Daftar Blog Saya

Rabu, 05 Oktober 2022

Analisis Pemilu 2019 dan Penyebaran Berita Palsu

 


Analisis kecil ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca sekilas mengenang apa yang terjadi dalam seputar Pemilu 2019, belajar dari masa lalu demi menyiapkan masa depan, dan mengantisipasi masalah Pemilu yang akan datang dengan bijak.

Pada Pemilu 2019 ini, dua kubu besar yang memperebutkan posisi eksekutif di Indonesia. Kubu besar berupa Koalisi dibentuk karena tidak ada satu pun kekuatan yang dominan yang dapat memenangkan Pemilu berdasarkan konstelasi politik pasca Pemilu 2014. Yang pertama "Koalisi Indonesia Kerja" yang mengusung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai calon eksekutif, dan yang kedua "Koalisi Indonesia Adil Makmur" yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai calon eksekutif. Koalisi ini terdiri dari beberapa partai. Koalisi Indonesia Kerja terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura sebagai partai pengusung dan  partai pendukung Perindo, PSI, dan PKP. Sementara Koalisi Indonesia Adil Makmur terdiri dari Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS sebagai partai pengusung dan Partai Berkarya sebagai pendukung.

Persaingan antara kedua kubu dalam kampanye positif menunjukkan kubu mana yang lebih layak. Dalam beberapa kesempatan kampanye negatif kedua kubu sama-sama menampilkan keburukan dari lawannya.

Setelah melewati masa kampanye dengan persaingan ketat dan panjang, Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di Indonesia dilaksanakan. Hasilnya pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin tampil sebagai  pemenang dan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan, menurut perhitungan perolehan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perolehan suara Jokowi-Ma'ruf adalah 55,50% dari total suara sah di Pilpres 2019, sedangkan Prabowo-Sandiaga mendapatkan 44,50% dari total suara sah.

Sedangkan untuk posisi legislatif rekapitulasi hasil pemilu menetapkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang dengan memeroleh 19.33% suara dan mendapat jatah 128 kursi di DPR, diikuti oleh Partai Golongan Karya (Golkar) dengan mendapat jatah 85 kursi di DPR, sedangkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendapat 78 kursi di DPR.

Setelah pengumuman hasil Pemilu, respon dari pendukung pihak Koalisi Adil Makmur sangat beragam. Mulai dari adanya tudingan kecurangan hingga pengakuan melemahnya kondisi internal Koalisi Adil Makmur. Kemenangan Koalisi Indonesia Kerja pada pemilu tahun 2019 menjadi pasti karena upaya yang di lakukan pihak oposisi kandas, tidak dapat dibuktikan secara hukum. Pihak oposisi selanjutnya mulai terpecah karena beberapa partai di dalam kubu oposisi mulai merapat ke dalam Koalisi Indonesia Kerja Partai Demokrat di bawah ketuanya, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Agus Harimurti Yudhoyono mengadakan pertemuan dengan Jokowi di Istana Merdeka. Kemudian Prabowo Subianto selaku Ketua Partai Gerindra bertemu dengan Presiden Jokowi pada 11 Oktober 2019, membahas kemungkinan Partai Gerindra bergabung dengan Koalisi Pemerintah terpilih. Dari Gerindra, Prabowo Subianto selanjutnya dipasang sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dalam Parlemen, dilihat dari perbandingan komposisi kursi DPR partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah di DPR mencapai 481 kursi (termasuk Partai Gerindra dan Partai Demokrat)  sedangkan oposisi hanya memiliki 94 kursi. Sebenarnya oposisi bukanlah sekadar posisi anti-pemerintah atau sekedar berbeda, melainkan kekuatan yang dapat memberi kritik positif dan tawaran kebijakab alternatif, sekaligus kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan demi kepentingan rakyat dan menghindari kekuasaan yang berlebih atau oligarki. Lemahnya oposisi menyebabkan berkurangnya kekuatan check and balance.

Selain itu perlu perhatian pada penggunaan isu negatif menggunakan berita palsu, yaitu segala bentuk informasi yang sengaja maupun tidak sengaja dipalsukan baik untuk menyerang kandidat maupun penyelenggara, sebagai strategi delegitimasi Pemilu 2019. Upaya ini penting tidak hanya untuk mengidentifikasi pola-pola penyebaran isu negatif di masa depan dan mengantisipasinya, tetapi juga untuk memahami perubahan dan keberlanjutan demokrasi elektoral Indonesia di tengah arus global yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan post-truth era.

Situasi demokrasi elektoral paska 2014 di Indonesia ditandai dengan maraknya penggunaan berita palsu secara masif dimana kandidat menjadi target dari berita-berita palsu yang sengaja diedarkan di masyarakat. Isu utama yang diangkat dalam berita palsu adalah isu identitas berbasis SARA terutama ras dan agama. Di satu pihak, para kandidat dan tim sukses sangat memahami bahwa penggunaan isu SARA yang dimanipulasi dalam berita palsu sangat efektif untuk memobilisasi suara dalam Pemilu . Di pihak para pemilih, khususnya pemilih dengan orientasi keagamaan, dipandang lebih mengutamakan isu dan figur tokoh yang merepresentasikan agama tertentu daripada memilih untuk mendukung kandidat yang menawarkan programmatic politics. Beberapa literatur menunjukan gejala signifikan  penguatan populisme kanan sejak 2014 dan menjadi karakteristik dari pemilu di Indonesia.

Secara umum berita palsu dalam pemilu disebarkan melalui media online dan menargetkan kandidat. Media online, terutama media sosial menjadi sarana yang efektif dalam menyebarkan berita palsu dalam pemilu. Hal ini tidak terlepas dari algoritma media sosial yang membuat orang-orang dengan ketertarikan sejenis – termasuk orientasi poltik – membentuk “echo chambers” atau “filter bubbles” di mana mereka akan terisolasi dari perspektif yang berlawanan. Target berita palsu sebagian besar adalah kandidat yang bertarung dalam pemilu. Berita palsu yang beredar melalui media online menunjukan sisi negatif yang tidak benar dari kandidat, dan mempengaruhi pemilih agar tidak memilih kandidat tersebut.

Suatu penelitian menunjukkan tagar, crawling label yang digunakan dalam kampanye negatif Pemilu 2019 dalam kurun tertentu pada satu media sosial: Paslon 1: Jokowi PKI, Jokowi kafir, Jokowi china, Jokowi cina, Jokowi kristen, Jokowi yahudi, Jokowi curang, Jokowi penipu, Jokowi bukan islam, Jokowi antek aseng, Jokowi antek asing, Jokowi larang adzan, Utang Pemerintah, Tol utang china, Konsultan Asing Jokowi, Jokowi melegalkan zina, Jokowi menghapus pendidikan agama, Jokowi melegalkan pernikahan sejenis, Jokowi melegalkan hubungan sejenis, #jokowicurang, #jokowiPKI, #jokowikafir, #jokowichina, #jokowicina, #jokowikristen, #jokowiaseng, #jokowiasing, #jokowicurang, #jokowipenipu, #Jokowiradikal

Paslon 2: Prabowo kafir, Prabowo china, Prabowo cina, Prabowo kristen, Prabowo yahudi, Prabowo bukan islam, Prabowo antek aseng, Prabowo antek asing, Prabowo Khilafah, Prabowo HTI, Prabowo Radikalis, Prabowo gak bisa sholat, Prabowo enggak bisa sholat, Prabowo tidak bisa sholat, Prabowo gak bisa ngaji, Prabowo enggak bisa ngaji, Prabowo enggak bisa wudhu, Prabowo tidak bisa wudhu, Prabowo delusi, #prabowokafir, #prabowochina, #prabowocina, #prabowokristen, #prabowoyahudi, #prabowobukanislam, #prabowoaseng, #prabowoasing, #prabowokhilafah, #prabowoHTI, #praboworadikal

 KPU: KPU Bohong, KPU Manipulasi, KPU Curang, KPU Hoax, KPU Hoaks, KPU tidak netral, KPU error, KPU budeg, KPU buta, KPU tuli, KPU berpihak, KPU tersandera, KPU tidak netral, KPU bobol, KPU Cina, KPU China, Hack KPU, Wasit ikut main, Wasit kok ikut main, #KPUberpihak, #KPUtersandera, #KPUtidaknetral, #KPUbobol, #KPUCina, #KPUChina, #PemiluDiretas, #KPUdiretas, #KPUbudeg, #KPUbuta, #KPUtuli  

Dampak persebaran isu negatif dan gigihnya usaha deligitimasi adalah segregasi sosial di masyarakat. Salah satu tujuan awal perubahan mekanisme pemilu yang sebelumnya parsial kemudian dilakukan secara serentak adalah mencegah konflik horizontal di level grassroot. Namun, konflik horizontal tetap terjadi bahkan paska pemilu telah selesai. Laporan penelitian menunjukan bahwa segregasi sosial yang terjadi paska pemilu 2019, merupakan ekses negatif dari polarisasi selama proses pemilu berlangsung. Masyarakat terkotak-kotak pada orientasi politik dan cenderung memusuhi kelompok masyarakat yang memiliki orientasi politik yang berbeda. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi dan kohesi sosial.

Secara keseluruhan, penyebaran isu negatif mengakibatkan dampak destruktif yang tidak hanya berpengaruh di level struktur namun juga di level grassroot. Dibutuhkan penguatan dari sisi masyarakat, baik melalui literasi maupun pendidikan politik. Jika isu negatif seperti virus yang penyebarannya sulit dikendalikan, maka salah satu cara untuk menangkalnya adalah dengan memperkuat imunitas masyarakat.



Narsisisme kita

 


Sebelum lahirnya filsafat, orang Yunani kuno mengkristalkan sebagian besar kebijakan keagamaan dan psikologis ke dalam rangkaian mitologi. Salah satunya adalah mitos tentang Narsisus.

                Narsisus adalah putera dewa sungai, Kefisus, dan seorang pemuda yang luarbiasa cakap dan tampan. Seorang peri gunung, Ekho, jatuh kasmaran kepadanya, namun Narsisus dingin-dingin saja sikapnya kepadanya. Pada akhirnya Ekho hanya melepaskan gaung suaranya sendiri saja, karena cintanya tidak memeroleh tanggapan. Karena itu dewa Nemesis bermaksud menghukum Narsisus karena ketampanannya dan membuat pemuda itu minum di suatu kolam yang airnya seperti cermin memperlihatkan kepada Narsisus bayangan dirinya sendiri.

Melihat rupa dirinya sendiri, Narsisus begitu kagum sehingga iapun jatuh cinta pada ketampanannya sendiri dan terobsesi pada keindahan dirinya. Maka, karena terarah ke dalam dan lumpuh oleh obsesinya kepada diri sendiri, Narsisus akhirnya menyusut dan menjadi sekuntum bunga yang dinamakan bunga Narsisus.

                Psikologi aliran Freud mengolah mitos ini dan sekarang menggunakan nama Narsisus itu menjadi suatu istilah teknis di dalam psiko-analisis, narsisisme. Secara singkatnya, narsisisme berarti kesibukan atas diri sendiri (mematut diri) yang berlebihan.

                Kurang lebih ada kesepadanan yang dengan tepat melukiskan sikap batin zaman sekarang ini sebagai suatu narsisisme. Kendati mungkin bukan suatu generasi yang jatuh cinta pada diri sendiri secara berlebihan, tak dapat disangkal, kita adalah generasi yang kenes centil terobsesi pada diri sendiri. Ada banyak sekali bacaan yang menganalisis secara sangat detil masalah ini namun tidaklah perlu kita buat ikhtisarnya di sini. Untuk kepentingan kita cukupnya disajikan suatu contoh saja.

                Pertama-tama kita lihat narsisisme ini berada dalam kecenderungan kita kepada individualisme, dan yang berhubungan dengan itu adalah ketidakmampuan kita menyadari secara sehat dan prihatin akan realitas di luar hidup pribadi. Suatu ilustrasi yang sederhana berkenaan dengan kegiatan bimbingan kursus persiapan perkawinan. Kursus ini bagi mereka yang mengikuti, merupakan prasyarat untuk menikah di dalam gereja. Maka, banyak di antara peserta kursus itu bukan karena keinginan mereka sendiri. Di dalam sesi kami, kami harus berjuang mengatasi berbagai keberatan mereka. Kebanyakan dari keberatan mereka tidak menyangkut topik pembicaraannya, yaitu hakekat perkawinan. Namun yang kemudian tampak, keberatan utama mereka (seringnya dengan sikap bermusuh) selalu mengenai kursus itu: “Mengapa kami harus mengikuti kursus ini? Mengapa gereja dan masyarakat campur tangan dalam urusan perkawinan-ku? Perkawinan-ku adalah urusan-ku, bukan urusan mereka. Ini hidup-ku, cinta-ku, seks-ku, bulan madu-ku, masa depan-ku, urusan-ku sendiri!”

                Pertanyaan dan keberatan itu sebenarnya tidak salah; muncul karena kursus itu dirasa bertabrakan dengan sikap individualistis, suatu sikap-rasa yang kurang memerhitungkan kebersamaan, kurangnya cita-rasa akan realitas di luar masalah pribadi, yang pada ujungnya sangat tidak sehat. Keberatan seperti itu banyak terdengar dari mereka yang lebih mengikuti sikap filsuf rasionalis RenĂ© Descartes dari pada sikap dari murid-murid Yesus Kristus. Ketika RenĂ© Descartes, 1596-1650, mencari-cari suatu titik tolak yang tak dapat dibantah untuk filsafatnya, ia meragukan realitas apapun dan sampai pada suatu realitas yang tak terbantahkan : “Aku berfikir, karena itu aku ada!” (Cogito, ergo sum). Dalam pemikiran Descartes, yang paling pasti, yang kita ketahui sebagai yang kenyataan, adalah diri kita sendiri. Kita pasti hanya mimpi tentang yang lain-lain.

                Mendengarkan keberatan anak-anak muda itu rasanya bagaikan mendengar suara gema, gaung, ekho, suara kesepian dari Descartes yang sedang meragukan realitas apa pun di luar dunia pribadinya sendiri: “Aku berpikir, maka aku ada... sakit hati-ku, pusing kepala-ku, luka-ku, masalah-ku, kekurangan uang-ku yang kronis, kredit rumah-ku, pekerjaan-ku, kecemasan-ku adalah nyata. Kehidupan orang lain dan komunitas yang lebih besar serta persoalan mereka adalah tidak nyata!”

                Pemusatan perhatian pada diri sendiri seperti ini tidak mengherankan dan bukan sesuatu yang khas dari zaman kita. Struktur kepribadian manusia sebagai suatu pusat dari kesadaran-diri telah membuat kita pada dasarnya bersifat narsistis. Kebanyakan pengalaman masa kecil kita menambah sifat ini lebih jauh lagi. Realitas diri kita sendiri selalu paling utama. Bagi diri kita, kitalah yang selalu amat sangat sungguh nyata. Namun sekarang, ada sekumpulan hal yang membantu mengintensifkan kecenderungan alamiah kita untuk bersibuk-sibuk dengan diri sendiri hingga kita secara tidak sehat terobsesi dengan (dan terjebak di dalam) diri kita sendiri.

                Narsisisme ini, dalam kaitan dengan pengaruhnya yang merugikan, kini disifatkan oleh empat fitur pokok:

i)                    Ketidakmampuan mengenali secukupnya realitas dari yang lain.

Sifat ini sangat jelas dalam contoh di atas. Anak-anak muda dengan berbagai keberatan mereka (Ini adalah perkawinan-ku, ini bukan urusan orang lain!), adalah anak-anak dari budaya kita, inkarnasi dari sikap-sikap dasarnya. Pada mereka itu kita melihat pergumulan kita sendiri untuk memerhatian yang lain, dunia di luar diri kita, yang sama nyatanya dengan diri kita sendiri.



ii)                   Naluri “yuppie” bagi mutu kehidupan

Sudah dari akhir 1980-an kita menyaksikan fenomena yang disebut yuppie*. Istilah in terkesan bukan sesuatu yang serius. Gejala ini tadinya merupakan perkembangan yang makin penting dalam budaya Barat. Tetapi kemudian mendunia. Apa itu yuppie?[i]

                Kita mengarahkan hidup lebih dengan mitos tanpa sadar dan condong dengan perasaan, ketimbang dengan siatu sikap rasional, dan dengan demikian kita memahami istilah yuppie dari empat slogan yang berasal dari gaya hidup lapisan masyarakat ini, yaitu: Mutu Hidup, Mobilitas ke Atas, Pengejaran Keunggulan, dan Kenyamanan Material.

                Mitologi yang tidak disadari itu (namun dalam banyak kasus disadari juga) menggerakkan orang, agar sukses, naik pangkat dengan cepat, menjadi kaya, punya tubuh yang indah, berpakaian serba gaya, punya barang-barang mewah dan nyaman, secara optimal memeroleh segala sesuatu sebisa mungkin dalam jangkauan kita yang terbatas, secara mudah. Dalam banyak hal semua ini membentuk ambisi yang tak kenal malu dan hasrat yang dinyatakan secara terbuka, blak-blakan dalam bicara, meninggalkan sopan-santun serta basa basi. Bagian yang penting dari kualitas seorang yuppie adalah keunggulan atas yang lain.*

                Semua ini tidak buruk dan bukannya hal baru. Orang selalu menginginkan semua ini dan ada berbagai mitos dari masa lalu sulit dibedakan dalam hal ini (yaitu dari miskin menjadi kaya raya, kerja keras dan memeroleh kemajuan). Begitu juga, tidak ada yang bersifat imoral dalam semua ini, dan tekanan pada keunggulanpun bukan sesuatu yang perlu ditentang secara profetis. Yang baru, yang kurang bermoral, dan yang membutuhkan tantangan profetis adalah sikap yuppie bahwa di sini pengejaran akan keunggulan dan mutu kehidupan itu dikaitkan dengan filsafat hidup yang eksplisit yang di dalamnya terkandung individualisme yang liar, mementingkan diri sendiri dan pengembangan sikap idiosinkratis yang tidak peduli pada orang lain yang secara luas dianggap sebagai kehebatan. Pendek kata perkembangan pribadi menjadi sumber keselamatan. Dalam bahasa Yunani, idio berarti gerakan ke dalam diri sendiri. Apa yang dipupuk dan dikembangkan kaum yuppie baik di dalam dirinya maupun pada masyarakat adalah gerakan yang tertuju pada diri sendiri. Pengembangan diri itu dilakukan dengan ngotot menjadi semacam askese yang dulunya diterapkan dalam agama, karena bagi kaum yuppie, pengembangan diri adalah keselamatan, maka suatu proyeksi yang bersifat religius.

                Seberapa pengaruhnya cita-cita kaum yuppie itu jelas dalam banyak cara. Di antaranya, dari apa yang kita baca dan apa yang kita kagumi.

                Jika kita melakukan penelitian atas buku-buku non-fiksi yang paling laris dalam tahun-tahun belakangan ini, maka dapat kita lihat dengan jelas daftar ini penuh dengan buku-buku mengenai prestasi, buah imbalan keberhasilan, kualitas gaya hidup, pengejaran keunggulan. Kita juga melihat kecenderungan untuk menjadi kaya dan terkenal. Neil Postman* dalam buku Amusing Ourselves to Death melukiskan permulaannya di tahun 1983 di Universitas Yale. Waktu itu beberapa gelar doktor kehormatan (honoris causa) diberikan kepada beberapa orang, satu di antaranya untuk Ibu Teresa. Ketika beliau dan yang lain-lain secara bergiliran menerima tanda gelar kehormatan, para hadirin memberi tepuk tangan wajar, tetapi menurut Postman, lalu ada perubahan yang ditahan dengan rasa tidak sabar, “karena hadirin mau memberikan hatinya kepada penerima gelar terakhir yang sedang menunggu dengan malu-malu di sebelah”. Ketika riwayat hidup wanita penerima gelar doktor kehormatan itu dibacakan, kebanyakan hadirin berdiri dari kursinya dan maju mendekati panggung. Akhirnya, ketika nama penerima doktor kehormatan yang terakhir itu disebutkan, Meryll Streep, “hadirin meledak dengan suka cita, begitu kerasnya sehingga bisa membangunkan orang mati di New Haven”[ii]. Sambutan ini bukan dimaksudkan sebagai suatu kritikan kepada Merryl Streep. Dia memang seorang aktris hebat dalam segala hal, dan orang yang sangat hebat**. Hal yang mencolok dalam kejadian itu adalah reaksi para hadirin itu sendiri. Di dalam tanggapan mereka itu, tampak ciri tanggapan yang khas dalam budaya kita, menunjukkan apa yang sangat mereka nilai tinggi.

                Pada akhirnya, narsisisme ini mungkin bukan seperti yang diuraikan dalam buku-buku teks, namun yang pasti seperti yang dikenali oleh Freud. Kita adalah suatu budaya yang sangat lekat dengan idiosinkratik, memuja diri tanpa memerhatikan orang lain.

iii)                 Gerak menuju ke arah ranah privat (pribadi) yang berlebihan

Salah satu ciri dari narsisisme adalah gerak menuju privacy yang berlebihan. Jika kita lihat budaya kita, kita dapatkan gerak yang tak pernah berhenti menuju perluasan ranah pribadi yang tampak dalam segala segi kehidupan. Bagi kita adalah ideal mempunyai mobil pribadi, kantor pribadi, rumah pribadi; dan kemudian di dalam rumah itu ada kamar pribadi, kamar-mandi pribadi, telepon pribadi, sistem stereo pribadi, televisi pribadi dan rekaman video (film) pribadi.

                Mungkin suatu gambaran yang paling tepat melukiskan gerak yang berlebihan menuju ranah pribadi yang berlebihan itu adalah seorang pembelanja di suatu supermarket yang padat dengan mengenakan headset pada telinganya. Kendari jelas-jelas berada di ruang publik dan punya potensi sosial, orang membalik orientasinya lebih tertuju ke dalam dunia pribadinya sendiri. Bicara soal idiosinkratik atau mundur masuk ke dalam ranah dunia pribadi!

                Hukum yang sangat ideal di dalam kebanyakan budaya Barat menentang tuntutan akan privacy yang berlebihan ini. Bagi kebanyakan dari kita, hukum dan ketertiban yang paling ideal adalah Pax Romanum, yaitu hukum seharusnya cukup memelihara ketertiban umum sehingga setiap orang dan semuanya dapat melaksanakan kepentingan pribadinya. Di Barat dengan standar inilah dirumuskan Hak Asasi Manusia.

                Lagi-lagi tak ada yang pada dasarnya keliru dengan hak-hak khusus pribadi (privacy). Tak ada seorang pun yang bisa mencapai kematangan dan tetap di sana tanpa keseimbangan antara interaksi sosial dengan hak-hak khusus pribadi. Yang jadi masalah hanyalah kebutuhan akan hal-hal pribadi yang berlebih-lebihan. Jika hal ini tidak terkendali, maka interaksi sosial yang bermakna lalu berkurang dan semakin terbukalah jalannya menuju suatu dunia yang terdiri dari proyek-proyek pribadi, impian dan fantasi pribadi. Narsisisme tumbuh makin kuat ketika interaksi sosial yang bermakna tidak memadai dan kurang mampu menarik kita keluar dari kungkungan hal-hal yang bersifat pribadi dan menyadari bahwa realitas yang ada di luar diri kita sama nyatanya dengan kita. Gerak yang semakin besar menuju dunia yang pribadi ini merupakan gejala sekaligus sebab dari narsisisme.

iv)                 Ketidakmampuan bertindak untuk suatu tujuan yang melampaui kepentingan diri sendiri

Di dalam budaya barat sekarang orang makin lama makin sibuk dengan dunia di dalam dirinya sendiri sehingga sulit bagi untuk bergerak bagi sesuatu yang di luar hal-hal yang kita anggap penting bagi diri sendiri.

                Sosiolog Robert Bellah* memberikan suatu contoh yang hebat sekali tentang ini. Ia memulai bukunya yang bagus, Habits of the Heart[iii], dengan cerita tentang Brian, seorang pengusaha muda dari California. Brian adalah orang yang menuruti pemikirannya sendiri mengubah sistem nilai dirinya setelah mengalami trauma perceraian. Sebagai anak muda ia tadinya mengejar kenikmatan: “berantem, membuat keributan dan seks”. Kemudian ia menikah, menjadi mapan, mendapat pekerjaan dengan tanggungjawab besar, dan menjadi ayah dari tiga orang anak. Walaupun baginya perkawinannya tidak menyedihkan, namun perkawinan bukan fokus hidupnya. Ia lebih mementingkan pekerjaan dan karir. Ia bekerja antara 65-70 jam seminggu dan jarang libur akhir pekan. Karirnya meroket, tapi perkawinannya runtuh. Pada suatu malam ketika ia pulang ke rumah, didapatinya rumah itu dalam keadaan kosong. Isterinya meninggalkan dia.

                Perceraian itu sangat mengguncangkan jiwanya. Ia tidak terbiasa menerima kegagalan macam apa pun, dan kegagalan perkawinan itu mendorongnya terperosok ke dalam suatu krisis yang akhirnya membuatnya mengubah prioritas secara radikal. Ketika pada akhirnya ia menikah lagi, perkawinan dan keluarga menjadi sesuatu yang sangat berbeda baginya. Jika sebelumnya ia mengorbankan segala sesuatu demi pekerjaan, karir dan perusahaan, sekarang hidupnya pertama-tama adalah untuk keluarga. Jika ada sesuatu yang sekarang harus dikurbankan, pekerjaanlah yang kini diubahnya. Brian sekarang bahagia dan punya suatu daya kekuatan dan semangat yang berasal dari keluarga dan dari prioritasnya yang baru. Kehidupan keluarga sekarang menjadi pusat hidupnya dan dari situ ia mendapatkan energi dan makna.

                Dari berbagai segi cerita, kisah ini seperti pertobatan. Perbedaannya terasa, seperti yang ditunjukkan oleh Bellah, ketika Brian mencoba menjelaskan mengapa hidupnya saat ini lebih baik dari yang terdahulu. Pada akhirnya alasan yang dikemukakannya atas apa yang dilakukannya sekarang, dan yang diyakininya sungguh berharga, hanyalah sedikit saja bedanya dari alasannya dulu dalam mengejar kesenangan sebagai remaja dan dalam mengejar keberhasilan bisnis sebagai anak muda – tapi yang sekarang ini membuatnya merasa nyaman. Pendek kata, jika ia dulu mengejar apa yang dianggapnya tepat bagi dirinya sendiri, sekarang pun ia masih sama, mengejar apa yang dianggapnya baik bagi dirinya sendiri.

                Orang luar tentu saja bisa menunjukkan bahwa secara umum dari struktur sosial seluruhnya, gaya hidupnya dan nilai-nilai yang sekarang dianutnya adalah lebih menguntungkan secara keseluruhan dibanding dengan yang dulu. Namun pada akhirnya bukan itu tujuannya dalam mengubah gaya hidup dan menyesuaikan prioritas-prioritasnya. Pada akhirnya, kriteria pembenaran gaya hidupnya yang sekarang ini masih sama dengan kriteria pembenaran di masa lalu, yaitu pilihan untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri. Ia hanya mempedulikan/melakukan urusannya sendiri saja.

                Berkenaan dengan ini semua seseorang mungkin bertanya: Bagaimana hal ini punya pengaruh yang merugikan hidup rohani? Akibat dari narsisisme yang berlebihan dapat disebutkan dengan mudah. Jika kita berhadapan dengan realitas dan sibuk dengan diri sendiri, kita hanya melihat sedikit hal yang berharga dari apa yang sesungguhnya tampak di situ. Selain itu apa yang sebenarnya kita lihat juga terganggu dan terbentuk oleh kepentingan diri sendiri. Ini dapat dilukiskan dengan contoh sederhana.

                Bayangkanlah anda sedang berjalan-jalan di sebuah hutan yang indah pada suatu hari yang baik di musim panas. Bumi terang benderang karena api (matahari) dari Tuhan dan  pemandangan, bunyi-bunyian, aroma semuanya bisa menggugah anda untuk ingin melepaskan kasut anda di hadapan semak yang bernyala. Namun pikiran dan hati anda sungguh sedang terluka dan terobsesi karena anda sedang mabuk kepayang kepada seseorang dan merasa menderita karena pujaan anda itu menolak diri anda. Maka anda senyatanya tidak melihat semua yang ada dalam perjalanan anda itu, bukan hanya tidak melihat semua keindahan dan alam ciptaan, namun yang lain-lainnya juga. Anda terbelenggu dalam diri anda sendiri, terobsesi oleh puja-asmara, tertusuk oleh luka hati nan penuh duka lara, terus menerus memutar ulang rekaman wacana masa lalu dan masa mendatang di kepala anda, berbagai kemungkinan dan berbagai fantasi. Walaupun anda sebenarnya sedang melihat, mendengar dan mencium aroma keindahan dan alam, anda sama saja dengan berjalan-jalan di tempat parkir mobil, atau di tempat pembuangan sampah. Anda terbenam di dalam dunia batin yang realitas obsesifnya menyerap semua kesadaran anda. Dunia luar sama sekali tidak berdaya untuk memasuki dan menarik perhatian anda. Bagi anda, realitas sudah anda susutkan hingga mencapai ukuran, bentuk, dan warna menurut dunia batin anda sendiri.

                Gambaran seseorang yang terobsesi yang sedang berjalan-jalan di tengah alam keindahan dan buta terhadap semua yang ada itu melukiskan bagaimana narsisisme menjadi antitesis (lawan) dari kontemplasi. Ini juga merupakan gambaran dari pergumulan budaya kita dalam melihat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita sungguh-sungguh sibuk memikirkan persoalan dan duka lara kita sendiri, kita cenderung tidak melihat apa pun yang lain di luar itu semua. Cerapan indera kita atas realitas merosot karenanya dan tidaklah mengherankan jika kemudian kita sulit memercayai realitas Tuhan sabda dan tindakanNya, karena kita mengalami kesulitan dalam mencerap realitas apa pun di luar diri kita sendiri.

Ron Rolheiser OMI



* Orang-orang muda profesional yang melejit naik dengan cepat memanjat tangga karir karena kemampuan yang lebih baik dan adanya kesempatan (terutama karena sistem perekrutan tenaga kerja dengan cara membajak), seperti bajing loncat berpindah-pindah lembaga tempat kerja, mencari yang mampu memberi pangkat, tantangan, gaji, kemudahan yang lebih besar dan tangga karir yang lebih panjang, dan mempunyai gaya hidup tertentu yang mewah.

* Pengaruh budaya pengejaran keunggulan (manajerial) dalam persaingan yang ketat di kalangan bisnis (In Search of Excellence).

* Neil Postman (1931-2003) adalah seorang profesor, teoritisi media, dan kritikus budaya pada Universitas New York. 

** Merryl Streep (lahir tahun 1949), pada waktu itu sudah memeroleh sebutan sebagai aktris pemeran terbaik dari berbagai kalangan penghargaan seperti Academy Awards (dalam film Sophie Choice, 1982, dan Kramer vs Kramer, 1979), BAFTA Award (1981, dalam film The French Leutenant’s Woman), Emmy Awards (dalam miniseri Holocaust, 1978), Golden Globe Awards (Sophie Choice, 1983, The French Leutenant’s Woman, 1982), dll.

* Profesor emeritus sosiologi pada Universitas California, Berkeley (lahir 1927)



Catatan dan rujukan

 

[i] YUP adalah singkatan dari Young Upwardly-mobile Person. Akhiran –(p)ie adalah imbuhan untuk membentuk kata baru yang menunjukkan sebutan informal dengan muatan rasa sayang, Yup+(p)ie.

 

[ii] Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, Public Discourse in the Age of Show  Business, NY, Penguin Books, 1985, hal 96-97.

 

[iii] Robert Bellah, Richard Madsen, William Sullivan, Ann Swidler dan Steven Tipton, Habits of the Heart, Individualism and Commitment in American Life, San Francisco, Harper & Row, 1985 hal 3-6.

 

KerajaanMu datanglah

Dalam Injil Lukas 11:6-13 yang dibacakan hari ini, Yesus mengajarkan doa Bapa Kami. Antara lain memohon kepada Bapa, "datanglah KerajaanMu". Artikel tentang Kerajaan menurut Kitab Suci ini relatif panjang. Silakan dibaca berdikit-dikit sesuai kesempatan yang tersedia. Semoga berguna. 

Kerajaan

Sebentuk masyarakat dengan pemerintahan monarki yang dikepalai seorang raja atau ratu. Dalam Perjanjian Baru, sebutan “kerajaan” biasanya merujuk pada “Kerajaan Allah”. Istilah dan konsep itu mempunyai suatu latar belakang yang kaya, karena “kerajaan” merupakan suatu tema dan gambaran yang penting di seluruh Kitab Suci. Adam berperan bagaikan raja atas alam ciptaan. Kemudian Tuhan menjanjikan kepada Abraham bahwa akan timbul raja-raja dari antara keturunannya. Israel, umat Tuhan, mula-mula di bentuk menjadi suatu kerajaan oleh Saul, yang dengan cepat digantikan oleh Daud dan keturunannya. Kerajaan Israel di bawah Daud dan para pewarisnya menjadi bayangan awal Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru – sesungguhnya, Kerajaan Allah dapat dipahami dalam arti tertentu sebagai perubahan kerajaan Daud. Namun kerajaan itu dapat disamakan dengan (1) Kristus sendiri, atau (2) pemerintahan Kristus di hati kaum beriman, atau (3) Gereja, himpunan kaum beriman dan tubuh Mistik Kristus.



I. Kerajaan Dalam Kitab Suci, dari Kejadian hingga Wahyu

II. Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru

                A. Istilah Kerajaan Allah

                B. Tiga Dimensi Teologis dari Kerajaan Allah

                C. Kerajaan Allah sebagai Pemenuhan Tipologis Kerajaan Perjanjian Lama.

 

I. Kerajaan Dalam Kitab Suci, dari kitab Kejadian hingga kitab Wahyu

Dorongan arah menuju suatu Kerajaan sudah ada dalam kisah Penciptaan dalam kitab Kejadian. Tuhan menciptakan manusia “menurut gambar dan keserupaan denganNya”. Kata yang pertama, “gambar”, bahasa Ibraninya “Selem”, terutama sangat kaya dengan konotasi kerajaan. Adalah umum bagi para raja Timur Dekat kuno untuk menempatkan gambar ukiran (patung, Ibrani: selamim) dari diri mereka di seluruh batas geografis kerajaan mereka sebagai tanda kehadiran kekuasaan politik mereka di kawasan itu. Maka, Kej 1-2 mau menyatakan bahwa seluruh alam ciptaan adalah ruang Kerajaan Allah, dan manusia ditempatkan dalam ruang itu sebagai wakil Tuhan yang menghadirkan kekuasaan Tuhan. Ini selanjutnya diteguhkan dengan suatu mandat penciptaan kepada Adam dan Hawa supaya “berkuasa” (bahasa Ibrani rada) atas bumi, suatu istilah yang digunakan di mana-mana untuk melukiskan pelaksanaan kuasa raja (1 Raj 4:24; Mzm 72:8; 110:2). Adam merupakan puncak tertinggi hirarki ciptaan dan de fakto raja di antara segala mahluk. Maka, kisah penciptaan menyajikan suatu situasi paradigma ideal di mana tatanan seluruh ciptaan adalah suatu kerajaan yang dikuasai manusia atas nama Tuhan.

                Selanjutnya di dalam sejarah keselamatan Nuh adalah sosok seorang “Adam baru” yang sekali lagi ditempatkan de fakto sebagai manusia yang merajai seluruh ciptaan (bdk Kej 9:2). Dorongan arah menuju kerajaan itu juga ditemukan dalam hubungan dengan Abraham. Dalam Kej 14, Abraham mengalahkan gabungan raja-raja Timur Dekat dan  itu menjadikannya pemimpin militer negeri itu, sehingga punya dasar untuk menyatakan diri sebagai raja. Namun sebaliknya, Abraham malah mengakui wewenang rajawi dari imam-raja misterius Melkisedek dari Salem (yaitu Yerusalem). Namun di kemudian hari keturunan Abraham sendiri akan menjadi raja Yerusalem – suatu petunjuk dari hal ini diberikan dalam Kej 17:6, yang menjanjikan raja-raja yang timbul dari antara keturunan Abraham sebagai bagian dari perjanjian Tuhan dengan Abraham.

                Janji ini mengerucut pada satu garis keturunan Abraham dalam Kej 49:8-10, yang menjanjikan “anak singa” dan “tongkat kerajaan” kepada Yehuda, yang akan menerima ketundukan bukan saja dari suku-suku Israel selebihnya, tetapi juga dari bangsa-bangsa yang bukan Israel.

                Melalui Musa, Tuhan memberikan pemerintahan gabungan, kesatuan antara imam dan raja kepada bangsa Israel, dengan syarat agar mereka setia kepada perjanjian Sinai: “jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, ….Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Ibrani mamleket kohanim; Yunani basileion hierateuma; Kel 19:5). Namun bangsa Israel tidak menaati perjanjian mulai dari insiden anak lembu emas dan melanjutkan pemberontakan selama berputar-putar di padang gurun. Janji pemerintahan sebagai raja untuk keturunan Abraham perlu diwujudkan dengan cara yang berbeda.

                Setelah pemerintahan Saul dari suku Benyamin yang berakhir buruk, nubuat Yakub atas Yehuda mendapatkan kepenuhannya di dalam dinasti raja-raja Yehuda yang didirikan oleh Daud (2 Sam 5:3).

                Kerajaan Daud merupakan tipe atau gambar awal Perjanjian Lama atas Gereja dan strukturnya. Untuk itu baik jika ciri-ciri utamanya dipaparkan:

1. Kerajaan Daud didirikan atas suatu perjanjian ilahi (bahasa Ibrani berit, bahasa Yunani diatheke), satu-satunya kerajaan insani di dalam Perjanjian Lama yang memiliki hak khusus semacam itu (lihat 2 Sam 7:8-16; 23:5; 1 Raj 8:23-24; Mzm 89:3; 2 Raj 13:5; 21:7; Sir 45:25; Yes 55:3; Yer 33:14-26).

2. Raja yang berasal dari keturunan Daud diangkat sebagai anak Allah. Hubungan filial (anak-bapa) dari raja keturunan Daud dengan Allah sudah dikemukakan dalam teks undang-undang dasar perjanjian Daud (2 Sam 7:14), tetapi juga di tempat lain yang berkaitan dengan Daud (lihat Mzm 2:7; 89:26; 1 Taw 17:13; 28:6).

3. Raja Anak Daud itu adalah “Kristus” yaitu “Mesias”. Status sebagai yang diurapi dari raja keturunan Daud tak terpisahkan dari identitasnya dan bahwa ia sering disebut semata-mata sebagai ”dia yang diurapi” saja, atau “dia yang diurapi Tuhan” (1 Sam 16:13; 2 Sam 19:21; 22:51; 23:1; 1 Raj 1:38-39; 2 Raj 11:12; 23:40; 2 Taw 6:42; 23:11; Mzm 2:2; 18:50; 20:6; 84:9; 89:20.38.51; 132:10.17).

4. Pembangunan Bait Allah merupakan salah satu tanggungjawab utama raja keturunan Daud. Daud sendiri mempersiapkannya (1 Taw 22:1-9), Salomo menyelesaikannya (1 Raj 8:12-13), dan raja-raja selanjutnya memelihara Bait Allah (2 Raj 12:4-16; 22:3-7). Pembangunan Bait Allah merupakan syarat utama perjanjian Daud dari awal, dan dapat dilihat sebagai permainan kata, yaitu kata Ibrani yang sama baith (rumah) yang digunakan baik untuk dinasti maupun untuk tempat tinggal Allah, dalam 2 Sam 7:11-13. Sekalipun sesudah Bait Allah itu dihancurkan, para nabi sungguh yakin bahwa Tuhan akan memulihkan Bait Allah hingga mulia seperti dulu dan akan menjadi rumah doa bagi segala bangsa (Yes 2:1-4; 56:6-8; 60:3-16; 66:18-21; Yer 33:11; Yeh 40-44; Dan 9:24-27; Yl 3:18; Hag 2:1-9; Mi 4:1-4; Za 6:12-14; 8:20-23; 14:16).

5. Wangsa keluarga Daud terkait terus dengan erat pada Yerusalem, utamanya Gunung Sion, yang merupakan milik pribadi Raja Daud dan ahli warisnya (2 Sam 5:9). Yerusalem tidak akan mendapat peran yang besar dalam sejarah Israel seandainya Daud tidak menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan (bdk Yos 15:63; Hak 1:21; 19:10-12; Sam 5:6-12).

6. Raja keturunan Daud akan memerintah dalam suatu kerajaan internasional yang terdiri dari segala bangsa. Daud dan Salomo memerintah tidak hanya atas semua suku-suku Israel tetapi juga bangsa-bangsa asing di sekitarnya (lihat 2 Sam 8:11-12; 10:19; 12:30; 1 Raj 3:1; 4:20-21;10:15). Mazmur-mazmur secara teologis membenarkan hal pemerintahan bangsa-bangsa itu (Mzm 2:8; 18:43; 47:1.9; 72:8.11; 66:8; 67:2-5; 86:9; 89:27; 96:7; 99:1), dan para nabi menubuatkan pemulihan kerajaan ini (Yes 2:3-4; 42:1-6; 49:1-7.22-26; 51:4-6; 55:3-5; 56:3-8; 60:1-16; 66:18-19; Am 9:11-12; Mi 4:2-3; Za 14:16-19).

7. Kerajaan Daud akan kekal untuk selama-lamanya. Salah satu yang sangat ditekankan dalam Mazmur dan sejarah Deuteronomis adalah bahwa wangsa keluarga Daud itu abadi (2 Sam 7:16; 23:5; Mzm 89:35-36). Bukan hanya dinastinya, tetapi juga jangka kehidupan raja yang memerintah digambarkan sebagai kekal (lihat Mzm 21:4; 72:5; 110:4).

8. Dalam pemerintahan raja-raja keturunan Daud terdapat peran bagi Ibu Suri (1 Raj 2:19-20; 15:13; 2 Raj 24:12.14; Yer 13:18; 22:26; 29:2); peran bagi Menteri Utama  atau menteri kepala (bhs Ibrani ‘aser ‘al-habbayit, orang yang kedudukannya berkuasa atas rumah/istana raja: 1 Raj 4:7; 18:3; 2 Raj 15:5; 18:18.27; 19:2; Yes 22:15-24) dan dua belas orang [pembantu raja] atas seluruh Israel (1 Raj 4:7).

                Kerajaan Daud dipahami lebih dari sekadar suatu tatanan politik. Bagi para pengarang Kitab Suci, kerajaan itu sakral karena mengungkapkan pemerintahan Tuhan di atas bumi. Perspektif ini jelas dalam beberapa Mazmur (Mzm 2; 110) tetapi terutama dalam 1 Taw 28: 5, ketika Daud menyatakan bahwa “Ia [Tuhan] telah memilih anakku Salomo untuk duduk di atas tahta pemerintahan Tuhan atas Israel”, dan 2  Taw 23:8, yang berbicara tentang ”kerajaan Tuhan yang dipegang keturunan Daud”. Frasa “kerajaan Tuhan” ini merupakan padanan yang paling dekat dari frasa Perjanjian Baru “Kerajaan Allah”.

                Walaupun dinasti Daud merupakan dinasti yang berlangsung paling lama dalam dunia Timur Dekat kuno, tetapi ia runtuh juga di tangan Nebukadnezar dari Babilonia pada tahun 586 SM (2 Raj 25:1-26). Sesudah pulangnya orang Yudea dari Pembuangan ke Yerusalem di bawah pemerintahan Koresy yang Agung dari Persia, harapan akan kerajaan bersemi ketika Zerubabel, seorang keturunan Daud, ditunjuk menjadi bupati kepala pemerinta daerah Yehuda (bdk Hag 2:20-23), namun tidak terjadi apa-apa. Jauh di kemudian hari harapan itu menyala lagi, mula-mula karena Dinasti Hasmona (134-67 SM), dan kemudian secara lebih sempit lagi karena Dinasti Herodes (37 SM – 66 M), yang sama-sama menduduki tahta Yerusalem dan meluaskan wilayah kerjaaan hingga hampir sama besarnya dengan Kerajaan Daud dan Salomo. Namun keduanya bukan keturunan Daud; Hasmona (yaitu keluarga Makabe) berasal dari suku Lewi, sedang Herodes Agung dan keturunannya adalah keturunan Edom (keturunan Esau).

                Dalam konteks harapan yang tak sampai bagi pemulihan kerajaan Daud di Israel tidaklah mengherankan jika baik Matius maupun Lukas mengawali Injil mereka dengan menekankan silsilah Yesus yang berasal dari Daud (Mat 1:1; Luk 1:27.32). Kedua penulis Injil dengan susah payah menyatakan Yesus sebagai Anak Daud yang rajawi, yang akan memulihkan kerajaan dan perjanjian Daud. Maka Matius sudah menyatakan hal itu sejak waktu kelahiran Yesus ketika para majus datang dari timur untuk mendapatkan kanak-kanak Kristus (Mat 2), sementara pewaris Daud yang terbesar, Salomo mendapat kehormatan seperti itu pada puncak pemerintahannya (1 Raj 4:34). Demikian pula, ketika dalam Luk 1:31-33 Gabriel menyampaikan kabar sukacita perkandungan Kristus pada Maria, kata-katanya mengambil kata-kata yang digunakan dari pokok-pokok teks perjanjian Daud, 2 Sam 7:8-17, khususnya ayat 13-16.

                Yesus mengawali karirnya dengan pergi ke seluruh Galilea mewartakan Kerajaan (Mat 3:2; Mrk 1:15; Luk 4:43). Khotbahnya yang paling panjang berfokus pada Kerajaan (Mat 5-7; Luk 6:20-49), dan sebagian besar perumpamaanNya mengajarkan aspek-aspek Kerajaan (Mat 13:1-51). Mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus, khususnya pengusiran roh jahat, merupakan tanda-tanda bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan bahkan sudah sangat dekat sekali (bdk Mat 12:28). Pada Perjamuan Terakhir, ia membagikan Kerajaan itu pada para muridNya, dan mengangkat mereka pada jabatan-jabatan yang punya wewenang di dalamnya (Luk 22:29-30). Sesudah kebangkitan, Kerajaan menjadi topik utama wacana Yesus dengan para murid dalam empat puluh hari sebelum Ia naik ke surga (Kis 1:3).

                Walaupun rujukan pada Kerajaan Allah sangat dominan dalam pengajaran Yesus, tema Kerajaan tetap penting di dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya. Ajaran mengenai Kerajaan Allah mengawali dan mengakhiri Kisah Para Rasul (Kis 1:3; 28:31). Maksud dari model sastra pembukaan dan penutup ini adalah bahwa semua selipan di tengahnya (“inclusion”) menunjukkan bahwa rasul-rasul, utamanya Paulus (bdk Kis 14:22; 19:8; 20:25; 28:23) melanjutkan karya Yesus dalam mewartakan Kerajaan itu. Paulus sendiri menyebut Kerajaan Allah empat belas kali dalam surat-suratnya (dari Roma hingga Filemon), sering mengingatkan mereka akan praktek perilaku hidup yang dapat menyebabkan mereka tidak akan diterima dalam Kerajaan (1 Kor 6:9-10; Gal 5:21; Ef 5:5). Walau Surat Ibrani jarang menyebut Kerajaan secara eksplisit, surat itu dengan jelas menggambarkan Yesus sebagai Imam-Raja menurut peraturan Melkisedek (Ibr 7:1-9.15-17), dan menerapkan Mazmur-mazmur Daud dan nubuat-nubuat bagi Yesus (Ibr 1:5-9), dan melukiskan tahtanya di surga (Ibr 1:3; 2:7-9). Semua ini menyatakan bahwa Kristus memerintah KerajaanNya hingga sekarang. Menjelang akhir surat Ibrani, Yesus dilukiskan dalam gaya bahasa dan gambaran yang khas dalam kerajaan Daud: “Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah, dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, ..... dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru” (Ibr 12:22-24).  Hak istimewa untuk mendekati Kristus sang Imam-Raja yang bertahta di surga ini membangkitkan rasa syukur: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur” (Ibr 12:28). 

                Dalam Kitab Wahyu ada beberapa kata kunci, rujukan eksplisit pada Kerajaan yang menunjukkan bahwa para pengikut Kristus sudah ikut serta di dalam Kerajaan itu: “[Untuk Dia] yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, -- bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya” (Why 1:6; bdk Why 1:9; 5:10). Tema Kerajaan dalam kitab Wahyu dikuatkan dengan kutipan-kutipan yang dikenakan pada Kristus detil uraian yang menggambarkan baik secara eksplisit maupun implisit tradisi monarki dari Daud (Why 1:5 bdk dengan Mzm 89:27; Why 2:27 bdk dengan Mzm 2:9;  Why 3:7 .21; 5:5; 12:5; 22:16). Panggung utama untuk adegan dalam kitab ini adalah istana-bait surgawi Allah, di mana Tuhan bertahta (Why 4:2) bersama dengan tangan-kananNya, sang Anak Domba, berada di sampingNya (Why 5:5-6:13) dikelilingi oleh para menteri, para penatua yang didudukkan pada tahta masing-masing dan diberi mahkota (Why 4:4). Suatu titik puncak adegan dicapai dalam Why 11:15: "Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya." Konsep Kerajaan surga ini didirikan di dunia dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam Why 21-22, di mana Yerusalem surgawi (ibukota Daud) turun ke bumi, dan dari ditu Tuhan dan Kristus Anak Domba memerintah semesta. Tekanan yang berkelanjutan atas identitas Kristus yang rajawi dari  Daud bahkan sampai di akhir kitab -- “Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang." (Why 22:16), menunjukkan bahwa kerajaan Daud sudah disatukan dengan Kerajaan Allah dengan cara analog seperti kesatuan kodrat manusia dan kodrat Allah pada Kristus.

II. Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru

                A. Istilah Kerajaan Allah

Walaupun “Kerajaan Allah” merupakan istilah yang paling sering digunakan, para penulis Perjanjian Baru  menggunakan beberapa padan kata yang pada dasarnya menggambarkan realitas yang satu dan sama. “Kerajaan Surga” merupakan suatu ragam sebutan  yang unik khas bagi Matius, yang digunakannya dalam tiga puluh dua kesempatan yang dalam Injil-injil Markus dan Lukas disebut “Kerajaan Allah”. Beberapa variasi sebutan yang digunakan para pengarang Perjanjian Baru termasuk    “Kerajan Kristus dan Allah” (Ef 5:5), “kerajaan PuteraNya yang terkasih” (Kol 1:13),     “Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2 Ptr 1:11) dan "Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, " (Why 11:15). Selain itu, Yesus mengatakan “kerajaanKu” (Yoh 18:36; Luk 22:30) dan “kerajaan BapaKu” (Mat 26:29); orang lain berkata kepada Yesus tentang “kerajaanMu” (Mat 20:21; Luk 23:42), dan ada berbagai sebutan yang semata-mata “kerajaan” saja tanpa embel-embel lain (Mat 24:14; 25:34; Luk 12:32; Kis 20:25). Semua variasi sebutan ini mungkin mmpunyai sedikit konotasi yang berbeda, namun mereka merujuk pada realitas yang sama dari frasa “Kerajaan Allah”. Sebagian dari ragam sebutan itu menunjukkan dengan jelas perbedaan antara Kerajaan Allah dengan Kerajaan Kristus (bdk 2 Ptr 1:11; Why 11:15).

                B. Tiga Dimensi Teologis dari Kerajaan Allah

Para Bapa Gereja mengenali tiga dimensi Kerajaan Allah, dan semua dimensi itu tetap sah sepanjang masa.

                Yang pertama adalah dimensi Kristologis, di mana Kerajaan itu adalah |Kristus sendiri (bhs Yunani “autobasileia”). Yesus adalah inkarnasi dari Kerajaan Allah. Sebagai Raja, Ia mewujudkan Kerajaan itu dan menghadirkannya: di mana Raja berada, di situ pulalah kerajaanNya. Maka dalam ayat-ayat tertentu Yesus menunjukkan Kerajaan yang sudah hadir dalam diriNya sendiri: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk 11:20); atau “Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk 17:21). Dimensi inilah yang mungkin juga tampak di dalam perumpamaan-perumpamaan kerajaan sebagai mutiara yang berharga (Mat 13:45-46) atau sebagai harta yang tersembunyi di suatu ladang (Mat 13:44). Kristus adalah mutiara dan harta, yang untuk memilikiNya orang mau berkorban apa saja.

                Dimensi yang kedua bersifat idealis dan mistik. Di dalamnya Kerajaan dipahami sebagai berada di dalam hati (yaitu dalam batin setiap orang) kaum beriman. Ini berkaitan dengan pandangan yang terdahulu karena |Kristus berdiam, berkat Roh Kudus, di dalam hati setiap muridNya (Ef 3:16-17). Oriegenes yang pertama-tama mengemangkan pandangan teologis ini menyatakan bahwa barangsiapa yang mendoakan Bapa Kami “mendoakan datangnya Kerajaan yang sudah hadir di dalam diri mereka”. Ia menambahkan, “di dalam setiap orang kudus adalah Tuhan yang meraja”. Pandangan mistik ini tampak dalam pernyataan Yesus bahwa “Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk 17:21), yang kemudian dimengerti dalam arti “Kerajaan Allah itu ada di dalam masing-masing dari kamu”. Paus Benediktus XVI memadatkan pandangan ini dengan menyatakan, “Kerajaan Allah tidak diketemukan dalam peta manapun... sebab adanya adalah di dalam batin manusia.”

                Dimensi yang ketiga adalah dimensi eklesiologis: Kerajaan itu adalah Gereja. Dimensi ini berkaitan dengan kedua dimensi yang terdahulu karena di satu pihak Gereja pada hakekatnya adalah tubuh mistik Kristus, yang adalah Raja dan Kerajaan; di pihak lain, Gereja adalah himpunan dari jemaat yang di dalam mereka Kristus sang Raja bersemayam.

                Dimensi ketiga ini diungkapkan dengan paling jelas dalam beberapa perumpamaan tentang Kerajaan Allah di dalam Mat 13. Kerajaan dilukiskan sebagai suatu ladang di mana terdapat gandum dan semak berduri, yang akan dipilah pada akhir zaman. Begitu pula Kerajaan adalah jala yang menangkap ikan yang baik maupun yang buruk, dan yang buruk hanya akan dipilah oleh para malaikat pada akhir masa. Kedua perumpamaan itu menunjukkan bahwa Kerajaan merupakan realitas yang sudah ada, sekalipun campur aduk, yang akan disempurnakan pada akhir sejarah nanti. Situasi sekarang dari Kerajaan yang campur aduk itu dipahami sebagai Gereja yang ada di dunia, Gereja yang sedang berjuang; sedangkan perwujudan Kerajaan yang sempurna adalah Gereja di surga, Gereja yang Jaya, ke arah mana Gereja yang sedang Berjuang sekarang melakukan perjalanan ziarahnya.

                Ajaran tentang Kerajaan lainnya di dalam Perjanjian Baru membenarkan pandangan eklesiologis itu. Ketika bercakap-cakap dengan Nikodemus, Yesus berkata: “sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3:5). Perkataan ini bisa dipahami dalam kaitan dengan baptis, dengan mana seseorang memasuki Gereja. Dalam hal ini Gereja dalam arti tertentu adalah Kerajaan yang dimasuki seseorang yang dilahirkan dari air dan Roh.

                Kepada Jemaat Kolose Paulus menjelaskan bahwa Tuhan “telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih” (Kol 1:13). Dengan demikian para anggota Gereja sudah serta merta berada di dalam Kerajaan (bdk Why 1:6. 9:; 5:10).

                Salah satu pernyataan yang dengan jelas menyamakan Gereja dengan Kerajaan terdapat dalam Ibr 12:22-28. Penulis surat mula-mula memberitahu para pembaca bahwaa mereka  “sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah, dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, ..... dan kepada Yesus” (Ibr 12:22-24). Dan sesudah menggambarkan hakekat sorgawi Gereja, di mana para pembaca yang masih hidup di dunia sudah ikut serta di dalamnya, pengarang surat Ibrani melanjutkan: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur” (Ibr 12:28). Maka menjadi “jemaat anak-anak sulung” (Ibr 12:23) serentak berkait dengan “menerima kerajaan” (Ibr 12:28).

                Akhirnya, seperti yang telah kita bicarakan di depan, kitab Wahyu merupakan suatu visiun tentang Gereja yang Jaya yang berhimpun di sekeliling Tuhan, yang masih tertunda. Namun secara serentak : tahta, mahkota dan berbagai gambaran kerajaan lainnya menjelaskan bahwa para malaikat, orang kudus, para penatua dan lain-lain yang berhimpun di sekeliling tahta Allah dan Anak Domba juga mewujudkan suatu Kerajaan.

                Untuk menopang persamaan antara Gereja dengan Kerajaan, perlu ditangkap juga ajaran yang tersirat dalam kitab Wahyu bahwa Gereja pada hakekatnya merupakan suatu realitas surgawi. Gereja yang ada di surga, Gereja yang Jaya, merupakan wujud yang sepenuhnya dari Kerajaan. Pada akhir zaman, ketika semua anggota Gereja yang masih Berjuang telah memasuki Gereja yang Jaya, dan karena itu Gereja yang sedang Berjuang sudah tidak ada lagi, maka Gereja sama dan sebangun dengan Kerajaan. Namun sekarang ini adalah tidak tepat jika kita menyangkal bahwa Gereja yang sedang Berjuang mewujudkan Kerajaan Allah, sebab sesungguhnya Gereja yang sedang Berjuang adalah bagian dari Kerajaan Allah itu sekalipun dalam rupa yang tidak sempurna. Konstitusi Dogmatik [Konsili Vatikan II] tentang Gereja Lumen Gentium menyatakan hubungan itu dengan cermat dan indah : “untuk memenuhi kehendak Bapa, Kristus memulai Kerajaan sorga di dunia, dan mewahyukan rahasia-Nya kepada kita, serta dengan ketaatan-Nya Ia melaksanakan penebusan kita. Gereja, atau dengan kata lain, kerajaan Kristus yang sudah hadir dalam misteri, atas kekuatan Allah berkembang secara nampak di dunia” (LG art 3). “Gereja, ..... menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua Bangsa. Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia. Sementara itu Gereja lambat-laun berkembang, mendambakan Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan, agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan” (LG art 5).



                C. Kerajaan Allah sebagai Pemenuhan Tipologis Kerajaan Perjanjian Lama.

Setelah Kerajaan Allah bisa dilihat sebagai Gereja, maka pemenuhan tipologi kerajaan dalam Perjanjian Lama kiranya juga bisa diketahui.

                Yang pertama dan terutama, Gereja merupakan pemenuhan kerajaan Daud. Gereja bisa dilukiskan sebagai pemulihan dan penyempurnaan, atau mungkin transfigurasi (peralihan rupa yang lebih mulia) dari kerajaan Daud. Seorang ahli Kitab Suci Katolik, Raymond Brown menyatakan: “Kerajaan yang didirikan Daud... merupakan paralel yang paling dekat dari Perjanjian Lama pada Gereja Perjanjian Baru.” Maka, ciri-ciri dari kerajaan Daud (lihat di atas) bisa diketemukan [adanya dalam Gereja] setelah diperhitungkan dan diubah oleh Kristus. Sebagaimana kerajaan Daud didirikan atas suatu perjanjian ilahi maka Kerajaan Yesus di dunia didasari dengan dengan suatu “perjanjian baru”, yang ditetapkan dengan penyerahan tubuh dan darahNya. (Luk 22:20). Yesus dapat mengadakan perjanjian ini karena Dia  adalah anak Allah dan “Kristus [Dia yang diurapi] Tuhan” dalam arti kata yang lebih dalam daripada raja-raja keturunan Daud di masa lampau:  Yesus bukan hanya anak angkat, melainkan pada hakekatnya adalah Anak Allah yang sesungguh-nya (bdk Luk 1:35). Dan  Ia adalah “Kristus” yang bukan diurapi dengan minyak melainkan dengan Roh Kudus (Luk 3:22; 4:1). Kerajaan ini masih terkait terus dengan Yerusalem. Namun di sini ada unsur tranformasi, bahkan trans-lokasi : ibukkota Yerusalem tidak lagi berada di dunia melainkan Zion/Yerusalem surgawi, sebagaimana yang ditekankan dalam kitab Wahyu maupun Surat Ibrani (Ibr 12:22-24; Why 21:1-27).  Begitu pula Anak Daud masih terus membangun Kenisah  atau Bait Allah di dalam Kerajaan ini. Namun Bait Allah ini juga sudah ditransformasikan. Nukan lagi bangunan dari batu, melainkan bait untuk tubuhNya yang bersifat fisik (Yoh 2:21) tetapi juga mistik (Mat 16:18; 1 Kor 12:27; Ef 4:15-16.20-22). Bait Kerajaan ini adalah sungguh-sungguh bersifat internasional, karena Kristus memerintah atas seluruh Israel dan juga segala bangsa-bangsa (Mat 22:19; Luk 24:47; Why 7:1-21). Kerajaan Kristus [yang  kekal untuk selama-lamanya (Luk 1:33)] mempertahankan pemerintahan rajawi Daud  termasuk memberikan tempat yang terhormat kepada Ibu Suri (Luk 1:42. 48-49; Why 12:1) suatu peran bagi Menteri Utama  (Mat 16:18-19; bdk Yes 22:22). Serta kedua belas pejabat [pembantu Raja] atas seluruh Israel (bdk 1 Raj 4:7), yaitu para rasul yang kepada mereka Yesus secara harfiah “menjanjikan” (bhs Yunani diatithemi) Kerajaan dan mempercayakan kekuasaan sebagai wakilNya  (Luk 22:29-30).

                Kis 15:1-21 menunjukkan sejauh mana para rasul memahami Gereja sebagai pemenuhan kerajaan Daud. Dalam penutupan Konsili Yerusalem, Yakobus menguatkan keputusan Petrus untuk menerima bangsa-bangsa lain di dalam Gereja, sebagian karena ia memahaminya sebagai pemenuhan dari nubuat Am 9:10-11: “Kemudian... Aku akan kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang telah roboh, dan reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan,    supaya semua orang lain mencari Tuhan dan segala bangsa yang tidak mengenal Allah, yang Kusebut milik-Ku” [Kis 15: 16-17]. Namun frasa sang nabi Amos [dalam Am 9:11]: "Pada hari itu Aku akan mendirikan kembali pondok Daud yang telah roboh” di dalam konteks ini adalah suatu rujukan pada dinasti dan kerajaan Daud yang tidak terwujud di zaman Amos. Visiun Amos mengenai pemulihan kerajaan Daud dan bangsa-bangsa yang berduyun-duyun masuk ke dalamnya, di dalam pandangan Yakobus terpenuhi dengan masuknya bangsa-bangsa bukan Yahudi ke dalam Gereja. Maka Yakobus memandang Gereja sebagai kerajaan Daud yang sudah diubah. Konsep yang sama mendasari khotbah Petrus dalam Kis 2:29-36 dan Paulus dalam Kis 13:22-23.32-37.

                Wahyu 21-22 menyatukan dengan cara yang mencolok tema-tema Kerajaan Allah, kerajaan Daud dan Gereja di dalam visiun mengenai Yerusalem Baru yang turun dari Allah. Pertama, orang dapat mengenal Yerusalem Baru itu sebagai Gereja karena diperikan sebagai “pengantin perempuan, mempelai Anak Domba” (Why 21:9; bdk Why 21:2), suatu pelukisan bagi Gereja seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh kitab-kitab lain (Ef 5:23-32; tetapi renungkan juga Mat 22:1-14; 25:1-13). Yerusalem Baru itu juga dibangun di atas “dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis kedua belas nama kedua belas rasul” (Why 21:14), yang mengingatkan pada uraian tentang “Gereja yang dibangun di atas dasar para rasul” (Ef 2:20).

                Kedua, orang dapat menyamakan Yerusalem Baru dengan kerajaan Daud, atau setidaknya intinya atau pusatnya. Bagaimanapun [sekalipun Baru] dia adalah Yerusalem, Kota Daud (1 Raj 8:1), ibukotanya yang dulu (2 Sam 5:9) dan di sana Anak Daud, Anak Domba itu adalah “Singa dari suku Yehuda” (Why 5:5), “tunas, yaitu keturunan Daud” (Why 22:160, memerintah dari satu tahta bersama dengan Allah.

                Maka kedua bab terakhir dari kitab Wahyu merupakan pemadatan pelukisan yang di antara yang lain-lainnya menunjukkan pemenuhan kerajaan Daud di dalam Kerajaan Allah yang adalah Gereja surgawi.

                Di dalam Gereja-sebagai-Kerajaan Allah, orang dapat mengenali pemenuhan tipologi lain dari kerajaan Perjanjian Lama. Petrus memastikan bagi umat Kristen bahwa mereka adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus” (1 Ptr 2:9). Dengan kata lain, janji Tuhan kepada Israel akan suatu bangsa imamat-rajawi di masa Musa di Sinai (Kel 19:6) diwujudkan di dalam jemaat Kristen.

                Janji kepada Abraham bahwa “dari padamu akan berasal raja-raja” (Kej 17:6) juga terwujud sepenuhnya di dalam Kristus Raja, sehingga dari Dia, Abraham menjadi “bapa dari banyak bangsa-bangsa” berdasarkan iman (Rm 4:16-17).

                Akhirnya peran paradigmatis dari Adam sebagai wakil-penguasa atas alam semesta juga sudah dilunaskan tuntas dalam Kristus, Adam yang Baru (Rm 5:14), yang menjadikan Gereja tubuhNya juga menjadi “manusia baru” (Ef 2|:15), dan bersama dengan tubuhNya itu berkuasa atas segala sesuatu, yang telah diletakkan di bawah kakiNya (bdk Kej 1:26.28; Mzm 8:3-9; Ef 1:20-23; Ibr 2:6-9). Atas alasan ini, kitab Wahtu menggambarkan Yerusalem Baru, kota-tempat-bertahtanya Anak Domba, juga sebagai Eden yang baru, di mana mengalir sungai kehidupan (bdk Kej 2:10-14; Yeh 47:1-12; Why 22L1-2), dan tempat Pohon Kehidupan bertumbuh (bdk Kej 3:22-24; Why 22:2); kutuk laknat yang menyertai jatuhnya manusia dalam dosa di Eden (Kej 3:14-19) telah dihapuskan (Why 22:3).


DOA

 


Menurut Santo Yohanes dari Damsyik, “Doa adalah mengangkat jiwa dan hati kepada Allah atau memohon hal-hal yang baik dari Allah” (De fide orthodoxa, 3.24). Melalui doa Allah mengundang setiap orang untuk bertemu secara pribadi dengan Sang Pencipta. Rencana keselamatan dari Allah menawarkan suatu hubungan timbal-balik antara Allah dan manusia, dan doa adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari ketimbal-balikan itu.

                Doa dalam Kitab Suci meliputi keseluruhan emosi dan ungkapan manusiawi, mulai dari permohonan, keluhan, sampai pada renungan, terimakasih, syukur, pujian, hingga penyembahan.

 

I. Doa Dalam Perjanjian Lama

A.            Macam-macam Doa

B.            Percakapan Dengan Allah

C.            Perantaraan Kepada Allah

D.            Doa Nabi-nabi

II.  Doa Dalam Perjanjian Baru

                A. Yesus, Teladan Doa

                B. Keakraban dengan Allah Bapa

                C. Doa dalam Gereja Awal

 

I.             Doa Dalam Perjanjian Lama

A.            Macam-macam Doa

Dalam Pentateuch, kita membaca percakapan antara Allah dengan para Bapa Bangsa dan orang-orang lain. Sementara agama-agama lain menyampaikan permohonan-permohonan kepada berbagai dewa, doa Israel ditujukan kepada Yahweh (Kel 20:2-3; Ul 6:4), yang lebih dulu dikenal sebagai Allah  yang Mahakuasa (Kel 6:2-3). Percakapan di antara Allah dan orang perorangan merupakan dasar bagi hubungan perjanjian yang diadakan Allah dengan para Bapa Bangsa yang ketika berdoa menyerukan “nama” Tuhan (Kej 12:8; 21:33; 26:25).

                Maka juga ada dimensi sosial dan umum di dalam doa Perjanjian Lama. Tekanan diberikan kepada waktu dan tempat-tempat suci yang dikhususkan untuk ibadat. Pentateuch menyataan tempat-tempat ibadat seperti Sikhem (Kej 12:6-7), Betel (Kej 28:18-22), Mamre (Kej 13:18) dan Bersyeba (Kej 26:23-25) dan waktu-waktu suci seperti Sabat di setiap pekan (Kej 2:1-3; Kel 20:8-11) dan perayaan-perayaan tahunan (Kel 23:14-17; Im 23; Ul 16:1-17). Namun tempat utama bagi doa liturgis adalah Kemah Pertemuan (Kemah Suci) dan kemudian Bait Allah, sebab di situlah Allah tinggal di tengah-tengah umatNya (Kel 25:8; Ul 12:5-7).

B.            Percakapan Dengan Allah

Doa pertama kali dicantumkan dalam Perjanjian Lama dalam Kej 4:26 pada zaman Enokh ketika “waktu itulah orang mulai memanggil nama Tuhan”. Namun sebelum ini pun kita lihat Adam bercakap-cakap dengan Allah (Kej 3:9-12). Begitu pulalah Musa, karena Kel 33:31 menyatakan : “Tuhan berbicara dengan Musa dengan berhdapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya.”

                Abraham dan Musa sungguh tokoh yang penting dalam doa Perjanjian Lama. Abraham samasekali pasrah kepada kehendak Allah bahkan sampai bersedia mengurbankan anaknya sendiri sekalipun (Kej 22:8; Ibr 11:9) (KGK 2570-2572). Untuk kesetiaannya ini, Abraham menerima janji Allah yang kemudian diperbarui lagi dengan Yakub, yang pergumulannya dengan malaikat dipandang sebagai model doa bagi perjuangan iman (Kej 32:24-30) (KGK 2573).

C.            Perantaraan Kepada Allah

Doa pengantaraan – yaitu doa untuk dan atas nama orang lain – juga penting dalam Perjanjian Lama. Abraham berdoa untuk kepentingan Sodom (Kej 18:20-32) dan Abimelekh (Kej 20:17), tetapi Musa adalah contoh utama untuk doa pengantaraan. Doa semacam ini merupakan bagian dari peranannya sebgai pengantara perjanjian antara Allah dan Israel. Ketika bangsa Israel berdosa, ia memohonkan pengampunan dari Allah (Kel 32:30-32; Bil 14:13-19).  Ketika pertanyaan dan keraguan timbul, ia ada disana untuk bertanya kepada Allah (Bil 27:1-5). Ia kemudian mendapat reputasi sebagai seorang yang berdiri di hadapan Allah demi orang lain (Yer 15:1).

D.            Doa Nabi-nabi

Nab-nabi adalah pendoa karena mereka sering bercakap-cakap dengan Allah. Kadang-kadang mereka berseru kepadaNya ketika sedang merasa sedih tertekan (Yun 2:1-9) dan putus asa (1 Raj 19:4) dan kadang-kadang mereka menyatakan iman keyakinan mereka kepada Allah sekali pun mereka bergulat untuk memahami jalan-jalan Allah (Hab 3:1-9). Kadang-kadang mereka mengajar tentang doa dalam hidup bangsa Israel. Terutama ini jelas dalam Yesaya, yang tidak sabar karena orang berdoa tetapi hati dan peri-hidupnya jauh dari Allah (Yes 1:15; 29:13). Namun ia terus mendesak umat Allah agar berdoa (Yes 55:6) dengan keyakinan bahwa Allah akan mendengarkan dan mengabulkan doa permohonan mereka. Ia juga melantunkan doa-doa bagi mereka yang mengucap syukur atas keselamatan dari Allah.

                Kitab Ayub, kitab Ratapan dan yang terutama kitab Mazmur memberikan kepada kita contoh-contoh doa Perjanjian Lama. Mazmur menekankan tema-tema seperti pembebasan, ketakjuban, perintah, dan perayaan-perayaan umum. Mazmur juga menyampaikan cara yang ideal untuk memperkenalkan doa dalam Perjanjian Baru, terutama karena Mazmur-mazmur itu terpenuhi dalam Kristus (KGK 2596-2597).

II.            Doa Dalam Perjanjian Baru

A. Yesus, Teladan Doa

Yesus adalah model teladan doa yang sempurna dalam Kitab Suci. Dalam Dia kita lihat doa sendirian, doa malam, doa percakapan, doa pengulangan, doa persiapan dan doa pengantaraan. Ia sering berdoa di dalam keheningan di tempat yang sunyi seperti di gunung (Mat 14:23; Mrk 1:35; 6:46; Luk 5:16) dan berdoa dalam rangka persiapan momen-momen yang paling menentukan dan paling penting dalam karya dan hidupNya, termasuk pembaptisan (Luk 3:21), panggilan keduabelas rasul (Luk 6:12), Peralihan Rupa (Transfigurasi) (Luk 9:28) dan SengsaraNya (Luk 22:41-45; bdk Mat 26:36-44). Pada Perjamuan Malam Terakhir Yesus menyampaikan doa permohonan yang panjang (Yoh 17:1-26), dan di Taman Getsemani ia mengucapkan doa yang sama tiga kali berturut-turut (Mat 26:36-44). Di atas salib, ia mengucapkan doa rangkaian kata yang sudah disiapkan dari Mazmur (Mzm 22:2; bdk Mzm 31:5 dalam Luk 23:46).

B. Keakraban dengan Allah Bapa



Hidup doa Yesus ditandai dengan penggunaan kata “Abba” (Bahasa Aram untuk “Bapa”) untuk menunjukkan keintiman dan kekeluargaan dengan Allah (Mrk 14:36). Yesus dengan demikian menjadi model teladan tentang cara berdoa (Mat 6:5-15; Luk 18:9-14), terutama pada waktu pencobaan dan penderitaaan (Ibr 5:7). Ketika para murid meminta, “Tuhan, ajarilah kami berdoa” (Luk 11:1), Yesus menanggapi dengan mengajarkan Doa Bapa Kami. Ia menekankan perlunya mendekati Allah dengan iman: “Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Mrk 11:24). Seharusnya kita pun berdoa dengan sikap batin yang selalu taat kepada kehendak Bapa (Mat 7:21) da karenanya bekerja sama dengan rencana keselamatan. Yesus juga mengajar bahwa iman pada Putera merupakan jalan yang terbaik untuk mengenal Bapa, sebab Yesus adalah “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6).

                Hidup doa Yesus tidak berakhir ketika Ia naik ke surga, sebab sekalipun di sana, di sisi kanan Bapa, ia menjadi pengantara bagi segenap orang kudus di bumi (Ibr 7:25).

C. Doa dalam Gereja Awal

Doa Kristen awal disampaikan dalam nama Yesus (Yoh 14:13; 1 Kor 1:2), dengan keyakinan bahwa Ia ada menyertai di tengah-tengah para muridNya (Mat 28:20). Doa dilakukan dalam berbagai-bagai konteks, baik secara bersama maupun pribadi: Di Bait Allah Yerusalem (Luk 24:52), di rumah (Kis 2:46), di dalam penjara (Kis 16:25); bahkan di atap rumah (Kis 10:9). Menyerukan nama Yesus merupakan bagian integral dari badat liturgis dan sakramen (Kis 2:38; 22:16; 1 Kor 6:11; Yak 5:14-15), dan doa-doa syukur jelas terkait dengan perayaan Ekaristi Kristiani (Kis 2:42; 1 Kor 11:23-26).

                Menurut ajaran para rasul doa harus terus menerus (1 Tes 5:17) dan disampaikan dengan keyakinan iman akan kuasa Tuhan untuk menyelesaikan segala sesuatu (Yak 1:5-8|). Maka bisa dipahami, hidup doa seseorang saling kait dengan hidup moralnya, karena doa orang benar sungguh mujarab (Yak 5:16), sedang doa seorang pendosa mungkin terhambat (1 Ptr 3:7.12).

                Secara teologis, ketika kaum beriman diangkat menjadi anak-anak Allah di dalam Putra dan melalui Roh Kudus, dikaruniakanlah kepadanya kemampuan untuk menemui Bapa (Ef 2:18), yang disapanya secara mesra sebagai “Abba” (Rm 8:15-16; Gal 4:6). Bukan hanya itu, baik Kristus maupun Roh Kudus dikatakan menjadi pengantara kaum beriman atas kehendak Allah (Rm 8:26-27.34).