Tentang Tindakan Admnistratif; Dekrit dan Perintah
(Instruksi); Reskrip; Privilegi; Dispensasi; Statuta dan Tertib-Acara
JUDUL IV TINDAKAN-TINDAKAN ADMINISTRATIF UNTUK KASUS DEMI
KASUS
BAB I NORMA-NORMA UMUM
Kan. 35 Tindakan administratif untuk kasus demi kasus, baik
dekret atau perintah maupun reskrip, dapat dilakukan dalam batas kewe-nangannya
oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan.
76, § 1.
Kan. 36 - § 1. Tindakan administratif harus dimengerti
menurut arti kata-katanya sendiri dan pemakaiannya yang lazim; dalam keraguan,
tindakan administratif yang menyangkut sengketa, atau ancaman hukuman atau
hukuman yang harus dijatuhkan, atau yang membatasi hak-hak seseorang, atau yang
merugikan hak-hak yang telah diperoleh pihak lain, atau yang berlawanan dengan
undang-undang yang menguntungkan orang-perorangan, harus ditafsirkan secara
ketat; semua yang lain harus ditafsirkan secara luas.
§ 2. Tindakan administratif tidak boleh diperluas pada
kasus-kasus lain selain yang disebut.
Kan. 37 - Tindakan administratif yang menyangkut tata-lahir
harus diberikan secara tertulis; demikian juga tindakan pelaksanaannya kalau
diberikan dalam bentuk dipercayakan-kepada-perantara.
Kan. 38 - Tindakan administratif, biarpun mengenai reskrip
yang diberikan dalam bentuk Motu Proprio, tidak mempunyai efek sejauh merugikan
hak yang telah diperoleh pihak lain, atau bertentangan dengan undang-undang
atau kebiasaan yang telah diakui, kecuali otoritas yang berwenang dengan jelas
mencantumkan suatu klausul yang menguranginya.
Kan. 39 - Syarat-syarat dalam tindakan administratif hanya
dianggap disertakan demi sahnya, apabila dinyatakan dengan kata kalau, kecuali,
asalkan.
Kan. 40 - Pelaksana suatu tindakan administratif tidak sah
melaksana-kan tugasnya, sebelum menerima surat serta menyelidiki otentisitas
dan keutuhannya, kecuali sebelumnya telah dikirim berita tentang hal itu
kepadanya oleh otoritas yang mengeluarkan tindakan itu.
Kan. 41 - Pelaksana tindakan administratif yang hanya
ditugaskan untuk melaksanakannya, tidak dapat menolak pelaksanaan tindakan itu,
kecuali jelas bahwa tindakan itu tidak sah, atau karena alasan lain yang berat
tidak dapat dipertahankan, atau syarat-syarat yang dicantumkan dalam tindakan administratif
itu sendiri tidak terpenuhi; tetapi kalau pelaksanaan tindakan administratif
itu nampak tidak pada tempatnya karena alasan keadaan orang atau tempat,
pelaksana hendaknya menunda tindakan itu; dalam kasus-kasus itu hendaknya
otoritas yang mengeluarkan tindakan itu segera diberitahu.
Kan. 42 - Pelaksana tindakan administratif harus bertindak
menurut norma mandat; tetapi kalau syarat pokok yang dicantumkan dalam surat
tidak dipenuhinya dan bentuk hakiki dari prosedur tidak ditepatinya, pelaksanaan
itu tidak sah.
Kan. 43 - Menurut pertimbangannya yang bijaksana pelaksana
tindakan administratif dapat menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya,
kecuali penggantian itu dilarang, atau ia sengaja dipilih karena kuali fikasi
pribadinya atau penggantinya telah ditentukan; tetapi dalam kasus-kasus itu
pelaksana boleh mempercayakan tindakan-tindakan persiapan kepada orang lain.
Kan. 44 - Pelaksanaan tindakan administratif dapat juga
dilakukan oleh pengganti pelaksana dalam jabatan, kecuali pelaksana tersebut
sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya.
Kan. 45 - Kalau seorang pelaksana melakukan kesalahan dalam
pelak-sanaan tindakan administratif, ia boleh melakukannya sekali lagi.
Kan. 46 - Tindakan administratif tidak berhenti dengan
berakhirnya hak orang yang menentukannya, kecuali dalam hukum dengan jelas
dinyata-kan lain.
Kan. 47 - Pencabutan tindakan administratif dengan tindakan
administratif lain dari otoritas yang berwenang memperoleh efek hanya sejak
saat hal itu diberitahukan secara legitim kepada orang yang bersangkutan.
BAB II DEKRET DAN PERINTAH UNTUK KASUS DEMI KASUS
Kan. 48 - Yang dimaksud dengan dekret untuk kasus demi kasus
ialah suatu tindakan administratif yang dikeluarkan oleh otoritas eksekutif
yang berwenang; sesuai dengan norma hukum tindakan itu memberikan keputusan
atau pengaturan untuk kasus partikular yang menurut hakikatnya tidak
mengandaikan permohonan dari seseorang.
Kan. 49 - Perintah untuk kasus demi kasus ialah suatu dekret
yang secara langsung dan legitim mewajibkan seseorang atau orang-orang tertentu
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; hal itu diberikan terutama untuk
mendorong pelaksanaan undang-undang.
Kan. 50 - Sebelum mengeluarkan dekret untuk kasus demi
kasus, otoritas yang bersangkutan harus mencari informasi dan bukti yang perlu
dan sedapat mungkin mendengarkan mereka yang haknya dapat dirugikan.
Kan. 51 - Dekret harus diberikan secara tertulis; jika
menyangkut suatu keputusan, alasan-alasannya harus dinyatakan
sekurang-kurangnya secara ringkas.
Kan. 52 - Dekret untuk kasus demi kasus mempunyai kekuatan
hanya mengenai hal-hal yang diputuskan dan untuk orang-orang yang diberi dekret
itu; tetapi dekret itu mewajibkan mereka di manapun, kecuali pasti lain.
Kan. 53 - Kalau dekret-dekret bertentangan satu sama lain,
dekret khusus harus diutamakan di atas dekret umum dalam hal-hal yang
dirumuskan secara khusus; kalau sama-sama khusus atau umum, dekret yang
kemudian mengubah dekret yang mendahuluinya, sejauh bertentangan dengannya.
Kan. 54 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang
penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak
pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas
yang mengeluarkannya.
§ 2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat
ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan
norma hukum.
Kan. 55 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51,
apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari
dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang
yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat
berita-acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir.
Kan. 56 - Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang
bersang-kutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret
itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menanda-tanganinya.
Kan. 57 - § 1. Setiap kali undang-undang memerintahkan untuk
menge-luarkan dekret atau orang yang berkepentingan mengajukan secara legitim
permohonan atau rekursus untuk memperoleh dekret, otoritas yang berwenang harus
mengurus hal itu dalam waktu tiga bulan sesudah permohonan atau rekursus
diterima, kecuali dalam Undang-undang ditentukan batas waktu yang lain.
§ 2. Kalau batas waktu itu telah lewat dan dekret belum
diberikan, jawaban diandaikan negatif berkaitan dengan pengajuan rekursus lebih
lanjut.
§ 3. Jawaban yang diandaikan negatif tidak membebaskan
otoritas yang berwenang dari kewajibannya untuk mengeluarkan dekret, bahkan
juga untuk memberi ganti rugi yang mungkin timbul, sesuai dengan norma kan.
128.
Kan. 58 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus berhenti
mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara legitim oleh otoritas yang
berwe-nang dan juga dengan berhentinya undang-undang yang untuk pelaksa-naannya
diberikan dekret itu.
§ 2. Perintah untuk kasus demi kasus yang tidak diberikan
dengan dokumen legitim berhenti dengan berakhirnya hak pemberi perintah itu.
BAB III RESKRIP
Kan. 59 - § 1. Reskrip ialah suatu tindakan administratif
yang dibuat secara tertulis oleh otoritas eksekutif yang berwenang, yang
menurut hakekatnya memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas
permohonan seseorang.
§ 2. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai reskrip
berlaku juga untuk pemberian izin dan kemurahan yang dibuat secara lisan,
kecuali pasti lain.
Kan. 60 - Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang
yang dengan jelas tidak dilarang.
Kan. 61 - Kecuali pasti lain, reskrip dapat diperoleh untuk
orang lain, juga tanpa persetujuannya, dan berlaku sebelum penerimaannya,
dengan tetap berlaku klausul-klausul yang berlawanan.
Kan. 62 - Reskrip yang diberikan tanpa pelaksana mempunyai
efek sejak saat surat diberikan; yang lain-lain sejak saat pelaksanaannya.
Kan. 63 - § 1. Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran menghalangi
sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut
undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyata-kan demi sahnya,
kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.
§ 2. Demikian juga obreptio atau menyatakan sesuatu yang
tidak benar menghalangi sahnya reskrip jika dari alasan-alasan yang
dikemu-kakan sebagai motif bagi reskrip tak satupun benar.
§ 3. Dalam reskrip tanpa pelaksana alasan yang menjadi motif
untuk memberinya haruslah benar pada waktu reskrip itu diberikan; dalam reskrip
yang lain, pada waktu pelaksanaannya.
Kan. 64 - Dengan tetap berlaku hak Penitensiaria untuk
tata-batin, kemurahan yang ditolak oleh salah satu dikasteri Kuria Roma, tidak
dapat diberikan dengan sah oleh dikasteri lain dari Kuria itu atau otoritas
lain yang berwenang dibawah Paus di Roma, tanpa persetujuan dikasteri yang
mulai menanganinya.
Kan. 65 - § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan § 2
dan § 3, tak seorang pun boleh memohon kepada Ordinaris lain kemurahan yang
sudah ditolak oleh Ordinarisnya sendiri, tanpa menyebutkan penolakan itu;
tetapi walaupun disebut, janganlah Ordinaris itu memberikan kemurahan itu,
kecuali telah memperoleh alasan-alasan penolakan dari Ordinaris pertama.
§ 2. Kemurahan yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau
Vikaris Episkopal, tidak dapat diberikan dengan sah oleh seorang Vikaris lain
dari Uskup yang sama, walaupun alasan-alasan penolakan itu telah diperoleh dari
Vikaris yang menolaknya.
§ 3. Adalah tidak sah kemurahan, yang telah ditolak oleh
Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal dan kemudian diperoleh dari Uskup
diosesan tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi kemurahan, yang telah ditolak
oleh Uskup diosesan, tidak dapat diberikan dengan sah oleh Vikaris Jenderal
atau Vikaris Episkopalnya tanpa persetujuan Uskup diosesan, walaupun penolakan
itu disebutkan.
Kan. 66 - Reskrip tetap berlaku walaupun terdapat kekeliruan
tentang nama orang yang menerimanya atau yang memberinya, atau tentang tempat
tinggalnya atau tentang hal yang dipersoalkan, asal saja menurut penilaian
Ordinaris tidak ada keraguan tentang orang atau hal yang dimaksudkan.
Kan. 67 - § 1. Jika terjadi bahwa mengenai suatu hal yang
sama diperoleh dua reskrip yang bertentangan satu sama lain, maka reskrip
khusus, yang merumuskan hal-hal khusus, diutamakan diatas reskrip umum.
§ 2. Kalau sama-sama khusus atau umum, reskrip yang
mendahului diutamakan diatas yang kemudian, kecuali dalam yang kedua dengan
jelas disebutkan mengenai yang pertama; atau penerima pertama tidak menggunakan
reskripnya karena tipu-muslihat atau kelalaian berat.
§ 3. Dalam keraguan apakah reskrip sah atau tidak, hendaknya
dimohon keterangan kepada orang yang memberi reskrip itu.
Kan. 68 - Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa
pelaksana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperolehnya,
hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal
publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa.
Kan. 69 - Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan
waktunya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak
ada kebohongan dan tipu-muslihat.
Kan. 70 - Kalau dalam reskrip pemberian kemurahan itu
dipercayakan kepada pelaksana, dia dapat menyetujui atau menolak memberikan
kemurahan itu menurut pertimbangan yang arif dan suara hatinya.
Kan. 71 - Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip
yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain
secara kanonik ia wajib menggunakannya.
Kan. 72 - Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan
telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan
yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.
Kan. 73 - Reskrip tidak dicabut dengan undang-undang yang
berten-tangan, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan lain.
Kan. 74 - Walaupun kemurahan yang diberikan secara lisan
dapat digunakan orang dalam tata-batin, ia wajib membuktikannya untuk
tata-lahir, setiap kali hal itu secara legitim diminta dari padanya.
Kan. 75 - Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau
dispensasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati.
BAB IV PRIVILEGI
Kan. 76 - § 1. Privilegi atau kemurahan yang diberikan lewat
suatu tindakan khusus demi keuntungan baik perorangan maupun badan bukum
tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang dan juga oleh otoritas
eksekutif yang diberi kuasa itu olehnya.
§ 2. Pemilikan selama seratus tahun atau sejak waktu yang
tidak diingat lagi menimbulkan pengandaian bahwa privilegi itu telah diberikan.
Kan. 77 - Privilegi harus ditafsirkan menurut norma kan. 36,
§ 1; tetapi selalu harus digunakan penafsiran yang sedemikian sehingga mereka
yang menerima privilegi sungguh-sungguh memperoleh suatu kemurahan.
Kan. 78 - § 1. Privilegi diandaikan bersifat tetap, kecuali
dibuktikan kebalikannya.
§ 2. Privilegi personal, yakni yang mengikuti persona,
terhenti bersama dengan matinya persona itu.
§ 3. Privilegi real terhenti dengan kehancuran total benda
atau tempatnya; tetapi privilegi lokal (atas tempat) hidup kembali, kalau
tempat itu dibangun lagi dalam waktu limapuluh tahun.
Kan. 79 - Privilegi terhenti dengan pencabutan oleh otoritas
yang berwenang menurut norma kan. 47, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 81.
Kan. 80 - § 1. Tiada privilegi yang terhenti karena
seseorang melepaskannya, kecuali hal itu diterima oleh otoritas yang berwenang.
§ 2. Setiap orang dapat melepaskan privilegi yang diberikan
hanya untuk keuntungannya sendiri.
§ 3. Privilegi yang diberikan kepada suatu badan hukum, atau
yang diberikan karena luhurnya tempat atau benda, tidak dapat dilepaskan oleh
perorangan; badan hukum itu sendiri tidak dapat melepaskan privilegi yang
diberikan kepada dirinya, kalau hal itu merugikan Gereja atau pihak-pihak lain.
Kan. 81 - Dengan berbentinya hak pemberi, privilegi itu
sendiri tidak terhenti, kecuali diberikan dengan klausul ad beneplacitum
nostrum (atas perkenan kami) atau klausul lain yang senilai.
Kan. 82 - Dengan tidak digunakannya atau digunakannya secara
bertentangan, privilegi yang tidak merupakan beban bagi orang lain, tidak
terhenti; sedangkan privilegi yang merupakan beban bagi orang lain, hilang
kalau sudah kedaluwarsa secara legitim.
Kan. 83 - § 1. Privilegi terhenti kalau waktunya telah lewat
atau telah terpenuhi jumlah kasus untuknya privilegi itu diberikan, dengan
tetap berlaku ketentuan kan. 142, § 2.
§ 2. Juga terhenti kalau menurut penilaian otoritas yang
berwenang dengan perjalanan waktu situasi begitu berubah, sehingga privilegi
mulai merugikan dan pemakaiannya menjadi tidak licit.
Kan. 84 - Kalau seseorang menyalahgunakan kuasa yang
diberikan kepadanya dengan privilegi, selayaknya privilegi itu dicabut dari
padanya; karena itu kalau Ordinaris telah memperingatkan pemilik privilegi itu
dengan sia-sia, hendaklah ia mencabut privilegi yang telah diberikannya sendiri
dari orang yang menyalahgunakannya secara berat; kalau privilegi itu diberikan
oleh Takhta Apostolik, Ordinaris berwajib memberitahukan kepadanya.
BAB V DISPENSASI
Kan. 85 - Dispensasi atau pelonggaran dari daya-ikat
Undang-undang yang semata-mata gerejawi dalam kasus tertentu, dapat diberikan
oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif dalam batasbatas kompetensi-nya, dan
juga oleh mereka yang memiliki secara eksplisit atau implisit kuasa memberikan
dispensasi, baik atas dasar hukum maupun atas dasar delegasi yang legitim.
Kan. 86 - Tidak dapat diberikan dispensasi dari
undang-undang sejauh undang-undang itu merumuskan unsur-unsur yang secara
hakiki konsti-tutif dari lembaga atau tindakan yuridis.
Kan. 87 - § 1. Setiap kali menurut penilaiannya berguna
untuk kepen-tingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi
dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun parti-kular,
yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya,
tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang
dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu
otoritas lain.
§ 2. Jika rekursus ke Takhta Suci sulit dan sekaligus ada
bahaya kerugian besar kalau tertunda, maka setiap Ordinaris dapat memberikan dispensasi
dari undang-undang tersebut, juga kalau dispensasi direser-vasi Takhta Suci,
asalkan mengenai dispensasi yang biasa diberikan dalam situasi yang sama,
dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291.
Kan. 88 - Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi dari
undang undang diosesan; dan setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan
kaum beriman, juga dari undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu Konsili
paripurna atau provinsi, atau juga oleh Konferensi para Uskup.
Kan. 89 - Pastor-paroki dan imam-imam lain atau diakon tidak
dapat memberi dispensasi dari undang-undang universal dan partikular, kecuali
kuasa itu dengan tegas diberikan kepadanya.
Kan. 90 - § 1. Jangan diberikan dispensasi dari
undang-undang gerejawi tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dengan
memperhatikan keadaan kasus dan bobot undang-undang yang didispensasi; kalau
tidak demikian dispensasi tidak licit dan, kecuali diberikan oleh pembuat
undang-undang sendiri atau atasannya, dispensasi itu juga tidak sah.
§ 2. Dalam keraguan mengenai cukup-tidaknya alasan,
dispensasi diberikan dengan sah dan licit.
Kan. 91 - Seseorang yang memiliki kuasa untuk memberikan
dispen-sasi, dapat melaksanakannya, juga kalau ia berada di luar wilayahnya,
terhadap bawahan-bawahannya, walaupun mereka sedang berada di luar wilayahnya;
dan kalau tidak dengan jelas ditentukan lain, juga terhadap pendatang yang
sedang berada di wilayahnya, dan juga terhadap dirinya sendiri.
Kan. 92 - Penafsiran sempit berlaku bukan hanya untuk
dispensasi menurut norma kan. 36, § 1, melainkan juga untuk kuasa itu sendiri
dalam memberikan dispensasi untuk kasus tertentu.
Kan. 93 - Dispensasi yang memiliki penerapan berturut-turut
terhenti dengan cara-cara yang sama seperti halnya privilegi, dan juga dengan
terhentinya secara pasti dan menyeluruh alasan yang menjadi motif dispensasi
itu.
JUDUL V STATUTA DAN TERTIB-ACARA
Kan. 94 - § 1. Statuta dalam arti sebenarnya ialah
peraturanperaturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang
(universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum); dan di
dalamnya dirumuskan tujuan, penataan, kepemimpinan dan tata-kerjanya.
§ 2. Yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok orang
hanyalah orang yang secara legitim adalah anggotanya; yang diwajibkan oleh
statuta untuk kelompok benda ialah para pengurusnya.
§ 3. Ketentuan-ketentuan statuta yang dibuat dan diundangkan
atas dasar kuasa legislatif, diatur dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon
mengenai undang-undang.
Kan. 95 - § 1. Tertib-acara ialah aturan-aturan atau
norma-norma yang harus ditepati dalam sidang-sidang, baik yang ditentukan oleh
otoritas gerejawi maupun yang diadakan dengan bebas oleh umat beriman
kristiani, dan juga dalam perayaan-perayaan lain, di dalamnya dirumus-kan
hal-hal yang berhubungan dengan penataan, kepemimpinan dan tata-kerja.
§ 2. Dalam sidang atau perayaan, aturan tata-tertib itu
mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya.
Dipetik untuk keperluan studi dari Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi terjemahan Bahasa Indonesia, KWI 2005.