Daftar Blog Saya

Sabtu, 14 Januari 2023

PERSEMBAHAN KORBAN

 


PERSEMBAHAN KORBAN merupakan tindakan upacara ibadat yang dilakukan hampir secara universal di mana-mana dalam agama-agama kuno. Begitu meratanya persembahan korban dalam sejarah budaya manusia sehingga teologi Kristen memandangnya sebagai sesuatu bagian dari hukum alam (mis St Tomas Aquinas, Summa Theologiae II-II. Q 85., a1). Agama Kitab Suci didominasi oleh praktek korban dalam banyak dan beragam bentuk. Sepanjang Perjanjian Lama dan Baru korban merupakan salah satu cara pokok untuk ratifikasi, pembaruan dan perbaikan ikatan hubungan di antara Tuhan dan manusia.

 

I. Praktik Persembahan Korban

A. Pada  Zaman Bapa Bangsa

B. Pada Zaman Musa

II. Tujuan Persembahan Korban

A. Persembahan Korban dan Perwakilan

B. Korban dan Perjanjian

C. Korban dan Penyembahan Berhala

III. Penyempurnaan Korban

A. Korban Kristus

B. Korban Umat Kristen

 

I. Praktik Persembahan Korban

Korban mempunyai bentuk yang berbeda-beda di zaman yang berlainan sepanjang sejarah Kitab Suci yang panjang berabad-abad. Pembedaan bagaimana praktiknya dapat dibuat di antara zaman-zaman bapa bangsa, Musa dan Kristen. Dua fase yang pertama akan dibahas di bawah ini, sedangkan fase yang ketiga dibahas dalam bagian III nanti.

 A. Pada  Zaman Bapa Bangsa

Seperti yang disaksikan dalam Kitab Kejadian, doa dan korban menandai bentuk-bentuk ungkapan keagamaan pada zaman para bapa bangsa. Doa biasanya diperikan dengan idiom “berseru kepada nama Tuhan” (Kej 4:26; 12:8; 21:33; 26:25). Korban digambarkan dalam sejumlah cara. Misalnya mendirikan mezbah atau altar menandakan adanya ritus upacara persembahan kepada Tuhan (Kej 12:7-8; 13:18; 22:9; 26:25; 35:7). Obyek korban termasuk hewan ternak seperti domba dan kambing (Kej 4:4; 22:13), burung-burung (Kej 8:20), hasil panen ladang (Kej 4:3) hasil pemerasan minyak dan anggur (Kej 28:18; 35:14) dan pada satu-satunya ketika, roti dan anggur (Kej 14:18).

      Korban pada zaman para bapa bangsa merupakan praktik yang tidak diatur. Kitab Kejadian tidakmemberikan petunjuk bahwa para bapa bangsa mengikuti suatu kalender agama untuk hari-hari perayaan (walaupun musim-musim pertanian tampaknya memainkan peran di dalam penetapan waktunya), atau bahwa mereka mengikuti daftar prosedur ibadat tertentu, atau bahwa mereka merasa harus beribadat di suatu tempat suci agama tertentu. Soal kapan, bagaimana dan di mana korban akan dipersembahkan diserahkan kepada keputusan orang yang beribadat. Bukan hanya itu, semua ibadat korban umum dilakukan oleh kepala keluarga – para bapa bangsa sendiri – bukan oleh seorang imam profesional atau fungsionaris kultus yang dikhususkan untuk tugas ini. Agama bapa bangsa dengan demikian merupakan agama keluarga aseli yang sangat berbeda dari kultus korban yang ditetapkan oleh Musa dan tampak di sepanjang tulisan Perjanjian Lama.

 B. Pada Zaman Musa

Praktik korban menjadi sangat formal dan dibakukan pada zaman Musa. Korban bukan lagi merupakan tanggapan sekehendak hati menurut hukum alam, melainkan diberi rumusan yang persis dalam Hukum yang diwahyukan Tuhan kepada Israel. Sebagai bagian dari perjanjian Sinai, praktik kurban begitu diatur dengan sangat rinci sehingga diuraikan dengan berbagai bentuknya, bahannya dan prosedurnya. Begitu juga waktu-waktu dan pelayan pelaksana untuk persembahan korban tidak lagi dipercayakan kepada para bapak dan bapa bangsa sehubungan dengan kebutuhan masing-masing puak atau keluarga mereka, tetapi diatur menurut suatu kalender tahunan perayaan agama (Im 23:4-44) dan petugas pelaksananya diserahkan terbatas pada imam-imam dari garis keturunan Harun dan anak-anaknya (Kel 40:12-15). Ibadat korban kemudian juga dipusatkan pada tempat suci tertentu dalam masa ini – mula-mula di Kemah Pertemuan yang didirikan Musa (Im 17:1-7) dan kemudian di Bait Allah Salomo (Ul 12:1-11).

      Obyek persembahan korban adalah kepala hewan ternak (sapi, domba, kambing) dan beberapa macam burung (merpati, tekukur) – yaitu hanya hewan-hewan yang menurut Hukum dinyatakan “bersih” dan diperbolehkan dimakan atau tidak haram (Im 11:1-47; Ul 14:3-21). Binatang yang tidak bersih, yag terutama meliputi binatang-binatang liar tidak boleh ditempatkan di altar ibadat. Di antara persembahan makanan, korban dibuat dari tepung gandum, jelai, minyak dan anggur, dan tepungnya harus diperciki dengan garam (Im 2:13). Rempah-rempah seperti dupa wewangian juga dipersembahkan sebagai ungkapan ibadat (Kel 30:7-8).

      Kebanyakan prosedur korban berdasarkan Taurat ditetapkan dalam Im 1-7. Dalam bab-bab itu uraian dasar diberikan untuk lima macam korban persembahan Israel zaman Kitab Suci. Semua jenis persembahan korban harus dilakukan di tempat suci utama, walau masing-masing jenis kurban mempunyai aturan liturgi yang khusus bagi imam yang melaksanakan, awam yang beribadat dan persembahan yang disampaikan.

      1. Korban Bakaran (Kata Ibrani, ‘ola). Korban api-apian atau yang baunya membubung naik digariskan dalam Im 1:3-7 dan 6:8-13. Dalam persembahan korban ini, hewan korban harus ditiriskan dari darahnya, yang dipercikkan di sisi-sisi altar, isi perutnya dibersihkan dan kemudian diberikan kepada imam pelaksana. Hewan korban kemudian dipotong-potong menurut bagian-bagiannya dan diletakkan di atas api perbaraan altar, dan dari situ naik kepada Tuhan dalam rupa asap dan dupa wewangian. Karena tidak ada bagian dari hewan korban yang dikembalikan kepada orang yang beribadat, korban bakaran dianggap sebagai persembahan terbaik – persembahan murni kepada Tuhan. Buahnya adalah pendamaian dosa (Im 1:4; bdk Ayb 1:5). Korban bakaran bisa saja dipersembahkan menurut keinginan orang, namun diwajibkan bagi perayaan tahunan Israel dan untuk ibadat dua-kali sehari di tempat suci (Kel 29:38-42).

      2. Korban Sajian  (Bahasa Ibrani minha). Persembahan gandum diuraikan dalam Im 2:1-16 dan 6:14-23. Dalam korban ini, tepung gandum atau jelai dicampur atau direciki minyak dan diberikan kepada imam di tempat suci; bisa dalam bentuk bahan saja, untuk dibakar dalam pembakaran roti, dipanggang atau dimasak dalam wajan. Imam akan mengambil segenggam dari korban sajian itu dan menaburkannya ke dalam api mezbah untuk bagian ingat-ingatan, dan yang selebihnya untuk dimakan imam-imam Harun. Tampaknya korban sajian dikonsepsikan sebagai semacam “upeti” bagi Tuhan, sebab kata Ibrani yang digunakan untuk korban itu di tempat lain dalam Kitab Suci digunakan untuk pembayaran upeti rakyat jajahan kepada raja besar (Hak 3:15; 2 Sam 8:2). Bukti menunjukkan bahwa korban sajian tak berdarah bukanlah berdiri sendiri, melainkan merupakan pelengkap bagi berbagai korban hewan bakaran.



      3. Korban untuk Damai Sejahtera (Bahasa Ibrani ‘selamim). Juga disebut persembahan korban keselamatan demi persatuan dan kebersamaan keluarga, puak atau komunitas, yang diuraikan dalam Im 3:1-17 dan 7:11-36. Dalam persembahan korban ini, hewan korban dibawa ke tempat suci dan dibagi dalam beberapa bagian: darahnya ditampung dan dipercikkan di sisi-sisi mezbah, gemuk dan ginjal dibakar di mezbah; dada dan paha kanan diberikan kepada imam-imam untuk makanan sajian, dan yang selebihnya untuk orang yang beribadat beserta keluarganya untuk makan bersama. Pada umumnya,  korban damai sejahtera dipandang sebagai perayaan jamuan makan bersama dengan Tuhan dan dimaksudkan untuk mempererat hubungan. Mungkin korban ini dimaksudkan juga untuk menguatkan ikatan persahabatan dan perdamaian di antara Tuhan dan umat, karena nama yang diberikan pada korban ini berkaitan dengan syalom, artinya damai dan sejahtera. Dari jenis korban ini terdapat turunannya, yaitu korban syukur (tola), korban spontanitas karena keinginan bebas (nedaba) dan kurban pelunasan kaul/nadar (neder).

      4. Korban Penghapus Dosa. (Bahasa Ibrani hatta’t). Korban pentahiran/penyucian yang diuraikan dalam Im 4:1-5:13 dan 6:24-30. Dalam korban ini, hewan korban ditentukan menurut orang yang membutuhkan pentahiran/penyucian, apakah seorang imam (mengorbankan lembu), seluruh jemaat (lembu), seorang pejabat (kambing jantan) atau orang biasa (kambing betina, domba, tekukur atau merpati). Bagian gemuk dan jantung hewan korban adalah untuk Tuhan dan dipersembahkan melalui perbaraan mezbah; sebagian daging adalah untuk imam-imam sebagai makanan sajian; selebihnya dibakar di luar perkemahan. Yang merupakan bagian pokok dari korban penghapus dosa adalah darah hewan korban yang dianggap sebagai unsur pembersih/penyucian dan digunakan imam dengan berbagai cara (disiramkan, dioleskan, dipercikkan). Ritus ini adalah demi pengampunan perorangan (Im 4:20.26.31) walau banyak ahli menyatakan bahwa maksud dasarnya adalah untuk menghapus noda-noda Israel dan tempat sucinya. Maka, dalam konteks ini, dosa dipahami bukan sebagai kesalahan moral dan sesal yang menyertainya, tetapi juga demi pelanggaran agamis atas ketentuan hukum ibadat penyucian yang digariskan menurut Taurat. Situasi yang membutuhkan penyucian meliputi antara lain persalinan (Im 12:6), kusta (Im 14:19) dan lelehan tubuh (Im 15:1-33).

      5. Korban Penebus Salah (Bahasa Ibrani ‘asam). Korban silih untuk memulihkan hubungan yang diuraikan dalam Im 5:14-6:7 dan 7:1-7. Dalam persembahan korban ini, seekor damba jantan yang mulus tak bercela dibawa ke tempat suci, darahnya disiramkan di sekeliling mezbah, jantung dan lemaknya dibakar diperbaraan mezbah, dagingnya diberikan kepada imam pelaksana sebagai makanan suci. Selain itu, orang yang beribadat mengakukan kesalahannya kepada imam dan membayar seperlima nilai korban untuk tempat suci. Maksud dari korban penebus salah adalah meluruskan kekeliruan profanisasi hal-hal kudus serta kekeliruan ketidakadilan peruntukan hak milik pribadi. Pelanggaran-pelanggaran yang termasuk di sini juga dosa-dosa yang terlupakan atau yang baru diingat kembali setelah korban selesai dilakukan.

Di satu pihak, jenis-jenis korban pokok ini, bersama dengan bentuk-bentuk penunjang seperti korban minuman sajian (mis Bil 15:5.10), merupakan korban-korban yang dipersembahkan pada kesempatan tertentu karena tuntutan keadaan dalam kehidupan bangsa. Namun pada umumnya, korban-korban ini diwajibkan sebagai bagian dari acara perayaan-perayaan menurut penanggalan ibadat Israel. Rangkaian korban ada  yang disajikan setiap hari di tempat suci, mingguan pada hari Sabat, dan tahunan pada masa-masa perayaan, seperti yang disampaikan dalam Bil 28-29.

 

II. Tujuan Persembahan Korban

A. Persembahan Korban dan Perwakilan

Korban mempunyai banyak dimensi dan tingkatan makna di dalam Kitab Suci. Pada umumnya, persembahan korban merupakan tindakan simbolis. Mereka adalah ritus ibadat yang merupakan ungkapan lahiriah dan umum dari bakti rohani seseorang kepada Tuhan. Dengan melalui persembahan korban, manusia mengakui ketergantungan yang sepenuhnya kepada Tuhan dan mengakui kuasa mutlak Tuhan atas hidupnya. Hubungan di antara orang yang melakukan persembahan korban dan korban yang ia persembahkan sangat tepat dipahami dengan istilah “perwakilan”. Artinya, korban yang dipersembahkan pada Tuhan di mesbah dan dikirimkan ke surga sebagai asap [dan bau] mewakili diri orang yang mempersembahkannya kepada Tuhan. Ada yang menafsirkan pembedaan antara orang yang mempersembahkan dan korban yang dipersembahkan sebagai “substitusi” (pengganti), sehingga hewan yang dikorbankan “menggantikan” atau “menjadi ganti” dari orang yang melakukan ibadat. Ada semacam kebenaran dalam pengertian ini, karena sejauh ini imam dan korban selalu dibedakan dalam Perjanjian Lama; namun pengertian ini merupakan penyusutan sebagaimana teori umum mengenai simbolisme korban. Yang lebih mungkin adalah teori repesentasi, perwakilan, yang memandang orang yang beribadat mengorbankan miliknya “atas nama” dirinya sendiri dan orang lain. Bagaimana pun, sesungguhnya Tuhan tidak menghendaki daging hewan ataupun makanan lainnya (Mzm 50:12-13); yang dikehendaki Tuhan adalah hidup dan hati kita dalam bentuk kepatuhan, syukur dan tobat (1 Sam 15:22; Mzm 51:16-17; 107:22). Inilah yang kemudian ditampakkan secara simbolik dalam persembahan korban di masa Perjanjian Lama.

 B. Korban dan Perjanjian

Pentingnya korban di dalam Kitab Suci sejalan berdampingan dengan pentingnya tema perjanjian di sepanjang Kitab Suci. Tentu saja perjanjian sering diratifikasi (disahkan) dan diperbarui dengan ibadat korban (Mam 50:5). Alasannya sudah cukup jelas. Di satu pihak, perjanjian-perjanjian di Israel maupun di wilayah Timur Dekat yang lebih luas merupakan aliansi suci, bukan sekedar transaksi dagang atau politik. Maksudnya, perjanjian-perjanjian ini dibuat di hadapan Tuhan (atau dewa-dewa) bersama dengan pihak-pihak dengan menyerukan Tuhan sebagai saksi atas berbagai sumpah yang diucapkan dan sebagai penjamin atas sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas pihak yang setia (dalam rupa berkat) dan yang tidak setia (dalam rupa kutuk atau laknat). Pada tataran tertentu, korban dengan demikian menyucikan atau merayakan suatu peristiwa di mana komitmen yang semata-mata manusiawi dibuat dalam nama Tuhan, di hadapan Tuhan, dan mengandalkan Tuhan.

      Namun sifat kesucian peristiwa itu hanya sebagian saja menjelaskan mengapa persembahan korban memainkan peran pokok dalam upacara-upacara perjanjian. Demi penjelasan yang lebih lengkap perlu dipikirkan juga simbolisme dari korban sendiri; karena darah yang dicurahkan di dalam ratifikasi menyimbolkan baik berkat maupun kutuk yang diserukan atas pihak-pihak dalam perjanjian. Dari segi yang positif, darah kehidupan yang dilepas dari hewan korban menyimbulkan hubungan baru yang mengikat pihak-pihak yang terkait bersama-sama. Di Israel dan seluruh Timur Dekat kuno, perjanjian memperluas hak-hak dan kewajiban “puak atau kekeluargaan” kepada orang-orang lain yang secara genetik/silsilah tidak ada kaitannya. Dengan menyembelih hewan korban dan menggunakan darahnya bagi pihak-pihak yang berjanji, diciptakan suatu hubungan darah yang baru. Maka sesudahnya, orang-orang yang terlibat dalam perjanjian tidak lagi pikah-pihak yang terpisah dalam suatu kontrak; mereka sekarang sama-sama menjadi anggota keluarga yang sah secara hukum dan dalam tataran hubungan seperti saudara-saudara atau warga satu puak atau sesuku. Namun dari segi yang negatif, ritus penyembelihan hewan juga menyimbolkan kutuk atau laknat kematian yang merupakan ancaman sanksi perjanjian atas pihak manapun yang berani melanggar ketentuan-ketentuannya. Para ahli menyebut bal ini sebagai syarat kutuk-diri atau laknat-diri. Maksudnya, dalam tindakan menjanjikan kesetiaan satu sama lain, pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian menempatkan diri di bawah suatu sanksi kutuk/laknat yang siap dipicukan terhadap pihak manapun yang terbukti tidak setia. Isi sumpah sanksi ini ditampakkan dalam ritus korban: jika ada pihak manapun yang berniat melanggar perjanjian maka ia sudah tahu nasibnya akan menjadi seperti hewan yang disembelih dan dihabiskan di atas mezbah.

      Ratifikasi perjanjian Sinai dalam Kel 24 menyampaikan suatu contoh yang jelas. Di sini perjanjian antara Tudan dan Israel dimeteraikan dengan upacara korban di kaki gunung. Hewan korban disembelih dan darahnya ditampung dalam bejana. Kemudian dilakukan upacara pemberlakukan perjanjian: separoh dari darah itu dipercikkan pada orang-orang, yang lain disiramkan di altar, mewakili Tuhan (Kel 24:4-8). Pertama-tama ini menandakan berkat karena Tuhan menjadi keluarga ilahi dari bangsa Israel, yang telah dinyatakan sebagai anak sulungNya (Kel 4:22). Serentak dengan itu, baik Tuhan maupun umat sama-sama menjanjikan kesetiaan pada perjanjian di bawah bayang-bayang penderitaan sanksi kutuk. Ini diperlihatkan dengan penyembelihan hewan korban, dan curahan darah yang digunakan untuk mengikat pihak-pihak yang bersumpah setia.

 C. Korban dan Penyembahan Berhala

Sebagai tambahan pada fungsi-fungsi dan tataran simbolisme ini, korban dalam Hukum Musa menuntut penjelasan khusus mengenai maksud dan tujuannya. Sebab suatu dimensi makna yang belum dikemukakan pada masa Keluaran adalah kaitan korban dengan persoalan Penyembahan Berhala. Analisis isi kisah kelima kitab Musa, Pentateukh (Taurat), menunjukkan bahwa kode hukum mengenai korban dalam kitab Imamat bukan merupakan bagian dari perjanjian asli yang dimeteraikan di Gunung Sinai; namun ditambahkan sebagai amandemen atau perubahan hukum yang sah atas perjanjian Sinai sesudah terjadinya kekejian Israel dalam melakukan penyembahan berhala anak lembu emas (Kel 32:1-6). Dengan kata lain, persembahan korban menjadi bagian dari perjanjian Sinai hanya dalam bentuknya yang telah mengalami pembaruan, setelah bentuk yang asli dilanggar. Perhatikan jalannya kisah: Ketika Israel bersiap-siap untuk melaksanakan perjalanan Keluaran mereka dari Mesir, Tuhan memerintahkan kepada bangsa itu untuk melakukan perayaan korban di Sinai (Kel 5:1-3) yang akan mengesahkan perjanjian Sinai (Kel 24:4-8). Perhatikan bahwa perintah untuk menyelenggarakan korban di gunung ini bukan suatu hukum yang permanen mengenai korban yang diberlakukan bagi Israel sepanjang hayat mereka sebagai suatu bangsa. Dalam kerangka perjanjian yang asli, yang dinyatakan dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:1-7) dan Ketentuan Perjanjian (Kel 21-23), ibadat Israel kurang lebih dipandang sama dengan pola yang dilakukan para Bapa Bangsa – yaitu dengan mezbah yang terbuat dari bahan-bahan alamiah dan ditempatkan di berbagai lokasi (Kel 20:24-26), bersama dengan kalender pesta-pesta sederhana mengikuti irama musim pertanian (Kel 23:14-17). Dalam ketetapan peraturan ini tidak ada yang menentukan atau menyatakan jenis-jenis dan tata cara persembahan korban kepada Tuhan. Nabi Yeremia menyadari situasi asli ini ketika ia membahas persoalan ini berabad-abad kemudian: “Pada waktu Aku membawa nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir Aku tidak mengatakan atau memerintahkan kepada mereka sesuatu tentang korban bakaran dan korban sembelihan” (Yer 7:22. Demikian pula Musa sendiri mengingatkan bangsa itu bahwa sesudah hukum Sinai yang asli diberikan, Tuhan “tidak menambahkan lagi” ketetapan-ketetapan (Ul 5:22).

      Namun struktur perjanjian Sinai berubah dramatis sekali sesudah insiden berhala anak lembu emas. Dibuat beberapa revisi atas ketetapan-ketetapan perjanjian yang asli, misalnya mengenai status anak-anak sulung Israel (bdk Kel 22:29 dan 34:20). Tetapi yang terutama Hukum diperluas dengan begitu banyak tuntutan dan ketetapan baru mengenai ibadat. Israel setelah menistakan diri sendiri di hadapan patung anak lembu emas kini diperintahkan untuk membangun suatu tempat suci (Kemah Pertemuan), untuk menahbiskan golongan imam-imam profesional untuk menjadi pengantara hubungan antara Tuhan dan awam anggota suku (Imam-imam dari puak Harun dibantu oleh kaum Lewi yang bukan imam), untuk mematuhi penanggalan perayaan ibadat yang rinci berdasarkan suatu siklus tahunan (Im 23:4-44), untuk memelihara norma-norma kemurnian ritual sebagai suatu kondisi untuk serta dalam ibadat Israel (Im 11-15) dan untuk mengikuti suatu daftar (kanon) liturgi korban, sambil memperhatikan dengan baik-baik dan memastikan ketepatan tata upacara (Im 1-7). Konteks di mana hukum-hukum tambahan diberikan – yaitu sesudah Israel melanggar tatanan perjanjian Sinai yang asli – menunjuk pada hubungan langsung dan kausal dengan apa yang mendahului tragedi ini. Dengan kata lain di dalamnya tersirat bahwa Tuhan tanggap pada kelemahan Israel dalam hal yang berhubungan dengan berhala dengan memberikan pedoman yang ketat untuk beribadat kepada Tuhan yang sejati. Dipandang demikian, sistem persembahan korban Musa, bersama dengan ketetapan ritual yang menyertainya merupakan kuk koreksi yang dirancang untuk membuat Israel menjauhi penyembahan berhala dan menata doa-doa, pujian dan permohonan mereka tertuju kepada Tuhan saja. Berfungsi sebagai pengaman terhadap penyembahan berhala, sistem ibadat ini memperkuat doktrin Musa mengenai monoteisme. Latar pemikiran bagi korban ini diakui dalam tradisi Yahudi (mis. Moses Maimonides, Guide for the Perplexed 3.32) dan dengan bagus diiktisarkan dalam suatu tafsir Kristen dari Tomas Aquinas:

Maka salah satu alasan yang mungkin bisa diterima  sehubungan dengan upacara-upacara korban itu adalah fakta bahwa orang lalu dijauhkan dari praktek menyajikan korban pada berhala. Namun juga bahwa aturan-aturan tentang korban itu memang tidak diberikan kepada bangsa Yahudi sampai sesudah mereka terperosok dalam penyembahan berhala dengan beribadat kepada patung anak lembu emas: seolah-olah peraturan korban-korban itu sengaja ditetapkan demikian, sehingga sesudah bangsa itu siap dengan persembahan korban, agar menyampaikan persembahan korban itu hanya kepada Tuhan, bukan pada berhala (Summa theologiae, I-II. Q 102 a.3).

 

      Tafsir dasar yang sama juga disampaikan oleh teolog yang lebih terdahulu seperti Santo Yustinus Martir (Dial. 19), St Atanasius (Epistula Festivalis. 19.4) dan St Yohanes Krisostomus (Wacana Melawan Orang Kristen yang Memaksakan Cara Hidup Yahudi 4.6.5). Juga dibahas dalam tulisan-tulisan gerejawi seperti Konstitusi Para Rasul yang Kudus 4.6.5. dan Didascalia Apostolorum 26.

      Maka dari sudut sejarah, peraturan korban itu dipandang sebagai “pengalihan arah” menjauhi penyembahan berhala. Namun pandangan lama tidak terhenti hanya di situ saja. Korban dalam masa Musa juga dipandang sebagai “penggusuran” berhala sendiri. Dengan kata lain, hewan yang dijadikan korban oleh orang Israel adalah binatang-binatang yang dihormati di dalam agama Mesir sebagai gambaran para dewa atau dewi. Minevis misalnya, dihormati dalam rupa sapi jantan, Apis dalam rupa anak lembu. Hathor dalam rupa lembu betina, dan Khum dalam rupa domba jantan. |Menyembelih binatang-binatang itu untuk korban sama saja dengan memaklumkan perang pada agama Mesir. Semua yang dihormati Mesir dalam kultus berhala, dianggap dewa palsu oleh Israel, dan ini dilakukan dalam kerangka ibadat yang sesungguhnya kepada Allah yang benar.

      Dasar tafsiran ini terdapat pada kisah yang kanonis dalam Kitab Suci. Hal itu menyangkut pertama-tama pandangan pada situasi Israel sebelum Keluaran, dan yang kedua dengan menelaah dialog antara Musa dan Firaun.

      Kitab Keluaran menggambarkan masa ketika Israel  berada di Mesir sebagai masa penindasan yang menyedihkan dan perbudakan yang disponsori negara (Kel 1:8-14). Namun tidak ada pernyataan langsung yang diberikan untuk memberitahu pembaca mengenai kondisi rohani Israel pada masa pra-Keluaran. Pengertian tentang hal ini baru sampai di kemudian hari dari tradisi kitab suci. Misalnya, Yosua mengungkapkan pernyataan yang memancing rasa ingin tahu bahwa leluhurnya di Mesir melayani dewa-dewa asing dari negeri itu (Yos 24:14). Ini merupakan pernyataan bahwa bangsa Israel, karena tekanan kuk penguasa Mesir, juga menempatkan diri di bawah kuk dewa-dewa Mesir. Mereka tidak hanya menjadi budak yang membutuhkan pembebasan, tetapi juga penyembah berhala yang membutuhkan pembaruan rohani. Hal yang sama juga dilakukan oleh Nabi Yehezkiel, yang mengungkap fakta bahwa Israel ketika masih dalam perbudakan itu, tidak mau “menyingkirkan berhala-berhala Mesir” (Yeh 20:7). Tidaklah mengherankan jika dengan kesaksian-kesaksian dari Kitab Suci seperti itu, keterikatan Israel pada berhala-berhala Mesir dikemukakan juga dalam beberapa karya tulisan Yahudi (misalnya Leviticus Rabbah, 22.5) dan tradisi Kristen (misalnya Eusebius, Demonstation of the Gospel).

      Sisi lain dari krisis ini muncul ketika Musa melakukan tawar menawar dengan Firaun untuk pembebsan Israel. Sebelum Mesir dipukul dengan tulah-tulah yang akhirnya dapat melepaskan belenggu Israel, Musa hanya bisa meminta suatu hari libur di mana bangsanya bisa mempersembahkan korban kepada Tuhan di Sinai (Kel 5:1). Mengingat asimilasi Israel pada budaya Mesir, ini merupakan kesempatan untuk kembali pada iman lama mereka pada Tuhan dan menyingkirkan berhala-berhala Mesir, sekali untuk selamanya. Tetapi sebelumnya Musa juga sudah membayangkan suatu kesulitan jika Firaun mengizinkan mereka menyampaikan korban di dalam tanah Mesir. “tidak mungkin kami berbuat demikian, sebab korban yang akan kami persembahkan kepada Tuhan, Allah kami, adalah kekejian bagi orang Mesir. Apabila kami mempersembahkan korban yang menjadi kekejian bagi orang Mesir itu, di depan mata mereka, tidakkah mereka akan melempari kami dengan batu?” (Kel 8:25-26). Alasan yang tidak dikemukakan adalah bahwa Tuhan menyuruh bangsanya mengorbankan binatang-binatang yang mewakili dewa-dewi Mesir. Seandainya Israel melakukan hal itu di negeri Mesir sendiri, niscayalah mereka akan menghadapi kekerasan seluruh bangsa yang disulut amarah mereka atas tindakan yang mereka anggap sebagai penistaan hal-hal yang suci bagi mereka.

      Diakui, pandangan tafsir ini belum banyak diketahui atau diakui kalangan para ahli modern. Namun, beberapa teks kuno persis menunjukkan hal ini: bahwa Musa memahami korban kepada Tuhan menjadi pembinasaan kultus atas berhala-berhala Mesir. Perhatikan kutipan-kutipan berikut dari tulisan kuno Yahudi yang memperluas ayat kitab Keluaran yang berkaitan dalam suatu parafrasa:

Lalu Firaun memanggil Musa dan Harun serta berkata: "Pergilah, persembahkanlah korban kepada Allahmu di negeri ini." Tetapi Musa berkata: "Tidak mungkin kami berbuat demikian, sebab hewan yang disembah rakyat Mesirlah yang akan kami persembahkan sebagai korban kepada Tuhan, Allah kami. Apabila kami mempersembahkan korban hewan yang menjadi sesembahan orang Mesir di sini, di depan mata mereka, tidakkah mereka akan melempari kami dengan batu?” (Targum Onqelos pada Kel 8:25-26)

 Lalu Firaun memanggil Musa dan Harun serta berkata: "Pergilah, persembahkanlah korban kepada Allahmu di negeri ini." Tetapi Musa berkata: "Tidak tepat kami berbuat demikian, sebab berhala yang disembah rakyat Mesir yang merupakan kekejian bagi kami itulah yang akan kami persembahkan sebagai korban kepada Tuhan, Allah kami. Sesungguhnya, apabila kami mempersembahkan berhala-berhala orang Mesir itu di depan mata mereka, mustahil jika mereka tidak akan melempari kami dengan batu?” (Targum Neofiti pada Kel 8:25-26).

 Tetapi Musa berkata bahwa tidak tepat berbuat demikian, sebab rakyat Mesir menyembah hewan ternak itu sebagai dewa-dewa (Exodus Rabbah 11:3)

 

Pernyataan serupa dapat ditemukan dalam teks Kristen kuno yang memahami korban seperti itu. Sekali lagi, perhatikan kutipan di bawah ini:

Perlu kamu ketahui...bahwa karena Tuhan telah mengambil keputusan mengenai mereka, yaitu bahwa mereka tidak boleh beribadat kepada anak lembu, dewa-dewa orang Mesir, yang dijadikanNya makanan bagi mereka dan Ia justru memerintahkan mereka supaya memberikan sebagai korban hewan yang mereka takuti di tanah Mesir itu. Sebab Tuhan tidak memerlukan korban dan persembahan. Tetapi dalam rangka menghentikan orang Yahudi dari praktik memberikan korban dan sajian itu, supaya mereka tidak beribadat kepada berhala-berhala rakyat Kanaan setelah mereka nanti memasuki negeri itu dan bergaul dengan rakyat Kanaan, sebagaimana mereka telah menyembah berhala-berhala Mesir setelah mereka memasuki Mesir dan bergaul dengan rakyat Mesir. Maka Tuhan melarang dan menghentikan praktek itu di kalangan orang Yahudi (St Afrahat, Demonstrations 15.6)

 Dalam semua hal yang telah disebutkan, ada alasan yang tepat bagi pemilihan hewan-hewan itu, bukan yang lain, untuk dijadikan korban pada Tuhan. Yang pertama untuk mencegah penyembahan berhala. Karena praktik penyembahan berhala mempersembahkan korban semua hewan lain pada dewa-dewa mereka, atau memanfaatkan hewan-hewan itu dalam praktik sihir mereka: sementara orang Mesir (di tengah-tengah mereka itulah bangsa Israel tinggal) menganggap kekejian untuk menyembelih hewan-hewan  yang tidak pernah mereka gunakan sebagai hewan korban pada dewa-dewa mereka....Sebeb mereka menyembah domba; mereka menghormati  domba jantan (karena dewa mereka menampakkan diri dalam rupa itu); sementara itu mereka memanfaatkan lembu untuk pertanian, suatu bidang yang dianggap suci. (St Tomas Aquinas, Summa theologiae I-II, q 102. a 3).

 Izinkanlah kiranya kami pergi ke padang gurun tiga hari perjalanan jauhnya” (Kel 3:18). Tidak dikatakan satu atau dua hari, karen tidak akan cukup jauh dari orang Mesir, yang dapat melempari mereka dengan batu seandainya mereka melihat orang Israel menjadikan korban hewan-hewan yang mereka hormati sebagai dewa-dewa (Nikolas dari Lyra, Postilla super totam Bibliam, pada Kel 3:18)

 

      Sejarah mengungkapkan bahwa bahwa para penulis bukan Yahudi dan bukan Kristen pun melihat antagonisme yang tersirat dalam praktik persembahan korban di Israel dengan kultus di Mesir. Kutipan pertama di bawah ini berasal dar Manetho, seorang imam Mesir dari zaman Helenistik, yang karyanya hanya bisa diselamatkan dalam bentuk fragmen-fragmen (potongan-potongan) saja. Kutipan yang kedua berasal dari sejarawan Roma yang terkenal, Tacitus. Kedua pemulis itu melihat, bahwa agama Musa tampaknya sengaja dan secara diametris berlawanan dengan segala yang berciri Mesir.

Maka ia [Musa] pertama-tama membuat undang-undang bagi mereka, bahwa mereka tidak boleh menyembah dewa-dewa Mesir dan harus tidak harus pantang memakan hewan-hewan suci itu, yang sangat mereka hargai, tetapi mereka binasakan semuanya; bahwa mereka tidak boleh berbaur dengan bangsa lain kecuali konfederasi mereka sendiri. Setelah ia membuat peraturan hukum itu, dan banyak lagi aturan-aturan yang terutama bertentangan dengan adat kebiasaan Mesir, ia memberi perintah supaya mereka menggunakan tenaga mereka yang banyak itu untuk membangun tembok-tembok kota mereka sendiri (Manetho, dikutip dalam Yosephus, C.Ap 1.26)

 

Musa yang mau mengamankan wibawanya atas bangsa itu di masa depan, memberi mereka suatu ibadat baru, yang bertentangan dengan praktek orang-orang lain. Hal-hal yang suci bagi kita, tidak suci bagi mereka, sementara mereka mengijinkan apa-apa yang bagi kita terlarang... Mereka menyembelih domba jantan, tampaknya untuk menyingkirkan Hammon, dan mereka mengurbankan lembu, karena orang Mesir mendewakan lembu di Apis (Tacitus, Hist. 5.4).

 

Pada akhirnya harus diakui bahwa persembahan korban dalam masa Perjanjian Lama tidak saja mengambil bermacam-macam bentuk dan melakukan berbagai-bagai fungsi, namun juga mengandung berlapis-lapis perlambangan dan maknanya. Secara positif praktik dan peraturan itu berfungsi mendekatkan umat perjanjian kepada Allah, sementara secara negatif menjauhkan mereka dari dosa, terutama kebobrokan penyembahan berhala.

 


III. Penyempurnaan Korban

Korban menemukan maknanya yang definitif dan penuh pada masa Perjanjian Baru. Penyempurnaannya bukan terutama dikaitkan dengan perbaikan kultus model Musa sendiri, melainkan dalam persembahan hidup Yesus Kristus sebagai kurban penebusan dunia. Secara luas, pesan Kristen juga mengajak kaum beriman untuk menghayati pelayanan korban itu dengan meneladan Tuhan.

 A. Korban Kristus

Sekilasan, kisah Injil tampaknya menggambarkan wafat Kristus sedikit lebih dari sekedar pidana mati atas seorang penjahat. Pengkhotbah dari Nazaret itu berasal dari suku Yehuda yang tidak  punya hubungan dengan keimaman. Ia dihukum mati oleh imam besar Yahudi karena hujat, darahNya ditumpahkan oleh suatu regu tentara Roma, dan Ia melepaskan nyawaNya di luar tembok-tembok Yerusalem, agak jauh dari lokasi Bait Allah. Berdasarkan fakta ini adalah sah untuk mempertanyakan bagaimana penyaliban Yesus bisa ditafsirkan sebagai suatu korban, apalagi sebagai korban yang paling sempurna. Pertanyaan ini perlu diperhatikan karena demikianlah pandangan umum atas kematianNya dalam Kekristenan yang paling awal.

      Asal-usul  pandangan korban itu dapat dilacak dari Yesus sendiri. Pada malam Ia dikhianati, Yesus sudah lebih dahulu menyatakan kematianNya yang akan tiba, dan memberitahukan sifat kematianNya itu sebagai korban. Perhatikan wacanaNya dalam Perjamuan Terakhir. Dalam kata-kata konsekrasi, ketika mengangkat cawan Ekaristi Ia berkata: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat 26:28). Tentu saja penumpahan darah melukiskan kematian yang dahsyat, suatu pembantaian dan perampasan nyawa. Namun di telinga orang Yahudi, kata-kata itu juga menggemakan implikasi korban. Penalaran ini berakar dalam kisah Keluaran dan dan nubuat-nubuat dalam kitab Yesaya.

      Ada dua ungkapan yang berlatar belakang kitab Keluaran. Yang pertama adalah ungkapan “darah perjanjian”, yang mencerminkan kata-kata Musa di Gunung Sinai. Pada waktu pengesahan perjanjian Musa, yang dimeteraikan dengan suatu ibadat korban, digunakanlah kata-kata ini: “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu” (Kel 24:8). Bagi Yesus, penerapan ungkapan ini pada diriNya sendiri menunjukkan bahwa penumpahan darahNya akan merupakan suatu upacara korban dan menjadi saat pengesahan suatu perjanjian yang baru. Yang kedua, karena Kristus berbicara mengucapkan perkataan ini di dalam acara perjamuan makan Paskah, harus diingat bahwa penyembelihan domba Paskah yang membentuk inti dari jamuan Seder digambarkan dalam kitab Keluaran sebagai suatu “korban” (Kel 12:27). Implikasi dari latar belakang kultis ini [sebagai korban demi perjanjian] untuk pemahaman baik atas wafat Kristus maupun sakramen Ekaristi yang diantisipasi, lalu tidak terhindarkan lagi.

      Hal yang sama dapat dikatakan sehubungan dengan pengaruh Yesaya atas perkataan Yesus. Dengan memandang konsekrasi Ekaristi, beberapa ahli mengenali suatu rujukan pada Lagu Hamba yang keempat dri Yesaya (Yes 52:13-53:12). Ini merupakan syair mengenai Mesias yang Menderita, visiun yang mengiris hati tentang Hamba Tuhan yang terkasih, yang menyerahkan diri pada hinaan dan penolakan umatNya bahkan sampai mati. Mengapa ini penting? Karena lagu itu mencapai klimaksnya pada pengorbanan jiwa Hamba itu sebagai korban demi dosa manusia. Jelas bahwa Yesus mengingat nubuat ini ketika Ia mengucapkan kata-kata konsekrasi:  Ia menyebut darah kehidupanNya “ditumpahkan” [poured out], sebagaimana sang Hamba “menyerahkan [poured out] nyawanya ke dalam maut” (Yes 53:12); Ia memberikan diriNya bagi “banyak” orang, seperti sang hamba yang dikatakan untuk “membenarkan banyak orang” (Yes 53:11) dan menanggung dosa “banyak” orang (Yes 53:12); dan karena korban itu dihasilkan penghapusan dosa, persis seperti keseluruhan tugas sang hamba yang menjadikan dirinya “korban penebus salah” (Yes 53:10).

      Mengingat tradisi Injil mengenai Perjamuan Terakhir itu, tidak heran kalau penyaliban Kristus lalu ditafsirkan sebagai suatu persembahan korban. Tradisi ini tampak di dalam Paulus, di mana kenangan akan Yesus yang disalibkan adalah kenangan akan anak domba Paskah yang disembelih sebagai korban (1 Kor 5:7). Begitu pula ketaatan Kristus sang Hamba yang hasilnya membuat “banyak orang” lalu “dibenarkan” (Rm 5:19), adalah seperti yang kita lihat dalam lagu Hamba yang Menderita (Yes 53:11).  Paulus beberapa kali berusaha melampaui motif-motif tradisional ini dan menggambarkan penyaliban dengan kata-kata yang  beraal dari ayat-ayat korban dalam Perjanjian Lama, ketika ia berkata: “Kristus Yesus telah menyerahkan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah” (Ef 5:2, mengingat versi Yunani dari Kej 8:20-21 dan Kel 29:18). Rasul Yohanes juga mengikuti jalur tafsir ini dengan pernyataannya bahwa “darah” Yesus “menyucikan kita dari segala dosa” (1 Yoh 1:7). Perkataan ini, perlu diperhatikan, adalah bahasa korban penebus salah, di mana darah korban dicurahkan untuk penghabusan dosa (bdk 1 Yoh 2:2; 4:10). Ayat-ayat yang lain yang juga dapat dikutip sebagai kesaksian akan tafsiran wafat Kristus sebagai korban di masa Perjanjian Baru, misalnya Yoh 1:29; 2 Kor 5:21; 1 Ptr 1:18-19; Why 5:6-10.

      Tak ada yang lebih luas dari renungan Surat Ibrani sehubungan dengan korban Kristus ini. Kristologi Surat Ibrani seluruhnya menyoroti pentingnya imamat dan ibadat melalui korban Kristus ini. Ditunjukkan bahwa Yesus, dengan menyerahkan hidupNya yang tak kenal dosa pada Bapa, Ia secara definitif menyampaikan korban yang melampaui segala korban yang lain, dan dengan itu Ia mengesahkan perjanjian yang baru dan kekal (Ibr 8:6-7; 13:20). Secara khusus persembahan “tubuh” (Ibr 10:10) dan “darah” (Ibr 9:12) Kristus merelatifkan seluruh sistem korban menurut Musa. Ini karena korban Kristus sungguh menghasilkan penyucian dosa yang membersihkan suara hati para penyembah (Inr 9:14; 10:22) dan tidak perlu diulangi lagi (Ibr 9:25-26; 10:14-18). Maka sifatnya sangat kontras dengan darah hewan korban, yang tidak mampu membersihkan dosa-dosa (Ibr 10:1-4) ataupun tidak memurnikan apapun selain aspek jasmaniah dari orang yang melanggar tata upacara (Ibr 9:9-10.13). Dari sudut yang sangat khusus, Surat Ibrani melebarkan jangkauan korban Kristus melampaui wafatNya di salib dan meliputi kenaikanNya ke surga ke dalam tempat suci Surgawi (Ibr 4:14; 9:24). Tipologi yang mendasari teologi ini adalah liturgi Hari Pendamaian, di mana darah hewan korban diarak ke dalam Ruang Mahakudus (Ibr 9:6-14; bdk Im 16:1-19). Sejauh tempat suci yang paling dalam dari Kemah Pertemuan adalah merupakan gambaran tempat suci surgawi di dunia (Ibr 9:24) gagasannya adalah bahwa Yesus, dengan berperan sebagai imam agung dan korban, telah membawa darahNya sendiri sekali untuk selamanya ke dalam Ruang Mahakudus Allah di surga, dan di situ Ia mendapatkan “penebusan kekal” bagi kita (Ibr 9:12).



 B. Korban Umat Kristen

Tema korban tidak hanya terbatas pada tindakan Kristus di dalam Perjanjian Baru, tetapi juga diterapkan pada jemaat Kristen juga. Dalam arti tertentu, hal ini tersirat dalam ajaran Kristus, yang mengajak para pengikut untuk “memanggul salib” meneladan Dia (Mat 10:38; Mrk 8:34; Luk 14:24). Setelah Ia melukiskan penyaliban diriNya dalam kerangka ibadat dan korban, selanjutnya hidup para murid Kristen juga mempunyai ciri-ciri ini.

      Tema ini dikembangkan terutama di dalam surat-surat Paulus, yang menggunakan gambaran-gambaran dan gagasan korban untuk melukiskan pelbagai kegiatan Kristen. Misalnya, ia mendorong umat beriman agar mempersembahkan “tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rm 12:1). Ini merupakan himbauan pada hal-hal seperti kemurnian, kegigihan, mati-raga dan tindakan moralitas dan kerohanian injili lainnya yang mempersembahkan tubuh dan keindahannya pada kehendak Allah. Bentuk korban yang lain meliputi uang, seperti pemberian yang diterima Paulus dari jemaat Filipi, yang disebutnya “suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah” (Flp 4:18). Pekerjaan misioner juga digambarkan dalam kerangka yang sama, karena Paulus memandang pekerjaannya di antara bangsa-bangsa lain sebagai sebentuk “pelayanan keimaman” di mana pertobatan dari dunia dijadikan suatu “persembahan korban” pada Allah (Rm 15:16). Begitu pula khotbahnya digambarkan sebagai meluaskan “harumnya” pesan Kristus kepada dunia, seperti dupa wewangian yang mengalir dari tempat kudus (2 Kor 2:15). Akhirnya, prospek kemartiran dalam pandangan Paulus adalah prospek untuk “darah yang dicurahkan pada korban dan ibadat iman” (Flp 2:17; bdk 2 Tim 4:6).

      Dorongan semangat yang sama diberikan lebih kemudian dalam Perjanjian Baru, ketika pembaca diajak “senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yng memuliakan namaNya” (Ibr 13:15). Ditegaskan bahwa “korban-korban demikianlah yang berkenan kepada Allah” (Ibr 13:16).

      Walaupun kadang-kadang tidak dikenali, ciri-ciri hidup Kristen yang berkorban juga tersirat dalam gambaran Gereja sebagai Bait Allah (1 Kor 3:16-17; 2 Kor 6:16; Ef 2:19-22). Penalarannya adalah bahwa dalam dunia Kitab Suci kuno, Bait Allah (atau kuil dalam agama lain) bukan sekedar tempat Allah bersemayam (atau dewa lain), tetapi juga rumah untuk melakukan ibadat korban. Sebagai contoh, Petrus mengingat hubungan yang dekat antara Bait Allah dan korban yang dilakukan imam ini ketika ia menyerukan: “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani, yang karena Yesus Kristus berkenn kepada Allah” (1 Ptr 2:5).

      Mendasari tema ini adalah suatu teologi peran-serta (participation).  Sejauh berkaitan dengan ajaran Perjanjian Baru, Kristus tidak dipandang sebagai korban pengganti (silih) yang tindakanNya di kayu Salib menghapus perlunya atau kekhasan korban lain yang dipersembahkan oleh umat Kristen yang beriman. Sebaliknya, kaum beriman oleh Injil diajak untuk meneladan hidup Kristus sejauh mungkin dengan pertolongan Tuhan. Korban merupakan bagian utama dalam hal ini. Lain dari korban dalam Perjanjian Lama yang terdiri dari korban hewan dan makanan sajian yang mewakili orang yang beribadat di hadapan Allah. Sekarang dengan persembahan korban yang sempurna oleh Kristus, kepada dunia ditunjukkan makna yang paling luhur dari korban : suatu persembahan berupa ketaatan kasih yang menyerahkan segenap diri – hati, pikiran dan tubuh – pada kehendak Allah.


PUNCTA MINGGU II MASA BIASA PERTAMA TAHUN I-A

 


Bacaan (I) Yes 49:3, 5–6. Mzm 40:2, 4, 7–10. (II) 1 Kor 1:1–3. Injil: Yoh 1:29–34

Tuhan berbicara melalui nabi Yesaya dalam Bacaan Pertama hari ini.

Dia memberi tahu kita tentang misi yang diberikan Bapa sejak dari kandungan: "Ia berfirman: 'Engkau adalah hamba-Ku.' "

Hamba dan Putra, Tuhan kita diutus untuk memimpin Keluaran baru—untuk membangkitkan suku-suku Israel yang dibuang, untuk mengumpulkan dan mengembalikan mereka kepada Tuhan. Lebih dari itu, Dia menjadi terang bagi bangsa-bangsa, agar keselamatan Allah sampai ke ujung bumi (lihat juga Kis 13:46–47).

Sebelum Keluaran pertama, seekor anak domba dipersembahkan sebagai kurban dan darahnya dioleskan pada tiang pintu rumah orang Israel. Darah anak domba mengidentifikasi rumah mereka dan Tuhan “melewati”-nya ketika menghukum orang Mesir (lihat Kel 12:1–23, 27).

Dalam Keluaran baru, Yesus adalah “Anak Domba Allah,” seperti yang dilihat Yohanes dalam Injil hari ini (lihat juga 1 Kor 5:7; 1 Ptr 1:18–19). Tuhan menyanyikan tugas ini dalam Mazmur hari ini. Dia telah datang, Dia berkata, untuk mempersembahkan diri-Nya demi melaksanakan kehendak Allah (lihat Ibr 10:3–13).



Korban, persembahan dan korban penghapus dosa setelah Keluaran pertama tidak memiliki kuasa untuk menghapus dosa (lihat Ibr 10:4). Semua itu dimaksudkan bukan untuk menyelamatkan, tetapi untuk mengajar (lihat Gal 3:24). Dalam persembahan kurban ini, orang harus belajar pengorbanan diri— bahwa korban itu dibuat sebagai persembahan diri dengan bebas kepada Allah dan untuk bersukacita dalam kehendak-Nya.

Hanya Yesus yang dapat menyampaikan persembahan diri dengan sempurna. Dan melalui pengorbanan-Nya, Dia telah membuat telinga kita terbuka demi ketaatan kepada Bapa dan memungkinkan kita untuk mendengar panggilan Bapa pada kekudusan, seperti yang dikatakan Paulus dalam Suratnya Hari ini.

Dia telah menjadikan kita anak-anak Allah, dibaptis dalam darah Anak Domba (lihat Why 7:14). Dan kita harus menggabungkan kurban kita kepada-Nya, persembahan diri kita—hidup kita—sebagai kurban yang hidup dalam ibadat rohani dalam Perayaan Ekaristi (lihat Rm 12:1).


Baca juga: ANAK DOMBA

PERSEMBAHAN KORBAN

Jumat, 13 Januari 2023

KARDINAL GEORGE PELL WAFAT DAN KEMELUT SEPENINGGALNYA

 


Kardinal George Pell, Uskup Agung emeritus dari Sidney, Australia, dan Prefek emeritus Sekretariat Ekonomi Vatikan wafat pada 10 Januari 2023 di rumah sakit di Roma; ia tutup usia 81 tahun karena serangan jantung ketika operasi bedah dalam rangka perbaikan tulang pinggul. Kardinal Pell membantu Paus Fransiskus di Vatikan untuk menata sistem pengendalian keuangan agar terhindar dari penyelewengan-penyelewengan. Sayangnya Pell terganjal kasus pelecehan seksual pada anak-anak di negerinya, Australia. Ia sempat ditahan satu tahun dalam penjara sipil untuk pemeriksaan kasusnya, yang ternyata kekurangan bukti, sehingga dilepaskan kembali. 

Paus Fransiskus berduka atas meninggalnya Kardinal Pell dan memuji dia yang sabar menanggung percobaan di dalam penjara, dan atas bantuannya membarui sistem keuangan Vatikan. "Semoga ia diterima dalam kebahagiaan surga dan memeroleh ketenteraman abadi". Jenazah Kardinal George Pell disemayamkan di salah satu kapel samping Basilika St Petrus, dan pada hari Sabtu ini, 14 Januari 2023 akan dimakamkan setelah Misa Requiem di altar Basilika St Petrus.

Liturgi pemakaman akan dirayakan oleh Kardinal Giovanni Battista Re, Dekan Dewan Kardinal, bersama dengan para Kardinal dan para Uskup Agung dan Uskup.

Sementara itu di hari-hari belakangan begitu Kardinal Pell wafat, tersembul dokumen yang menohok Paus Fransiskus, dan ketika diusut asal-usulnya, mengarah pada almarhum Kardinal Pell sebagai sumbernya.

Dokumen yang beredar sejak Paskah 2022 itu ditujukan kepada para Kardinal yang akan berperan dalam Konklaf Pemilihan Paus yang akan datang dari seseorang yang menggunakan nama "Demo" (artinya rakyat). 

"Demo" menyatakan kepausan sekarang ini adalah bencana bagi Gereja Katolik: 1. Dulu Roma bicara, persoalan beres (Roma locuta, causa finita est). Sekarang Roma bicara, kekacauan bertambah (Roma loquitur, confusio augetur). (A) Sinode Jerman bicara tentang homoseks, imam perempuan, komuni untuk orang bercerai. Paus diam saja. (B) Kardinal Hollerich menolak ajaran kristiani tentang seksualitas. Paus diam saja. Ini bisa menyebabkan bidat sesat jika dibiarkan, dan bisa menyebabkan ketidakpatuhan meluas. Dikasteri ajaran iman harus bicara. (C). Diamnya Roma kontras dengan hebohnya aniaya pada Kaum Tradisionalis dan ordo biara kontemplatif.

2. Ajaran Kristosentris dilemahkan. Kristus digusur dari titik pusat. Kadang Roma tidak begitu peduli pada penting monoteisme lugas, malah memberi tempat pada "gugon-tuhon" (wider divinity concept). Tidak persis pantheisme, tetapi semacam varian dari panentheisme Hindu. (A) Pachamama itu berhala. (B) Biara suster kontemplatif diobrak-abrik. Ada usaha mengganti ajaran kharisma sang pendiri. (C) Warisan ajaran iman dan moral Yohanes Paulus II yang kristosentris digerogoti.   Banyak staf Lembaga untuk Keluarga dipecat. Mahasiswa mundur. Akademi untuk Kehidupan mulai bobrok. Beberapa anggota mendukung bunuh diri dengan bantuan (euthanasia). Akademi Kepausan mengangkat staf dan pembicara tamu yang pro aborsi. 

3. Kurangnya kepatuhan pada hukum Gereja menyebabkan meluasnya skandal internasional. Sementara isyu mengkristal pada pengadilan 10 kasus keuangan Vatikan, masalah yang sebenarnya lebih tua dan lebih luas. (A) Paus mengubah Hukum Kanon empat kali untuk memudahkan pengadilan. (B) Dalam kasus Kardinal Becciu, tidak dilakukan proses keadilan, dia hanya dicopot sebagai kardinal begitu saja dan dilucuti kekuasaannya. Tiap orang berhak mendapatkan proses peradilan yang wajar. (C) Paus adalah kepala negara Vatikan dan sumber hukum, tidak elok jika Paus malah menggunakan kekuasaan untuk campur tangan langsung dalam prosedur hukum. (D) Paus kadang (sering) mengeluarkan dekrit (motu proprio) yang menghilangkan hak gugat mereka yang terdampak. (E) Banyak staf, terutama imam, diberhentikan dari Kuria Roma, dengan alasan yang tidak memadai (wajar). (F) Dalam Kasus Torzi, hakim mengecam penuntut umum yang tidak dapat memberi gambaran lengkap sebagai tidak cakap/tidak layak.  (G) Sergapan polisi Vatikan atas kantor auditor Vatikan (Libero Milone) pada 2017 mungkin tidak sah dan menyalahi prosedur. Ada kemungkinan Kasus Libero dibangun atas bukti-bukti rekayasa yang diselundupkan.  

4. Situasi keuangan Vatikan sangat berat. (A) Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi defisit. Sebelum Covid rata-rata 20 juta euro per tahun. Selama pandemi Covid mungkin antara 30-35 juta euro per tahun. Sumber masalah terjadi sebelum masa kepausan baik Paus Benediktus XVI maupun Paus Fransiskus. (B) Vatikan menghadapi defisit besar dalam Dana Pensiun. Sekitar 2014 ahli dari    COSEA memperkirakan besaran defisit sekitar  € 800 juta pada 2030. Ini taksiran sebelum COVID. (C)  Diperkirakan Vatikan akan menanggung kerugian € 217 million dari properti Sloane Avenue di London. Pada 1980-an, Vatikan harus menanggung kerugian $ 230 juta setelah Skandal Banco Ambrosiano. Karena kedodoran dan korupsi selama 25-30 tahun terakhir, Vatikan mengalami kebocoran lain sekurangnya € 100 juta, mungkin bisa lebih tinggi lagi (antara 150-200 juta). (D)  Kendati keputusan Bapa Suci baru-baru ini, proses investasi tidak dipusatkan (seperti yang disarankan COSEA pada 2014 dan sudah dicoba oleh Sekretariat Ekonomi pada 2015-16) dan tetap imun dari nasehat ahli. Selama berpuluh tahun Vatikan berurusan dengan orang-orang keuangan yang bercitra buruk dan dijauhi oleh semua bankir Itali yang baik. (E) Keuntungan dari 5261 properti Vatikan tetap rendah dan mencurigakan. Pada 2019, keuntungan per properti (sebelum COVID) hanya $ 4,500 setahun. Pada 2020, hanya € 2,900 per properti. (F) Perubahan peran Paus Fransiskus dalam reformasi keuangan (tidak menyeluruh namun ada kemajuan besar sejauh terkait dengan pengurangan kejahatan, namun kurang berhasil, di luar IOR, dalam hal tingkat keuntungan) merupakan suatu misteri, suatu enigma. Pada mulanya Bapa Suci menjadi dorongan besar bagi reforma. Beliau kemudian menghalangi sentralisasi investasi, menentang reforma dan kebanyakan upaya menyingkapkan korupsi dan mendukung Uskup Agung Becciu di pusat keuangan Vatikan. Tetapi pada 2020 Paus bertentangan dengan Becciu dan akhirnya menempatkan 10 orang ke pengadilan. Selama bertahun-tahun hanya sedikit hasil laporan AIF tentang tindak pelanggaran yang diteruskan ke pengadilan. Para auditor luar dari Price Waterhouse and Cooper diberhentikan dan Auditor Utama Libero Milone dipaksa mengundurkan diri bahkan diperkarakan pada 2017. Pada hal mereka hampir membongkar korupsi dalam Sekretariat Negara.

5. Pengaruh politik Paus Fransiskus dan Vatikan tidak dapat diabaikan. Secara intelektual, tulisan-tulisan Kepausan menunjukkan penurunan dari standar St. Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus. Keputusan dan kebijakan seringkali “benar secara politis”, tetapi telah terjadi kegagalan besar untuk mendukung hak asasi manusia di Venezuela, Hong Kong, Cina daratan, dan sekarang dalam invasi Rusia.

Tidak ada dukungan publik Vatikan untuk umat Katolik yang setia di China yang telah dianiaya secara berkala karena kesetiaan mereka kepada Kepausan selama lebih dari 70 tahun. Tidak ada dukungan publik Vatikan untuk komunitas Katolik di Ukraina, khususnya Katolik Yunani.

Isu-isu ini harus ditinjau kembali oleh Paus berikutnya. Citra politik Vatikan sekarang sedang surut.


6. Pada tingkat yang berbeda dan lebih rendah, situasi kaum tradisionalis Tridentin (Katolik) harus diatur.

Pada tingkat yang lebih jauh dan lebih rendah, perayaan Misa “individu” dan kelompok kecil di pagi hari di Basilika Santo Petrus harus diizinkan lagi. Saat ini, basilika besar ini seperti gurun pasir di pagi hari.

Krisis COVID telah menyebabkan penurunan besar jumlah peziarah yang menghadiri audiensi dan Misa Kepausan.

Bapa Suci hanya mendapat sedikit dukungan di antara para seminaris dan imam muda dan ketidakpuasan meluas di Kuria Vatikan.


Konklaf Berikutnya

1. Kolegium Kardinal telah dilemahkan oleh nominasi eksentrik dan belum dibangun kembali setelah penolakan terhadap pandangan Kardinal Kasper dalam konsistori 2014. Banyaknya Kardinal yang tidak kenal satu sama lain, menambah dimensi baru ketidakpastian pada konklaf berikutnya.

2. Setelah Vatikan II, otoritas Katolik sering meremehkan kekuatan yang bersifat memusuhi dari sekularisasi, dunia, daging, dan iblis, khususnya di dunia Barat dan melebih-lebihkan pengaruh dan kekuatan Gereja Katolik.

Kita lebih lemah dari 50 tahun yang lalu dan banyak faktor di luar kendali kita, setidaknya dalam jangka pendek, mis. penurunan jumlah orang beriman, frekuensi kehadiran Misa, kematian atau kepunahan banyak ordo religius.

3. Paus tidak perlu menjadi penginjil terbaik dunia, atau kekuatan politik. Penerus Petrus, sebagai kepala Kolegium Para Uskup, penerus para Rasul, memiliki peran fundamental bagi persatuan dan ajaran. Paus baru harus memahami bahwa rahasia vitalitas Kristiani dan Katolik berasal dari kesetiaan pada ajaran Kristus dan praktik Katolik. Tidak dari beradaptasi pada dunia atau dari uang.

4. Tugas pertama Paus baru adalah memulihkan kenormalan, memulihkan kejelasan doktrinal dalam iman dan moral, memulihkan penghormatan yang tepat pada hukum dan memastikan bahwa kriteria pertama untuk pencalonan uskup adalah penerimaan Tradisi Apostolik. Keahlian dan pembelajaran teologis adalah  nilai lebih, tapi bukan halangan bagi semua uskup dan terutama uskup agung.

Ini adalah landasan yang diperlukan untuk menjalankan dan mewartakan Injil.

5. Jika pertemuan sinode berlanjut di seluruh dunia, itu akan menghabiskan banyak waktu dan uang, mungkin mengalihkan energi dari penginjilan dan pelayanan daripada memperdalam kegiatan penting ini.

Jika sinode-sinode nasional atau kontinental diberi otoritas doktrinal, kita akan menghadapi bahaya baru bagi kesatuan Gereja sedunia, misalnya, Gereja Jerman menganut pandangan doktrinal yang tidak dianut oleh Gereja-Gereja lain dan tidak sesuai dengan Tradisi Apostolik.

Jika tidak ada koreksi Roma atas ajaran sesat semacam itu, Gereja akan direduksi menjadi federasi longgar dari Gereja-Gereja lokal, yang memiliki pandangan berbeda-beda, mungkin akan lebih mirip dengan model Anglikan atau Protestan, daripada dengan model Ortodoks.

Prioritas awal untuk Paus berikutnya adalah menyingkirkan dan mencegah perkembangan yang mengancam tersebut, dengan menekankan kesatuan dalam hal-hal yang hakiki dan tidak membiarkan perbedaan doktrinal yang tidak dapat diterima. Moralitas aktivitas homoseksual akan menjadi salah satu titik penting.

6. Sementara para klerus dan seminaris muda hampir sepenuhnya ortodoks, terkadang cukup konservatif, Paus yang baru perlu menyadari perubahan substansial yang terjadi pada kepemimpinan Gereja sejak 2013, mungkin terutama di Amerika Selatan dan Tengah. Ada musim semi baru dalam langkah kaum liberal Protestan di dalam Gereja Katolik.

Perpecahan tidak mungkin berasal dari kiri, yang biasanya tak mau repot dengan  masalah doktrinal. Perpecahan lebih mungkin datang dari kanan dan selalu mungkin ketika ketegangan liturgi meradang dan tidak diredam.

Kesatuan dalam hal-hal prinsip. Keanekaragaman dalam hal-hal yang tidak penting. Kasih dalam semua masalah.

7. Terlepas dari kemunduran yang memprihatinkan di Barat dan kerapuhan dan ketidakstabilan yang melekat di banyak tempat, perhatian serius harus diberikan pada Ordo Jesuit. Mereka berada dalam situasi penurunan angka yang dahsyat dari 36.000 anggota pada waktu Konsili Vatikan II menjadi kurang dari 16.000 pada tahun 2017 (dengan kemungkinan 20-25% anggota sudah di atas usia 75 tahun). Di beberapa tempat, terjadi kemerosotan moral yang dahsyat.

Tatanannya sangat tersentralisir, rentan terhadap reformasi atau perubahan dari atas. Kharisma dan kontribusi Jesuit sungguh dan sangat penting bagi Gereja sehingga mereka tidak boleh dibiarkan berlalu dalam sejarah tanpa campur tangan atau hanya menjadi komunitas Asia-Afrika saja.

8. Bencana penurunan jumlah umat Katolik dan ekspansi Protestan di Amerika Selatan harus ditangani. Itu hampir tidak disebutkan dalam Sinode Amazon.

9. Jelas, banyak pekerjaan diperlukan untuk reformasi keuangan di Vatikan, tetapi ini seharusnya tidak menjadi kriteria terpenting dalam pemilihan Paus berikutnya.

Vatikan tidak memiliki utang yang besar, tetapi defisit tahunan yang berkelanjutan pada akhirnya akan menyebabkan kebangkrutan. Jelas, langkah-langkah akan diambil untuk memperbaikinya, untuk memisahkan Vatikan dari kaki tangan kriminal dan menyeimbangkan pendapatan dan pengeluaran. Vatikan perlu menunjukkan kompetensi dan integritas untuk menarik sumbangan besar untuk membantu masalah ini.

Terlepas dari prosedur keuangan yang lebih baik dan transparansi yang lebih besar, tekanan keuangan yang berkelanjutan merupakan tantangan besar, tetapi hal itu sangat remeh dibanding ancaman rohani dan ajaran yang dihadapi Gereja, khususnya di Dunia Pertama.

Demo

Prapaskah 2022


Yang disangkakan pada Kardinal George Pell yang diketahui umum sebagai salah satu pilar konservatif dalam Gereja Katolik belum tentu benar. Tetapi selain urusan keuangan, keprihatinan-keprihatinan beliau pun belum tentu akurat. Namun kita perlu berterima kasih atas pandangan-pandangan beliau dan Gereja sedapat mungkin melakukan perbaikan-perbaikan di sana sini.

RIP. Selamat jalan Kardinal George Pell. Semoga berbahagia di surga.



GAIRAH EVANGELISASI - KATEKESE PAUS FRANSISKUS (1)


Audiensi Umum Katekese Paus Fransiskus pada Rabu, 11 Januari. Ruang Audiensi Paulus VI, Vatikan.

Hari ini kita memulai siklus katekese baru, untuk suatu tema yang mendesak dan menentukan bagi kehidupan Kristiani: gairah evangelisasi, yang adalah semangat kerasulan. Ini merupakan dimensi  penting bagi Gereja: bahwa komunitas murid-murid Yesus sebenarnya dari awalnya adalah kerasulan,  misionaris, bukan mencari anggota baru untuk kelompok. Dan dari awal kita harus membedakan: menjadi misionaris, merasul, menginjili, tidak sama dengan mencari anggota baru, tidak ada hubungannya dari yang lain. Ini menyangkut dimensi penting dari Gereja. Komunitas para murid Yesus adalah rasul dan misionaris dari awal. Roh Kudus membawa mereka keluar – Gereja bergerak keluar, kerasulan itu keluar – maka tidak tertutup pada dirinya sendiri, melainkan terarah ke luar, menularkan kesaksian Yesus  – iman juga menular – keluar untuk memancarkan cahaya-Nya sampai ke ujung bumi. Akan tetapi, dapat terjadi bahwa semangat apostolik, yaitu keinginan untuk menjangkau orang lain dengan kabar baik Injil, berkurang, menjadi suam-suam kuku. Terkadang seperti gerhana; ada orang Kristiani yang “tertutup”, mereka tidak memikirkan orang lain. Tetapi ketika kehidupan Kristiani kehilangan cakrawala evangelisasi, cakrawala pewartaan, kehidupan itu sakit: tertutup pada diri sendiri, merujuk pada diri sendiri, menjadi kerdil. Tanpa semangat kerasulan, iman akan layu. Misi, di sisi lain, adalah oksigen bagi hidup orang Kristiani: menyegarkan dan memurnikannya. Maka, marilah kita memulai proses menemukan kembali semangat evangelisasi, mulai dengan Kitab Suci dan ajaran Gereja, untuk menimba semangat kerasulan dari sumbernya. Kemudian kita akan mendekati sumber-sumber yang hidup, beberapa saksi yang telah mengobarkan lagi gairah Gereja pada Injil, untuk membantu kita menyalakan kembali api yang dikehendaki Roh Kudus agar tetap menyala di dalam diri kita.



Dan hari ini saya ingin memulai dengan episode Injil yang agak simbolis yang tadi kita dengarkan, panggilan Rasul Matius. Dia sendiri menceritakan kisah itu dalam Injilnya, yang telah kita dengar (Mat. 9:9-13).

Semuanya dimulai dari Yesus, yang dalam teks itu, "melihat seorang." Hanya sedikit orang yang melihat Matius apa adanya: mereka mengenalnya sebagai orang yang “duduk di rumah cukai” (ayat 9). Dia memang seorang pemungut pajak: yaitu, seseorang yang memungut pajak atas nama kekaisaran Roma yang menjajah Palestina. Dengan kata lain, dia adalah kolaborator, seorang pengkhianat bagi rakyat. Kita bisa membayangkan sikap menghina orang-orang padanya: dia adalah seorang "pemungut cukai", demikian mereka menyebutnya. Tetapi di mata Yesus, Matius adalah seorang manusia, dengan kekurangan dan kelebihannya. Perhatikan ini: Yesus tidak berhenti pada kata sifat – Yesus selalu mencari kata benda. “Dia orang berdosa, …” ini adalah kata sifat: Yesus melihat orangnya,  hatinya, “Dia seorang pribadi, dia laki-laki, dia perempuan." Yesus memandang subjek, kata benda, tidak pernah kata sifat, Dia mengesampingkan kata sifat. Dan sementara ada jarak antara Matius dan orang-orang di sekitarnya – karena mereka terpaku pada kata sifat, “pemungut cukai” – Yesus menarik dia mendekat kepadaNya, karena setiap manusia dicintai oleh Allah. "Bahkan orang malang ini?" Ya, bahkan orang celaka ini. Injil mengatakan Dia datang untuk orang celaka ini: "Aku datang untuk orang berdosa, bukan untuk orang benar." Tatapan Yesus ini sungguh indah. Memandang yang lain, siapa pun dia, sebagai penerima cinta, adalah awal dari gairah evangelisasi. Semuanya dimulai dari pandangan ini, yang kita pelajari dari Yesus.

Kita dapat bertanya pada diri sendiri: bagaimana kita memandang orang lain? Seberapa sering kita melihat kesalahan mereka dan bukan kebutuhan mereka; betapa sering kali kita melabeli orang menurut apa yang mereka lakukan atau apa yang mereka pikirkan! Bahkan sebagai orang Kristiani kita berkata kepada diri kita sendiri: apakah dia salah satu dari kita atau bukan? Ini bukan tatapan Yesus: Dia selalu memandang setiap orang dengan belas kasihan dan sungguh dengan kasih. Dan orang Kristiani dipanggil untuk bertindak seperti yang Kristus lakukan, memandang seperti Dia terutama pada mereka  "yang dijauhi." Maka catatan Matius tentang panggilan itu berakhir dengan perkataan Yesus, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (ayat 13). Dan jika ada di antara kita yang menganggap diri kita sendiri benar, Yesus jauh. Dia datang mendekat pada titik keterbatasan kita, kekurangan kita, untuk menyembuhkan.

Maka semuanya berawal dari pandangan Yesus. "Dia melihat seorang," Matius. Selanjutnya - langkah kedua - suatu gerakan. Pertama tatapan: Yesus melihat. Kedua, gerakan. Matius sedang duduk di rumah cukai; kata Yesus kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka “berdirilah Matius, lalu mengikut Dia” (ayat 9). Kita perhatikan teks itu menekankan “berdirilah Matius.” Mengapa detail ini begitu penting? Karena pada masa itu orang yang duduk memiliki otoritas di atas yang lain, yang berdiri di hadapannya untuk mendengarkan dia atau, seperti dalam kasus itu, untuk membayar pajak. Dia yang duduk, singkatnya, memiliki kekuatan. Yang pertama-tama Yesus lakukan adalah melepaskan Matius dari kekuasaan: dari duduk untuk menerima orang lain, Yesus mengarahkan Matius ke arah yang lain, bukan menerima, tidak: dia pergi kepada orang lain. Yesus membuat Matius meninggalkan posisi supremasi dan menempatkannya sejajar dengan saudaranya dan saudarinya, dan membuka cakrawala pelayanan untuknya. Inilah yang Kristus lakukan, dan ini mendasar bagi umat Kristiani: apakah kita para murid Yesus, Gereja, duduk-duduk menunggu orang datang, atau apakah kita tahu bagaimana berdiri, pergi bersama orang lain, mencari orang lain? Berkata, “Tetapi biarklah mereka datang kepadaku, Saya di sini, biarlah mereka datang,” adalah pendirian tidak-Kristiani. Tidak, Pergilah mendapatkan mereka, Ambillah langkah pertama.

Pandangan – Yesus melihat; lalu suatu gerakan – “berdirilah”; dan ketiga, tujuan. Setelah berdiri dan mengikutiYesus, kemana Matius akan pergi? Kita mungkin membayangkan bahwa, setelah mengubah hidup orang itu, Guru akan menuntunnya pada penemuan baru, pengalaman spiritual baru. Tidak begitu, atau setidaknya tidak segera. Pertama, Yesus pergi ke rumahnya; di sana Matius mengadakan suatu "perjamuan besar" untuk-Nya, di mana "sejumlah besar pemungut cukai" - yaitu, orang-orang seperti Matius - "turut" ambil bagian (Luk 5:29). Matius kembali ke lingkungannya, tetapi dia kembali ke sana telah berubah dan bersama Yesus. Semangat kerasulannya tidak dimulai di tempat lain yang baru, murni, tempat yang ideal, jauh, tetapi justru dimulai di tempat di mana dia tinggal, dengan orang-orang yang dia kenal. Inilah pesannya untuk kita: kita tidak perlu menunggu sampai kita sempurna dan telah datang jauh mengikuti Yesus untuk bersaksi tentang Dia, tidak. Pewartaan kita dimulai hari ini, di sini di tempat kita hidup. Dan itu tidak dimulai dengan mencoba meyakinkan orang lain, tidak, bukan untuk meyakinkan: dengan setiap hari menyampaikan keindahan Kasih yang telah memandang kita dan mengangkat kita. Dan keindahan inilah, dengan mengomunikasikan keindahan inilah yang akan meyakinkan orang – bukan mengkomunikasikan diri kita sendiri, melainkan Tuhan sendiri. Kita adalah orang-orang yang memberitakan Tuhan, kita tidak menyatakan diri kita sendiri, kita tidak memproklamirkan partai politik, suatu ideologi. Tidak: kita memberitakan Yesus. Kita perlu menempatkan Yesus dalam kontak dengan orang-orang, tanpa meyakinkan mereka, tetapi menyilakan Tuhan sendiri melakukan peyakinan.

Demikianlah diajarkan Paus Benediktus kepada kita, “Gereja tidak terlibat dalam upaya proselitisme. Sebaliknya, dia bertumbuh melalui 'ketertarikan'” (Homili pada Misa Pembukaan Sidang Umum  Kelima Konferensi Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Aparecida, 13 Mei 2007). Jangan lupakan ini: jika Anda melihat orang Kristen melakukan proselitisasi, buatlah daftar orang-orang yang datang... mereka ini bukan orang Kristiani, mereka adalah kafir yang menyamar sebagai orang Kristiani, karena hatinya tetap kafir. Gereja tumbuh bukan karena proselitisme, melainkan tumbuh karena ketertarikan.

Saya ingat di suatu rumah sakit di Buenos Aires, para biarawati yang bekerja di sana pada pergi karena jumlah orang sakit terlalu sedikit, dan mereka tidak bisa menjalankan rumah sakit. Lalu suatu  komunitas suster dari Korea datang. Dan ketika mereka tiba, katakanlah pada hari Senin misalnya (saya tidak ingat harinya) mereka mengambil alih rumah para suster di rumah sakit, lalu pada hari Selasa mereka mengunjungi orang sakit di rumah sakit, tanpa bicara sepatah kata pun bahasa Spanyol. Mereka hanya bisa bicara dalam bahasa Korea dan para pasien senang, mereka berkomentar: “Bagus sekali ini biarawati, bravo, bravo!” "Tapi apa yang suster itu katakan padamu?" “Tidak ada, tapi dengan tatapannya dia bicara kepadaku, mereka mengkomunikasikan Yesus,” bukan diri mereka sendiri, dengan pandangan mereka, dengan gerak tubuh mereka. Mengkomunikasikan Yesus, bukan diri kita sendiri: Inilah daya tariknya, kebalikan dari proselitisme.

Kesaksian yang berdayatarik ini, kesaksian yang penuh sukacita, adalah sasaran yang Yesus bawa pada kita melalui tatapan kasih-Nya dan dengan gerak keluar yang dibangkitkan Roh-Nya di dalam hati kita. Dan kita dapat bertanya apakah pandangan kita menyerupai tatapan Yesus, untuk menarik orang-orang, untuk membawa mereka lebih dekat kepada Gereja. Marilah kita renungkan.

SATU BERKAS RUSAK MENYEBABKAN BENCANA

 


  • Kita umumnya mengenal empat macam bencana:
  • Geofisikl (mis Erupsi Gunung, Gempa, Tanah Longsor, Tsunami)
  • Hidrologis (mis. Banjir)
  • Klimatologis (mis. Suhu Ekstrim, Kekeringan, Kebakaran Hutan)
  • Meteorologis (mis. Siklon, Badai/Gelombang Tinggi)
Belakangan muncul ragam bencana yang terkait teknologi.
Bencana teknologi meliputi listrik padam di wilayah yang luas, kegagalan pembangkit listrik, bencana kimia, kegagalan dam/bendungan, terjadi tanpa peringatan atau terlalu lambat. Dampaknya baru diketahui kemudian. 

Kemarin 12 Januari 2023 diduga kegagalan pasokan listrik pada server komputer Administrasi Penerbangan Federal AS menyebabkan 1000-7000 penerbangan dibatalkan atau ditangguhkan. Belakangan diketahui bahwa kerusakan satu berkas pada komputer Administrasi Penerbangan Federal AS yang terjadi kemarin telah membuat 10.000 penerbangan dibatalkan. Ini adalah jenis bencana digital yang pertama dalam dua dasa warsa terakhir, di A.S. dan di dunia. Bencana itu menyebabkan kerugian jutaan dolar. Kerusakan berkas itu terkait dengan sistem NOTAM atau Notice to Air Mission (sistem notifikasi dari darat kepada pilot di udara) yang vital bagi penerbangan.

Kejadian kemarin mengingatkan banyak pihak untuk memeriksa keandalan sistem internet/digital mereka terhadap kemungkinan kekeliruan yang dapat menimbulkan bencana teknologis di masa depan. Diingatkan berjaga-jaga terhadap kemungkinan Website Crashes, kegagalan  ISP Internet Outage, kegagalan local network outages, serangan virus ransomware atau malware jahat, infiltrasi hacker atau pembajakan data, hilangnya data karena salah kelola, kegagalan pemutakhiran perangkat lunak yang menyebabkan semua data terhapus, dan lain-lain.