaman kita sekarang, yang ditandai dengan situasi multikultural dan multietnik, dinamika sosial dan budaya yang baru menuntut agar tujuan-tujuan penelitian tersebut diperluas.

Sesungguhnya, agar Gereja bisa melaksanakan perutusan penyelamatannya, “tidaklah cukup bahwa para pewarta Injil memiliki perhatian untuk menjangkau setiap orang, Injil juga harus diwartakan kepada kebudayaan-kebudayaan secara menyeluruh.” (EG 133). Studi-studi gerejawi tidak dapat dibatasi sekadar untuk mentransfer pengetahuan, kemampuan profesional dan pengalaman kepada orang-orang sezaman kita yang ingin tumbuh dalam kesadaran Kristiani, tetapi juga harus mengambil tugas mendesak untuk mengembangkan perangkat-perangkat intelektual yang bisa berperan sebagai paradigma tindakan dan pemikiran, yang berguna untuk pewartaan di dunia yang ditandai oleh pluralisme etis dan religius. Untuk melakukan hal ini, diperlukan tidak hanya kesadaran teologis yang mendalam, tetapi juga kemampuan untuk memahami, merancang dan membangun cara-cara untuk menghadirkan agama Kristiani yang mampu memasuki secara mendalam sistem-sistem budaya yang berbeda. Semua ini menuntut peningkatan kualitas penelitian ilmiah dan juga perbaikan bertahap dalam tingkatan studi-studi teologis dan ilmu-ilmu lain yang terkait. Yang kita butuhkan bukan hanya memperluas bidang diagnosis dan menambahkan kumpulan data yang tersedia untuk menafsirkan realitas (LS 47, EG 50) melainkan studi yang lebih mendalam yang berusaha terus-menerus untuk “menyampaikan secara lebih efektif kebenaran Injil dalam konteks tertentu, tanpa mengabaikan kebenaran, kebaikan, dan cahaya yang dapat dibawanya ketika kesempurnaan tidak dimungkinkan.”(EG 45)

Terutama, kepada penelitian yang dilakukan di Universitas-universitas, Fakultas-fakultas dan Institut-institut gerejawi saya mempercayakan tugas mengembangkan “apologetika kreatif” yang saya minta dalam Evangelii Gaudium agar “mendorong keterbukaan lebih besar kepada Injil pada semua pihak.” (EG 132)

Setelah menyiapkan “civita academica” : kelembagaan, pengurus, para dosen, dukungan administratif yang diperlukan, selanjutnya disampaikan Dukungan Kurikulum atau Pedoman Studi sebagai bagian pokok yang penting.

Artikel 37. § 1. Dalam mengatur program-program studi, semua prinsip dan norma yang menurut keragaman isinya terkandung dalam dokumen-dokumen gerejawi, khususnya Konsili Vatikan II, haruslah ditaati. Namun, pada saat yang sama harus diperhitungkan juga pelbagai kemajuan ilmiah yang bisa menyumbang pada usaha menjawab persoalan-persoalan yang sekarang sedang dibahas.

§ 2. Dalam sebuah Fakultas, hendaknya metode ilmiah yang dipakai bersesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan tiap-tiap ilmu. Metode didaktik dan pedagogis yang mutakhir haruslah digunakan secara tepat agar semakin mengembangkan keterlibatan pribadi dan partisipasi aktif dari para mahasiswa dalam studi mereka.

Artikel 38. § 1. Dengan mengikuti norma Konsili Vatikan II, dan sesuai dengan sifat Fakultas masing-masing:

1) kebebasan yang sewajarnya80 haruslah diakui di dalam bidang penelitian dan pengajaran sehingga kemajuan sejati dapat dicapai dalam pengetahuan dan pemahaman akan kebenaran ilahi.

2) Pada saat yang sama, haruslah menjadi jelas bahwa:

a) kebebasan sejati dalam mengajar haruslah ditempatkan dalam batas-batas Sabda Allah, seperti yang selalu diajarkan oleh Magisterium Gereja.

b) demikian juga, kebebasan sejati dalam penelitian haruslah didasarkan pada kesetiaan yang teguh pada Sabda Allah dan dalam sikap hormat terhadap Magisterium Gereja yang diberi tugas untuk menafsirkan Sabda Allah secara autentik.

§ 2. Oleh karena itu, dalam perkara yang sedemikian penting itu, orang harus bertindak dengan kepercayaan dan tanpa kecurigaan, tetapi sekaligus juga dengan kehati-hatian tanpa kecerobohan, khususnya dalam pengajaran; lebih-lebih, tuntutan-tuntutan ilmiah harus diselaraskan secara hati-hati dengan kebutuhan pastoral umat Allah.

Artikel 39. Di setiap Fakultas, kurikulum studi haruslah diatur secara tepat ke dalam langkah-langkah atau siklus-siklus, yang disesuaikan dengan materi studi.

Dalam siklus pertama: a) - Disiplin-disiplin ilmu filsafat yang diperlukan untuk teologi, yaitu terutama filsafat sistematik dan sejarah filsafat (klasik, abad pertengahan, modern, kontemporer). Selain pengantar umum, pengajaran sistematik harus meliputi semua bidang utama filsafat: 1) metafisika (yang dimengerti sebagai filsafat ada dan teologi alamiah), 2) filsafat alam, 3) filsafat manusia, 4) filsafat moral dan politik, 5) logika dan filsafat pengetahuan. b) disiplin-disiplin ilmu teologi, yaitu: • Kitab Suci: pengantar dan eksegesis • Teologi fundamental, yang juga meliputi ekumenisme, agama-agama non-Kristiani, dan ateisme, serta pelbagai aliran budaya kontemporer. • Teologi dogmatik; • Teologi moral dan spiritual ; • Teologi pastoral; • Liturgi; • Sejarah Gereja, Bapa-bapa Gereja, arkeologi • Hukum Kanonik. c) disiplin-disiplin ilmu pendukung, yaitu, ilmu-ilmu humaniora tertentu, bahasa-bahasa biblis, selain Latin, sejauh diperlukan untuk menempuh studi pada siklus-siklus selanjutnya. Dalam norma pelaksanaan Art 70 dikemukakan studi-studi yang dapat memberi sumbangan: • Arkeologi Kristiani • Bioetika • Komunikasi Sosial • Hukum • Sastra Kristiani dan Klasik • Liturgi • Misiologi • Musik Suci • Kajian Timur Dekat Kuno • Psikologi • Ilmu Pendidikan • Ilmu-ilmu Agama • Ilmu-Ilmu Sosial • Spiritualitas • Sejarah Gereja • Kajian Bahasa Arab dan Islam • Kajian Kitab Suci • Kajian Oriental • Kajian tentang Perkawinan dan Keluarga.

Di mana posisi “Apologia atau apologetika kreatif”?

Saya membayangkan “Apologia atau apologetika kreatif” adalah pengertian komprehensif dari semua studi di atas yang digunakan sebagai kiat “secara kreatif” di dalam pewartaan dan kesaksian iman berhadapan dengan pengalaman situasional dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks budaya termasuk teknologi yang senyatanya.

Sebagai “kiat” karena seluruh bahan yang diterima dalam kuliah dilepaskan dari atribut ilmiahnya dipilah untuk digunakan sesuai keperluan khusus dan “secara kreatif” dengan diolah kembali (digested) dengan tambahan-tambahan baru yang diperoleh dari pengalaman hidup, melalui penghayatan pribadi dan komunal, dalam bimbingan Roh Kudus.  Rekonstruksi atau reformulasi pasca digestasi menjadi pemribadian semua bahan, menjadi milik pribadi yang menyatu dalam satu keyakinan iman. Saya memposisikan semua itu sebagai “produk siap pakai” yang sewaktu-waktu dapat disampaikan (delivered) menurut permintaan (on demand) dalam dialog pergaulan.

Catatan “dalam bimbingan Roh Kudus” saya garis bawahi. Yaitu kesadaran bahwa bukan hanya kita pribadi yang bekerja, tetapi juga Roh Kudus dalam diri kita; artinya seluruh proses pengolahan dan pemribadian terjadi dalam ikatan doa memohon Roh pempimbing, Roh pengetahuan dan hikmat, serta Roh kebenaran, agar Ia memberi khasiat menghasilkan dalam diri kita “produk siap pakai” untuk pewartaan dan kesaksian iman. Mengingat situasi Pentakosta yang produktif, kita berharap Roh Kudus memberi kita dunamis pneuma (daya pengubah Roh): “dinamo” energi yang kita perlukan, “dinamika” kemajuan proses yang terbaik, dan  akhirnya hasil anapologetos (istilah Paulus) penerimaan kebenaran Allah yang mengubah (metanoia). Semoga.