Daftar Blog Saya

Sabtu, 24 Desember 2022

GEREJA LOKAL DAN USKUP

 KITAB HUKUM KANONIK KAN 368-KAN 430

Beberapa waktu yang lalu teman-teman eks seminaris membuat paguyuban yang diberi nama "Lingkaran Sahabat Uskup" dengan maksud baik memberi bantuan sesuai keperluan. Bantuan apa? Bantuan yang sejauh dimungkinkan Hukum Kanon tentang Uskup. Untuk itu kita perlu mengetahui hukum kanonik tentang Uskup dan Keuskupan.

GEREJA PARTIKULAR DAN HIMPUNAN-HIMPUNANNYA 

JUDUL I GEREJA PARTIKULAR DAN OTORITASNYA 

BAB I GEREJA PARTIKULAR 

Kan. 368 - Gereja-gereja partikular, dalamnya dan darinya terwujud Gereja katolik yang satu dan satu-satunya, terutama ialah keuskupan-keuskupan; dengan keuskupan-keuskupan ini, kecuali pasti lain, disamakanlah prelatur teritorial dan keabasan teritorial, vikariat apostolik dan prefektur apostolik, dan juga administrasi apostolik yang didirikan secara tetap. 

Kan. 369 - Keuskupan adalah bagian dari umat AlIah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dengan kerjasama para imam, sedemikian sehingga dengan mengikuti gembalanya dan dihimpun olehnya dengan Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk Gereja partikular, dalam mana sungguh-sungguh terwujud dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik. 

 Kan. 370 - Prelatur teritorial atau keabasan teritorial adalah bagian tertentu umat Allah, yang dibatasi secara teritorial dan yang karena keadaan khusus reksanya dipercayakan kepada seorang Prelat atau Abas, yang seperti Uskup diosesan memimpinnya sebagai gembalanya sendiri. 

Kan. 371 - § 1. Vikariat apostolik atau prefektur apostolik adalah bagian tertentu umat Allah, yang karena keadaan khusus, belum dibentuk menjadi keuskupan, dan yang reksa pastoralnya diserahkan kepada Vikaris apostolik atau Prefek apostolik yang memimpinnya atas nama Paus. § 2. Administrasi apostolik adalah bagian tertentu umat Allah yang karena alasan-alasan khusus dan berat oleh Paus tidak didirikan menjadi keuskupan, dan yang reksa pastoralnya diserahkan kepada Administrator apostolik yang memimpinnya atas nama Paus. 

Kan. 372 - § 1. Pada umumnya bagian umat Allah yang membentuk keuskupan atau Gereja partikular lainnya, dibatasi pada wilayah tertentu, sedemikian sehingga mencakup semua orang beriman yang tinggal di dalam wilayah itu. § 2. Namun, di mana menurut penilaian otoritas tertinggi Gereja bermanfaat, setelah mendengarkan pendapat Konferensi para Uskup yang berkepentingan, di wilayah itu dapat didirikan Gereja-gereja partikular yang berbeda menurut ritus kaum beriman atau alasan lain yang serupa. 

Kan. 373 - Hanyalah otoritas tertinggi Gereja berwenang mendirikan Gereja-gereja partikular; yang didirikan secara legitim menurut hukum sendiri memiliki status badan hukum. 

 Kan. 374 - § 1. Setiap keuskupan atau Gereja partikular lain hendaknya dibagi menjadi bagian-bagian tersendiri, yakni paroki-paroki. § 2. Untuk memupuk reksa pastoral dengan kegiatan bersama, beberapa paroki yang berdekatan dapat digabungkan menjadi himpunan-himpunan khusus, seperti dekenat-dekenat (vicariatus foranei). 



 BAB II 

USKUP 

Artikel 1 

USKUP PADA UMUMNYA 

Kan. 375 § 1. Para Uskup, yang berdasarkan penetapan ilahi adalah pengganti-pengganti para Rasul lewat Roh Kudus yang dianugerahkan kepada mereka, ditetapkan menjadi Gembala-gembala dalam Gereja, agar mereka sendiri menjadi guru dalam ajaran, imam dalam ibadat suci, dan pelayan dalam kepemimpinan. § 2. Para Uskup karena tahbisan episkopalnya sendiri, bersama dengan tugas menguduskan, menerima juga tugas-tugas mengajar dan memimpin, tetapi yang menurut hakikatnya hanya dapat mereka laksanakan dalam persekutuan hirarkis dengan kepala dan anggota-anggota Kolegium. 

Kan. 376 - Para Uskup disebut diosesan, jika kepada mereka dipercayakan reksa suatu keuskupan; lain-lainnya disebut tituler. 

Kan. 377 - § 1. Para Uskup diangkat dengan bebas oleh Paus, atau mereka yang terpilih secara legitim dikukuhkan olehnya. § 2. Sekurang-kurangnya setiap tiga tahun para Uskup provinsi gerejawi atau, di mana keadaan menganjurkannya, Konferensi para Uskup, hendaknya melalui perundingan bersama dan rahasia menyusun daftar para imam, juga anggota-anggota tarekat hidup-bakti, yang kiranya tepat untuk jabatan Uskup, dan menyampaikannya kepada Takhta Apostolik; tetapi setiap Uskup tetap berhak untuk memberitahukan sendiri kepada Takhta Apostolik nama-nama para imam yang dianggapnya pantas dan cakap untuk jabatan Uskup. § 3. Kecuali secara legitim ditentukan lain, setiap kali perlu ditunjuk Uskup diosesan atau Uskup koajutor, untuk mengajukan apa yang disebut terna kepada Takhta Apostolik, Duta kepausan bertugas menyelidikinya satu demi satu; lalu bersama dengan penilaiannya sendiri, ia menyampaikan kepada Takhta Apostolik apa yang disarankan Uskup metropolit atau Sufragan dari provinsi di mana keuskupan yang membutuhkan Uskup itu berada atau yang merupakan kesatuan dengannya, dan juga pendapat ketua Konferensi para Uskup; selain itu Duta kepausan hendaknya mendengarkan pendapat beberapa orang dari kolegium konsultor dan kapitel katedral dan, jika dinilainya berguna, juga pendapat orang-orang lain dari kalangan klerus diosesan dan religius, begitu juga pendapat kaum awam yang unggul dalam kebijaksanaan, satu demi satu dan rahasia. § 4. Kecuali secara legitim ditetapkan lain, Uskup diosesan yang berpendapat bahwa keuskupannya harus diberi seorang Uskup auksilier, hendaknya mengajukan daftar sekurang-kurangnya tiga imam yang paling tepat untuk jabatan itu kepada Takhta Apostolik. § 5. Untuk selanjutnya tidak akan diberikan hak-hak dan privilegi-privilegi pemilihan, pengangkatan, pengajuan atau penunjukan Uskup-uskup kepada otoritas sipil. 

Kan. 378 - § 1. Untuk kecakapan calon Uskup, dituntut bahwa ia: 1° unggul dalam iman yang teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarum), kebijaksanaan, kearifan dan keutamaan-keutamaan manusiawi, serta memiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut; 2° mempunyai nama baik; 3° sekurang-kurangnya berusia tiga puluh lima tahun; 4° sekurang-kurangnya sudah lima tahun ditahbiskan imam; 5° mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau hukum kanonik yang diperolehnya pada lembaga pendidikan tinggi yang disahkan Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu. § 2. Penilaian definitif tentang kecakapan calon ada pada Takhta Apostolik. 

 Kan. 379 - Kecuali terkena halangan legitim, siapapun yang diangkat menjadi Uskup harus menerima tahbisan Uskup dalam jangka waktu tiga bulan sejak penerimaan surat apostolik, dan itu sebelum menduduki jabatannya. 

 Kan. 380 - Sebelum mengambil-alih secara kanonik (possessionem canonicam capere) jabatannya, hendaknya orang yang diangkat menjadi Uskup mengucapkan pengakuan iman dan sumpah kesetiaan pada Takhta Apostolik menurut rumus yang disahkan Takhta Apostolik itu. 



 Artikel 2 

USKUP DIOSESAN 

Kan. 381 - § 1. Uskup diosesan di keuskupan yang dipercayakan kepadanya mempunyai segala kuasa berdasar jabatan, sendiri dan langsung, yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pastoralnya, dengan tetap dikecualikan hal-hal yang menurut hukum atau dekret Paus direservasi bagi otoritas tertinggi atau otoritas gerejawi lainnya. § 2. Mereka yang mengepalai persekutuan-persekutuan kaum beriman lain yang disebut dalam kan. 368, dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan, kecuali dari hakikat halnya atau menurut ketentuan hukum ternyata lain. 

Kan. 382 - § 1. Yang diangkat Uskup tidak dapat mencampuri pelaksanaan jabatan yang diserahkan kepadanya sebelum mengambil alih secara kanonik keuskupannya; tetapi ia dapat menjalankan semua tugas yang sudah dipunyainya di keuskupan itu pada waktu pengangkatannya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 409, § 2. § 2. Kecuali terkena halangan legitim, orang yang terpilih untuk jabatan Uskup diosesan harus mengambil-alih secara kanonik keuskupannya dalam waktu empat bulan setelah menerima surat apostolik, bila ia belum ditahbiskan Uskup; tetapi jika ia sudah ditahbiskan, dalam waktu dua bulan setelah penerimaan surat itu. § 3. Uskup mengambil-alih secara kanonik keuskupannya segera setelah ia, sendiri atau lewat seorang wakil, menunjukkan di keuskupan itu surat apostolik kepada kolegium konsultor, dengan dihadiri kanselir kuria yang membuat berita acara; atau di keuskupan yang baru didirikan segera setelah ia memaklumkan surat itu kepada klerus dan umat yang hadir dalam gereja katedral, dan dicatat dalam akta oleh imam paling senior di antara yang hadir. § 4. Sangat dianjurkan agar pengambil-alihan secara kanonik itu dilakukan dalam tindakan liturgis di gereja katedral dengan dihadiri klerus dan umat. 

Kan. 383 - § 1. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai gembala, Uskup diosesan hendaknya memperhatikan semua orang beriman yang dipercayakan kepada reksanya dari setiap usia, kedudukan atau bangsa, baik yang bertempat-tinggal di wilayahnya maupun yang hanya sementara berada di situ; dan hendaknya ia juga menunjukkan semangat kerasulan terhadap mereka yang karena kondisi hidupnya tidak dapat secukupnya mendapat reksa pastoral yang biasa, dan juga terhadap mereka yang tidak mempraktekkan agamanya lagi. § 2. Bila ada orang-orang beriman dengan ritus yang berlainan di keuskupannya, hendaknya ia memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritual mereka baik lewat para imam atau paroki-paroki ritus yang sama, maupun lewat Vikaris episkopal. § 3. Terhadap para saudara yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik, hendaknya ia bersikap manusiawi dan penuh kasih sambil memupuk juga ekumenisme sebagaimana dipahami Gereja. § 4. Hendaknya ia menganggap orang-orang yang tidak dibaptis sebagai yang dipercayakan kepadanya dalam Tuhan, sehingga bersinar juga bagi mereka kasih Kristus, sebab Uskup harus menjadi saksi-Nya di hadapan semua orang. 

Kan. 384 - Uskup diosesan hendaknya dengan perhatian khusus mendampingi para imam, yang didengarkannya sebagai pembantu-pembantu dan penasihatnya; ia hendaknya melindungi hak-hak mereka dan mengusahakan agar mereka memenuhi kewajiban-kewajiban yang khas bagi status mereka dengan baik, dan hendaknya bagi mereka tersedia sarana-sarana serta lembaga-lembaga yang mereka butuhkan untuk membina hidup spiritual dan intelektual; demikian pula hendaknya ia mengusahakan agar sustentasi mereka yang layak dan bantuan sosial diselenggarakan menurut norma hukum. 

Kan. 385 - Hendaknya Uskup diosesan sekuat tenaga memupuk panggilan-panggilan untuk pelbagai pelayanan dan hidup-bakti, dengan memperhatikan secara istimewa panggilan-panggilan imam dan misionaris. 



Kan. 386 - § 1. Uskup diosesan terikat kewajiban menyampaikan dan menjelaskan kebenaran-kebenaran iman yang harus dipercayai dan moral yang harus diterapkan oleh kaum beriman, dengan sendiri sering berkhotbah; hendaknya ia juga mengusahakan agar ketentuan-ketentuan kanon-kanon tentang pelayanan sabda, terutama tentang homili dan pendidikan kateketik ditaati dengan seksama, sedemikian sehingga seluruh ajaran kristiani disampaikan kepada semua. § 2. Ia hendaknya melindungi dengan teguh keutuhan dan kesatuan iman yang harus dipercayai, dengan sarana-sarana yang dianggapnya paling tepat, tetapi dengan mengakui kebebasan yang wajar untuk meneliti lebih lanjut kebenaran-kebenaran itu. 

Kan. 387 - Uskup diosesan, dengan mengingat bahwa ia terikat kewajiban memberi teladan kesucian dalam kasih, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup, hendaknya dengan segala upaya mengusahakan pengembangan kesucian kaum beriman kristiani menurut panggilan khas masing-masing; dan karena ia adalah pembagi utama misterimisteri Allah, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar orang-orang beriman kristiani yang dipercayakan kepada reksanya dengan perayaan sakramen-sakramen tumbuh dalam rahmat, dan agar mereka mengenal dan menghayati misteri paskah. 

Kan. 388 - § 1. Uskup diosesan setelah mengambil-alih secara kanonik keuskupannya harus mengaplikasikan Misa untuk kesejahteraan umat (Missa pro populo) di wilayahnya setiap hari Minggu dan hari-hari raya wajib. § 2. Uskup harus mempersembahkan dan mengaplikasikan sendiri Misa untuk kesejahteraan umat pada hari-hari yang disebut dalam § 1; jika ia secara legitim terhalang untuk merayakannya, hendaknya ia menyuruh orang lain untuk mengaplikasikannya pada hari-hari itu, atau ia sendiri merayakannya pada hari-hari lain. § 3. Uskup, yang disamping keuskupannya sendiri masih diserahi keuskupan-keuskupan lain, juga sebagai administrator, memenuhi kewajiban dengan aplikasi satu Misa bagi seluruh umat yang dipercayakan kepadanya. § 4. Uskup yang tidak memenuhi kewajiban yang disebut dalam §§ 1-3 hendaknya selekas mungkin mengaplikasikan Misa bagi kesejahteraan umatnya sebanyak yang dilalaikannya. 

 Kan. 389 - Hendaknya ia sering memimpin perayaan Ekaristi mahakudus di gereja katedral atau gereja lain keuskupannya, terutama pada hari-hari raya wajib dan perayaan-perayaan lain. 

Kan. 390 - Uskup diosesan dapat melaksanakan upacara-upacara pontifikal di seluruh keuskupannya; tetapi tidak di luar keuskupannya sendiri tanpa persetujuan jelas atau sekurang-kurangnya yang secara masuk akal diperkirakan akan diberikan Ordinaris wilayah itu. 

Kan. 391 - § 1. Uskup diosesan bertugas memimpin Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya dengan kuasa legislatif, eksekutif dan yudisial, menurut norma hukum. § 2. Kuasa legislatif dijalankan Uskup sendiri; kuasa eksekutif dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikaris jenderal atau episkopal menurut norma hukum; kuasa yudisial dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikaris yudisial dan para hakim menurut norma hukum. 

 Kan. 392 - § 1. Karena harus melindungi kesatuan seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan disiplin umum untuk seluruh Gereja dan karenanya wajib mendesakkan pelaksanaan semua undang-undang gerejawi. § 2. Hendaknya ia menjaga agar penyalahgunaan jangan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, terutama mengenai pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali, penghormatan terhadap Allah dan para Kudus, dan juga pengelolaan harta-benda. 

Kan. 393 - Dalam semua perkara yuridis keuskupan, Uskup diosesan mewakili keuskupan itu. 



Kan. 394 - § 1. Aneka macam kerasulan di keuskupan hendaknya dikembangkan oleh Uskup, dan diusahakannya agar di seluruh keuskupan atau wilayah-wilayah khusus, semua karya kerasulan dikoordinasi dibawah pimpinannya, tetapi dengan memperhatikan sifat khas masing-masing kerasulan. § 2. Hendaknya ia menekankan kewajiban kaum beriman untuk merasul sesuai dengan kedudukan dan kemampuan masing-masing, dan hendaknya ia mengajak mereka untuk berperan-serta dan membantu pelbagai karya kerasulan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan tempat dan waktu. 

Kan. 395 - § 1. Uskup diosesan, meskipun mempunyai Uskup koajutor atau auksilier, terikat kewajiban untuk secara pribadi tinggal di keuskupannya. § 2. Kecuali karena kunjungan ad limina atau Konsili-konsili, sinode para Uskup, Konferensi para Uskup yang harus dihadirinya, atau karena kewajiban lain yang diserahkan secara legitim kepadanya, karena alasan wajar ia dapat pergi dari keuskupannya tidak melebihi satu bulan, baik terus-menerus maupun terputus-putus, asal saja diatur jangan sampai keuskupan menderita kerugian karena kepergiannya. § 3. Janganlah ia pergi dari keuskupan pada hari-hari Natal, Pekan Suci dan Paskah, Pentakosta dan Tubuh dan Darah Kristus, kecuali karena alasan berat dan mendesak. § 4. Jika Uskup pergi secara tidak legitim dari keuskupan selama lebih dari enam bulan, hendaknya Uskup metropolit memberitahu Takhta Apostolik mengenai kepergiannya; dan apabila Uskup metropolit yang pergi, maka hendaknya Uskup sufragan yang paling tua melaporkannya. 

Kan. 396 - § 1. Uskup terikat kewajiban untuk mengunjungi keuskupan baik seluruhnya maupun sebagian setiap tahun, sedemikian sehingga sekurang-kurangnya setiap lima tahun ia mengunjungi seluruh keuskupannya; kunjungan tersebut dilakukan sendiri atau, jika terhalang secara legitim, melalui Uskup koajutor, atau Uskup auksilier, atau Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal atau seorang imam lain. § 2. Uskup boleh memilih klerikus yang dikehendakinya sebagai pendamping dan pembantu dalam kunjungannya, dan dibatalkan setiap privilegi atau kebiasaan yang berlawanan. 

Kan. 397 - § 1. Yang harus mendapat kunjungan biasa oleh Uskup ialah orang-orang, lembaga-lembaga katolik, benda-benda dan tempat-tempat suci, yang berada di kawasan keuskupan. § 2. Para anggota tarekat-tarekat religius tingkat kepausan dan rumah-rumahnya dapat dikunjungi Uskup hanya dalam kasus-kasus yang dinyatakan oleh hukum. 

Kan. 398 - Hendaknya Uskup berusaha menyelesaikan kunjungan pastoralnya dengan seksama; hendaknya ia menjaga agar jangan memberatkan dan membebani siapa pun dengan pengeluaran yang berlebihan. 

 Kan. 399 - § 1. Uskup diosesan wajib setiap lima tahun memberikan kepada Paus laporan mengenai keadaan keuskupan yang dipercayakan kepadanya, menurut bentuk dan waktu yang ditentukan Takhta Apostolik. § 2. Jika tahun untuk memberikan laporan seluruhnya atau sebagian jatuh bersamaan dengan dua tahun pertama sejak awal kepemimpinan keuskupan, untuk kali itu Uskup dapat tidak membuat dan menyampaikan laporan. 

 Kan. 400 - § 1. Uskup diosesan, pada tahun ia wajib memberikan laporan kepada Paus, kecuali ditentukan lain oleh Takhta Apostolik, hendaknya pergi ke Roma untuk menghormati makam Santo Petrus dan Paulus Rasul dan menghadap Paus. § 2. Uskup hendaknya memenuhi sendiri kewajiban yang disebut di atas, kecuali terhalang secara legitim; dalam hal itu hendaknya ia memenuhi kewajiban itu dengan diwakili oleh Uskup koajutor bila ada, atau auksilier, atau imam yang cakap dari para imam yang tinggal di keuskupannya. § 3. Vikaris apostolik dapat memenuhi kewajiban itu dengan diwakili orang yang dikuasakan, juga yang tinggal di Roma; Prefek apostolik tidak terikat kewajiban itu. 

Kan. 401 - § 1. Uskup diosesan yang sudah berusia genap tujuh puluh lima tahun, diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Paus, yang akan mengambil keputusan setelah mempertimbangkan segala keadaan. § 2. Uskup diosesan yang karena alasan kesehatan atau karena alasan berat lain menjadi kurang cakap untuk melaksanakan tugasnya, diminta dengan sangat untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. 

Kan. 402 - § 1. Uskup yang pengunduran diri dari jabatannya diterima, mendapat gelar emeritus dari keuskupannya, dan jika mau, dapat mempertahankan tempat tinggalnya di keuskupan, kecuali dalam kasus-kasus tertentu karena keadaan khusus ditentukan lain oleh Takhta Apostolik. § 2. Konferensi para Uskup harus mengusahakan agar dijamin sustentasi yang pantas dan sesuai bagi Uskup yang mengundurkan diri, dengan memperhatikan bahwa kewajiban itu pertama-tama mengikat keuskupan yang telah diabdinya. 


 Artikel 3 

USKUP KOAJUTOR DAN AUKSILIER 

Kan. 403 - § 1. Jika kebutuhan-kebutuhan pastoral keuskupan menganjurkannya, maka hendaknya atas permohonan Uskup diosesan diangkat seorang atau beberapa Uskup auksilier; Uskup auksilier tidak mempunyai hak mengganti. § 2. Dalam keadaan-keadaan yang cukup berat, juga yang bersifat pribadi, Uskup diosesan dapat diberi Uskup auksilier yang dibekali dengan kewenangan khusus. § 3. Takhta Suci, jika menganggapnya lebih tepat, ex officio dapat mengangkat Uskup koajutor, yang juga dibekali dengan kewenangan-kewenangan khusus; Uskup koajutor mempunyai hak mengganti. 

Kan. 404 - § 1. Uskup koajutor menduduki jabatannya dengan menunjukkan, sendiri atau melalui orang yang dikuasakannya, surat apostolik pengangkatannya kepada Uskup diosesan dan kolegium konsultor dengan dihadiri kanselir kuria yang hendaknya membuat berita acara. § 2. Uskup auksilier menduduki jabatannya dengan menunjukkan surat apostolik pengangkatannya kepada Uskup diosesan dengan dihadiri kanselir kuria yang hendaknya membuat berita acara. § 3. Apabila Uskup diosesan terhalang sepenuhnya, baik Uskup koajutor maupun Uskup auksilier cukup menunjukkan surat apostolik pengangkatannya kepada kolegium konsultor dengan dihadiri kanselir kuria. 

Kan. 405 - § 1. Uskup koajutor, dan juga Uskup auksilier, mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan kanon-kanon berikut dan dirumuskan dalam surat pengangkatannya. § 2. Uskup koajutor dan Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2 mendampingi Uskup diosesan dalam seluruh kepemimpinan keuskupan dan mewakilinya bila ia tidak ada atau terhalang. 

Kan. 406 - § 1. Uskup koajutor, dan juga Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2, hendaknya diangkat menjadi Vikaris jenderal oleh Uskup diosesan; selain itu hendaknya Uskup diosesan menyerahkan kepadanya lebih dulu daripada kepada lain-lainnya, hal-hal yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus. § 2. Kecuali dalam surat apostolik diatur lain dan dengan mengindahkan ketentuan § 1, Uskup diosesan hendaknya mengangkat Uskup auksilier atau Uskup-uskup auksiliernya menjadi Vikaris-vikaris jenderal atau sekurang-kurangnya menjadi Vikaris-vikaris episkopal, yang hanya tergantung pada otoritasnya atau otoritas Uskup koajutor atau Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2. 

Kan. 407 - § 1. Agar kesejahteraan keuskupan sekarang dan di masa depan dikembangkan sebaik-baiknya, Uskup diosesan, Uskup koajutor dan Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2 hendaknya dalam hal-hal yang cukup penting saling berkonsultasi. § 2. Uskup diosesan dalam mempertimbangkan hal-hal yang cukup penting, terutama yang bersifat pastoral, hendaknya berkonsultasi lebih dahulu dengan para Uskup auksilier dari pada dengan orang-orang lain. § 3. Uskup koajutor dan Uskup auksilier, justru karena dipanggil untuk mengambil bagian dalam keprihatinan Uskup diosesan, hendaknya menjalankan tugas-tugas mereka sedemikian sehingga mereka melangkah bersamanya dengan usaha dan semangat terpadu. 

Kan. 408 - § 1. Uskup koajutor dan Uskup auksilier, bila tidak terhambat halangan wajar, diwajibkan untuk menyelenggarakan upacara pontifikal dan tugas-tugas yang merupakan kewajiban Uskup diosesan, setiap kali diminta olehnya. § 2. Hak-hak dan tugas-tugas Uskup yang dapat dijalankan Uskup koajutor atau Uskup auksilier, janganlah diserahkan oleh Uskup diosesan secara tetap kepada orang lain. 

Kan. 409 - § 1. Bila Takhta Uskup lowong, Uskup koajutor segera menjadi Uskup dari keuskupan untuknya ia ditetapkan, asalkan jabatan itu dimilikinya secara legitim. § 2. Bila Takhta Uskup lowong, sampai Uskup baru menduduki Takhtanya, Uskup auksilier, kecuali ditentukan lain oleh otoritas yang berwenang, menjalankan semua dan hanya kuasa dan kewenangan yang bila Takhta terisi, dipunyainya sebagai Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal; dan bila ia tidak ditunjuk menjadi Administrator diosesan, hendaknya ia menjalankan kuasa yang diberikan hukum dibawah otoritas Administrator diosesan yang mengepalai kepemimpinan keuskupan. 

 Kan. 410 - Uskup koajutor dan Uskup auksilier terikat kewajiban, seperti Uskup diosesan sendiri, untuk tinggal di keuskupan; janganlah mereka pergi lama dari situ, kecuali karena suatu tugas yang harus dipenuhi di luar keuskupan atau karena liburan yang jangan melampaui satu bulan. 

Kan. 411 - Mengenai pengunduran diri dari jabatan Uskup koajutor dan Uskup auksilier, diterapkan ketentuan-ketentuan kan. 401 dan 402, § 2. 



 BAB III TAKHTA TERHALANG DAN TAKHTA LOWONG 

Artikel 1 

TAKHTA TERHALANG 

Kan. 412 - Takhta Uskup dimengerti terhalang apabila karena penahanan, pengusiran, pembuangan atau ketidakmampuan, Uskup diosesan terhalang sama sekali untuk mengurus tugas pastoral di keuskupannya, bahkan tidak dapat berhubungan dengan umatnya lewat surat. 

Kan. 413 - § 1. Bila Takhta terhalang, kepemimpinan keuskupan, kecuali diatur lain oleh Takhta Suci, beralih kepada Uskup koajutor, jika ada; jika tidak ada atau terhalang, maka beralih kepada Uskup auksilier atau Vikaris jenderal atau episkopal, atau imam yang lain, dengan mengindahkan urutan orang-orang yang ditetapkan oleh Uskup diosesan segera setelah menduduki jabatannya; dan daftar itu harus diberitahukan kepada Uskup metropolit dan paling sedikit tiga tahun sekali diperbaharui dan hendaknya disimpan dengan rahasia oleh kanselir. § 2. Jika tidak ada Uskup koajutor atau ia terhalang dan daftar yang disebut dalam § 1 juga tidak tersedia, kolegium konsultor bertugas memilih seorang imam untuk memimpin keuskupan. § 3. Yang mengambil-alih kepemimpinan keuskupan menurut norma §§ 1 atau 2, hendaknya selekas mungkin memberitahu Takhta Suci tentang Takhta yang terhalang dan jabatan yang diterimanya. 

Kan. 414 - Setiap orang yang menurut norma kan. 413 dipanggil untuk menjalankan reksa pastoral keuskupan untuk sementara waktu, hanya selama Takhta terhalang, dalam menjalankan reksa pastoral keuskupan terikat kewajiban-kewajiban dan kuasa yang dalam hukum dimiliki oleh Administrator diosesan. 

Kan. 415 - Jika Uskup diosesan dilarang melaksanakan tugasnya karena hukuman gerejawi, Uskup metropolit atau Uskup sufragan yang tertua dalam jabatan, jika Uskup metropolit tidak ada atau jika Uskup metropolit itu sendiri yang tersangkut, hendaknya segera menghubungi Takhta Suci agar Takhta Suci mengambil langkah-langkah seperlunya. 

 Artikel 2 

TAKHTA LOWONG 

Kan. 416 - Takhta Uskup lowong dengan kematian Uskup diosesan, pengunduran diri yang diterima oleh Paus, pemindahan dan pemecatan yang diberitahukan kepada Uskup itu. 

Kan. 417 - Semua yang dilakukan Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal mempunyai kekuatan hukum sampai mereka menerima berita pasti tentang kematian Uskup diosesan, demikian pula yang dilakukan Uskup diosesan atau Vikaris jenderal atau episkopal mempunyai kekuatan hukum sampai mereka menerima berita pasti tentang tindakan Paus yang disebut di atas. 

Kan. 418 - § 1. Dalam waktu dua bulan setelah berita pasti tentang pemindahannya, Uskup harus pindah ke keuskupannya yang baru (ad quam) dan mengambil-alih secara kanonik keuskupannya; pada hari ia mengambil-alih secara kanonik keuskupannya keuskupannya yang lama (a qua) menjadi lowong. § 2. Sejak berita pasti tentang pemindahan sampai ia mengambilalih secara kanonik keuskupan yang baru, di keuskupannya yang lama (a qua) Uskup yang dipindahkan: 1° memperoleh kuasa dan terikat kewajiban-kewajiban Administrator diosesan, sedangkan segala macam kuasa Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal terhenti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 409, § 2; 2° memperoleh remunerasi utuh yang sesuai dengan jabatannya. 

Kan. 419 - Bila Takhta lowong, kepemimpinan keuskupan sampai adanya Administrator diosesan beralih kepada Uskup auksilier, dan bila ada beberapa Uskup auksilier, kepada yang paling lama pengangkatannya; tetapi bila tak ada Uskup auksilier, kepada kolegium konsultor, kecuali ditentukan lain oleh Takhta Suci. Yang mengambilalih kepemimpinan keuskupan dengan cara itu, hendaknya selekas mungkin memanggil kolegium yang berwenang untuk mengangkat Administrator diosesan. 

Kan. 420 - Bila di vikariat atau prefektur apostolik Takhta lowong, kepemimpinan diambil-alih oleh Pro-Vikaris atau Pro-Prefek yang oleh Vikaris atau Prefek segera setelah menduduki jabatannya diangkat hanya untuk tujuan itu, kecuali ditentukan lain oleh Takhta Suci. 

Kan. 421 - § 1. Dalam waktu delapan hari setelah diterimanya berita tentang lowongnya Takhta Uskup, Administrator diosesan, yakni yang memimpin keuskupan untuk sementara waktu, harus dipilih oleh kolegium konsultor, dengan mengindahkan ketentuan kan. 502, § 3. § 2. Jika dalam waktu yang ditetapkan itu Administrator diosesan karena alasan apapun belum dipilih secara legitim, pengangkatannya beralih kepada Uskup metropolit; dan jika Gereja metropolit itu sendiri yang lowong atau Gereja metropolit dan Gereja sufragan lowong bersama, pengangkatan beralih kepada Uskup sufragan yang tertua pengangkatannya. 

Kan. 422 - Uskup auksilier dan, jika tidak ada, kolegium konsultor, hendaknya selekas mungkin memberitahukan kematian Uskup; demikian pula orang yang dipilih menjadi Administrator diosesan memberitahukan pemilihannya kepada Takhta Apostolik. 

 Kan. 423 - § 1. Hendaknya diangkat seorang Administrator diosesan saja dan tak dibenarkan adanya kebiasaan yang berlawanan; kalau tidak, pemilihan tidak sah. § 2. Administrator diosesan janganlah sekaligus ekonom; maka jika ekonom keuskupan dipilih menjadi Administrator, hendaknya dewan keuangan memilih orang lain menjadi ekonom untuk sementara. 

 Kan. 424 - Administrator diosesan hendaknya dipilih menurut norma kan. 165-178. 

 Kan. 425 - § 1. Untuk jabatan Administrator diosesan hanya dapat diangkat dengan sah seorang imam yang berusia genap tiga puluh lima tahun dan belum dipilih, ditunjuk atau diajukan untuk menduduki jabatan yang lowong itu. § 2. Untuk menjadi Administrator diosesan hendaknya dipilih seorang imam yang unggul dalam ajaran dan kearifan. § 3. Apabila syarat-syarat yang disebut dalam § 1 diabaikan, Uskup metropolit atau, bila Gereja metropolit sendiri yang lowong, Uskup sufragan tertua dalam pengangkatan, setelah mengetahui kebenaran perkaranya, hendaknya mengangkat Administrator untuk kali itu; adapun perbuatan-perbuatan orang yang dipilih melawan ketentuan § 1 itu, menurut hukum sendiri tidak sah. 

 Kan. 426 - Yang memimpin keuskupan sewaktu Takhta lowong sebelum pengangkatan Administrator diosesan, mempunyai kekuasaan yang diakui hukum bagi Vikaris jenderal. 

 Kan. 427 - § 1. Administrator diosesan terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai kuasa Uskup diosesan, terkecuali hal-hal yang menurut hakikatnya atau oleh hukum sendiri dikecualikan. § 2. Administrator diosesan setelah menerima pemilihannya mendapat kuasa tanpa diperlukan peneguhan dari siapa pun, dengan tetap berlaku kewajiban yang disebut dalam kan. 833, 40. 

 Kan. 428 - § 1. Apabila Takhta lowong tak suatupun boleh diubah. § 2. Mereka yang menjalankan kepemimpinan keuskupan untuk sementara dilarang melakukan apapun yang dapat merugikan keuskupan atau hak-hak Uskup; khususnya mereka itu dan juga siapa saja, sendiri atau lewat orang lain, dilarang mengambil atau merusak dokumen apapun dari kuria keuskupan atau mengubah sesuatu padanya. 

 Kan. 429 - Administrator diosesan terikat kewajiban tinggal di keuskupan dan mengaplikasikan Misa untuk kesejahteraan umat menurut norma kan. 388. 

 Kan. 430 - § 1. Tugas Administrator diosesan berhenti dengan pengambil-alihan keuskupan oleh Uskup baru. § 2. Pemberhentian Administrator diosesan direservasi bagi Takhta Suci; pengunduran diri yang mungkin dibuat olehnya, harus ditunjukkan dalam bentuk otentik kepada kolegium yang berwenang untuk memilih, dan tidak membutuhkan penerimaan; jika Administrator diosesan diberhentikan atau mengundurkan diri, atau meninggal, hendaknya dipilih Administrator diosesan lain menurut norma kan. 421

SYUKUR ATAS RAHMAT KESEHATAN

 


Semalam saya tidur agak telat. Sudah rebahan di tempat tidur, tapi belum bisa terlelap. Dalam recik suara hujan dan kesunyian malam, saya dengar beberapa tetangga sebelah batuk-batuk berat. Tua dan muda. Terdengar ada yang mengumpat karena batuknya mengganggu sistem pernafasannya. Saya ikut prihatin.

Saya lahir dalam masa yang disebut baby boomer, awal 1950-an, karena ledakan angka kelahiran setelah Perang Dunia II dan revolusi kemerdekaan Indonesia dan banyak negara lain dari kolonialisme. Ketika saya remaja, saya membaca harapan hidup generasi baby boomer 60 tahun. Di satu pihak banyak ragam penyakit dan wabah menghadang pertumbuhan fisik antara 1950-1965 seperti influenza, tipus, kolera, disentri, malaria, TBC, polio, cacar, dan parasit cacing. Sejak Sekolah Dasar anak-anak harus suntik vaksinasi berulang kali untuk mencegah sakit musiman yang datang berdaur ulang. Sementara itu kesulitan ekonomi bangsa dan negara menghadapkan wabah kelaparan, hoenger oedeem, kurang gizi. Beras langka, pangan pokok divariasi jagung, ubi, ketela, wi, gembili, ganyong, gaerut, sagu, lalu ada bantuan luar negeri havermut, bulgur, situasi yang mengurangi daya tahan tubuh dan tidak kondusif untuk tumbuh kembang fisik dan risiko tetap kerdil (stunting).

Antara 1950-1980 banyak orang yang berkehendak baik bekerja keras di bidang kesehatan, meningkatkan tersedianya prasarana kesehatan, memperbanyak alat-alat kesehatan, mendidik dan mengembangkan petugas-petugas pelayanan kesehatan, melakukan penelitian dan memproduksi obat-obat yang diperlukan, memperoduksi vitamin dan suplemen, memperbaiki gizi masyarakat, Seiring perjalanan waktu, situasi umum membaik, dan harapan hidup meningkat. Untuk generasi baby boomer, berangsur-angsur angka harapan hidup naik dari 60, 63, 66, hingga 69 tahun. Usia umum untuk pensiun dulu dipatok 55 tahun, dan sesudah pensiun orang disebut "tua", jika mencapai 60 tahun malah ditambah "tua renta". Sekarang usia 60 tahun walau dibilang senior namun masih muda juga. Pantas disebut "lanjut usia" setelah usia 65 tahun.


Mengenang perkembangan situasi harapan hidup itu, menjelang tahun baru 2023 saya bersyukur kepada Tuhan atas karunia rahmat kesehatan. Saya tidak berusaha awet muda dan hidup selamanya, usaha yang saya pikir tidak ada gunanya, tetapi berserah pada penyelenggaraan ilahi, yang menggerakkan banyak orang untuk memelihara kesehatan umum. Terima kasih kepada banyak pihak yang tak bisa saya sebut satu-satu, yang telah bekerja keras membangun kondisi yang kondusif untuk kami agar dapat menjalankan fungsi. Makna kesehatan yang utama adalah bahwa kita masih dapat dan boleh berfungsi dengan baik sesuai kemampuan fisik, mental dan rohani kita.

Pada usia 70-an ternyata ada beberapa kondisi yang memerlukan pantauan karena penurunan kemampuan fisik, tingkat tekanan darah, tingkat kolesterol, tingkat gula darah, dan asam urat, fungsi ginjal dan jantung, serta penurunan memori dan daya kerja otak. Penurunan akan bertambah cepat jika orang pasif. Untuk mencegah laju penurunan kondisi diperlukan aktivitas, latihan, yang sepadan dan sesuai. Semoga kita boleh mendapat tekat mengatasi kemalasan dan selalu bergerak melaksanakan fungsi masing-masing dan menikmati sukacita bahagia.

Saya mengenang beberapa teman, kerabat dan sahabat yang telah berpulang kepada Tuhan dalam beberapa waktu yang lalu dan berdoa untuk kedamaian dan kesejahteraan jiwa mereka. Bersyukur kepada Allah bahwa boleh menerima karunia kebersamaan dengan mereka dan mengalami kasih yang indah dengan mereka semasa hidup. Semoga mereka beristirahat dalam damai.

Sedang hidup harus terus berjalan, saya memohon agar bersama teman-teman masih tetap boleh berfungsi dengan baik dalam penyelenggaraan ilahi untuk masa-masa yang akan datang. Dalam kearifan Jawa, orang tua tetap berfungsi dalam sembur (doa syafaat dan restu) tutur (berbagi pengertian dan pengalaman) dan wur (berbagi rezeki semampunya sebagai tanda kasih). Berbagi berkat bagi banyak orang.



Semoga. 


Jumat, 23 Desember 2022

EKSEGESIS NATAL

 Perayaan Natal

EKSEGESIS A. GIANTO

AG <eksegesis@gmail.com>

SELAMAT NATAL!

Dalam tradisi Gereja Katolik ritus Latin, juga di Indonesia, Natal dirayakan dengan tiga Misa Kudus yakni Misa Malam Natal 24 Desember, kemudian Misa Fajar 25 Desember pagi, dan akhirnya Misa Siang. Ketiga perayaan itu melambangkan tiga sisi kenyataan lahirnya Sang Penyelamat Dunia. Pertama, kelahirannya sudah terjadi sejak awal, yakni dalam kehendak Bapa di surga untuk mengangkat martabat kemanusiaan ke dekatnya. Kenyataan kedua terjadi ketika Yesus lahir dari kandungan Maria. Dan kenyataan ketiga, kelahiran Kristus secara rohani di dalam kehidupan orang beriman. Bacaan Injil dalam ketiga Misa Natal tersebut sejajar dengan tiga kenyataan tadi. Dalam Misa malam hari dibacakan Luk 2:1-14 yang menceritakan Maria melahirkan di Betlehem, kemudian dalam Misa fajar diperdengarkan Luk 2:15-20 yang mengabarkan lahirnya Kristus di dalam kehidupan orang beriman yang pertama, yakni para gembala. Akhirnya, dalam Injil Misa siang hari, Yoh 1:1-18, ditegaskan bahwa sang Sabda ini sudah ada sejak semula. Pembicaraan kali ini akan menggarisbawahi ketiga kenyataan peristiwa kelahiran Kristus itu. Secara singkat aan diperlihatkan juga hubungannya dengan bacaan pertama yang semuanya diambil dari Kitab Yesaya (Misa malam Yes 9:1-6; Misa fajar Yes 62:11-12; Misa siang: Yes 52:7-10).



INJIL MISA MALAM HARI : Luk 2:1-14


Seperti dikisahkan dalam ay. 1-3, Yusuf dan Maria pergi ke Betlehem untuk mematuhi maklumat umum Kaisar Augustus yang mewajibkan orang mencatatkan diri di kampung halaman leluhur. Sekalipun tidak ada arsip sejarah yang membuktikan bahwa maklumat seperti itu pernah dikeluarkan Kaisar Augustus, dapat dikatakan bahwa hal seperti itu bukannya tak mungkin. Di sini Lukas mempergunakannya sebagai konteks kisah kedatangan Yusuf dan Maria ke Betlehem. Ini juga cara Lukas mengatakan bahwa Tuhan bahkan memakai pihak bukan-Yahudi untuk menjelaskan bagaimana Yesus tetap lahir di Yudea, tempat asal kaum Daud, dan bukan di Nazaret. Kelembagaan Yahudi sendiri kiranya tidak cukup. Bahkan lembaga itu sudah tak banyak artinya lagi. Seperti banyak orang asli Yudea lain, Yusuf dan Maria termasuk kaum yang "terpencar-pencar" hidup dalam diaspora di daerah bukan asal. Ironisnya, yang betul-betul masih bisa memberi identitas "orang Yudea" kini bukan lagi ibadat tahunan di Yerusalem, melainkan cacah jiwa yang digariskan penguasa Romawi.


Dalam ay. 4-5 disebutkan bahwa Yusuf pergi dari Nazaret ke Yudea "agar didaftar bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung". Dengan cara ini mereka nanti akan resmi tercatat sebagai suami istri di Yudea. Oleh karena itu, Yesus juga secara resmi bakal tercatat sebagai keturunan Daud, baik bagi orang Yahudi maupun bagi administrasi Romawi. Dengan demikian, Lukas sedikit menyingkap apa yang nanti akan diutarakannya dengan jelas dalam Kisah Para Rasul, yakni kedatangan Juru Selamat bukanlah melulu bagi orang Yahudi, melainkan bagi semua orang di kekaisaran Romawi, bahkan bagi semua orang di jagat ini. Malahan bisa dikatakan bahwa justru kehadiran orang bukan Yahudi-lah yang membuatnya betul-betul datang ke dunia ini! Kita-kita ini, sekarang ini juga, masih ikut membawanya datang ke dunia.


Menurut ay. 7, Maria melahirkan anak lelaki, anaknya yang sulung. Penyebutan "anak sulung" ini terutama dimaksud untuk menggarisbawahi makna yuridis, bukan biologis. Anak sulung memiliki hak yang khas yang tak ada pada saudara-saudaranya. Dalam hal ini hak sebagai keturunan Daud dengan semua keleluasaannya. Oleh karena itu, ia juga nanti dapat mengikutsertakan siapa saja untuk masuk dalam keluarga besarnya. Anak bukan sulung tidak memiliki hak seperti ini.


Sang bayi yang baru lahir itu kemudian dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan. Ditambahkan pada akhir ay. 7 "karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan". Bukan maksud Lukas mengatakan bahwa mereka tidak dimaui di mana-mana. Tempat-tempat yang biasa sudah penuh para pengunjung yang mau mendaftarkan diri menurut maklumat Kaisar Augustus. Mereka akhirnya menemukan tempat umum yang biasa dipakai tempat istirahat rombongan karavan bersama hewan angkutan mereka. Semacam stasiun zaman dulu. Tempat-tempat seperti ini memiliki beberapa kelengkapan dasar, misalnya palungan tempat menaruh makanan bagi kuda atau hewan tunggangan. Sekali lagi ini cara Lukas mengatakan kelahiran Yesus ini terjadi di tempat yang bisa terjangkau umum. Tempat seperti itulah tempat bertemu banyak orang. Maka dari itu, nanti para gembala dapat dengan cepat mendapatinya.


Kelahiran Yesus yang diceritakan sebagai kejadian sederhana seperti di atas itu nanti dalam Luk 2:8-14 diungkapkan para malaikat kepada para gembala. Mereka amat beruntung bisa menyaksikan perkara ilahi dan perkara duniawi dalam wujud yang sama. Orang diajak melihat bahwa yang terjadi sebagai kejadian lumrah belaka itu ternyata memiliki wajah ilahi yang mahabesar. Bala tentara surga, para malaikat menyuarakan pujian kepada Allah. Dia yang Maha Tinggi kini menyatakan diri dalam wujud yang paling biasa bagi semua orang. Apa maksudnya? Kiranya Lukas mau mengatakan bahwa orang-orang yang paling sederhana pun dapat merasakan kehadiran Yang Ilahi dalam peristiwa yang biasa tadi. Dan bahkan mereka bergegas mencari dan menemukan kenyataan duniawi dari kenyataan ilahi yang mereka alami tadi.


Pengalaman rohani yang paling dalam juga dapat dialami orang sederhana. Oleh karena itu, orang dapat melihat kehadiran Tuhan dalam peristiwa biasa. Sebuah catatan. Arah yang terjadi ialah dari atas, dari dunia ilahi ke dunia manusia, bukan sebaliknya. Kita tidak diajak mencari-cari dimensi ilahi dalam tiap perkara duniawi. Ini bisa mengakibatkan macam-macam masalah dan keanehan. Yang benar ialah mengenali perkara duniawi yang memang memiliki dimensi ilahi. Ada banyak perkara duniawi yang tidak memilikinya. Dalam arti itulah warta para malaikat kepada para gembala dapat membantu kita menyikapi dunia ini. Misteri inkarnasi ialah kenyataan yang membuat orang makin peka akan kenyataan duniawi yang betul-betul menghadirkan Yang Ilahi, bukan tiap kenyataan duniawi.


Teks Yes 9:1-6 diangkat sebagai bacaan pertama dalam misa malam. Di situ diutarakan dengan nada penuh kegembiraan siapa Raja Damai yang bakal meraja di kalangan umat. Dia membuat orang yang gelisah bisa mendapatkan ketenangan, dia dapat memberi rasa aman bagi yang merasa terancam. Kebesarannya berdasarkan keadilan dan kebenaran, bukan paksaan dan tipuan. Ia juga dikenal sebagai "Penasihat Ajaib", artinya yang memiliki kebijaksanaan ilahi. Dia itu juga "Allah yang Perkasa", yang melindungi umat dari kekuatan-kekuatan yang memusuhi, Ia dikenal sebagai "Bapa yang Kekal", maksudnya, kerahiman-Nya tak berhingga. Dia itulah Raja Damai yang telah lahir. Dalam perayaan kali ini semuanya ini diterapkan kepada dia yang baru lahir seperti dikisahkan dalam Luk 2:1-14.




INJIL MISA FAJAR: Luk 2:15-20


Yang diberitakan malaikat Tuhan kepada para gembala (ay. 10-12) kini mereka teruskan kepada orang-orang yang ada di sekitar palungan (ay. 15). Boleh kita bayangkan, di tempat umum di sekitar palungan itu ada banyak orang lain yang juga menginap di situ. Mereka sedang menolong keluarga baru ini. Mendengar kata-kata para gembala mengenai warta malaikat tadi, semua orang ini menjadi terheran-heran (ay. 18). Bagi mereka bayi yang dilahirkan ibu muda ini biasa saja. Tapi apa para gembala ini menjelaskan hal yang luar biasa yang sedang terjadi kini! Para gembala itulah orang-orang yang pertama-tama memberi arti rohani bagi peristiwa kelahiran tadi. Mereka itu juga pewarta kedatangan Penyelamat yang bukan orang-orang yang secara khusus berhubungan dengan  Allah seperti halnya Maria atau Yohanes Pembaptis ketika masih ada dalam kandungan. (Katakan saja, para gembala itulah para teolog, para ahli kristologi generasi awal, yang mampu memukau perhatian orang. Guru Besar mereka ialah para malaikat dan semua bala tentara surgawi.)


Satu catatan. Disebutkan dalam ay. 15 "... gembala-gembala itu berkata satu kepada yang lain, 'Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem untuk melihat ....'" Kepada siapa kata-kata itu ditujukan? Dalam bacaan teks yang biasa, jelas ajakan itu ditujukan kepada satu sama lain. Namun demikian, bacaan teks ini juga tertuju kepada pembaca. Teks ini membuat siapa saja yang membaca atau mendengarkannya merasa diajak gembala-gembala tadi bersama pergi dengan mereka ke Betlehem menyaksikan kebesaran ilahi dalam wujud yang membuat orang mulai bersimpati kepada Tuhan. Lukas kerap memakai teknik berbicara seperti ini. Dengan memakai bentuk percakapan - bukan hanya dengan cerita - Lukas membuat pembaca merasa seolah-olah ikut hadir di situ. Dan pada saat tertentu ajakan akan terasa ditujukan bagi pembaca juga.


Yang hadir dalam pembacaan Injil Misa fajar bisa pula merasakannya. Dan bila itu terjadi, warta petikan Injil Misa Fajar akan menjadi makin hidup. Orang diajak para gembala yang telah menyaksikan kebesaran Tuhan untuk ikut pergi mencarinya "di Betlehem", di tempat yang kita semua tahu, yang dapat dicapai, bukan di negeri antah-berantah. Warta Natal Lukas tak lain tak bukan ialah pergi mendapati dia yang lahir di tempat yang bisa dijangkau siapa saja - di "Betlehem" - boleh jadi dalam diri orang yang kita cintai, boleh jadi dalam kehidupan orang-orang yang kita layani, dalam diri orang-orang yang membutuhkan kedamaian, atau juga dalam diri kita sendiri yang diajak ikut menghadirkannya. Ini bisa memberi arah baru dalam kehidupan. Betlehem bisa bermacam-macam wujud dan macamnya, namun satu hal sama. Di situlah Tuhan diam menantikan orang datang menyatakan simpati kepada-Nya. Adakah perkara lain yang lebih menyentuh?


Dalam bacaan pertama misa fajar (Yes 62:11-12 )diutarakan dengan nada penuh kegembiraan agar orang di kota Yerusalem membuka pintu gerbang mereka lebar-lebar menyambut kedatangan raja yang mereka nanti-nantikan. Mereka dihimbau menerima dengan terbuka dia yang membawakan keselamatan bagi kota yang gelisah dan merasa terancam oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhinya, baik dari luar maupun dari dalam. Yang menyambutnya akan menjadi bangsa yang kudus, orang-orang yang ditebus Tuhan sendiri, mereka itu tidak ditinggalkan-Nya (ay. 12). Kebesarann-Nya ini kini menjadi nyata - dalam peristiwa kelahiran Yesus seperti diumumkan dalam Injil misa malam dan fajar ini.



INJIL MISA SIANG: Yoh 1:1-18


Pembukaan Injil Yohanes ini sarat dengan makna. Dikatakan dalam kedua ayat pertama "Pada mulanya adalah Firman dan Firman itu bersama-sama dengan Allah. Dan Firman itu adalah Allah. Ia pada awal mulanya ada bersama dengan Allah" (Yoh 1:1-2). Guna memahaminya, orang perlu mengingat Kisah Penciptaan menurut tradisi dalam Kej 1:1-2:4a. Di situ dikisahkan bahwa pada awalnya Tuhan menjadikan terang dengan memfirmankannya. Firman-Nya (yakni "jadilah terang!") menjadi kenyataan, yakni terang. Dan begitu selanjutnya hingga ciptaan yang paling akhir, yakni umat manusia (dengan memakai gaya bahasa merismus "laki-laki dan perempuan") yang diberkati dan diberi wewenang mengatur jagat ini sebagai wakil Tuhan Pencipta sendiri.


Terjemahan ay. 1 "Dan Firman itu Allah" ialah terjemahan harfiah kalimat Yohanes "kai theos en ho logos". Kalimat Yunani seperti itu sebetulnya bukan hendak menyamakan Firman dengan Tuhan. Alih bahasa yang lebih dekat dengan maksud Yohanes boleh jadi demikian: "keilahian itu adalah Firman". Kata "theos" dipakai tanpa artikel atau kata sandang di sini tampil dalam arti keilahian. Pemakaian seperti ini maksudnya untuk menekankan bahwa yang sedang dibicarakan, yakni Firman itu memiliki bagian dalam keilahian. Dengan demikian juga hendak dikatakan bahwa keilahian yang kerap terasa jauh dan menggentarkan belaka itu kini mulai dekat dan dapat didengarkan, membiarkan diri dimengerti, dikaji, dipikir-pikirkan, dan dengan demikian ikut di dalam kehidupan manusia. Itulah maksud Yohanes. Oleh karena itu, juga tidak mengherankan bila dalam Yoh 1:3 ditegaskan tak ada yang ada di jagat ini yang dijadikan tanpa Firman. Tak ada yang tak berhubungan dengan-Nya. Hubungan ini tetap ada sekalipun dianggap sepi, disangkal, tidak diperhatikan. Selanjutnya, dalam ay. 4 ditegaskan bahwa ia itu kehidupan dan kehidupan itu adalah terang bagi manusia. Dalam Kisah Kejadian tadi, terang menjadi ciptaan pertama yang mendasari semua yang ada.


Bagi Yohanes, kata "dunia" (ay. 9, 10) mengacu pada tempat beradanya kekuatan-kekuatan gelap yang melawan kehadiran ilahi (lihat ay. 5). Ke tempat seperti inilah terang ilahi tadi bersinar dan terangnya tak dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan gelap. Yohanes menghubungkan peristiwa kelahiran Yesus sebagai kedatangan terang ilahi ke dunia ini. Dengan latar Kisah Penciptaan maka jelas kelahiran Yesus itu ditampilkan Yohanes sebagai tindakan yang pertama dalam karya penciptaan Tuhan. Namun demikian, arah tujuan pembicaraan Yohanes bukan sekadar menyebut itu. Penciptaan ini dimaksud untuk menghadirkan Tuhan Pen­cipta. Bukan sebagai Tuhan yang kehadiran-Nya harus diterjemahkan terutama dalam wujud hukum-hukum agama, seperti hukum Taurat, melainkan sebagai Bapa yang mengasalkan kehidupan manusia, yang menyapa manusia dengan Firman yang membawakan kehidupan.


Bacaan pertama misa siang, Yes 52:7-10, mengungkapkan gairah umat menerima warta gembira bahwa yang mereka percaya - Allah - sungguh berkuasa melindungi orang-orang-Nya. Dia kini berada kembali di tengah-tengah umat, di Yerusalem yang untuk beberapa lama menjadi kota yang runtuh pamornya. Kini kota itu akan berdiri kembali karena Ia ada di situ. Kehadiran-Nya bukan sekadar akan membangun kembali kota itu, melainkan mengubahnya menjadi tempat kehadiran-Nya yang batiniah. Dan oleh karenanya Ia tidak lagi terbatas di tempat itu saja, melainkan ada di mana saja Ia dimuliakan. Kota Yerusalem menjadi kota rohani bagi semua orang yang melihat dan menerima kehadiran-Nya.


Kehadirannya memiliki daya pembaharu dan inilah kenyataan penciptaan. Bagi zaman ini, akan besar maknanya bila dikatakan bahwa iman akan kelahiran Kristus di dunia ini ialah kelanjutan kepercayaan bahwa Allah terus menciptakan jagat beserta isinya. Firman-Nya kuat. Terangnya tak terkalahkan meskipun banyak yang menghalangi. Artinya, yang menganggap ciptaan ini buruk dan gelap belaka dan memperlakukannya dengan buruk boleh jadi sudah mulai memisahkan diri dari Dia, sumber terang itu sendiri, dan akan tersingkir sendiri. Tetapi mereka yang percaya bahwa jagat ini dapat menjadi baik dan ikut mengusahakannya sebetulnya memilih ada bersama Dia.


Salam hangat,

A. Gianto

KONSEKUENSI INKARNASI (2)

 



Memahami Pengalaman Religius

Juga ada suatu perbedaan mendasar antara seorang yang beriman kepada Tuhan dengan seorang Kristiani dalam caranya secara aktif mencari Tuhan dan memahami pengalaman keagamaan. Suatu contoh.

            Beberapa tahun yang diselenggarakan suatu seminar tentang doa. Wanita yang memimpin seminar itu adalah seorang pakar dalam metode doa Gereja Timur. Dia menjelaskan macam-macam metode meditasi dan pada titik tertentu berbagi dengan mengenai kehidupan doanya pribadi. Ia melukiskan bagaimana dia, dengan menggunakan metode tertentu yang meliputi duduk diam selama dua jam setiap hari, mengalami pengalaman akan Allah yang sangat menggerakkan hati. Pada waktu tanya-jawab, kepadanya ditanyakan bagaimana pengalaman akan Allah yang didapatnya di dalam doa itu jika dibandingkan dengan pengalamannya atas hidup sehari-hari, pengalamannya berbicara bersama, melakukan pekerjaan, dan makan bersama keluarga dari hari ke hari. “Tidak bisa dibandingkan,” jawabnya. “Berkumpul dan makan bersama dengan keluarga saya merupakan (pada umumnya) pengalaman manusiawi yang baik, tetapi tidak bersifat keagamaan. Hanya insani. Di dalam meditasi saya mendapatkan pengalaman yang sungguh religius.”

BACA JUGA: KONSEKUENSI INKARNASI 1

            Seorang Kristiani perlu menjadi seorang yang kafir sekaligus cukup bersifat inkarnatoris untuk membahas jawaban itu. Tanpa harus membahas pentingnya doa dan meditasi pribadi (yang kebanyakan dari kita harus lebih banyak melakukannya) yang harus dipertanyakan di sini, jika seseorang adalah orang Kristiani, adalah perspektif yang lebih bersifat teistik daripada bersifat inkarnatoris. Allah yang menjadi manusia dengan daging insani ditemukan, pertama-tama dan terutama, bukan di dalam meditasi dan juga bukan di dalam biara-biara, walaupun Allah juga berada di sana, tetapi di dalam rumah-rumah keluarga. Nikos Kazantzakis menyatakan: “Di mana anda menemukan suami dan isteri, di sanalah anda menemukan Tuhan; di mana ada anak-anak dan rebutan mainan dan penganan, di mana ada pertengkaran dan perdamaian di antara mereka, di situlah Tuhan berada juga.”[i] Allah dalam Inkarnasi lebih bersifat domestik (di dalam rumah keluarga) ketimbang bersifat monastik (di dalam biara).

            “Allah itu kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah” (1Yoh 4:7-16). Jika Kitab Suci menegaskan ini, kasih yang dibicarakannya bukan kasih yang terlalu romantis melainkan yang mengalir dalam kehidupan di suatu keluarga. Allah bukannya “jatuh cinta”, namun keluarga yang berbagi keberadaan. Allah yang ber-Inkarnasi hidup dalam suatu keluarga, suatu trinitas, suatu komunitas yang berbagi keberadaan. Maka perkataan Allah adalah kasih menyatakan bahwa Allah merupakan komunitas, keluarga dan cara keberadaan bersama, dan siapapun yang ikut berbagi keberadaannya di dalam suatu keluarga dan komunitas mengalami Allah dan kehidupan yang sesungguhnya dari Allah mengalir melalui dia, pria maupun wanita.

            Jika ini benar dan memang demikian, maka banyak yang harus berubah dalam cara mengalami Allah. Jika Tuhan berinkarnasi dalam kehidupan sehari-hari maka kemudian kita harus mencari Tuhan terutama dalam kehidupan sehari-hari. Namun begitu sering walaupun kita secara teori sudah tahu tentang ini, secara praktek kita tetap mencari Tuhan dengan cara yang tidak biasa.

            Misalnya: mengapa kita pergi berziarah ke tempat-tempat suci, bukannya dengan kaki telanjang duduk dan merasakan kesucian tanah dunia ini? Mengapa kita pergi ke tempat seperti Lourdes dan Fatima, melihat tempat Perawan Maria yang terberkati itu menangis, dan tidak melihat air mata pada anggota keluarga yang pada meja makan kita sendiri, duduk di seberang kita? Kita begitu terkesan membelalak pada Padre Pio, yang membawa luka-luka Yesus pada tangan dan kakinya, namun mata kita meram terpejam terhadap luka-luka Kristus pada wajah emosional orang-orang yang membutuhkan, yang malahan dengan sangat kita hindari? Tidak ada yang salah dengan berziarah, tempat suci Maria dan Padre Pio, namun bukan melalui mereka Tuhan mau menyatakan hal yang paling penting bagi kita. Seorang teman cerita bahwa ia biasa main golf secara berkala dengan seorang Kristiani Evangelis yang tulus dan penuh semangat, yang selalu berdoa mohon kepada Tuhan agar memeroleh penglihatan, visiun. Suatu ketika teman itu berkata kepadanya: “Anda mau melihat penglihatan atau visiun? Besuk bangunlah pagi-pagi dan lihatlah matahari terbit. Sungguh baik karya Allah itu!”

            Itulah suatu perspektif Kristiani tentang pengalaman keagamaan. Tuhan yang adalah kasih dan keluarga, yang lahir di suatu palungan, adalah Tuhan yang ditemukan pertama-tama dalam rumah kita, dalam keluarga kita, di meja makan kita, pada matahari terbit, dalam kegembiraan kita, dan dalam percakapan kita. Terlibat dalam aliran kehidupan yang normal, menerima dan memberi, betapapun banyak salahnya dan penuh derita pada waktu-waktu tertentu dalam hubungan-hubungan, adalah menghayati aliran hidup Tuhan melalui kita. Spiritualitas Kristiani bukanlah terutama untuk mengagumi Tuhan atau bahkan untuk meniru Tuhan, melainkan mengalami Tuhan dan ikut serta dengan ambil bagian dalam pasang surutnya hubungan sehari-hari dalam aliran hidup Tuhan. Tuhan yang menjadi daging, menjadi manusia agar dapat dialami oleh indera yang biasa sehari-hari, sekarang pun masih punya daging dan terutama dapat dialami melalui indera biasa sehari-hari.

 Memahami Misi

Beberapa tahun yang lalu susatu majalah Kristiani memuat keluhan seorang wanita, yang dengan nada pahit menjelaskan, mengapa ia tidak percaya kepada Tuhan. Dalam penjelasannya itu ia tidak pernah menyinggung soal dogma, moral atau wewenang gereja. Baginya, bahwa Tuhan atau Kristus dapat dipercaya itu bergantung pada sesuatu yang lain, yaitu wajah-wajah orang Kristiani. Keluhannya seperti berikut:

Tak perlu datang padaku dan bicara tentang Tuhan, jangan mengetuk pintuku membawa pamflet agama, jangan pula bertanya padaku apakah aku diselamatkan. Neraka bukan lagi merupakan ancaman dibanding dengan kenyataan hidupku yang keras dan mengerikan. Api neraka tampaknya lebih menarik daripada dinginnya hidupku yang menggigit hingga ke tulang. Dan tak usah bicara padaku tentang Gereja. Apa yang diketahui Gereja tentang rasa putus asa yang kualami – jika Gereja mengurung diri di balik kaca-kaca berwarna terhadap orang-orang seperti aku? Suatu ketika aku mencari pengampunan dan persahabatan komunitas dalam dinding-dinding kalian, tapi aku melihat Tuhanmu yang terpancar pada wajah kalian yang melengos dari orang-orang sepertiku. Ampunan tak pernah diberikan kepadaku. Kasih yang menyembuhkan yang kucari-cari disembunyikan rapat-rapat, hanya tersedia bagi kawan-kawan anda saja. Jadi pergilah dariku dan tak usah omong lagi tentang Tuhan. Aku sudah melihat Tuhanmu mewujud dalam dirimu dan dia adalah seorang Tuhan yang tak punya belas kasihan. Selama Tuhanmu tak mau memberikan sentuhan manusiawi yang hangat padaku, aku akan tetap menjadi orang yang tak percaya.[ii]

 

Hal terakhir yang dikatakan Yesus kepada kita adalah supaya kita pergi kepada orang-orang dan bangsa-bangsa dan mewartakan kehadiran-Nya (Mat 28:29-30). Namun hal itu seharusnya dipahami dengan tepat secara inkarnatoris, bukan secara teistik. Tantangannya (seperti yang dengan jelas dikatakan wanita itu) bukanlah menyampaikan aturan-aturan agama, membuat siaran televisi keagamaan untuk membuat Yesus terkenal, atau bahkan berusaha membaptis orang menjadi Kristiani. Tugas ini adalah untuk memancarkan kasih sayang dan cinta dari Tuhan, sebagaimana mewujud dalam Yesus, dalam wajah dan tindakan kita.

            Ketika nabi-nabi besar bangsa Israel dipanggil, Allah melakukan inisiasi pada mereka melalui ritual yang menarik. Mereka disuruh secara fisik memakan gulungan yang berisi Taurat, memakan Kitab Suci mereka (Yeh 3:1-3). Alangkah kuatnya perlambangan itu! Gagasannya adalah bahwa mereka harus mencerna kata-kata dan mengubahnya menjadi daging mereka sendiri, supaya orang dapat melihat sabda Allah dalam suatu tubuh yang hidup daripada tertulis dalam perkamen yang mati. Tugas menyampaikan Tuhan kepada orang lain bukanlah memberikan Kitab Suci atau bahan bacaan keagamaan lainnya, melainkan dengan melakukan transubstansiasi (mengubah substansi) Tuhan, seperti yang kita lakukan pada makanan yang kita santap. Kita harus mencerna sesuatu dan mengubahnya secara fisik menjadi daging pada tubuh kita dan menjadi bagian dari diri kita sebagaimana dilihat orang. Jika hal ini kita lakukan pada sabda Tuhan, maka orang lain tidak perlu membaca Kitab Suci untuk melihat seperti apa Tuhan itu, tetapi mereka tinggal melihat wajah dan hidup kita untuk melihat Tuhan.

            Jean Paul Sartre, yang filsuf eksistensialisme ateis itu dari perspektifnya menambahkan suatu pemahaman yang berharga di sini. Ia menyatakan bahwa manusia menciptakan wajahnya sendiri. Bagi Sartre, kita lahir tanpa wajah, maksudnya tanpa wajah yang bicara banyak. Ketika bayi lahir, ada tiga ciri pada wajahnya: wajahnya menunjukkan betapa sedikitnya aspek individualitas.  Kendati ibu-ibu protes, semua bayi tampak sangat serupa satu sama lain. Kedua, wajah bayi hanya sedikit menunjukkan kepribadian si anak. Jika memandang wajah bayi, hanya sedikit yang kita dapatkan sebagai petunjuk tentang karakter macam apa yang dipunyainya dan akan dikembangkannya. Akhirnya, wajah bayi menunjukkan keindahan yang bersifat genetik. Apakah bayi tampan, cantik atau tidak bergantung pada gen yang menurun kepadanya.

            Memang seperti itulah bayi yang baru lahir. Namun dengan berlalunya jam, hari dan tahun dalam hidupnya, keadaan awal ini berubah, dan menurut Sartre perubahan itu akan mencapai titik kulminasi pada umur empat puluh tahun, ketika akhirnya seseorang mendapatkan garis-garis yang esensial pada wajahnya. Pada umur empat puluhlah kita punya wajah. Pada umur itu kita tampak unik, lain dari orang lain di dunia (sekalipun kita dilahirkan kembar identik), wajah kita bicara banyak tentang siapa diri kita dan keindahan fisik kita mulai berbaur dengan keindahan umum kita sehingga apakah kita tampan atau tidak dinilai dari siapa kita, bukan dari sekedar aspek fisik dasar belaka. Dari umur empat puluh dan selanjutnya, wajah kita mewujudkan individu kita, karakter dan suatu keindahan-melebihi-aspek-genetik.

             Yang penting dalam hal ini pada akhirnya adalah apa yang membentuk wajah kita. Hingga umur empat puluh, unsur genetika pegang peranan paling utama, dan itulah sebabnya hingga umur itu kita dapat mementingkan diri sendiri dan masih tampak tampan. Namun berangkat dari usia itu, kita tampak seperti apa yang kita yakini. Jika saya cemas, kikir, mementingkan diri sendiri, pahit hati, sempit, dan memusat pada diri sendiri, wajah saya akan menunjukkannya. Sebaliknya, jika saya hangat, murah hati, rendah hati, dan memerhatikan orang lain, wajah saya juga akan menunjukkan hal itu. Suatu pikiran yang menakutkan; tidak ada wajah yang menyembunyikan rahasia sesudah usia empat puluh.

            Misi kita sebagai kaum beriman tepatnya adalah membentuk wajah kita dengan cara yang tepat. Sabda sudah mulai menjadi daging dan masih harus berlanjut menerima daging yang oleh Tuhan diubah bukan saja menjadi roti ekaristi, namun yang lebih penting lagi, adalah menjadi wajah manusia. Yesus mengajar bahwa Kerajaan Allah bekerja seperti ragi. Kita diminta memersilakan ajaran-Nya membentuk kita, dari dalam seperti ragi mengubah adonan, seperti musim panas mengubah pohon. Bagaimana kita mencerna Sabda Tuhan tentu membuat wajah kita secara fisik pun berbeda (Mrk 13:28). Maka, tugas kita yang pertama di dalam pewartaan adalah tanpa kata. Kita mengubah substansi Tuhan, supaya menampilkan wajah manusia pada belas kasih dan kerahiman ilahi. Jarang sekali kita perlu melakukan pewartaan dengan kata-kata.

 

Memahami hubungan dengan orang yang kita kasihi sesudah kematian mereka

Akhirnya juga ada suatu perbedaan besar antara seseorang yang sekedar bertuhan dan seseorang yang Kristiani dalam memahami hubungan dan keakraban dengan orang-orang yang dikasihi sesudah mereka itu meninggal. Baik orang bertuhan maupun orang Kristiani percaya akan kehidupan setelah kematian dan mereka juga percaya bahwa ada banyak kontak di antara kita yang masih hidup dan orang-orang yang kita kasihi yang telah meninggal. Namun, jika orang menerima kenyataan Inkarnasi, Tuhan yang menjadi manusia, adalah perbedaan spiritual mengenai caranya kontak-kontak itu terjadi.

            Bagi seorang yang bertuhan, pemahamannya akan hal ini sejauh-jauhnya terjadi kontak secara mistik, antar jiwa, melalui kehadiran imajinatif (kendati nyata) dari orang yang kita kasihi itu dalam diri kita. Sedangkan orang Kristiani yang tidak bertentangan dengan paham di atas bergerak lebih jauh lagi. Bagaimana orang Kristiani tetap berhubungan, mengasihi, berkomunikasi dan melakukan persekutuan hidup yang nyata dengan orang yang dikasihi sesudah kematian?   Bgaimana kita menemukan lagi orang yang kita kasihi itu setelah berpisah karena kematian? Melalui sabda yang menjadi daging. Dengan memberikan ungkapan konkret dalam hidup kita pada keutamaan dan kualitas di mana mereka diinkarnasikan sejauh mungkin. 

            Hal itu dijelaskan kepada kita pada kebangkitan Yesus. Pada Minggu Paskah, Maria dari Magdala pergi ke makam Yesus, hendak mengurapi jasad-Nya dengan rempah-rempah. Tapi ia menemukan makam itu kosong dan seorang malaikat berkata kepadanya: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Luk 24:5). Apakah dia sok tahu? Tidak. Sesungguhnya malaikat itu memberitahu Maria dari Magdala bahwa makam bukanlah tempat yang sesungguhnya untuk bertemu dengan orang yang telah meninggal dunia namun kini hidup dengan cara baru. Kita tidak menemukan orang yang kita kasihi dalam kubur mereka, walaupun mengunjungi makam itu suatu perbuatan baik. Malaikat yang tidak tampak ada di sana, di kubur dia yang kita kasihi, dan mengirim kita kembali pada hidup untuk mencari kekasih kita itu di sana. Di mana kita menemukan mereka?  Kita akan menemukan dia yang tak dapat lagi kita sentuh itu dengan menempatkan diri kita dalam situasi di mana jiwa-jiwa mereka pernah terkembang dulu. Mereka yang kita kasihi itu hidup di mana mereka selalu hidup dan di sanalah kita menemukan mereka. Apa artinya? Secara sederhana, kita menemukan mereka yang telah meninggal itu dengan memasuki kehidupan, dalam arti kasih dan iman, yang paling khas bagi mereka. Kita melakukan kontak dengan mereka dan menghubungkan diri kita sendiri dengan mereka, ketka dalam hidup kita kita memberi bentuk pada kekayaan hidup dan kasih sayang  yang tidak terbatas dengan cara yang dulu mereka lakukan, ketika kita mencurahkan hidup kita pada kehidupan yang mereka jalani dulu.

            Ayah saya sendiri sudah meninggal lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Kadang-kadang saya mengunjungi makamnya. Dan itu pengalaman yang baik. Saya merasa mendapatkan suatu dasar di sana, sesuatu yang mengakar dalam-dalam, yang membantu saya memusatkan perhatian. Namun itu sesungguhnya bukan kontak yang nyata dengan mereka. Tetapi saya menemukan ayah di antara orang-orang hidup. Ayah dulu seorang juru penerang (istilah untuk karayawan Departemen Penerangan). Ia memberi banyak penerangan di desa-desa tentang program pemerintah dan dunia pertanian. Saya bertemu dengan ayah jika dalam hidup saya sendiri saya menghayati apa yang paling khas sehubungan dengan kasih, iman dan keutamaan yang dulu ia lakukan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Jadi misalnya, ibu saya almarhum adalah wanita yang sungguh tidak mementingkan diri sendiri, murah hati terhadap kesalahan siapa pun, dan selalu mau memberi. Jika saya murah hati dan memberikan diri saya seperti yang dilakukan ibu, saya berjumpa dengan ibu saya. Ia hadir dan hidup dalam sikap dan tindakan saya itu. Pada saat-saat seperti itu, saya mengalami dia sama sekali bukan sebagai orang mati. Begitu juga dengan ayah dan ibu saya. Kualitas yang paling hebat dari ayah adalah integritas moralnya, suatu ketegaran iman yang unik, suatu pemahaman yang tanpa kompromi, di mana tak ada tempat sekecil apa pun disediakan untuk melakukan kompromi moral. Pada saat-saat saya dapat menjadi anaknya dalam hal-hal seperti itu, yaitu ketika saya dapat mengatasi godaan kecil dan besar dalam hidup saya, ayah saya hadir, hidup, terhubung dengan saya dalam suatu komunitas hidup dengan saya.

            Jika yang terjadi sebaliknya, nah, itu agak susah. Ketika saya mementingkan diri sendiri dan tidak mau berkorban, ibu saya terasa tidak ada, jauh; sangat terasa bagi saya bahwa dia sungguh mati. Begitu juga dengan ayah: Ia sungguh tak ada jika saya tidak bicara atau menulis memberi sesuatu pencerahan. Bila saya melakukan kompromi moral, walaupun dalam masalah yang kecil, ayah saya tidak hidup bagi saya. Ia surut menjauh seperti gelombang balik. Tidaklah ada gunanya saya mengunjungi makam mereka di saat-saat ketika dalam kehidupan yang nyata ini, saya hidup di antara orang-orang mati. Jika saya berseru kepada mereka dalam doa di saat-saat seperti itu, satu-satunya jawaban yang saya peroleh dari malaikat kebangkitan dengan lembut adalah sama seperti yang dikatakan kepada Maria dari Magdala itu, mengapa kamu mencari dia yang hidup di antara orang-orang mati?

            Setiap orang yang baik memberi bentuk pada kasih sayang dan hidup Tuhan dengan caranya yang unik. Ketika orang itu mati, kita harus mencari dia di antara orang-orang hidup. Dengan demikian, jika kita menginginkan kehadiran dia yang kita kasihi, kita harus mencari dia dalam caranya yang paling khas bagaimana ia mengasihi, beriman, dan melakukan keutamaan. Jika ibu anda ramah, anda bertemu dengan dia ketika anda ramah pada orang lain; jika sahabat anda sangat gigih memerjuangkan keadilan, anda bertemu dengan dia ketika anda terjun memerjuangkan keadilan; jika bibi anda sangat bersemangat dalam memersiapkan makan bagi keluarga dan suka bercanda riang, anda kan menemui dia ketika makan bersama keluarga anda dan bercanda tawa di rumah anda.

            Begitulah caranya orang Kristiani menemukan orang yang dikasihinya yang telah meninggal. Orang bertuhan mengunjungi makam (orang Kristiani juga mengunjungi makam karena mereka juga orang bertuhan), namun karena Inkarnasi, karena kita semua adalah bagian dari sabda yang menjadi daging, sebagai orang Kristiani, kita mencari kekasih kita yang telah meninggal di luar makam, di antara orang-orang hidup – di meja makan kita, dalam pub, di tempat kerja, dalam membuat keputusan besar atau pun kecil dalam hidup sehari-hari.

 

Inti Spiritualitas seorang Kristiani

Dalam pendahuluan bukunya tentang Yesus, John Shea menyampaikan komentar ini:

      Ketika suku kata terakhir dari uraian tentang Yesus telah diucapkan, seorang pria botak, kecil yang sedari tadi diam saja, berkata, “Tunggu dulu, aku....” Sesudah dua ribu tahun orang masih berziarah pada Yesus. Mereka membawa ego mereka yang melembung dan codet tahun lalu, harapan yang liar dan beberapa ketakutan yang tak berdasar, kegembiraan yang palsu dan hati yang ragu dan memohon agar Yesus merapikannya. Kita hanya sedikit demi sedikit menyadari kaitan dari janji Yesus, “Aku akan menyertai kamu hingga sampai di akhir zaman.” Ini bukan hanya berarti bahwa Dia tidak akan pergi jauh, tetapi juga bahwa kita tidak dapat menolak Dia. Ia terus menggulirkan hingga terbuka batu penutup kubur di mana kita memakamkan Dia.[iii]

 

Ketika kita berusaha keras menyalurkan eros semangat dan hasrat kita, kita dapatkan disiplin spiritual yang memberikan hidup pada kita, kita perlu membawa ego kita, bilur-bilur kita, harapan kita, kecemasan kita, kegembiraan dan keraguan kita pada Yesus agar ditata oleh-Nya. Namun spiritualitas Kristiani adalah lebih dari itu. Energi yang kuat dari Allah begitu besar menyala dalam diri kita akan membawa kita pada kedewasaan, kreativitas dan ketenangan, jika kita membentuk hidup kita dan tubuh kita sesuai dengan cara Yesus membentuk hidup dan tubuh-Nya, ketika kita membantu Dia melaksanakan Inkarnasi maju lebih jauh lagi. Spiritualitas seperti itu bukanlah suatu hukum, melainkan suatu kehadiran untuk dirangkul, dilaksanakan dan diwujudkan.

 

 Baca juga: SPIRITUALITAS INKARNASI



[i] Nikos Kazantzakis, The Last Temptation of Christ, Simon & Schuster, 1960.

 

[ii] Naskah ini diubah sedikit dari aslinya yang ditulis oleh Marie Livingston Roy, dalam Alive Now, 1975, hal 44.

 

[iii] John Sea, The Chalengge of Jesus, Chicago, Thomas More, 1976. hal 11.