Gereja
Katolik memang sudah hadir lama, empat abad,
di Indonesia. Kehadirannya selama
itu masih diperlakukan sebagai anak yang dirawat, diatur dan dituntun oleh
Konggregasi Penyebaran Iman (Propaganda
Fide) di Roma/Vatikan, berdasarkan ius
commissiones yang dilaksanakan ordo-ordo misionaris. Dengan Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus 3 Januari 1961
dan ditegaskan lagi dengan Surat
Apostolik Sacrarum Expeditionem 20
Maret 1961, Paus St Yohanes XXIII setelah tahun sebelumnya melakukan penilaian
keadaan berdasar surat permohonan para waligereja dalam sidang di Girisonta
bulan Mei 1960, berkenan mendirikan Hirarki Gereja Katolik mandiri di Indonesia.
Umat Katolik di Indonesia sudah dianggap dewasa dan mampu mengembangkan
hidupnya sendiri, dan sehubungan dengan Krisis Irian Barat yang menyebabkan hubungan antara Indonesia dan Belanda tempat pusat misi ordo-ordo religius yang bekerja di Indonesia terputus sementara, lepas dari pengampuan Roma/Vatikan. Konstitusi Apostolik Quod
Christus Adorandus tersebut dipercayakan kepada Internunsius Apostolik pada
waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi. Ius commissiones kepada Ordo-ordo
misionaris berhenti, digantikan ius
mandatum, dengan diserahkannya mandat reksa pastoral umat kepada para Uskup.
Dengan Konstitusi dan Surat Apostolik itu
status Gereja Katolik di Indonesia berubah, dari status “daerah misi” yang untuk berbagai
kegiatannya diampu dan dikendalikan oleh Kongregasi Pewartaan Iman di Roma,
menjadi suatu Gereja yang mandiri dan otonom dalam menentukan kegiatan
penggembalaan dan melaksanakan amanat perutusan Kristus. Wilayah yang sebelumnya dinamakan “prefektur
Apostolik” dan yang satu level di atasnya “vikariat Apostolik” , di mana
sebutan “Apostolik” merujuk pada Tahta Suci Vatikan, oleh Konstitusi dan Surat
Apostolik itu berubah menjadi “Keuskupan” dan “Keuskupan Agung” mandiri di
bawah wewenang Uskup masing-masing.
Pada waktu perubahan itu terdapat 19 Keuskupan
dan 6 Keuskupan Agung. Jumlah umat Katolik hampir 1,2 juta jiwa berkembang dari
784.000 di tahun 1949 dan 880 ribu jiwa pada
tahun 1952, dan mempunyai banyak katekumen calon baptis. Di satu pihak
perubahan itu menunjukkan penghargaan dan kepercayaan Paus atas perkembangan
dan kedewasaan Gereja Katolik di Indonesia, di pihak lain kepercayaan itu
adalah suatu amanat untuk berdiri di atas kaki sendiri dan bertumbuh secara
swadaya. Karena masih baru, tidak semua hal langsung dilepas begitu saja oleh
Vatikan/Roma, khususnya Kongregasi Propaganda Fide, masih ada bantuan dan intervensi Roma dalam
beberapa hal, tetapi sebagian besar
wewenang penggembalaan didelegasikan Vatikan/Roma kepada Hirarki Gereja Katolik
di Indonesia yang baru mandiri itu.
Maka selanjutnya ada banyak tugas pekerjaan
pengembangan yang harus dilakukan para Uskup setelah Gereja Katolik di
Indonesia dipercaya oleh Paus Yohanes XXIII menjadi Gereja yang mandiri dan
para Uskup menerima mandat untuk reksa rohani umat Katolik di Indonesia. Termasuk melakukan persiapan mengikuti
Konsili Vatikan II.
Sidang Pertama Konsili Vatikan II
Sesi I Konsili Vatikan II berlangsung dari 11
Oktober hingga 8 Desember 1962. Amanat
Pembukaan Konsili Vatikan II dari Paus St. Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962
menyatakan “Sering terjadi dalam pengalaman kita melaksanaan pelayanan kerasulan
sehari-hari, kita mendengarkan suara-suara dari orang-orang, yang sungguh
sangat kami sesalkan, yang meskipun
dikobarkan oleh semangat agama, namun kurang matang dan cermat dalam pertimbangan. Dalam kondisi
masyarakat manusia dewasa ini, mereka melulu melihat keruntuhan dan bencana.
Menurut mereka dibandingkan dengan
masa-masa yang lalu zaman
sekarang bertambah semakin buruk, dan
mereka bersikap seolah mereka sama sekali tidak belajar dari sejarah yang
sesungguhnya adalah guru kehidupan. Mereka bersikap seolah-olah pada masa
Konsili-konsili yang terdahulu segala sesuatu penuh dengan kejayaan gagasan dan
hidup kristiani dan untuk kebebasan Gereja.
Kami rasa kami tidak sepakat dengan para nabi
kehancuran, yang selalu melihat bencana semata, seolah-olah kiamat sudah
dekat.
Dalam
situasi dunia sekarang, Penyelenggaraan Ilahi
tampak membimbing kerja keras manusia dalam membarui tata kemasyarakatan
dengan usaha mereka sendiri yang harus diakui berhasil, bahkan umumnya
melampaui harapan, menuju kepada terlaksananya rencana ilahi yang tak
terperikan dan unggul. Dan segala sesuatu, termasuk perbedaan-perbedaan
manusia, mengarah kepada kesejahteraan yang lebih besar bagi Gereja.
Sungguh
mudah untuk memahami realitas ini jika kita memperhatikan dengan cermat betapa
sibuknya dunia sekarang dengan isu-isu
politik dan kontroversi ekonomi hingga seolah-olah mereka tak punya waktu
lagi untuk menata realitas rohani yang menjadi bidang keprihatinan Magisterium
Gereja. Cara bertindak ini tentu saja keliru, dan memang tidak bisa
disetujui....
Ajaran
Kristiani harus dijaga dan sekaligus diwartakan dengan lebih efektif. Ajaran
ini untuk seluruh umat manusia yang adalah mahluk jasmani dan rohani seutuhnya.
Dan walaupun sedang berziarah di dunia, ajaran ini mengajaknya agar selalu mengarahkan
hati ke surga.
Ditunjukkan
bagaimana hidup kita yang fana diatur sedemikian rupa agar memenuhi kewajiban
kita baik sebagai warga dunia maupun warga surga, dan dengan demikian mencapai
tujuan akhir kita sebagaimana telah ditentukan Tuhan. Yaitu bahwa semua orang baik perorangan
maupun sebagai masyarakat wajib selalu mengarahkan hidupnya sepanjang hayat
kepada hal-hal surga dan menggunakan hal-hal dunia untuk maksud itu saja,
artinya, bahwa penggunaan harta benda duniawi janganlah mengurangi kebahagiaan
surga.
Tuhan
bersabda : "Carilah pertama-tama
Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 6,33). Kata
"pertama-tama" menunjukkan secara khusus kemana semua usaha dan
pikiran kita harus diarahkan; namun jangan dilupakan pula perkataan Tuhan
berikutnya: "maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu" (Mat
6:34)
Namun
agar ajaran ini dapat meresapi begitu banyak bidang kegiatan manusia, baik
perorangan, keluarga maupun masyarakat, pertama-tama dan terutama Gereja
sendiri harus selalu akrab dengan warisan
suci kebenaran yang diterima dari para Bapa itu. Dan serentak dengan itu harus
selalu memerhatikan keadaan sekarang, kondisi-kondisi baru dan bentuk-bentuk
baru kehidupan yang diperkenalkan zaman modern yang membuka jalan-jalan baru
bagi kerasulan Katolik.
Untuk
itu, Gereja tak boleh menutup mata pada kemajuan besar temuan-temuan kecerdasan manusia, dan jangan
terlambat ketinggalan dalam memberikan penilaian dengan tepat. Tetapi seraya
mengikuti jalannya perkembangan, janganlah ia lalai mengingatkan manusia agar
melampaui dan di atas segala yang dicerap indera, mereka selalu mengarahkan
hati kepada Allah, sumber segala kebijaksanaan dan keindahan. Dan agar mereka
tidak melupakan perintah yang paling utama: “Engkau harus menyembah Tuhan
Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat 4:10; Luk 4:8),
sehingga pesona hal-hal yang fana tidak menghambat kemajuan yang sejati.
Tentang
cara pewartaan ajaran iman dan bagaimana hal itu ditetapkan, menjadi jelas sangat diharapkan
dari sidang Konsili yang berhubungan dengan ajaran iman. Yakni, Konsili
Ekumenis Keduapuluhsatu – yang akan
menimba dari pengalaman berlimpah di bidang hukum, liturgi, kerasulan
dan pemerintahan dukungan yang efektif dan sangat berharga, harapan untuk
menyampaikan ajaran iman Katolik, secara murni dan lengkap, tanpa cacad atau gangguan, yang diteruskan selama dua puluh abad
kendati berbagai kesulitan dan pertentangan,
menjadi tuntunan umum bagi semua orang. Suatu tuntunan yang walau pun belum
diterima dengan baik oleh semua orang, namun selalu merupakan harta kekayaan
besar yang selalu tersedia bagi mereka yang berkehendak baik.
Maksud
utama Konsili ini dengan demikian bukan membahas lagi pokok-pokok ajaran Gereja,
yang sudah berulangkali dibicarakan para Bapa dan teolog dari zaman dulu
hingga sekarang secara rinci, yang kami anggap kita semua sudah memahaminya
dengan baik dan fasih.
Bukan
untuk itu Konsili ini diperlukan. Tapi dari kesetiaan yang diperbarui, murni dan jernih kepada seluruh ajaran Gereja seutuhnya dan setepat-tepatnya,
seperti yang diwariskan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I kepada kita, umat kristiani katolik di seluruh dunia dengan semangat apostolik menghendaki agar kita maju selangkah lagi dalam
meresapkan ajaran iman dan membina kesadaran
kaum beriman serta kesetiaan penuh pada ajaran yang autentik yang dipelajari dan diteguhkan dengan
metode-metode penelitian serta bentuk tulisan yang dapat diterima oleh semua
orang di zaman kita. Pokok-pokok ajaran iman yang asli adalah satu hal, sedang
cara menyajikannya adalah hal yang lain. Untuk yang terakhir itulah kita
memberikan pertimbangan sebanyak mungkin dengan kesabaran sejauh mungkin,
semuanya dengan bentuk dan proporsi yang terukur dalam suatu magisterium yang
terutama bercorak pastoral.
Demikianlah,
Gereja Katolik, seraya meninggikan suluh kebenaran agama melalui Konsili
Ekumenis ini, ingin menunjukkan dirinya sebagai
ibu yang mengasihi untuk semua,
baik hati, sabar, murah hati dan penuh kebaikan terhadap sesaudara yang
terpisah darinya. Kepada mereka yang tertindas banyak kesulitan, Gereja
berkata, seperti Petrus kepada orang
miskin yang meminta derma darinya: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa
yang kupunyai, kuberikan padamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu,
berjalanlah” (Kis 3:6). Dengan kata lain Gereja tidak memberi kekayaan yang
fana kepada manusia zaman ini, juga tidak menjanjikan kebahagiaan duniawi saja.
Tetapi ia membagikan kebaikan rahmat
ilahi yang, dengan mengangkat manusia
kepada martabat anak-anak Allah, adalah
perlindungan yang paling efektif dan bantuan ke arah hidup yang lebih
manusiawi. Gereja membuka keran mata air ajaran iman yang memberi hidup yang
memampukan manusia, diterangi oleh cahaya Kristus, memahami kenyataan dirinya,
martabatnya yang luhur dan tujuan hidupnya, dan akhirnya, bersama
putera-puterinya, Gereja menyebarkan di
mana saja kepenuhan
kasih Kristiani sebagai sarana yang
paling efektif untuk mengatasi benih-benih perseteruan, memajukan persamaan
pendapat, perdamaian yang adil, dan kesatuan semua umat manusia dalam
persaudaraan.
Tekad
Gereja untuk memajukan dan menegakkan kebenaran berasal dari fakta bahwa,
menurut rencana Tuhan, yang menghendaki
agar semua orang diselamatkan dan
sampai kepada pengertian akan kebenaran
(1Tim 2,4), tanpa pertolongan sepenuhnya dari ajaran yang diwahyukan, mereka tidak dapat mencapai
kesatuan pikiran yang lengkap dan kuat, yang terkait dengan damai sejati dan
keselamatan abadi.
Kesatuan
dalam kebenaran yang kita lihat ini, sayangnya, belum sepenuhnya dicapai oleh
seluruh keluarga Kristiani.
Karena
itu Gereja Katolik menganggap sebagai kewajibannya untuk aktif mengupayakan
agar sejauh mungkin dapat terpenuhilah
misteri besar kesatuan yang oleh Kristus Yesus, menjelang sengsara dan wafatNya, dengan doa yang sangat khusyuk
dimohonkan dari Bapa Surgawi. Gereja bersukacita dalam damai, karena tahu bahwa
dirinya erat terkait dengan doa Kristus
itu; dan bersorak gembira ketika permohonan doa itu meluaskan khasiat buah
keselamatan, bahkan kepada mereka yang berada di luar kawanannya.
Saudara-saudara
yang mulia, demikianlah tujuan dari Konsili Ekumenis Vatikan Kedua ini, yang
seraya menghimpun sebaik mungkin seluruh daya Gereja dan mengusahakan agar
manusia lebih siap menerima kabar gembira dan keselamatan, menyiapkan dan
mengkonsolidasikan jalan menuju kesatuan umat manusia yang perlu sebagai
landasan agar kota dunia menjadi semakin menyerupai kota surgawi, di mana
kebenaran meraja, kasih menjadi hukumnya, dan terentang hingga kekal .”
Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam
persidangan pertama (26 uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr Arntz OSC, Mgr
Bergamin SX, Mgr Demarteau MSF, Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr
Hermelink Gentiaras SCJ, Mgr.Mgr Grent MSC, Mgr
J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr Paul Sani Kleden SVD, Mgr
Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr
Soegijapranata SJ, Mgr JH Soudant SCJ, Mgr
Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr
v.d. Tillart SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen
SSCC, Mgr v. Kessel SMM, Mgr Verhouven MSC. Delegasi para Uskup
Indonesia dalam mengikuti Sidang Pertama Konsili Vatikan II dipimpin oleh Mgr
Soegijopranata SJ, dalam kapasitasnya sebagai
Ketua MAWI.
Dua belas komisi persiapan Konsili telah mengadakan
rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan
menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20
naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan
memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan
persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan di antara
para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang dimulai pada musim
gugur 1962. Dalam sidang kerja pertama, pada 13 Oktober 1962 para Uskup tidak
bersedia menerima daftar anggota komisi-komisi kerja Konsili yang disodorkan
dalam daftar yang sudah siap, karena dominasi Kuria Vatikan, sebaliknya mereka
ingin memilih sendiri para anggota komisi-komisi kerja yang umumnya dipimpin
10-12 kardinal dan bersifat internasional demi karakter Konsili yang disebut
ekumenis. Hal itu menunjukkan, bahwa banyak Uskup melalui intervensi Kardinal Frings (Jerman) dan Kardinal Lienart (Prancis) tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak
naskah yang telah disiapkan dan bersifat Roma-centris, keras, kurang bersahabat. Naskah untuk dibahas
yang telah diserahkan kepada para Bapa Konsili
meliputi antara lain draft tentang Sumber-sumber Wahyu, Perbendaharaan
Iman, Tatanan Moral Kristiani, Kemurnian-Perkawinan-Keluarga dan
Keperawanan, Konstitusi Liturgi,
Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristiani.
Dengan alasan mereka perlu waktu secukupnya
untuk saling mengenal dan memilih para anggota komisi-komisi, mereka berkelit
dari agenda pengambilan suara atas naskah-naskah, dan menghendaki proses
konsultasi berlangsung leluasa seperti biasa terjadi dalam tradisi konsili-konsili
yang lalu. Dewan pemimpin Konsili menghadap Paus Yohanes pada 16 Oktober 1962
membawa pesan para Uskup. Mereka meminta urutan pembahasan dibalik, mulai dari
Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristen. Draft lain-lainnya
dibahas dalam masa sidang berikutnya. Paus menyetujui. Maka dikirimkanlah nota
kepada para Bapa Konsili: “Animadversiones
in "Primam Seriem" schematum
constitutionum ad decretorum”, bahwa urutan pembahasan dibalik menurut
skema yang utama dulu, dari konstitusi ke dekrit. Mengomentari perubahan itu
Kardinal Montini (yang nanti menjadi Paus Paulus VI) pada 18 Oktober 1962 mengirim
catatan kepada Kardinal Sekretaris Negara mencemaskan bahwa Konsili tidak
mempunyai rencana kerja yang rapi dan
baku.
Pada 22
Oktober 1962 tema Konstitusi Liturgi dipilih untuk pembahasan pertama karena
draft yang dihasilkan lebih tertata rapi; secara keseluruhan sangat bagus, juga
dalam bagian-bagiannya, menurut penilaian para Uskup Eropa Tengah. Walaupun
demikian, debat mengenai Konstitusi
Liturgi sangat alot. Pokok perdebatan menyangkut gaya bahasa teks yang lebih puitis ketimbang
teologis. Ada ketidakjelasan ajaran yang perlu diperbaiki secara teologis. Tentang bahasa Liturgi: Latin atau bahasa
setempat. Komuni dua rupa. Konselebrasi. Dan otoritas atas liturgi. Pada 6
November 1962 dimintakan kesepakatan tentang penghentian debat mengenai hal-hal
yang telah cukup didiskusikan. Pembahasan tentang Konstitusi Lturgi berakhir
pada 13 November 1962 dan kemudian diambil suara atas pernyataan: “Konsili Vatikan II setelah meninjau dan
memeriksa skema tentang Liturgi suci, dengan ini menyetujui arah umum yang
cermat dan arif, bermaksud membuat bagian-bagian tertentu dari Liturgi lebih
hidup dan lebih mudah dipahami umat beriman selaras kebutuhan pastoral di masa
kini. Perubahan-perubahan yang didiskusikan dalam sidang konsili sesegera
mungkin akan dipelajari dan disusun dalam bentuk yang tepat oleh komisi Konsili
untuk Liturgi, dan akan disampaikan pada waktunya kepada sidang umum, dan
dengan pemberian suaranya para Bapa Konsili niscaya membantu atau mengarahkan
komisi dalam menyiapkan teks yang telah direvisi dan pasti untuk disampaikan
kepada sidang umum lagi”. Dari 2215 Bapa Konsili yang hadir, 2162 setuju
(melampaui kuorum duapertiga atau 1476). 46 suara tidak setuju.
Diskusi selanjutnya adalah untuk membahas
skema tentang komunikasi sosial, Gereja timur dan Hakekat Wahyu Allah. Terutama
untuk skema yang terakhir, Hakekat Wahyu Allah, sebagian besar Bapa Konsili
menolak teks yang diajukan karena hanya mengakui satu sumber wahyu: sabda
Tuhan, maka kurang ekumenis. Nadanya terlalu bersifat skolastik hingga dirasa
kering, kurang kehangatan, dan perlu memerhatikan kebutuhan Gereja, sehingga
teks itu perlu ditulis ulang melalui
suatu tinjauan teologis yang lebih baik. Walau ketika diambil suara, jumlah
yang menolak hanya 1.368 suara, kurang dari kuorum 2/3 yaitu 1.473 suara, namun
tetap merupakan mayoritas melebihi 55%.
Maka Paus berkenan memutuskan untuk merombak teks dengan wawasan teologi yang
lebih lengkap. Untuk revisi dan penulisan ulang teks maka hingga masa sidang
sesi pertama berakhir pada 8 Desember 1962, belum ada dokumen apa pun yang
dihasilkan Konsili Vatikan II.
Sementara persidangan pertama Konsili Vatikan
II berlangsung, dunia terancam krisis nuklir dipicu situasi di Cuba. Krisis
Nuklir Cuba (16–28 Oktober 1962) – ditandai situasi sangat nyaris terjadi
perang nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet karena penempatan peluru
kendali Soviet di Cuba dianggap mengancam Amerika Serikat. Setelah armada
Amerika Serikat memblokade perairan Cuba memutus hubungan negara itu dari mana
pun, barulah Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev setuju memindahkan
pelurukendalinya dari Cuba, sedang Amerika Serikat pun memindahkan peluru
kendali yang ditempatkan di Turki.