Daftar Blog Saya

Jumat, 23 Desember 2022

KONSEKUENSI INKARNASI (1)

 



 

 Memahami doa

Wartakanlah Sabda Tuhan kemana saja kamu pergi, gunakan kata-kata, jika perlu

Fransiskus Asisi

 Dalam Injil Matius, Yesus mengajar bahwa doa kepada Allah tidak pernah gagal: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapat; ketUklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Kerana setiap orang yang meminta, menerima, dan setiap orang yang mencari, mendapat, dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu akan dibukakan” (Mat 7: 7-8). Namun mengapa dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu? Berulang kali kita meminta namun tidak menerima, kita mencari namun tidak mendapat, dan kita mengetok namun tetap saja pintunya tertutup rapat bagi kita. Namun Yesus tampaknya tetap menjanjikan kebalikannya. Mengapa Tuhan tidak selalu menjawab doa-doa kita?

            Kita punya banyak jawaban untuk itu. Mungkin karena iman kita tidak cukup. Mungkin karena kita memohon hal yang salah, sesuatu yang tidak baik bagi kita. Mungkin Tuhan sudah mengabulkan apa yang kita mohon, tetapi dengan cara yang berbeda. Tuhan adalah Bapa yang penuh kasih, yang mengetahui apa yang baik bagi kita (bdk Mat 7:11) – dan orang tua macam apa yang memberikan pisau kepada anaknya untuk bermain-main? Suatu ketika di kemudian hari kita akan memahami kebijaksanaan Allah yang sangat dalam, mengapa Ia tidak menjawab doa tertentu. Ada kebijaksanaan dan kebenaran di dalam semua alasan di atas, namun tidak satu pun dari alasan-alasan itu merupakan alasan yang sesungguhnya, dan dalam Injil Matius pun dikatakan mengapa doa permohonan sering tidak dijawab. Di antara para penulis Injil, Matius adalah satu-satunya yang mengaitkan doa permohonan dengan tindakan nyata di dalam komunitas Kristiani. Dia adalah seorang teolog Kristiani, bukan sekedar seorang yang percaya kepada Tuhan. Dengan demikian baginya doa permohonan mempunyai kekuatan sejauh terkait dengan tindakan yang nyata di dalam suatu komunitas iman dan kasih – dan sebaliknya. Sebagai orang Kristiani kita berdoa kepada Allah “dengan perantaraan Kristus” dan, di dalam berusaha menjawab doa itu, Allah menghormati Inkarnasi, yaitu bahwa kuasa Allah kini sebagian bergantung kepada tindakan manusia.[i] 

            Sebagai orang Kristiani, kita punya seperangkat kata rumusan, untuk mengakhiri doa-doa kita, yaitu: “Doa permohonan ini kami sampaikan dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami.” Rumusan kata-kata ini lebih dari sekedar formalitas, suatu tanda ritual bagi Allah bahwa doa kita sudah selesai. Jika kita berdoa “dengan perantaraan Kristus” kita berdoa melalui Tubuh Kristus yang maknanya meliputi Yesus, Ekaristi dan persekutuan kaum beriman (yaitu kita sendiri) yang ada di dunia. Kita berdoa melalui semuanya ini. Maka bukan hanya Allah di surga yang menjadi alamat doa permohonan kita dan diharapkan untuk bertindak. Kita sendiri juga mendapat bagian untuk bertanggungjawab mengabulkan doa itu, sebagai bagian dari Tubuh Kristus. Maka berdoa sebagai orang Kristiani menuntut suatu keterlibatan konkret untuk berusaha mewujudkan apa yang kita mintakan dalam doa itu. Berikut suatu contoh:[ii]

            Seorang suster biarawati tua mengunjungi pembimbing rohaninya. Ia berbagi cerita tentang seorang suster muda yang baru saja keluar dari tarekat. Suster senior itu sangat menyukai suster muda itu dan menghargai keceriaan dan kekuatan yang dibawa suster muda itu ke dalam komunitas. Tetapi setahun kemudian ia memerhatikan suster muda itu jelas tertekan hatinya, bergumul dengan persoalan apakah dia akan terus tinggal bersama atau pergi meninggalkan komunitas, dan apakah komunitas benar-benar membutuhkan dirinya. Maka suster senior itu berdoa bagi suster yang muda, mendoakan agar suster muda itu tetap tinggal dalam komunitasnya, berdoa agar suster muda itu dapat mewujudkan keinginan dan apa yang bernilai baginya, berdoa agar Tuhan memberi kekuatan kepada suster muda itu sehingga dapat mengatasi keragu-raguannya. Namun suster tua itu tidak pernah meluangkan waktu untuk menemui suster yang muda itu dan bicara dengannya. Sebagai seorang senior dia tidak pernah memberi-tahu yuniornya itu betapa ia menghargai bakat yang dibawa suster muda itu kepada komunitasnya. Sekarang ia sedih karena gadis muda itu keluar meninggalkan tarekat.

            Pokok ceritanya jelas. Suster senior itu berdoa sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi dia tidak berdoa sebagai orang Kristiani. Ia tidak pernah memberi kulit pada doa-doanya. Dia tidak pernah secara konkret melibatkan diri di dalam upaya mewujudkan apa yang dimohonkannya kepada Tuhan agar dilakukan. Bagaimana mungkin Tuhan memberi tahu kepada suster yunior itu bahwa kehadirannya di dalam komunitas itu dihargai, jika komunitas itu sendiri tidak pernah menyatakan penghargaannya? Ketika kita berdoa “dengan pengantaraan Kristus”, doa itu lebih dari sekedar memohon campur tangan Allah di surga agar melakukan karya pemeliharaan ilahi saja. Namun di dalam doa itu pun terkandung keharusan diri kita sendiri untuk ikut terlibat di dalam upaya mewujudkan apa yang kita mintakan itu, dan bukan sekedar memohon belaka.

            Maka, jika ibu saya sakit dan saya berdoa memohon agar dia cepat sembuh tetapi saya tidak membawa dia berobat, saya berdoa sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi bukan sebagai orang Kristiani. Saya tidak memberikan daging inkarnasi, kulit, pada doa saya itu. Maka adalah lebih sulit bagi Tuhan untuk menjawab doa semacam itu. Jika saya melihat seorang rekan atau teman yang tampak tertekan hatinya dan berdoa baginya tetapi tidak bicara dan mendengarkan dia, maka doa saya lebih merupakan doa orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi bukan doa orang Kristiani. Bagaimana Tuhan akan memberikan penghiburan kepada teman itu? Mengirimkan e-mail dari surga? Suara dan perhatian sayalah yang dipanggil untuk itu, karena saya anggota dari Tubuh Kristus, dan saya berdoa tepatnya melalui Tubuh Kristus, dan saya berada dalam Tubuh Kristus itu, dan tersedia untuk bicara dengan dia. Jika saya berdoa untuk seorang teman dekat hari ini, tetapi tidak mengirimkan sesuatu yang menyatakan pada teman itu bahwa saya memikirkannya, bagaimana mungkin doa saya itu menyentuh dia? Jika saya berdoa untuk perdamaian dunia, namun dalam diri saya sendiri saya tidak mengampuni mereka yang menyakiti hati saya, bagaimana Tuhan memberikan damai-Nya atas planet kita ini? Doa kita memerlukan daging sebagai penunjangnya.

            Di dalam film Ingmar Bergman, The Serpent’s Egg, ada suatu adegan yang melukiskan hal ini dengan sangat kuat. Ceritanya begini: Seorang imam baru saja mengakhiri persembahan Misa dan berada dalam sakristi dan melepaskan jubah upacara ketika seorang wanita masuk di sana. Wanita setengah baya yang punya kebutuhan besar, kesepian dalam perkawinannya, sangat menderita perasaan bersalah yang berlebihan secara keagamaan itu mulai terisak-isak menangis dan menyatakan dirinya tidak dikasihi Tuhan: “Saya merasa ditinggalkan sendirian, Pastor, tak seorang pun mengasihi saya! Tuhan begitu jauh rasanya! Saya tidak bisa membayangkan Tuhan mengasihi saya! Saya tidak bisa memikirkan hal semacam itu berdasarkan situasi saya sekarang! Segala sesuatu begitu gelap bagi saya!” Pada mulanya pastor itu agak marah ketimbang berbelas kasihan, tetapi pada saat itu ia berkata kepada wanita itu: “Berlututlah dan akan kuberikan berkat padamu. Tuhan terasa jauh. Beliau tidak dapat menyentuhmu sekarang, aku tahu itu, tetapi aku akan kutumpangkan tanganku di atas kepalamu dan kusentuh kamu – supaya kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian, dan bahwa kamu dikasihi, dan bahwa kamu tidak berada dalam kegelapan. Tuhan ada di sini, dan Tuhan sungguh mengasihi kamu. Ketika aku menyentuhmu, Tuhan pun menyentuh kamu.”[iii] Ini adalah gambaran seseorang yang berdoa secara Kristiani, seseorang yang memberikan daging inkarnasi, kulit, kepada doanya.

 

Rekonsiliasi dan pemulihan

Ketika Yesus melawat di bumi, orang disembuhkan dan didamaikan dengan Allah hanya dengan menyentuh Dia atau disentuh oleh-Nya. Motif dari sentuhan fisik ini terjadi di mana-mana dalam pekerjaan pelayanan Yesus. Banyak orang selalu berusaha menyentuh Dia dan Yesus sering menyembuhkan orang dengan menyentuh mereka.

            Salah satu contohnya di dalam Injil Markus kita dapatkan cerita ini (Mrk 5:25-34). Ada seorang wanita yang menderita karena pendarahan selama dua belas tahun. Ia sudah mengusahakan segala macam cara pengobatan dan mengunjungi setiap macam tabib, namun tidak sembuh juga. Akhirnya, ia berkata pada dirinya sendiri: ‘Jika aku menyentuh ujung jumbai jubah Yesus, aku pasti sembuh.’ Ia mengikuti Yesus dari belakang di tengah-tengah kerumunan banyak orang dan menyentuh jubah-Nya. Seketika itu juga pendarahannya berhenti, dan ia pun sembuh. Namun Yesus yang merasakan ada kuasa yang mengalir dari diri-Nya berpaling dan bertanya: ‘Siapa yang menyentuh Aku?’ Murid-murid-Nya menjawab: ‘Orang banyak berdesak-desakan di sekeliling Guru. Tentu saja banyak orang menyentuh Guru.’ Namun Yesus terus memandang berkeliling. Akhirnya, wanita yang ketakutan itu, yang merasa bahwa dirinya telah disembuhkan, maju ke depan, dan Kitab Suci mengisahkan, ia ‘dengan tulus memberitahukan segala sesuatu kepada-Nya.’ Yesus kemudian berkata kepadanya, ‘imanmu telah menyembuhkan kamu – pergilah dengan selamat.’

            Perhatikan bahwa di dalam cerita ini wanita itu disembuhkan semata-mata dengan menyentuh Yesus, bahkan sebelum ia bicara pada Yesus. Di sini ada dua momen penyembuhan: yang pertama, ketika terjadi sentuhan tanpa bicara, dan selanjutnya ketika terjadi pembicaraan eksplisit di antara dia dengan Yesus. Mengada dua momen? Apa yang ditambahkan oleh pembicaraan eksplisit itu pada momen dasar berupa sentuhan itu? Dengan membawa risiko berupa penafsiran atas kategori penyembuhan lainnya, seseorang mungkin berkata bahwa ketika wanita itu menyentuh ujung jumbai jubah Yesus, ia sebenarnya telah disembuhkan, dan ketika ia berbicara secara eksplisit dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya seluruh kebenaran, wanita itu lalu disembuhkan sepenuhnya.

            Teks ini merupakan teks yang mengandung suatu paradigma (struktur atau rumus sempurna dari sesuatu). Dibentangkan suatu pola di dalamnya. Kita lihat dalam hubungan dengan Inkarnasi, di dalam teks cerita itu bagaimana penyembuhan dan rekonsiliasi bekerja di dunia. Pendeknya, dalam pola penyembuhan dan rekonsiliasi, sama seperti wanita itu, kita akan mendapatkan kesembuhan dan kepenuhannya dengan menyentuh Tubuh Kristus, dan sebagai anggota Tubuh Kristus, kita dipanggil untuk menyampaikan kesembuhan dan kepenuhannya dari Allah dengan menyentuh orang lain juga. 

Apakah inti pokok dari sakramen rekonsiliasi atau pengampunan dosa? Bagaimana dosa-dosa kita membuat kita diampuni?

            Umat Katolik Roma dan umat Protestan sudah lama berdebat mengenai soal ini. Sementara umat Katolik Roma menekankan pentingnya pengakuan dosa baik mengenai jenis dosa yang bersangkutan maupun frekuensi terjadinya dosa, kepada seorang imam, kebanyakan umat Protestan menyatakan bahwa suatu penyesalan yang sungguh-sungguh di hadapan Tuhan saja sudah cukup memadai. Bahasan tentang itu saja bisa panjang lebar, namun cukuplan dikatakan bahwa keduanya menekankan hal yang sangat penting, dan keduanya secara sangat mendasar, menekankan kebenaran yang makin radikal dari Inkarnasi, yaitu pertama-tama sakramen pengampunan itu adalah menyentuh jumbai jubah Yesus, Tubuh Kristus. Dosa-dosa kita diampuni dalam cara yang sama dengan wanita yang di dalam Injil Markus itu sembuh dari pendarahannya setelah menyentuh Tubuh Kristus, yaitu Ekaristi dan persekutuan (komunitas) umat.

             Bayangkanlah gambaran berikut: Anda pada suatu malam duduk di tengah-tengah keluarga anda. Anda merasa marah, terlalu lelah, tetapi kurang dihargai. Sesuatu menyebabkan anda hilang sabar dan anda meledak marah. Anda berteriak kepada setiap orang, menyatakan bahwa mereka itu mementingkan diri sendiri, anda membanting cangkir kopi anda, lalu sebagai penutup anda pergi dan membanting pintu keras-keras. Lalu anda duduk di dalam kamar anda sendirian mengasingkan diri. Berangsur-angsur hati anda sembuh dan rasa sesal mengatasi rasa kasihan pada diri sendiri, namun harga diri yang terluka dan kekasaran yang telah terjadi mencegah anda masuk lagi ke ruang keluarga dan minta maaf. Akhirnya anda tertidur, membiarkan segala sesuatu tanpa rekonsiliasi. Pagi berikutnya, jelas menunjukkan penyesalan dan agak malu-malu, sekalipun masih membawa beban harga diri yang terluka, anda menggabungkan diri di meja makan keluarga. Semuanya duduk di sana dan sedang sarapan. Anda mengambil lagi cangkir kopi anda (yang ternyata tidak pecah ketika anda banting, telah dicuci dan digantungkan kembali ke tempatnya!), menuang kopi dan tanpa bilang apa-apa duduk di meja itu – penyesalan dan harga diri anda yang terluka bisa dilihat oleh setiap anggota keluarga anda dari setiap gerak-gerik anda. Dan mereka bukanlah bodoh, begitu pula anda. Mereka semua tahu apa maksud semuanya itu. Tanpa kata-kata, hal yang mendasar telah disampaikan. Anda sedang menyentuh jumbai jubah, anda sedang melakukan gerakan dasar menuju rekonsiliasi, tubuh anda dan tindakan anda mengatakan sesuatu yang lebih penting daripada kata-kata apapun: “Aku ingin menjadi bagian dari kalian semua.” Pada saat itu pendarahan pun berhenti (sekalipun hanya untuk saat itu).  Seandainya anda jatuh mati di tempat itu saat itu, anda mati dalam perdamaian dengan keluarga anda.

            Namun ini lebih dari sekadar analogi gambaran tentang caranya rekonsiliasi bekerja dalam Inkarnasi. Ini adalah kenyataan. Apa yang dilukiskan itu, sekalipun kasar, dalam bentuknya yang tanpa basa-basi, adalah sakramen rekonsiliasi, sakramen perdamaian. Dosa-dosa kita dimaafkan dengan berada di dalam persekutuan dengan satu sama lain, berada di meja bersama satu dengan yang lain. Pendek kata, kita tidak akan masuk neraka sejauh kita bersentuhan dengan komunitas persekutuan – menyentuhnya dengan tulus dan dengan rasa penyesalan akan apa yang telah terjadi. Agar jelas sekalipun caranya rada kasar, jika saya melakukan dosa serius pada Sabtu malam dan, bagaimana pun keadaan fisik saya pada Minggu paginya, jika saya masuk gereja dengan tulus dan menyesal di hati, dosa-dosa saya diampuni. Sebab saya telah menyentuh jubah Kristus.

            Santo Agustinus (yang Uskup Hippo, bapa gereja, 354-430) tentang Tubuh Kristus, di dalam beberapa homili yang disampaikannya di hari Minggu Paskah kepada orang dewasa yang baru dibaptis, menyatakan, bahwa ketika mereka berada di sekeliling altar sebagai suatu persekutuan, suatu komunitas, dan mendoakan Doa Tuhan (Bapa Kami), maka dosa-dosa yang telah mereka perbuat diampuni.[iv] Santo Agustinus benar. Sedemikian itulah daya kekuatan Inkarnasi. Demikian besarnya kekuatan dan tanggungjawab yang diberikan Allah kepada kita dalam Kristus. Sebagaimana dikatakan oleh Yesus sendiri: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu” (Yoh 14:12).

 Mengikat dan melepaskan

Apa yang kita lakukan jika mereka yang kita sayangi tidak lagi seiman dengan kita, tidak lagi menghargai nilai-nilai dan moral yang mendalam seperti kita?

            Misalkanlah, sebagai contoh yang paling umum, sebagai orangtua anda kehilangan anak-anak anda, dalam arti bahwa mereka tidak lagi melaksanakan iman yang sama dengan anda. Anak anda sendiri tidak lagi pergi ke gereja, tidak berdoa, tidak mematuhi hukum Gereja (terutama yang bersangkutan dengan seks dan perkawinan), dan menganggap praktek iman anda entah sebagai sesuatu yang naif, entah suatu kemunafikan belaka (pura-pura atau hipokret). Anda sudah bicara dengan mereka, berdebat dengan mereka, dan sudah mengusahakan segala cara untuk meyakinkan mereka, namun tidak berhasil. Pada akhirnya anda mengalami keadaan yang tidak membahagiakan dalam hidup anda sekarang. Anda melaksanakan iman, anak-anak anda tidak. Salah satu ikatan yang paling dalam di antara anda telah diputuskan. Lebih-lebih jika anda lalu mengkhawatirkan mereka yang tampaknya menghayati kehidupan tanpa Tuhan. Apa yang anda lakukan?

            Yang jelas anda dapat terus mendoakan mereka dan menghayati hidup anda sendiri sesuai dengan keyakinan anda, dengan harapan dapat lebih meyakinkan mereka dengan hidup anda ketimbang dengan kata-kata. Namun anda dapat berbuat lebih dari itu. Anda dapat terus menyayangi dan mengampuni mereka dan, sejauh mereka menerima kasih dan pengampunan dari anda, mereka juga tetap menerima kasih dan pengampunan dari Tuhan. Anda adalah bagian dari Tubuh Kristus dan mereka menyentuh anda. Di dalam misteri Inkarnasi yang luar biasa itu, anda melakukan perintah Yesus yang disampaikan-Nya lewat perkataan: “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat. 16:19). Dan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa itu tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23).[v]

            Jika anda seorang anggota Tubuh Kristus, ketika anda mengampuni seseorang, maka ia diampuni; jika anda tetap mengikat dia dalam kasih, ia tetap terikat dengan tubuh Kristus. Neraka hanya mungkin ketika seseorang menempatkan diri sama sekali terpisah jauh dari jangkauan kasih dan ampunan, kasih dan ampunan insani, ketika orang itu sama sekali tidak bisa dicintai dan menolak ampunan dengan secara aktif menolak hal-hal yang tidak terlalu eksplisit merupakan praktek dan ajaran yang bersifat keagamaan dan moral, seperti kasih kemanusiaan yang tulus. Secara lebih konkretnya: Jika seorang anak, atau saudara lelaki atau perempuan atau siapa pun yang anda kasihi memisahkan diri dari Gereja sehubungan dengan pelaksanaan iman dan moralitas, namun selama anda terus mengasihi orang itu dan mengikat dia dalam kebersamaan dan ampunan satu sama lain, dia menyentuh jumbai jubah dan terikat pada Tubuh Kristus, dan karenanya diampuni oleh Tuhan tanpa memandang hubungan resmi lahiriahnya pada Gereja dan moralitas Kristiani. Sentuhan anda adalah sentuhan Kristus. Jika anda mengasihi seseorang, kecuali jika dia secara aktif menolak kasih dan ampunan anda, dia tetap terikat pada keselamatan. Dan ini benar, sekalipun sudah melalui kematian. Jika seseorang yang dekat dengan anda meninggal di dalam situasi yang secara lahiriah terpisah dari Gereja yang kelihatan baik secara iman maupun moral, kasih dan ampunan anda terus mengikat orang itu kepada Tubuh Kristus dan terus mengalirkan pengampunan kepadanya, sekali pun sesudah kematian.

            Salah seorang apologet (yang membela iman dan memberi penjelasan tentang iman yang diyakini) yang terbesar dalam zaman kita, G.K. Chesterton (penulis dari Inggris yang sangat berpengaruh, 1876-1936), suatu ketika menulis parabel kecil tentang ini:

Seorang lelaki yang sama sekali tidak peduli pada hidup rohani mati dan pergi ke neraka. Dia sangat diratapi di bumi oleh teman-teman lamanya. Agen-agen bisnisnya pergi ke gerbang neraka untuk melihat-lihat apakah ada peluang untuk membawanya pulang. Namun, sekalipun sudah meminta-minta agar gerbang itu dibuka, gerbang besi itu tidak pernah membuka. Bahkan pastornya juga datang dan memberi pembelaan: ‘Dia pada dasarnya bukanlah orang jahat, berilah waktu dan dia akan menjadi lebih baik lagi. Biarlah dia keluar, tolonglah!’ Namun gerbang neraka itu tetap saja tertutup tak peduli pada suara-suara mereka. Akhirnya ibunya datang, ia tidak meminta anaknya untuk dibebaskan. Dengan tenang, dan dengan nada suara yang asing, ia berkata kepada iblis penjaga gerbang itu: “Biarkan aku masuk.” Dengan segera pintu besar itu terbuka. Karena kasih turun menembus pintu neraka dan di sana menebus mereka yang mati.[vi]

          

            Di dalam Inkarnasi, Allah mengambil rupa manusia dalam Yesus, dalam Ekaristi, dan dalam semua orang yang tulus beriman. Rahmat kemurahan yang berlimpah-limpah, kuasa dan kerahiman yang datang ke dunia dalam Yesus masih berada di dunia ini, sekurangnya secara potensial demikian. Dalam diri kita, Tubuh Kristus. Apa yang dulu dilakukan Yesus juga dapat kita lakukan sekarang; dan sesungguhnya, itulah yang diminta agar kita laksanakan.

 Pengurapan satu sama lain menghadapi kematian

Di dalam film, Dead Man Walking, terdapat suatu adegan yang sangat mengesan: Suster Helen Prejean, seorang biarawati Roma Katolik yang membantu Patrick Sonnier, seorang terpidana mati, menyiapkan diri untuk mendapatkan gilirannya dieksekusi. Ia berkata kepada si terpidana itu, agar ketika didudukkan di kursi eksekusi dan disuntik dengan zat yang mematikan, dan menunggu maut, terpidana itu harus memandang wajah sang suster, “dengan cara itu maka hal terakhir yang kamu lihat sebelum kematian adalah wajah seseorang yang mengasihi kamu.” Terpidana itu melakukannya dan ia mati dalam kasih, bukan dalam kepedihan.

            Di dalam Injil-injil ada suatu peristiwa di mana seorang wanita yang bernama Maria, sebenarnya melakukan hal seperti itu pada Yesus. Di Betania, beberapa hari menjelang kematian Yesus, Maria mengurapi kaki Yesus dengan munyak wangi yang mahal harganya dan Yesus berkata: “Ia membuat suatu persiapan untuk penguburan-Ku” (Mat 26:12; Mrk 14:8; dan dalam versi yang agak lain dalam Luk 7:38.47). Ada bermacam-macam makna dari pernyataan ini, namun antara lain, Yesus berkata: “Karena hal ini jadi makin mudah untuk tidak menyerah kalah kepada kepahitan, dan lebih mudah untuk mati. Karena tahu bahwa Aku begitu dicintai maka akan lebih mudah untuk meninggalkan dunia ini tanpa kemarahan di hati.” Inilah maknanya mendapat pengurapan.

            Kita mengenal suatu ritus yang kita sebut sakramen untuk orang sakit. Yaitu pengurapan minyak yang dimaksudkan untuk memenuhi seruan Kitab Suci:

 Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, jika dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. (Yak 5:14-16).

Tetua dalam gereja adalah seseorang yang dalam rahmat iman berkelimpahan dan dewasa, seperti Sr Helen Prejean, sehingga dapat berkata kepada orang lain: “Jika kamu pahit hati dan marah, lihatlah wajahku dan akan kamu lihat muka seseorang yang mengasihi kamu. Peganglah tanganku dan tolaklah kepahitan. Berilah maaf dan pergilah dalam damai.” Maka setiap orang dari kita yang mengunjungi orang sakit atau orang yang hendak meninggal, tanpa peduli betapa kurang mampunya kita menyusun kata-kata dan berbicara, hendaklah mengoleskan minyak, seperti seorang imam dalam sakreamen orang sakit. Sentuhan pada orang sakit atau mengucapkan kata-kata penghiburan atau kasih sayang pada seseorang yang hendak meninggal, dengan caranya sendiri, adalah melakukan apa yang dilaksanakan oleh wanita di Betania itu untuk Yesus (dan seperti apa yang dilakukan suster Helen Prejean bagi Patrick Sonnier). Suatu pengurapan untuk mempersiapkan kematian. Inkarnasi memberikan kepada kita daya kuasa yang luar biasa ini.

Beberapa catatan penutup menanggapi beberapa keberatan

Sekalipun benar, sungguh sulit dipercaya!

Beberapa karangan pendek tentang Inkarnasi mengungkapkan dasar-dasar yang sudah disampaikan secara garis besarnya di sini. Banyak orang yang berkeberatan atas dasar ini: “Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa kita dapat mengampuni dosa-dosa dan melakukan segala sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Kristus sendiri?” Dasar penolakan itu sungguh benar, kecuali untuk pandangan tentang Inkarnasi yang dinyatakan di sini, yang tak pernah menyatakan bahwa kita sendiri  mampu mengampuni dosa, mengikat dan melepas, menyembuhkan satu sama lain, atau bahwa kita saling mengurapi. Adalah Kristus yang bekerja melalui kita melaksanakan semua ini. Kuasa itu adalah kuasa Tuhan, bukan kuasa kita, namun di dalam Inkarnasi dengan cara yang luar biasa Tuhan telah berkenan memilih untuk melimpahkan kuasa itu mengalir melalui kita, sehingga daging kita mewujudkan kuasa-Nya itu.

            Namun juga ada keluhan yang menggelitik dan menyatakan: “Ini tentu tidak benar, sebab begitu bagusnya hingga sulit dipercaya kebenarannya!” Jawaban pada komentar itu hanyalah : Begitulah hebatnya Inkarnasi. Begitu hebat hingga kita sulit percaya, apakah sesungguhnya begitu. Tepat karena hakekatnya yang baik luar biasa dan tak terbayangkan itulah maka kita menyanyikan dengan gembira lagu-lagu Natal kita: “Joy to the world, the Lord has come!” (Sukacita bagi dunia, Tuhan telah datang!). Dengan kelahiran Yesus, sesuatu yang mendasar telah berubah. Tuhan telah memberi kita kuasa harafiah untuk saling menjauhkan satu sama lain dari neraka.

 Lalu di mana tempatnya sakramen pengakuan Katolik?

Jika dosa-dosa kita mendapat pengampunan hanya dengan menyentuh persekutuan (komunitas) dan dengan menghadiri Ekaristi, lalu apa ada perlunya atau adakah tempat bagi pengakuan dosa eksplisit di hadapan seorang pastor?  Di mana tempatnya pengakuan yang eksplisit dari pribadi ke pribadi?

            Bagaimana pun inilah yang sekurang-kurangnya dapat disampaikan dalam konteks pembicaraan kita. Yang baru saja kita bicarakan mengenai pengampunan dosa dengan menyentuh Tubuh Kristus sama sekali tidak mengecilkan pentingnya pengakuan eksplisit. Jika dipahami dengan benar, justru sebaliknya. Jika seseorang memahami dirinya sebagai bagian dari Tubuh Kristus dan yang bersentuhan dengan Tubuh Kristus, bisa timbul pemikiran individualis yang tepatnya mencobai kita, agar tidak mengaku dosa kepada pribadi lain, terutama kepada pejabat yang mewakili Gereja. Gagasan semacam itu justru runtuh dan kita sebenarnya malah spontan mulai merasakan kewajiban yang mendesak (jauh dari  hukum gereja yang mewajibkan) untuk mengaku dosa. Namun harapan dalam pengakuan eksplisit itu bukanlah apakah Tuhan mengampuni dosa kita atau tidak.

            Secara mendasar di semua tingkatan, pengakuan eksplisit kepada seorang imam bukanlah supaya dosa kita diampuni – itulah kebenaran yang secara utuh diajarkan dalam Kitab Suci, dalam tulisan para bapa gereja, di dalam teologi segala ragam, di dalam tradisi dogmatik (bahkan dalam Konsili Trente dan teologi dan katekismus pendukungnya sekalipun), dalam tradisi gereja, dan khususnya dalam praktek pelaksanaan iman[vii].  Dasar dari sakramen rekonsiliasi selalu kesungguhan dan penyesalan ketika sesorang menyambut Ekaristi dan menyentuh persekutuan (komunitas) Kristiani. Namun itu tidak menyatakan bahwa pengakuan adalah tidak penting dan perlu.

            Di dalam cerita tentang wanita yang menyentuh jumbai jubah Yesus ada dua saat penyembuhan, yaitu sentuhan dan pengakuan eksplisit. Pengakuan kepada seorang imam dan pengampunan semata-mata dengan menentuh persekutuan (komunitas) terkait dengan cara yang sama seperti pembicaraan eksplisit antara wanita itu dengan Yesus terkait dengan sentuhannya pada jumbai jubah Yesus. Percakapan dari pribadi-ke-pribadi itu melengkapkan sesuatu yang sangat penting dan merupakan bagian dari gerakan oraganik menuju rekonsiliasi yang sepenuhnya, damai dan sikap yang dewasa. Pengakuan eksplisit dalam kaitan dengan sakramen rekonsiliasi adalah merupakan permohonan maaf secara eksplisit demi kesembuhan. Tindakan memang bicara lebih kuat ketimbang kata-kata, dan bagian dasar dari rekonsiliasi terjadi melalui suatu tindakan. Namun kata-kata pada titik tertentu juga menjadi sangat penting. Orang yang dewasa meminta maaf secara eksplisit dan kita menjadi dewasa dengan meminta maaf. Selain itu, sebagaimana akan dikatakan oleh mereka yang pernah diperlakukan secara keliru oleh orang lain, pengakuan eksplisit, yakni pengakuan kesalahan secara tulus adalah diharapkan, sebab tanpa itu masih dirasakan sesuatu yang tidak lengkap. Maka demikian pula, seseorang yang akrab dengan penyembuhan orang yang kecanduan, yang memahami cara bekerjanya program dua belas langkah, niscaya dapat menyatakan kepada anda, bahwa barulah jika seseorang menghadapi dosa-dosanya dengan jujur dan mengatakannya dengan berhadapan muka pada seseorang yang lain, terjadi penyembuhan yang sejati dan diperoleh kedamaian. Jika seseorang percaya bahwa dirinya pada dasarnya telah didamaikan dengan menyentuh persekutuan (komunitas) iman hal ini tidaklah mengurangi perlunya pengakuan secara pribadi. Dari situlah berawal suatu proses yang dalam kaitan dengan kedewasaan membuat orang memahami, seperti yang dialami wanita yang menyentuh jumbai jubah Yesus itu, bahwa kini sungguh penting sekali untuk melaksanakan perjumpaan dan pembicaraan secara sangat pribadi, bersemuka, dan tulus.

Memahami Bimbingan

Apakah perbedaan cara bagaimana kita mencari bimbingan dari Allah, bergantung dari situasi kita apakah kita orang Kristiani atau bukan, atau semata-mata orang yang percaya kepada Tuhan? Di dalam hal ini pertobatan Santo Paulus menjadi Kristiani sangat banyak memberi petunjuk, sebagaimana Inkarnasi pada umumnya. Pertobatan Santo Paulus ini diceritakan dalam Kitab Kisah Para Rasul (Kis 9:1-19).

            Paulus (sebelumnya bernama Saulus) adalah seorang yang percaya kepada Allah, tulus dan saleh. Begitu matangnya dia di dalam imannya maka ia memburu dan menganiaya umat Kristiani, karena yakin bahwa mereka itu tersesat dari jalan iman yang (baginya) benar. Namun pada suatu hari, ketika ia melakukan perjalanan (dari Yerusalem) ke Damaskus untuk menangkap dan memenjarakan kaum Kristiani ia jatuh dari kudanya karena tertimpa cahaya yang menyilaukan dan mendengar suatu suara berkata: “Saulus, Saulus, mengapa kamu menganiaya Aku?” Paulus tidak pernah bertemu dengan Yesus, tetapi ia dituduh menganiaya Kristus, maka karena ingin tahu ia bertanya: “Siapa Tuhan?” Ia mendapat jawaban : “Akulah Yesus yang kamu aniaya.” Perhatikan bahwa Yesus sejarah adalah dinyatakan identik dengan tubuh umat beriman sebagai suatu kesatuan.

            Dan Paulus disentuh hatinya dan di sana, di tempat itu juga, ia memberikan hidupnya kepada Kristus, namun dengan segera ia menerima pelajaran pertamanya sebagai implikasi dari sentuhan itu. Ia bukannya menerima petunjuk yang jelas dari surga harus pergi ke mana dan melakukan apa, namun ia diperintahkan agar membiarkan dirinya dituntun dan dibimbing masuk ke dalam kota Damaskus di mana komunitas Kristiani akan memberitahukan kepadanya apa yang harus dilakukan. Sebagai seorang Kristiani Paulus harus menerima bimbingan bukan hanya dari Tuhan yang di atas sana, tetapi juga dari komunitas iman di bumi.

            Sebagai orang Kristiani kita mencari bimbingan “dengan pengantaraan Kristus”. Namun karena Kristus merujuk baik kepada Yesus yang historis yang sudah diangkat ke surga, maupun bebadan kaum beriman yang konkret dan historis di sini di dunia, maka bila kita mencari bimbingan dalam arti berbagai pertimbangan dan keputusan kita memandang bukan hanya Tuhan di surga, namun juga yang ditunjukkan kepada kita sebagai Tubuh Kristus, yakni keluarga, teman-teman, gereja dan komunitas kristiani.

            Seorang pembimbing rohani bagi para seminaris menyampaikan pengalamannya. "Sangat sering seorang pria muda datang pada saya, sedang bergumul dengan keputusan apakah hendak menerima tahbisan atau meninggalkan seminari. Pada umumnya di dalam usaha mempertimbangkan hal ini ia menyandarkan diri nyaris secara eksklusif pada suatu perasaan hati yang dialaminya berdasarkan doa dan renungan pribadi. Jarang sekali ia bersedia dengan bobot pertimbangan yang setara, meminta pendapat komunitas seminari dan mereka yang telah menyertainya di dalam berbagai situasi kebersamaan. Pendek kata, ia melakukan pertimbangan sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan – “Apa yang Tuhan di surga kehendaki agar saya lakukan?” – dan tidak melakukan apa yang diperintahkan kepada Paulus agar dilakukan, yaitu membiarkan dirinya dituntun oleh sesama dan mendengarkan perkataan mereka mengenai persoalannya.

            Yohanes dari Salib (Pujangga gereja dan mistikus, 1542-1591) suatu ketika pernah berkata bahwa bahasa Tuhan adalah pengalaman yang dituliskan Tuhan dalam hidup kita.[viii] Ini merupakan komentar Inkarnasi yang bagus. Tuhan tidak bicara kepada kita melalui mimpi-mimpi dan penglihatan dan yang paling penting ialah bahwa apa yang hendak Tuhan katakan tidak disampaikan secara luar biasa dalam visi mistikus. Tuhan Inkarnasi mempunyai tubuh nyata di bumi dan bicara kepada kita dalam tetek-bengek hidup keseharian, melalui semua yang punya kulit --  situasi historis, keluarga kita, tetangga kita, gereja kita, dan bahkan teman-teman yang mungkin berada di ambang setengah gila yang dengan caranya mengingatkan bahwa kita ini bukanlah Tuhan. Jika kita mencari bimbingan Tuhan maka niscayalah suara-suara dari dunia ini melengkapi suara dari surga.

Memahami Komunitas

Fakta bahwa Allah menjadi manusia dengan daging dan darah mempunyai konsekuensi yang agak berat sehubungan dengan spiritualitas dan komunitas. Spiritualitas, setidaknya spiritualitas Kristiani, bukan merupakan sesuatu yang anda lakukan sendiri. Komunitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bagian inti Kristianitas, dan maka dari itu juga dari spiritualitasnya. Allah memanggil kita menempuh pemuridan, bukan sendirian, melainkan dalam kelompok. 

            Di dalam setiap Injil ada pola tertentu : khotbah Yesus pada awalnya menyebabkan Dia jadi sangat populer. Orang berkumpul untuk mendengarkan Dia, menjadikan Dia idola dan ingin menjadikan-Nya seorang raja. Namun akhirnya sesuatu terjadi, suatu pemahaman lain akan pesan-pesan-Nya mulai meresap, lalu popularitasnya turun dan kian memburuk sampai titik di mana orang malahan mau dan sungguh-sungguh membunuh Dia. Injil Yohanes memberikan alasan yang sangat jelas mengapa pada titik tertentu itu kerumunan orang buyar ilusinya dan marah pada Yesus. Di mana titik puncaknya, seperti yang dilukiskan Yohanes? (Yoh 6:41-71).

            Di dalam Injil Yohanes, Yesus mencapai titik puncak popularitas-Nya segera sesudah Ia menggandakan roti dan ikan. Pada titik itu, ia harus memisahkan diri dari kerumunan orang karena mereka mau menjadikan diri-Nya seorang raja. Namun segera setelah itu ia mulai memberi penjelasan lebih dalam apa maksudnya roti hidup itu, dan ini membuat-Nya mengalami kesulitan. Ia berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (Yoh 6:53). Dan reaksi mereka mengejutkan. Sesudah itu mereka pergi meninggalkan Dia dan berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh 6:60).

            Apakah yang dikatakan Yesus sedemikian keras dan tajam, sehingga orang-orang yang tadinya hendak menjadikan diri-Nya raja berbalik menjadi orang yang mau membunuh Dia? Bagaimana seseorang yang sangat populer tiba-tiba menjadi persona non grata (orang yang tidak berharga) hanya karena suatu homili? Jawabannya adalah karena ajaran Yesus, yaitu bahwa, “jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Apa maksudnya?

            Debat yang sengit terjadi karena kalimat ini. Sebagian komentator menyatakan bahwa kalimat ini begitu mengecewakan pendengar Yesus karena berkaitan dengan kanibalisme (manusia makan manusia). Siapapun akan kecewa atas ajaran agar memakan daging manusia. Yang lain menerjemahkan Ekaristi di dalam kalimat ini dan menyatakan bahwa orang-orang kecewa karena Yesus memberikan implikasi bahwa Dia secara fisik, daging dan darah, hadir dalam Ekaristi dan menerima Dia berarti secara harafiah makan daging-Nya.

            Pada akhirnya kedua penafsiran itu meleset. Mereka benar hanya dalam arti bahwa masalah Tubuh fisik Kristus bagaimana pun menjadi suatu persoalan di sini. Namun, baik soal kanibalisme maupun penerimaan wafer yang dikonsekrasikan sama-sama tidak dimaksudkan di sini. Apa yang membedakan gandum dari ilalang bukanlah kemampuan atau ketidakmampuan orang menyusuri lorong gereja untuk menerima komuni suci. Tantangan Yesus di sini jelas lebih besar lagi. 

            Kunci pemahaman atas tuntutan Yesus di sini terletak pada kata yang digunakan-Nya. Yesus menggunakan kata Yunani sarx untuk menyebut tubuh-Nya. Suatu pilihan kata yang mengherankan. Perjanjian Baru di dalam teks aslinya yang bahasa Yunani menggunakan dua kata untuk tubuh, yaitu keseluruhan diri manusia – sarx dan soma. Kata soma digunakan untuk menyebut orang sejauh dia itu baik atau netral. Kata sarx di pihak lain selalu merujuk orang sejauh dia itu dalam situasi tidak menyenangkan. Maka sebagai misal saya adalah sarx sejauh saya sakit, berbau, berdosa dan mati, namun saya adalah soma sejauh saya ini sehat, menarik, melakukan hal-hal yang mulia, dan bangkit dari mati.

            Dengan menggunakan latar belakang ini – fakta bahwa tubuh Kristus bukan hanya manusia historis Yesus dan kehadiran nyata dari Tuhan di dalam Ekaristi, tetapi juga tubuh kaum beriman yang konkret historis di dunia ini juga – kita lihat dengan lebih jelas apa maksud Yesus di sini, dan mengapa perkataan-Nya jadi sangat kuat dan akibatnya menceraikan. Dengan menggunakan kata sarx itu, Yesus memaksudkan tubuh-Nya yang tepatnya yang bukan tanpa dosa, yang dimuliakan di surga, tetapi juga bukan yang dimurnikan  sebagai wafer komuni yang putih di gereja. Yang disuruh “dimakan” adalah bagian dari tubuh-Nya yang lain, yaitu komunitas, persekutuan kaum beriman yang bernoda di sini di dunia.

            Pada intinya, Yesus mengatakan : Kamu tidak dapat berurusan dengan Allah di surga yang sempurna, maha-kasih, maha-pengampun dan maha-tahu, jika kamu tidak dapat mengurus komunitas di dunia yang kurang sempurna, kurang memaafkan dan kurang pengertian ini. Kamu tidak dapat berpura-pura berurusan dengan Tuhan yang tidak kelihatan jika kamu menolak berurusan dengan keluarga yang kelihatan. Mengajarkan kebenaran ini dapat dengan cepat menghancurkan popularitas seseorang. Orang-orang dengan demikian mendapatkan ajaran ini sebagai “perkataan yang sangat keras” dan menjumpai penolakan yang sama dewasa ini.

            Untuk lebih mengonkretkan hal ini, marilah kita bayangkan suatu contoh: Anda bergabung dengan suatu komunitas paroki baru. Mula-mula, ketika berjumpa dengan orang-orang ini pertama kalinya, anda mendapatkan mereka itu baik-baik dan anda suka pada mereka. Anda begitu terkesan dalam fakta bahwa anda ikut terlibat baik dalam dewan paroki maupun dalam paduan suara. Namun pada akhirnya ketika anda mengenal setiap orang lebih mendalam, ilusi anda buyar. Anda tahu bahwa pastor anda punya beberapa kelemahan dan kesalahan yang nyata, bahwa visi dewan paroki anda remeh dan sempit, bahwa komunitas itu sendiri sangat mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada kebutuhan pihak di luar dirinya. Lalu tibalah pada suatu malam ketika dalam rapat dewan seseorang menuduh anda terlalu sombong dan terlalu memaksakan kehendak. Semangat anda merosot drastis dan anda walk-out, keluar tidak lagi mengikuti rapat itu, kata anda pada diri sendiri: “Ini tak bisa diterima! Aku tak mau berurusan dengan hal seperti ini! Aku keluar dari sini!”

            Anda menjauhkan diri dari sarx, karena selalu seperti itulah kelihatannya tubuh Kristus yang konkret di dunia ini. Berkata, “aku tak mau berurusan dengan hal seperti ini” adalah bertentangan dengan ajaran Kristus sebab inilah tepatnya yang mau disampaikan-Nya ketika Ia berkata: “jikalau kamu tidak makan daging-Ku kamu tidak punya hidup dalam dirimu.” Yesus, sekurangnya di dalam Injil Yohanes, begitu jelas. Kita tidak dapat melompati, “by-passing”, keluarga yang punya cacat di dunia ini untuk berhubungan dengan Tuhan yang tanpa cacat di surga. Komunitas yang konkret merupakan elemen yang tidak bisa ditawar di dalam persoalan spiritual karena tepatnya kita ini orang Kristiani, bukan sekedar orang yang percaya kepada Tuhan. Tuhan bukan hanya berada di surga, tetapi juga ada di dunia.

            Ini mempunyai banyak konsekuensi yang jauh jangkauannya. Di antaranya lalu menggugurkan salah paham populer yang utama (suatu bidat yang bagaikan virus) yang begitu negatif pengaruhnya pada pemikiran populer dewasa ini. Salah paham ini punya bermacam-macam ungkapan yang berbeda, namun dapat diikhtisarkan dalam satu perkataan yang sederhana: “Aku orang Kristiani yang baik, seorang yang tulus mengabdi Tuhan, tetapi aku tidak membutuhkan gereja – aku dapat berdoa sama baiknya di rumah saja.” Itu memang benar tepatnya karena anda seorang yang beriman kepada Tuhan, tetapi tidak benar bagi orang Kristiani (juga bagi penganut Yudaisme juga). Sebagian dari esensi Kristianitas adalah bersekutu, berhimpun bersama di dalam suatu komunitas yang konkret, dengan segala cacat kesalahan yang manusiawi yang ada di sana, dan segala ketegangan dan keruwetan yang diakibatkannya. Bagi seorang Kristiani, spiritualitas tak pernah merupakan suatu usaha yang bersifat individualistis, mau mengejar Tuhan di luar keluarga, komunitas dan gereja. Tuhan yang ber-Inkarnasi menyatakan bahwa barang siapa yang berkata bahwa dia mencintai Tuhan yang tidak kelihatan di surga dan tidak mau berurusan dengan sesama yang kelihatan di dunia adalah seorang pembohong, sebab tak seorang pun dapat mengasihi Allah yang tidak dapat dilihat jika ia tidak mengasihi sesama yang kelihatan (1Yoh 4:20). Maka spiritualitas Kristiani selalu menyangkut baik hubungan antar orang  maupun hubungan dengan Tuhan. 

Baca juga: SPIRITUALITAS INKARNASI

 


Catatan dan Rujukan

 [i] Untuk suatu analisis yang sangat bagus dari soal ini, lihat Jerome Murphy O’Connor, “Prayer of Petition and Community” dalam buku What Is Religious Life? – Ask the Scripture, Supplement to Doctrine and Life, Vol 11, hal 31-40, Dublin, Dominican Publications.

 [ii] Idem hal 36.

 [iii] Ini bukan suatu kutipan langsung, melainkan gubahan.

 [iv] Ini disampaikan Santo Agustinus beberapa kali dalam homili-homili tentang Ekaristi, misalnya lihat Sermo 272, In die Pentecostes Postremus (b) – Ad Infantes, de Sacramento, Vol. 38.  Di sini, di dalam menjelaskan tatanan Ekaristi satu demi satu, ia berkata kepada baptisan baru: “Kemudian diucapkan doa Bapa Kami yang telah kamu terima dan hapalkan. Mengapa doa itu diucapkan sebelum penerimaan Tubuh dan Darah Tuhan? Karena mungkin kelemahan pikiran manusiawi kita membayangkan sesuatu yang bukan-bukan yang tidak akan menjadi kenyataan, mata kita melihat sesuatu yang tidak pantas, telinga kita mendengarkan secara berlebihan hal-hal yang tidak layak. Jika seandainya hal-hal seperti itu terus terjadi karena pencobaan dan kelemahan hidup insani, semua itu dibersihkan oleh doa Bapa Kami pada saat kita mengucapkan ‘ampunilah kesalahan kami’ sehingga kita pantas dan layak menerima sakramen.” (Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Latin oleh Johannes van Bavel, disampaikan di dalam kuliah, Universitas Louvain, 1981 ).

 

[v] Salah satu catatan lain diperlukan di sini: Adalah mudah untuk menerima fakta bahwa Tuhan dapat meratifikasi, mengesahkan, pengampunan kita satu sama lain, namun tidaklah mudah menerima bahwa Tuhan juga meratifikasi  dendam dan ketidaksediaan kita untuk mengampuni. Dapatkah kita menahan dosa orang seperti kita mengampuni dosa mereka? Jawabannya jelas, tidak. Logika rahmat hanya berjalan satu arah – rahmat hanya dapat melimpah dengan murah tetapi tidak dapat dalam hal ini sekaligus pelit dan semena-mena. Allah hanya meratifikasi apa yang kita lakukan sejauh kita bertindak seperti yang dilakukan oleh Yesus. Namun ini merupakan pembicaraan yang rumit dan seperti ladang yang mengandung banyak ranjau. Untuk pembahasan yang ebih penuh, silakan baca: “In exile”, Ronald Rolheiser, ‘Our Power to Bind and Loose’, dalam  Western Catholic Reporter, 13 Mei 1996; dan dalam Catholic Herald, 23 April 1996.

 [vi] Sedikit diubah redaksinya dari karya GK Chesterton, The Everlasting Man, New York, Image Books, 1955.

 [vii] Suatu catatan khas Katolik diperlukan di sini: Di sini banyak umat Katolik akan menolak, dengan menyatakan bahwa Konsili Trente menentukan secara dogmatik bahwa tidak ada pengampunan bagi dosa berat tanpa pengakuan secara pribadi kepada seorang imam. Sesungguhnya, tak seorang pun dapat menyatakan dalam nama Kristus bahwa dosa berat di dunia ini tidak diampuni Tuhan, selain jika orang yang berdosa itu mengakukannya kepada pejabat yang tertahbis. Namun pengakuan eksplisit tetap perlu karena inkarnasi Sang Sabda.

[viii] John of the Cross, “The Living Flame of Love”, komentar atas Stanza satu no.7. Lihat The Collected Works of John of the Cross, terjemahan K. Kavanaugh, Washington DC, ICS Publications, 1991 hal 643.

 


Kamis, 22 Desember 2022

PARA KARDINAL - KURIA ROMA DAN DUTA PAUS

 


KHK kan 349 - kan 367

Lihat Juga: PAUS DAN KOLEGIUM USKUP

PARA KARDINAL GEREJA ROMAWI KUDUS 

Kan. 349 - Para Kardinal Gereja Romawi Kudus membentuk Kolegium khusus yang berwenang menyelenggarakan pemilihan Paus menurut norma hukum khusus; selain itu para Kardinal membantu Paus, baik dengan bertindak secara kolegial, bila dipanggil berkumpul untuk membahas masalah-masalah yang sangat penting, maupun sendiri-sendiri yakni dengan aneka jabatan yang mereka emban, membantu Paus terutama dalam reksa harian seluruh Gereja. 

Kan. 350 - § 1. Kolegium Kardinal dibagi menjadi tiga tingkatan: episkopal, yang terdiri dari para Kardinal yang oleh Paus diberi gelar Gereja suburbikaris dan juga Batrik Gereja Timur yang diangkat ke dalam Kolegium Kardinal; presbiteral dan diakonal. § 2. Para Kardinal tingkat presbiteral dan diakonal masing-masing oleh Paus diberi gelar atau diakonia di Roma. § 3. Para Batrik Gereja Timur yang diangkat ke dalam Kolegium Kardinal mempunyai Takhta patriarkalnya masing-masing sebagai gelar. § 4. Kardinal Dekan mempunyai keuskupan Ostia sebagai gelar, bersama dengan gelar Gereja lain yang sudah dipunyainya. § 5. Melalui opsi yang dilakukan dalam Konsistori dan disetujui oleh Paus, dengan mengindahkan urutan tahbisan dan pengangkatan, dapatlah para Kardinal dari tingkat presbiteral pindah ke gelar lain dan para Kardinal dari tingkat diakonal ke diakonia lain, dan bila sudah genap sepuluh tahun berada dalam tingkat diakonal, juga ke tingkat presbiteral. § 6. Kardinal dari tingkat diakonal yang pindah lewat opsi ke tingkat presbiteral, mendapat urutan mendahului semua Kardinal presbiteral, yang diangkat menjadi Kardinal sesudahnya. 

Kan. 351 - § 1. Yang diangkat menjadi Kardinal adalah para pria yang dipilih dengan bebas oleh Paus, sekurang-kurangnya sudah ditahbiskan imam, unggul dalam ajaran, moral, kesalehan dan juga kearifan bertindak; mereka yang belum Uskup, harus menerima tahbisan Uskup. § 2. Para Kardinal diangkat oleh Paus dengan suatu dekret, yang diumumkan di hadapan Kolegium Kardinal; sejak pengumuman itu mereka terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak yang ditetapkan hukum. § 3. Orang yang dipromosikan ke martabat Kardinal, yang pengangkatannya diumumkan oleh Paus tetapi namanya masih disimpan dalam hati (in pectore), sementara itu belum terkena kewajiban-kewajiban para Kardinal dan tidak mempunyai hak-hak mereka; tetapi setelah namanya diumumkan oleh Paus, ia terkena kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak itu, namun hak presedensi diperhitungkan sejak hari pengangkatan dalam hati tersebut. 

 Kan. 352 - § 1. Kolegium Kardinal dikepalai oleh Dekan, yang bila berhalangan diwakili oleh Subdekan; Dekan, atau Subdekan, tidak mempunyai kuasa kepemimpinan apapun atas para Kardinal lainnya, melainkan dianggap sebagai yang pertama di antara rekan-rekan sederajat (primus inter pares). § 2. Bila jabatan Dekan lowong, para Kardinal dengan gelar Gereja suburbikaris, dan hanya mereka, di bawah pimpinan Subdekan, bila ia hadir, atau seorang yang terdahulu diangkat menjadi Kardinal di antara mereka, hendaknya memilih seorang dari sidang itu untuk menjadi Dekan Kolegium Kardinal; namanya hendaknya disampaikan kepada Paus yang berwenang menyetujui orang yang terpilih itu. § 3. Dengan cara yang sama seperti yang disebut dalam § 2, di bawah pimpinan Dekan sendiri dipilih Subdekan; juga persetujuan atas pemilihan Subdekan termasuk wewenang Paus. § 4. Dekan dan Subdekan, jika tidak mempunyai domisili di Roma, hendaknya memperolehnya di situ. 

 Kan. 353 - § 1. Para Kardinal dengan kegiatan kolegial terutama merupakan bantuan bagi Gembala tertinggi Gereja dalam konsistori-konsistori, di mana atas perintah Paus dan di bawah pimpinannya mereka dihimpun; ada konsistori biasa dan luar biasa. § 2. Semua Kardinal, sekurang-kurangnya yang berada di Roma, dipanggil ke Konsistori biasa untuk konsultasi tentang perkara-perkara penting, tetapi yang lebih sering terjadi, atau untuk mengadakan beberapa kegiatan yang sangat meriah. § 3. Semua Kardinal dipanggil ke Konsistori luar biasa yang diselenggarakan apabila ada kebutuhan-kebutuhan khusus Gereja atau perkara-perkara yang lebih penting yang harus ditangani. § 4. Hanyalah Konsistori biasa, di mana diselenggarakan upacara-upacara meriah, dapat bersifat publik, yakni jika selain para Kardinal diperkenankan hadir Prelat-prelat, utusan-utusan masyarakat sipil atau undangan-undangan lain. 

Kan. 354 - Para Kardinal yang mengepalai Dikasteri-dikasteri atau Lembaga-lembaga tetap Kuria Roma dan Kota Vatikan, dan telah berusia genap tujuh puluh lima tahun, diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Paus yang setelah mempertimbangkan segala sesuatunya akan mengambil keputusan. 

Kan. 355 - § 1. Kardinal Dekan berwenang menahbiskan Paus terpilih menjadi Uskup, bila yang terpilih itu membutuhkan tahbisan; bila Dekan berhalangan, hak itu beralih kepada Subdekan, dan bila ia juga berhalangan, yang berwenang ialah Kardinal terlama dari tingkat episkopal. § 2. Kardinal Proto-diakon memaklumkan nama Paus yang baru terpilih kepada umat; demikian pula atas nama Paus ia mengenakan pallium pada para Uskup metropolit atau menyerahkannya kepada wakilnya. 

Kan. 356 - Para Kardinal terikat kewajiban untuk bekerjasama secara rajin dengan Paus; karena itu para Kardinal yang mengemban jabatan apapun dalam Kuria dan bukan Uskup diosesan, terikat kewajiban untuk tinggal di Roma; para Kardinal yang memimpin suatu keuskupan sebagai Uskup diosesan, hendaknya datang ke Roma setiap kali dipanggil oleh Paus. 

Kan. 357 - § 1. Para Kardinal yang telah dianugerahi Gereja suburbikaris atau suatu gereja di Roma sebagai gelar, setelah menerimanya secara resmi, hendaknya dengan nasihat serta perlindungannya memajukan kesejahteraan keuskupan-keuskupan dan Gereja-gereja itu, tetapi tanpa mempunyai kuasa kepemimpinan atasnya; dan dengan alasan apapun tidak boleh campur-tangan dalam hal-hal yang menyangkut pengurusan harta-benda, disiplin atau pelayanan Gereja-gereja. § 2. Para Kardinal yang berada di luar Roma dan di luar keuskupannya sendiri, dalam hal-hal yang mengenai pribadinya exempt dari kuasa kepemimpinan Uskup di keuskupan di mana mereka berada. 

Kan. 358 - Kardinal yang oleh Paus diserahi tugas untuk mewakilinya dalam suatu perayaan meriah atau pertemuan, sebagai legatus (Duta) a latere, yakni sebagai alter ego (akunya yang kedua), seperti juga halnya dengan orang yang diserahi suatu tugas pastoral untuk dipenuhi sebagai utusan khusus, hanya mempunyai wewenang yang diberikan Paus kepadanya. 

Kan. 359 - Bila Takhta Apostolik lowong, Kolegium Kardinal hanya mempunyai kuasa dalam Gereja yang diberikan kepadanya dalam undang-undang khusus. 



BAB IV 

KURIA ROMA 

Kan. 360 - Kuria Roma, yang biasanya membantu Paus dalam menyelenggarakan urusan-urusan Gereja seluruhnya dan yang atas namanya dan dengan kuasanya memenuhi tugas demi kesejahteraan dan pelayanan Gereja-gereja, terdiri dari Sekretariat Negara atau Kepausan, Dewan Urusan Umum Gereja, Kongregasi-kongregasi, Pengadilan-pengadilan, dan Lembaga-lembaga lainnya yang susunan serta kompetensinya dirumuskan dalam undang-undang khusus. 

Kan. 361 - Dengan nama Takhta Apostolik atau Takhta Suci dalam Kitab Hukum ini dimaksudkan bukan hanya Paus, melainkan juga Sekretariat Negara, Dewan Urusan Umum Gereja, Lembaga-lembaga lain Kuria Roma, kecuali dari hakikat perkara atau konteks pembicaraannya ternyata lain. 



 BAB V 

PARA DUTA PAUS 

Kan. 362 - Paus mempunyai hak asli (ius nativum) dan independen untuk mengangkat dan mengutus Duta-dutanya, baik ke Gereja-gereja partikular pada pelbagai bangsa atau di pelbagai kawasan, maupun sekaligus ke Negara-negara dan Otoritas-otoritas publik; demikian pula untuk memindahkan dan memanggil-kembali mereka, dengan tetap mengindahkan norma-norma hukum internasional yang menyangkut pengutusan dan pemanggilan-kembali para Duta pada Negara-negara. 

Kan. 363 - § 1. Kepada Duta-duta Paus dipercayakan tugas untuk secara tetap mewakili pribadi Paus sendiri pada Gereja-gereja partikular atau juga pada Negara-negara dan Otoritas-otoritas publik ke mana mereka diutus. § 2. Takhta Apostolik juga diwakili oleh mereka yang ditugaskan sebagai Delegatus atau Pengamat dalam Misi kepausan pada Dewan-dewan Internasional atau Konferensi-konferensi dan Pertemuanpertemuan. 

Kan. 364 - Tugas utama Duta kepausan ialah mengusahakan agar ikatan-ikatan kesatuan yang ada antara Takhta Apostolik dan Gereja-gereja partikular makin hari makin kuat dan makin berhasil. Maka Duta kepausan sesuai dengan lingkup kerja masing-masing bertugas: 1° mengirim kepada Takhta Apostolik berita tentang keadaan Gereja-gereja partikular dan tentang segala sesuatu yang menyangkut hidup Gereja sendiri dan kesejahteraan jiwa-jiwa; 2° membantu para Uskup dengan kegiatan dan nasihat, dengan tetap memperhatikan keutuhan pelaksanaan kuasa legitim mereka; 3° mendukung hubungan erat dengan Konferensi para Uskup, dengan memberinya bantuan dengan segala cara; 4° dalam hal pengangkatan Uskup, menyampaikan atau mengajukan nama-nama para calon kepada Takhta Apostolik, dan juga menyelenggarakan proses informatif mengenai para calon yang akan diangkat, menurut norma-norma yang diberikan oleh Takhta Apostolik; 5° berusaha agar dikembangkan hal-hal yang menyangkut perdamaian, kemajuan dan kerjasama para bangsa; 6° berusaha bersama para Uskup, agar dibina hubungan baik antara Gereja katolik dengan Gereja-gereja lain atau persekutuan-persekutuan gerejawi, bahkan juga dengan agama-agama bukan kristiani; 7° bekerjasama dengan para Uskup melindungi hal-hal yang termasuk misi Gereja dan Takhta Apostolik di hadapan pimpinan Negara; 8° selain itu menjalankan kewenangannya dan menyelesaikan tugas-tugas lain yang dipercayakan Takhta Apostolik kepadanya. 

 Kan. 365 - § 1. Duta kepausan yang sekaligus menjalankan perwakilan pada Negara menurut norma-norma hukum internasional, juga mempunyai tugas khusus untuk: 1° memajukan dan membina hubungan-hubungan antara Takhta Apostolik dan Otoritas-otoritas Negara; 2° membahas masalah-masalah yang menyangkut hubungan antara Gereja dan Negara; dan secara khusus mengurus pembuatan dan pelaksanaan konkordat-konkordat dan perjanjian-perjanjian semacam itu. § 2. Dalam menyelesaikan perkara-perkara yang disebut dalam § 1, sesuai dengan keadaan, Duta kepausan janganlah lalai mencari pendapat dan nasihat para Uskup dari wilayah gerejawi yang bersangkutan, dan memberi informasi tentang jalannya perundingan kepada mereka. 

 Kan. 366 - Mengingat sifat khusus tugas Duta, maka: 1° tempat Perwakilan kepausan exempt dari kuasa kepemimpinan Ordinaris wilayah, kecuali mengenai perayaan perkawinan; 2° Duta kepausan boleh, sedapat mungkin setelah memberitahu Ordinaris wilayah, mengadakan perayaan liturgis juga dengan pontifikalia, di semua gereja wilayah perwakilannya. 

Kan. 367 - Tugas Duta kepausan tidak berhenti bila Takhta Apostolik lowong, kecuali ditentukan lain dalam Surat kepausan; tetapi tugas itu berhenti bila mandat selesai, dengan pemanggilan-kembali yang diberitahukan kepadanya, dengan pengunduran diri yang diterima oleh Paus.


(Bersambung)

Lihat: GEREJA PARTIKULAR DAN USKUP

METAVERSE

Beberapa waktu yang lalu banyak orang bicara tentang Metaverse. Juga di lingkungan Gereja. Terutama ketika pandemi Covid19 memaksa orang WFH, kerja dari rumah, anak sekolah menggunakan Zoom atau Google Meet, dan Gereja melalukan ibadat on-line. Karena keharusan "jaga jarak" agar menghentikan penularan virus, lalu kehadiran fisik dan realitas fisik diubah menjadi kehadiran virtual dan realitas virtual demi berlangsungnya aktivtitas dan hidup. Dalam sektor kehidupan tertentu situasi itu semakin memajukan gagasan tentang Metaverse.



Secara umum orang menggambarkan Metaverse sebagai internet masa depan. Disebut masa depan karena keberadaan Meteverse sekarang masih embrio. Metaverse masih sedang berkembang membentuk diri mau jadi seperti apa. Pembentukan wujudnya masih mengandaikan kerjasama dari banyak pihak. Diperkirakan masih perlu antara 10-15 tahun untuk mengembangkan Metaverse mencapai bentuknya yang relatif matang.

Ketika di kalangan Gereja seseorang bertanya kepada saya apa Metaverse itu bagi Gereja, saya menjawab begini, Metaverse adalah dunia imajiner sensual canggih melalui internet yang "dapat" menghadirkan Gereja "dekarnasi" (maksud saya tanpa daging fisik) melawan realitas "inkarnasi" Tuhan dengan modal kacamata augmented virtual (AV) atau augmented reality (AR) dan sarung tangan haptic untuk ekstensi indera-indera asli kita, sebagai tempat pengungsian kita selama dunia nyata berada dalam ancaman. Jika saya dikejar, apa artinya "melawan realitas 'inkarnasi' Tuhan? Saya ingin menjawab dengan serial postingan renungan tentang Spiritualitas Inkarnasi, Allah yang menjadi manusia, sebagai inti pewartaan Natal, dalam blog ini.

BACA JUGA : SPIRITUALITAS INKARNASI

 Tidak perlu buru-buru menghakimi kreativitas Metaverse, yang dalam proses sedang "menjadi", namun kita diajak "berjaga" untuk mengikuti perkembangannya. Siapa tahu nantinya Metaverse dapat menjadi "alat" yang berharga bagi kehidupan kita, termasuk bagi hidup rohani. 

Metaverse saya tangkap sebagai upaya menghadirkan "versi Meta" dari realitas fisik dan inderawi kita. "Meta" itu bisa diterjemahkan " di atas" atau "melampaui" realitas sebenarnya, dengan cara "augmented". Maka merupakan dunia "augmented virtual" atau "augmenteg reality". Ketika nanti kita masuk di dalamnya, kita meninggalkan "realitas" diri kita sendiri dan mengenakan "realitas Meta" kita berupa avatar. Lalu, di dalam dunia Meta kita berinteraksi tiga dimensi dengan pertolongan kacamata AV/AR yang harganya sekarang sekitar AS$ 300 sebuah dan sebuah sarung tangan haptic (entah berapa harganya), menggunakan layar sentuh komputer atau TV atau HP. Tanpa beranjak dari kursi tempat kita duduk di rumah, kita bisa hadir di mana-mana (bahkan pada saat yang sama) mengutus avatar kita ke kantor/pabrik (bekerja), ke kampus/sekolah (belajar), ke toko (berbelanja), ke tempat remang-remang (kencan), ke stadion (nonton bola), ke konser (menonton), ke gereja (beribadat). Seolah diri kita dapat dipecah (splitted) menjadi beberapa semau kita, sejauh diizinkan perangkat teknologi.



Untuk sementara dunia Meta itu sudah disajikan kepada kita melalui "game" komputer semacam Minecraft (2011), Roblox (2012), Fortnite (2017), Decentraland (2020), Friday Night Funkin (2020). Oleh sebab itu embrio Metaverse diakrabi oleh Gen Z, Gen Milienial yang menyukai game. Semakin tua generasinya, semakin sedikit yang mengenal dunia Meta (Gen X, Gen Baby Boom). Generasi spekulan muda yang kaya dengan menggunakan uang kripto masuk dalam Decentraland sejak 2020 berinvestasi membeli tanah maya, bangunan maya, yang diperjualbelikan. Intinya adalah simulasi virtual.

Cucu-cucu saya ABG kelahiran 2010-an sudah mengenal embrio Metaverse (Minecraft, Roblox, Friday Night Funkin) dan fasih menggunakan avatar. Dua anak (kelahiran sekitar 1990) dari empat anak saya menggunakan avatar masuk Decentraland. Dua yang lain (kelahiran 1980an) tidak peduli. Saya dan isteri saya hanya mendengarkan cerita cucu-cucu..... Di usia 66 tahun (isteri) dan 70 tahun (saya) seperti anak-anak kecil menghadapi Metaverse seperti mendengarkan cerita dongeng....


SPIRITUALITAS INKARNASI

Tiga hari lagi Hari Natal Kelahiran Tuhan Yesus. Saya membarui spiritualitas dengan bacaan renungan tentang Inkarnasi.



Kita menentukan waktu, masa, dalam kaitan dengan kelahiran Yesus. Kita mengetahui suatu masa dari imbuhan seperti Seb.M atau M, yang menunjukkan apakah sesuatu peristiwa terjadi sebelum atau sesudah kelahiran Yesus Kristus, sang Mesias, atau Masehi. Seluruh dunia melakukan ini.* Ada alasan-alasan di luar yang bersifat religius mengapa demikian. Yang jelas, fakta bahwa seluruh dunia mencatat waktu [untuk keperluan resmi, sekalipun disebut oleh kaum sekular Common Era] sehubungan dengan kelahiran Yesus menunjukkan sesuatu tentang pentingnya Yesus.

Bagi kita yang umat Kristiani, waktu jelas ditentukan dengan saat kelahiran Yesus. Bagi kita, Yesus adalah pusat segalanya: makna diri kita, harapan kita, pengertian kita akan diri sendiri, kehidupan gereja kita, teologi kita, dan spiritualitas kita. Dialah pedoman kita dalam pemuridan.

            Spiritualitas berkenaan dengan bagaimana secara kreatif kita menertibkan energi yang ganas yang ditempatkan dalam dan mengalir dari diri kita. Spiritualitas yang baik memerlukan tata tertib disiplin tertentu (seperti dalam pemuridan). Seorang murid adalah seseorang yang melakukan tata tertib disiplin tertentu. Yesus membeberkan disiplin (ajaran) tertentu untuk menyalurkan berbagai energi secara kreatif. Namun yang dilakukan-Nya lebih dari itu, dan Dia sendiri lebih dari itu juga.

            Siapakah Yesus Kristus? Seandainya Yesus sendiri membuat suatu survai saat ini kepada kita secara pribadi dan mengajukan pertanyaan yang dulu pernah diajukannya kepada Petrus: “Menurut kamu siapakah Aku ini?” Ia niscaya mendapat macam-ragam jawaban yang amat luas. Siapa sebenarnya Yesus bagi kita? Seorang tokoh sejarah, seorang Allah-manusia, seorang pengajar moral yang hebat, seorang filsuf, suatu gereja, suatu dogma, sosok yang saleh, semacam klenik, seorang super-Santa yang mitis, seorang dewa keluarga? Siapa sesungguhnya Yesus bagi kita?

            Sebagai orang Kristiani kita sekurangnya mempunyai kesamaan dalam hubungan dengan Yesus. Kita kagum kepada-Nya. Soren Kierkegaard pernah menyatakannya namun itu tidak cukup. Yang dikehendaki Yesus dari kita bukanlah kekaguman, namun  Dia ingin kita menjadi seperti Dia. Adalah lebih mudah untuk mengagumi tokoh-tokoh moral dan keberanian yang besar dari pada mencontoh apa yang mereka lakukan. Kekaguman saja sesuatu lemah. Mencontoh, meniru adalah lebih penting, walaupun kita juga ingin lebih dari sekedar meniru Yesus. Dia lebih dari sekedar suatu model untuk ditiru. Maka yang dikehendaki Yesus bukan kekaguman, bukan juga sekedar peniruan belaka (sekali pun tak ada seorangpun juga yang dapat meniru Yesus dengan sangat baik!). Yang dikehendaki Yesus dari kita adalah menyertai kehadiran-Nya sedemikian hingga meresap masuk dalam suatu komunitas hidup dan ibadat bersama dengan Dia. Yesus, seperti yang dikatakan oleh John Sea, bukanlah suatu hukum yang harus ditaati atau suatu model yang yang harus ditiru, melainkan suatu kehadiran yang harus dirangkul dan diwujudkan.[i] 

            Menyertai Yesus niscaya menjadi pusat dari setiap spiritualitas Kristiani. Di dalam spiritualitas Kristiani, jauh sebelum kita bicara tentang hal-hal yang lain (gereja, dogma, perintah, bahkan seruan untuk melaksanakan kasih dan keadilan), kita pertama-tama tentu bicara tentang Yesus, pribadinya, energinya, yang melandasi segala sesuatu yang lainnya; semua yang lain hanyalah cabang-cabang, ranting atau carang saja. Yesus adalah pokok anggur, darah, pulsa dan jantungnya. Namun bagaimana caranya mengenal Yesus? Gampangnya, ada sekitar lima ratus buku teologi yang serius yang telah ditulis orang tentang Yesus dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Di sini bukan maksudnya untuk membuat ikhtisar dari semua buku itu, namun bagaimana menempatkan Yesus dalam situasi kita dan sikap sebagai murid yang dikehendaki-Nya dari kita di dalam konteks misteri sentral dari Kristianitas, yaitu Inkarnasi, misteri Sabda yang menjadi manusia.

            Yesus dan sikap sebagai murid yang diharapkanNya dari kita, dengan sangat baik dinyatakan dalam satu frasa: Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita (Yoh 1:14).[ii]

 

Misteri pusat di dalam semua Kristianitas yang mendasari semua yang lain adalah misteri Inkarnasi. Sayangnya, misteri itu justru merupakan misteri yang paling  kurang dipahami. Yang mau dikatakan adalah bahwa pemahaman kita tentang makna Inkarnasi hanya meraup seujung kecil saja dari permukaan suatu gunung es [yang sebagian besarnya masih tersembunyi di bawah air laut]. Kita tak dapat menangkap maknanya karena kita tidak dapat melihat seberapa besarnya gunung es itu.

            Pada umumnya kita memikirkan Inkarnasi begini: Pada mulanya, Allah menciptakan dunia dan segala isinya, termasuk menciptakan manusia. Tetapi manusia lalu berdosa (dosa asal) dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Allah dengan segala kebaikan dan kerahiman-Nya lalu memutuskan untuk menyelamatkan manusia kendati manusia itu berdosa. Maka Allah menyiapkan suatu umat melalui para bapa bangsa dan para nabi. Melalui mereka Allah berangsur-angsur menyiapkan umat-Nya itu (Kitab-Suci Yahudi). Pada akhirnya, ketika tiba waktunya, Allah mengutus Putera-Nya sendiri, Yesus, yang dilahirkan di Palestina dua ribu tahun yang lalu. Yesus adalah Allah, tetapi Dia juga sepenuhnya manusia. Dia mempunyai dua hakekat: sungguh Allah, sungguh manusia. Dia mewahyukan hakekat ke-Allah-an-Nya, mengajarkan berbagai kebenaran besar, menyembuhkan orang, melakukan mujizat, namun akhirnya Dia mendapat tuduhan palsu, ditangkap, disalibkan dan mati. Dia bangkit tiga hari berikutnya, dan dalam empat puluh hari berkali-kali Ia menampakkan diri kepada para pengikut-Nya. Pada akhirnya, setelah para murid-Nya makin menyesuaikan diri dengan realitas kebangkitan-Nya, Yesus membawa mereka ke kaki bukit di luar Yerusalem, memberkati mereka dan secara fisik naik ke surga.

            Dalam konsep ini, Tuhan melawat ke bumi secara fisik selama tiga-puluh-tiga tahun, dan kemudian pulang kembali ke surga, meninggalkan Roh Kudus bagi kita, yaitu kehadiran Allah yang tidak secara fisik. Tubuh fisik Kristus, Sabda yang menjadi manusia, sudah tinggal bersama kita selama tiga-puluh-tiga tahun itu, dan kini berada di surga.

            Apa yang salah di sini? Konsep ini benar – dalam bahasanya sendiri yang indah dan penuh dengan lambang – dalam banyak hal: dosa kita, kerahiman Allah, Tuhan yang datang secara fisik ke bumi. Yang salah adalah kesan yang ditimbulkannya bahwa Inkarnasi itu adalah pengalaman tiga puluh tahun, suatu kunjungan pendek dari Allah dalam sejarah manusia. Di dalam versi ini, Allah telah menjadi manusia secara fisik dan kemudian, setelah tiga puluh tahun, pulang kembali lagi ke surga.  Digunakan kalimat masa lalu (“telah”) untuk Inkarnasi itu, dan itu adalah pemahaman yang kurang tepat dan berbahaya. Sesungguhnya Inkarnasi masih terus berlangsung dan sama nyatanya dan secara fisik sama radikalnya dengan ketika Yesus dari Nasaret, dengan tubuh-Nya, mondar-mandir di jalan-jalan di Palestina. 

Misteri Inkarnasi bila dikatakan dengan sederhana adalah misteri tentang Allah yang mengambil rupa manusia dan berhubungan dengan manusia dengan cara yang tampak dan dapat dicerap dengan indera. Namun karena sifatnya yang radikal pernyataan ini memerlukan semacam penjelasan, terutama dalam kaitan dengan tiga hal: mengapa Allah bertindak dengan cara demikian; tindakan semacam ini sangat mengguncangkan; dan tindakan ini berlangsung terus, bukan bersifat sekali-lalu-selesai.

Mengapa Inkarnasi

Mengapa Tuhan menghendaki mengambil rupa manusia? Mengapa Dia yang mahakuasa tanpa batas berkenan menempatkan diri dalam sejarah manusia dan tubuh manusia yang terbatas? Mengapa ber-Inkarnasi?

            Ada suatu cerita yang bagus mengisahkan seorang anak perempuan berumur empat tahun yang bangun di tengah malam dengan ketakutan, karena yakin bahwa dalam kegelapan di sekitarnya ada segala macam hantu dan monster. Karena sendirian dan ketakutan, ia lari ke kamar kedua orang tuanya. Ibunya menenangkan anak itu, menyalakan lampu dan berusaha meyakinkan anak itu dengan kata-kata ini: “Kamu tak perlu takut, kamu tidak sendirian di sini. Tuhan ada di dalam kamar ini bersama dengan kita.” Anak perempuan itu menjawab: “Aku tahu bahwa Tuhan ada di sini, tetapi aku memerlukan seseorang di dalam kamar ini yang punya semacam kulit!”

            Pada hakekatnya, cerita itu memberikan kepada kita suatu alasan bagi Inkarnasi, dan suatu definisi yang sangat bagus tentang Inkarnasi itu. Tuhan menjadi manusia karena seperti gadis cilik itu, kita semua memerlukan seseorang yang menyertai kita dan punya semacam kulit. Tuhan yang berada di mana-mana dengan gampang juga bisa dikatakan tidak ada di mana-mana. Kita percaya kepada apa yang dapat kita sentuh, kita lihat, kita dengar, kita cium baunya, dan kita rasakan. Kita bukan malaikat yang tidak punya tubuh, melainkan mahluk yang diberi indera, sensual dalam arti kata yang sebenarnya, punya sensualitas (daya-daya inderawi). Kita punya panca indera, kelima indera, dan kita berada di dunia ini melalui seluruh indera itu. Kita tahu sesuatu dari indera itu, melakukan komunikasi dengan indera itu, terbuka satu sama lain dan kepada dunia hanya melalui indera itu. Dan Allah berhubungan dengan kita melalui indera-indera kita. Yesus yang mondar-mandir di jalan-jalan Palestina dapat dilihat, disentuh, dan didengar. Di dalam Inkarnasi itu Tuhan mengambil rupa manusia, menjadi fisik, karena kita adalah mahluk yang punya indera, dan pada titik tertentu memerlukan seorang Tuhan yang punya kulit.

            Nikos Kazantzakis* suatu ketika menjelaskan soal ini dengan memberikan suatu perumpamaan:

 Ada seseorang yang datang kepada Yesus dan mengeluh tentang Allah yang tersembunyi. “Rabbi”, katanya, “saya sudah tua. Sepanjang hidup saya, saya selalu melaksanakan perintah Allah. Setiap tahun saya pergi ke Yerusalem dan mempersembahkan kurban sajian yang diwajibkan. Setiap malam selama hidup saya ini, saya tak pernah berangkat tidur tanpa berdoa lebih dahulu. Tetapi... saya melihat bintang-bintang dan kadang-kadang memandang gunung – dan terus menunggu, menunggu terus kedatangan Tuhan sehingga saya dapat melihat Dia. Saya terus menunggu selama bertahun-tahun dengan sia-sia. Mengapa? Mengapa? Keluhan saya ini sungguh berat saya rasakan, Rabbi? Mengapa Tuhan tidak juga menunjukkan diri-Nya sendiri?

   Yesus tersenyum dan menjawab dengan lembut: “Pada suatu ketika ada sebuah singgasana marmer di gapura timur suatu kota besar. Pada singgasana ini sudah duduk 3000 raja. Semuanya mengharapkan Tuhan agar menampakkan diri supaya mereka dapat melihat Dia, tetapi semuanya mati dan dimakamkan membawa harapan mereka yang tidak terpenuhi.

   Kemudian setelah para raja itu mati, seorang yang miskin, bertelanjang kaki dan kelaparan datang dan duduk di singgasana itu. ‘Ya, Tuhan,’ katanya, ‘mata manusia tidak dapat melihat langsung pada matahari, karena sinarnya dapat membutakan mereka. Bagaimana mungkin mereka itu dapat tahan memandang Dikau, o Yang Mahakuasa? Berkasihanilah kiranya, ya Allah, kecilkanlah kuasa-Mu, lembutkanlah cahaya-Mu yang begitu gemilang agar saya yang malang dan rindu pada-Mu dapat melihat Dikau!’

   Maka dengarkanlah, orang tua – Tuhan menjadi sepotong roti, secangkir air sejuk, sepotong jubah yang hangat, sebuah pondok, dan di depan pondok itu seorang ibu sedang menyusui bayinya.”

   “Terima kasih, ya Tuhan,” bisik lelaki tua itu. “Engkau telah berkenan merendahkan diri-Mu demi saya. Engkau menjadi roti bagi saya, menjadi secangkir air, sepotong jubah dan seorang isteri dan seorang anak supaya dapat memandang Dikau. Dan saya sungguh melihat Dikau. Saya bertelut di hadapan-Mu dan menghormati wajah-Mu dalam sejuta rupa yang terkasih.”[iii]

 

Allah menjadi manusia agar setiap rumah menjadi suatu gereja, setiap anak menjadi anak-Allah, dan semua makanan dan minuman menjadi sakramen. Wajah Allah yang berjuta rupa itu kini ada di mana-mana, dalam rupa daging, begitu lembut dan rendah hati, agar setiap mata manusia dapat memandang-Nya. Tuhan dalam jutaan rupa ini lalu bisa dihubungi dan tampak, sedekat keran air yang dapat dijangkau. Itulah alasannya mengapa Dia ber-Inkarnasi.

 

Sifat fisik Inkarnasi yang Mengguncangkan

Inkarnasi mengguncangkan jika dipandang dari sifat fisik semata-mata. Kata bahasa Inggris “incarnation” (inkarnasi) berasal dari akar kata Latin “carnus”, yang berarti daging, daging fisik. Namun ungkapan bahasa Latin seperti halnya bahasa Inggris, bukanlah kata yang bersifat Platonis (dalam arti di-ideal-kan, atau diberi muatan keluhuran). Tidak ada sifat spiritual dalam kata itu. Kata itu menekankan, sebagaimana kata turunannya dalam bahasa Inggris (carnality: kedagingan, carnal: nafsu badaniah, carnivorous: yang makan daging), tubuh dalam bentuknya yang kasar, mentah-mentah (belum diolah, didandani), fisik sebagaimana adanya. Incarnation berarti dalam daging, atau secara harafiah menjadi daging fisik.

            Biasanya kita tidak merasa kesulitan menerima Yesus dalam cara ini, namun sekalipun begitu kita lalu sering meragukan pemikiran akan tubuh Yesus sebagai yang fana, yang seksual, bisa sakit, berbau dan mengalami berbagai proses ragawi yang lebih rendah. Kemudian masalahnya jadi makin nyata, seperti yang akan kita lihat nanti, yaitu bahwa kita tidak bisa membayangkan realitas ragawi itu kepada keseluruhan Tubuh Kristus, yaitu Ekaristi dan (Gereja) umat beriman.[iv]

Terus Berlangsung

Akhirnya, sifat yang kritis penting adalah masalah hakekat Inkarnasi yang terus berlangsung. Inkarnasi bukanlah suatu eksperimen tiga puluh tiga tahun Tuhan berada dalam sejarah, suatu yang bersifat “sekali peristiwa”, kehadiran fisik Tuhan dalam hidup kita. Inkarnasi bermula dengan Yesus dan hal itu tidak pernah berhenti. Kenaikan Yesus ke surga tidak mengakhiri dan juga tidak mengubah dasar-dasar dari Inkarnasi. Tubuh fisik Tuhan tetap ada di antara kita. Tuhan selalu hadir saat ini secara fisik dan nyata sebagaimana Dia dulu di dalam Yesus sejarah. Tuhan tetap punya kulit insani dan secara fisik melawat dunia seperti yang dilakukan Yesus. Dalam arti tertentu, perkataan bahwa pada waktu kenaikan ke surga, Tubuh fisik Yesus meninggalkan dunia ini adalah benar, tetapi Tubuh Kristus tidak demikian. Kehadiran inkarnasi Tuhan di antara kita terus berlanjut seperti dahulu.

            Kunci pembedanya mula-mula adalah “Kristus”, yang sebagaimana kita  ketahui, bukanlah nama keluarga Yesus. Ketika kita menyebut nama “Yesus Kristus”, cara kita lain dengan ketika kita menyebut nama misalnya “Susan [yang adalah puteri dari Pak] Parker” [= Nola Siregar, Vivian Sumanti, Pretty Pattinasarane) atau pun “Jack [putra keturunan] Smith” [=Alex Marbun, Bernard Waworuntu, Robby Beding). Soalnya Yesus tidak punya nama keluarga. Kristus adalah sebuah gelar, yang menunjukkan Dia yang diurapi oleh Allah, yaitu Mesias yang ada di dunia. Kitab Suci menggunakan ungkapan “Tubuh Kristus” untuk tiga arti, yaitu: Yesus, pribadi historis yang pernah ada di dunia selama tiga puluh tiga tahun; Ekaristi, yang merupakan kehadian fisik Tuhan di antara kita; dan badan kaum beriman, yaitu Gereja, yang juga merupakan kehadiran nyata dari Tuhan. Menyebutkan kata “Kristus” dengan demikian kita serentak merujuk kepada Yesus, Ekaristi dan komunitas kaum beriman atau Gereja.

            Kita adalah Tubuh Kristus. Ini bukan suatu ungkapan yang berlebihan, juga bukan suatu kiasan.[v] Menyatakan bahwa badan persekutuan kaum beriman atau Gereja adalah Tubuh Kristus sama saja dengan menyatakan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci. Sebab Kitab Suci, terutama tulisan-tulisan Paulus, tidak pernah menyatakan bahwa badan persekutuan kaum beriman (Gereja) menggantikan tubuh Kristus, juga bukan merupakan perwakilan dari Tubuh Kristus, bahkan bukan Tubuh Kristus yang mistik. Yang dikatakan hanyalah : “Kita adalah Tubuh Kristus.”[vi]

            Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda di dalam berusaha mengartikan perkataan Paulus ini.[vii] Jika dia mengatakan bahwa kita adalah Tubuh Kristus, apakah ini merupakan badan hukum (corporate) ataukah badan jasmaniah? Apakah kita ini Tubuh Kristus seperti suatu bebadan kelompok yang dijiwai oleh suatu semangat yang sama (misalnya Yesuit)? Atau, apakah kita ini suatu tubuh seperti yang dimaksudkan dengan tubuh organisme fisik? Dengan semacam kriteria (dan tentu saja di sini pun ada beberapa kekecualian) pada ahli Kitab Suci sepakat bahwa yang dimaksudkan adalah seperti yang terakhir itu (tubuh organisme fisik). Badan persekutuan kaum beriman, seperti Ekaristi, adalah Tubuh Kristus yang organik. Bukan suatu badan hukum, tetepi suatu tubuh; bukan suatu realitas mistik, tetapi tubuh fisik; dan bukan sesuatu yang mewakili Kristus, tetapi sesuatu yang adalah Dia.[viii]

            Ini mempunyai implikasi yang besar. Sebab dengan demikian lalu Inkarnasi itu tidak berarkhir sesudah tiga-puluh-tiga tahun ketika Yesus naik ke surga. Tuhan masih berada di sini, dalam daging, baik secara nyata maupun secara fisik, sebagaimana Allah dalam Yesus. Sang Sabda bukannya telah pernah menjadi manusia dan tinggal di antara kita, tetapi menjadi manusia dan terus tinggal di antara kita. Dalam persekutuan kaum beriman dan dalam Ekaristi, Tuhan punya kulit fisik dan secara fisik masih bisa dilihat, disentuh, dicium baunya, didengar dan dirasakan.

            Ini bukanlah hanya sekedar suatu kebenaran teologi, suatu dogma untuk diyakini. Namun ini merupakan suatu inti dari spiritualitas Kristiani. Jika benar kita ini Tubuh Kristus, maka selanjutnya kehadiran Tuhan di dunia dewasa ini sangat bergantung pada kita. Kita harus menghadirkan Tuhan di dunia dengan cara yang sama dengan yang dilakukan Yesus. Seperti yang dikatakan oleh Santa Teresa dari Avila, kita harus menjadi tangan Tuhan, menjadi kaki Tuhan, menjadi mulut-Nya dan menjadi hati-Nya bagi dunia ini. Ahli Kitab Suci Jerome O’Connor membuat ikhtisar pentingnya hal ini, walaupun tidak sesederhana yang dikatakan Santa Teresa, namun sangat akurat:

Komunitas merupakan pengantara Kristus bagi dunia. Sabda yang dikatakan-Nya tidak didengar oleh orang-orang dari zaman kita jika tidak diwartakan oleh komunitas kita. Kuasa yang mengalir dari-Nya untuk memungkinkan tanggapan tidak akan efektif jika tidak diwujudkan dalam komunitas. Sebagaimana Allah telah bertindak melalui Kristus, maka Dia kini juga bertindak melalui mereka yang selaras dengan citra Putera-Nya dan yang perilakunya terpola menurut teladan-Nya. Apa yang dilakukan Kristus di dalam dan untuk dunia dulu melalui kehadiran fisik-Nya, kini dilakukan komunitas di dalam dan untuk dunianya... Untuk melanjutkan karya keselamatan dari Kristus yang telah Dibangkitkan niscaya akan efektif terwujudkan dalam konteks kehadiran yang nyata dengan suatu otensitas yang modelnya dibuat berdasarkan Kristus.[ix]

 

Apakah yang membedakan seorang yang percaya kepada Kristus dengan dia yang hanya percaya kepada Allah? Apa yang ditambahkan Kristus kepada Allah? Apa lebihnya menjadi orang Kristiani dibanding dengan mereka yang berTuhan?

            Perbedaannya sungguh besar, bukan hanya di dalam teologi, namun terutama di dalam spiritualitasnya, yaitu dalam cara yang dituntut dari kita untuk menghayati kehidupan iman kita. Seorang yang berTuhan percaya kepada Allah. Tetapi seorang Kristiani selain percaya kepada Allah, juga percaya kepada Allah yang menjadi manusia. Apa bedanya? Jika menggunakan bahasa orang biasa, dapatlah dikatakan bahwa seorang yang berTuhan percaya kepada Allah di surga, sedangkan seorang Kristiani percaya kepada Allah di surga yang secara fisik juga hadir di dunia dalam rupa manusia. Allah bagi kaum yang berTuhan adalah transenden, atau jika tidak sepenuhnya demikian, hadir secara samar-samar. Allah bagi umat Kristiani juga transenden, namun juga tersembunyi, namun sekali gus punya tubuh fisik di dunia. Allah bagi umat Kristiani dapat dilihat, dapat didengar, dapat dirasakan, dapat dicerap, dan tercium aromanya, melalui indera-indera. Bagi orang Kristiani, Allah punya kulit.

            Allah bagi umat Kristiani adalah in-carnus, di dalam daging di dunia ini. Ini mungkin serasa abstrak bagi kita, namun implikasinya mewarnai setiap aspek dari cara kita untuk berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan satu sama lain – sejauh mana kita berdoa, bagaimana kita mengusahakan kesembuhan dan rekonsiliasi, bagaimana kita mencari bimbingan, dan bagaimana kita memahami komunitas, pengalaman dan misi keagamaan. Namun hal ini membutuhkan pengungkapan. Maka marilah kita melihat apa maksudnya secara konkret kita percaya kepada Inkarnasi sesuai dengan spiritualitas.

 


               * Penulis dan filsuf dari Yunani yang terbesar di abad ke-20 (1883-1957).



[i] John Sea, Stories of Faith, Chicago, Thomas More Press, 1980. Komentar yang dikutip di sini merupakan tesis dari buku ini dan buku sebelumnya, Stories of God – An Unauthorized Biography, Chicago, Thomas More Press. Namun untuk komentar yang tepat tentang cara menyertai yang berbeda dari mengagumi dan menirukan, lihat bagian pertama dari Stories of Faith.

 

[ii] Perhatikan kata tinggal  dalam kalimat masa sekarang, walaupun biasanya kalimat itu diterjemahkan dalam kalimat masa lampau. Walaupun secara linguistis teknis  hal itu tidak tepat, tetapi penggunaan kalimat masa kini lebih tepat mengungkapkan apa yang disampaikan Yohanes – karena ia menggunakan kalimatnya itu untuk menunjukkan suatu tindakan yang dimulai pada suatu titik yang jelas di masa lampau dan terus berlanjut hingga sekarang. Karena itu kalimat itu dapat juga diterjemahkan: “Sabda itu telah mulai untuk menjadi manusia.”

 

[iii] Nikos Kazantzakis, The Last Tempation of Christ, New York, Simon & Schuster, 1960 hal 189dst.

 

[iv] Tentang gambaran yang brilyan bagaimana segi yang fisik duniawi dari Inkarnasi ini sungguh mengguncangkan, lihat uraian yang diberikan oleh Graham Greene mengenai pengalaman tokoh Sarah Miles dalam novel karya Greene, The End of the Affair, London, Penguin Books, 1951, hal 109-112.

 

[v] Paus Pius XII ketika menyampaikan Surat Ensiklik tentang Tubuh Kristus, Mystici Corporis Christi, pada tahun 1943 diberitakan berkata: “Jika menjelaskan misteri tentang Tubuh Kristus janganlah takut bahwa berlebihan, karena tidaklah mungkin kita berlebihan melebihi misteri yang sangat agung itu.” 

 

[vi] Teks yang eksplisit adalah 1 Kor 12:27 dan 1 Kor 6:15, namun gagasan pokoknya ada di mana-mana dalam ajaran Yesus dan di dalam ajaran Perjanjian Baru sebagai keseluruhan.

 

[vii] Maka perlu ada catatan yang panjang untuk ini. Tidak ada consensus di antara para ahli tentang maksud yang sebenarnya secara tepat dari Paulus ini, dan dari Perjanjian Baru pada umumnya, untuk memahami perkataan ini. John A.T. Robinson misalnya memahami makna literer dari Paulus sebagai berikut:

                              Sesuatu yang bukan “corporate” (kata benda yang merujuk pada suatu badan hukum), tetapi “corporeal” (kata sifat, yang berarti badaniah, jasmaniah) .... untuk menyatakan bahwa gereja adalah Tubuh Kristus bukan sebagai kiasan, tetapi setara dengan mengartikan daging dari Inkarnasi Yesus, atau pun roti Ekaristi adalah Tubuh Kristus. Dalam ketiga hal itu mereka bukanlah sekedar “seperti” Tubuh Kristus (Paulus tidak pernah mengatakan demikian): masing-masing adalah Tubuh Kristus, dalam arti bahwa masing-masing merupakan kelengkapan fisik dan perluasan dari Pribadi dan Hidup yang sama. Mereka merupakan ungkapan dari Kristologi yang satu. Adalah nyaris mustahil secara berlebihan menyatakan bahwa materialisme dan kelugasan ajaran Paulus mengenai gereja adalah sama dengan Tubuh Kristus yang dibangkitkan... Tubuh yang dikenangkannya adalah konkret dan satu sebagaimana Tubuh dalam Inkarnasi. Konsepsi dasarnya bukan suatu bentuk kolektif supra-personal, tetapi suatu organisme personal yang unik. (The Body: A Study in Pauline Theology, London, SCM Press, 1966, hal 50-51).

                              Sekalipun demikian beberapa ahli akan memandang pendapat Robinson ini sebagai tafsiran yang terlalu bersifat fisik. Robert Gundry dalam Soma in Biblical Theology – With Emphasis on Pauline Anthropology (Cambridge University Press, London, 1976) menerima pokok pandangan Robinson bahwa kata-kata Paulus ini bukanlah kiasan, namun baginya Robinson melangkah terlalu jauh. Kemudian ia menyampaikan suatu survai kritis atas semua pandangan atau pendapat.

 

[viii] Untuk suatu keseimbangan teologis tentang hal ini, lihat Jerome Murphy-O’Connor, Becoming Human Together (Wilmington, Del., Michael Glazier Press, 1977). O’Connor memeriksa berbagai pendirian dan memberi kesimpulan dengan berkata, lepas dari nuansa teologis yang setepatnya, apa yang diajarkan Paulus adalah bahwa Kristus dan komunitas kaum beriman melaksanakan fungsi-sungsi yang sama. Lihat hal 202-203.

 

[ix] Idem hal 203.



               * Dengan tanda yang berlainan menurut bahasanya, semisal BC, av.J.C., (Before Christ, avant  Jesus-Christ), A.D., C.E., apr. J.C. (Anno Domini, Christian Era – yang oleh kaum sekular diubah menjadi Common Era, dan après Jesus-Christ) dll. Namun hendaknya disadari bahwa kata-kata ini terutama dimaksudkan untuk dunia budaya Yudeo-Kristiani, dan hal ini juga tidak mengabaikan bahwa di dunia ini ada sebagian juga yang menggunakan petunjuk waktu Islam tahun Hijriah (H) dan penanggalan Cina.


Selasa, 20 Desember 2022

PAUS DAN KOLEGIUM USKUP OTORITAS TERTINGGI GEREJA menurut Kitab Hukum Kanonik 1983

 KHK kan 330-kan 348

 BAB I PAUS DAN KOLEGIUM PARA USKUP 

Kan. 330 - Sebagaimana, menurut penetapan Tuhan, Santo Petrus dan Rasul-rasul lainnya membentuk satu Kolegium, demikian pula Uskup Roma, pengganti Petrus, dan para Uskup, pengganti para Rasul, dipersatukan di antara mereka. 

 Artikel 1 



PAUS 

Kan. 331 - Uskup Gereja Roma, yang mewarisi secara tetap tugas yang diberikan oleh Tuhan hanya kepada Petrus, yang pertama di antara para rasul, dan harus diteruskan kepada para penggantinya, adalah kepala Kolegium para Uskup, Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia ini; karena itu berdasarkan tugasnya dalam Gereja ia mempunyai kuasa berdasar jabatan, tertinggi, penuh, langsung dan universal yang selalu dapat dijalankannya dengan bebas. 

Kan. 332 - § 1. Kuasa penuh dan tertinggi dalam Gereja diperoleh Uskup Roma dengan pemilihan legitim yang diterimanya bersama dengan tahbisan uskup. Maka dari itu orang yang terpilih menjadi Paus dan sudah ditandai meterai uskup, memperoleh kuasa itu sejak penerimaan pemilihannya. Tetapi apabila orang yang terpilih itu belum mendapat meterai Uskup, hendaknya ia segera ditahbiskan menjadi Uskup. § 2. Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun. 

 Kan. 333 - § 1. Paus, berdasarkan jabatannya, tidak hanya mempunyai kuasa di seluruh Gereja, melainkan juga mempunyai kuasa berdasar jabatan tertinggi atas semua Gereja partikular dan himpunan-himpunannya; dengan itu sekaligus diperkokoh dan dilindungi kuasa para Uskup yang dimilikinya sendiri, berdasar jabatan dan langsung atas Gereja-gereja partikular yang dipercayakan kepada reksanya. § 2. Paus dalam menjalankan tugas Gembala tertinggi Gereja, selalu terikat dalam persekutuan dengan Uskup-uskup lainnya, bahkan juga dengan seluruh Gereja; tetapi ia mempunyai hak untuk menentukan cara, baik personal maupun kolegial, pelaksanaan jabatan itu, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan Gereja. § 3. Melawan putusan atau dekret Paus tidak ada naik banding ataupun rekursus. 

Kan. 334 - Para Uskup membantu Paus dalam menjalankan tugasnya; mereka dapat mengusahakan kerjasama dengannya dalam pelbagai cara, di antaranya adalah sinode para Uskup. Selain itu, juga para Kardinal membantunya, dan juga orang-orang lain dan pelbagai lembaga menurut kebutuhan zaman; orang-orang dan lembaga-lembaga itu semua menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka, atas nama dan otoritasnya, untuk kesejahteraan semua Gereja menurut norma-norma yang ditetapkan hukum. 

Kan. 335 - Apabila Takhta Roma lowong atau sama sekali terhalang, tak suatu pun boleh diubah dalam hal kepemimpinan seluruh Gereja; tetapi hendaknya ditaati undang-undang khusus yang dikeluarkan untuk keadaan itu. 

 Artikel 2 



KOLEGIUM PARA USKUP 

Kan. 336 - Kolegium para Uskup yang dikepalai Paus dan beranggotakan para Uskup berdasarkan tahbisan sakramental dan persekutuan hirarkis dengan kepala dan para anggota, dan di mana senantiasa menetap badan apostolik, bersama dengan kepalanya, dan tak pernah tanpa kepala itu, adalah juga subyek kuasa tertinggi dan penuh dalam seluruh Gereja. 

Kan. 337 - § 1. Kuasa dalam seluruh Gereja dijalankan secara meriah oleh Kolegium para Uskup dalam Konsili Ekumenis. § 2. Kuasa itu juga dijalankan lewat kegiatan terpadu para Uskup yang tersebar di dunia, jika kegiatan itu dinyatakan demikian atau diterima dengan bebas oleh Paus, sehingga menjadi tindakan kolegial sejati. § 3. Adalah wewenang Paus sesuai dengan kebutuban-kebutuhan Gereja untuk memilih dan memajukan cara-cara Kolegium para Uskup menjalankan secara kolegial tugasnya terhadap seluruh Gereja. 

Kan. 338 - § 1. Hanya Paus berwenang memanggil Konsili Ekumenis, mengepalainya sendiri atau lewat orang lain, memindahkan, menunda atau membubarkan, dan menyetujui keputusan-keputusannya. § 2. Adalah hak Paus juga untuk menetapkan hal-hal yang harus dibahas dalam Konsili dan tatacara yang harus ditaati; masalah-masalah yang diajukan Paus dapat ditambah dengan masalah-masalah lain oleh para Bapa Konsili, tetapi harus disetujui oleh Paus. 

 Kan. 339 - § 1. Adalah hak dan kewajiban semua dan hanya Uskup-uskup yang adalah anggota-anggota Kolegium para Uskup untuk menghadiri Konsili dengan suara deliberatif (menentukan). § 2. Selain itu orang-orang lain yang tidak mempunyai martabat uskup dapat diundang ke Konsili Ekumenis oleh otoritas tertinggi Gereja yang berhak menentukan peranan mereka dalam Konsili. 

Kan. 340 - Apabila selama berlangsungnya Konsili Takhta Apostolik menjadi lowong, menurut hukum sendiri Konsili terhenti, sampai Paus yang baru memerintahkan agar Konsili dilanjutkan atau dibubarkan. 

 Kan. 341 - § 1. Keputusan-keputusan Konsili Ekumenis tidak mempunyai kekuatan yang mewajibkan, kecuali disetujui oleh Paus bersama dengan para Bapa Konsili, dikukuhkan olehnya dan diundangkan atas perintahnya. § 2. Agar mempunyai kekuatan yang mewajibkan, pengukuhan dan pengundangan yang sama dibutuhkan bagi keputusan-keputusan yang diambil oleh Kolegium para Uskup, apabila Kolegium menjalankan kegiatan kolegial dalam arti yang sebenarnya, menurut cara lain yang ditentukan oleh Paus atau diterima dengan bebas olehnya. 

 BAB II 



SINODE PARA USKUP 

Kan. 342 - Sinode para Uskup ialah himpunan para Uskup yang dipilih dari pelbagai kawasan dunia yang pada waktu-waktu yang ditetapkan berkumpul untuk membina hubungan erat antara Paus dan para Uskup,  dan untuk membantu Paus dengan nasihat-nasihat guna memelihara keutuhan dan perkembangan iman serta moral, guna menjaga dan meneguhkan disiplin gerejawi, dan juga mempertimbangkan masalah-masalah yang menyangkut karya Gereja di dunia. 

Kan. 343 - Sinode para Uskup berwenang menentukan masalah-masalah yang harus dibahas dan mengajukan harapan-harapan, tetapi tidak memutuskannya dan tidak mengeluarkan dekret-dekret tentangnya, kecuali dalam kasus-kasus tertentu sinode diberi kuasa menentukan oleh Paus, yang dalam hal itu berwenang mengesahkan keputusan-keputusan sinode. 

Kan. 344 - Sinode para Uskup langsung berada di bawah otoritas Paus yang berhak: 1° memanggil sinode setiap kali dianggapnya baik dan menunjuk tempat sidang; 2° mengesahkan pemilihan para anggota yang harus dipilih menurut norma hukum khusus, dan menunjuk serta mengangkat anggota-anggota lain; 3° menetapkan bahan yang harus dibahas pada waktu yang tepat sebelum sinode diselenggarakan menurut norma hukum khusus; 4° menentukan agenda persidangan; 5° mengepalai sinode, sendiri atau lewat orang lain; 6° menutup, memindahkan, menangguhkan dan membubarkan sinode itu. 

Kan. 345 - Sinode para Uskup dapat dihimpun atau dalam sidang umum, entah sidang itu bersifat biasa entah luar biasa, di mana dibahas hal-hal yang langsung menyangkut kesejahteraan Gereja seluruhnya, atau juga dalam sidang khusus, di mana dibahas perkara-perkara yang langsung menyangkut kawasan-kawasan tertentu. 

 Kan. 346 - § 1. Sinode para Uskup yang dihimpun dalam sidang umum biasa, terdiri dari anggota-anggota yang kebanyakan adalah Uskup-uskup, yang dipilih oleh Konferensi para Uskup untuk setiap himpunan menurut pedoman yang ditentukan hukum khusus mengenai sinode; lain-lainnya diberi tugas berdasarkan hukum itu juga; lain-lainnya lagi diangkat langsung oleh Paus; selain itu ada beberapa anggota tarekat-tarekat religius klerikal, yang dipilih menurut norma hukum itu juga. § 2. Sinode para Uskup yang dihimpun dalam sidang umum luar biasa untuk membahas perkara-perkara yang menuntut penyelesaian yang cepat, terdiri dari anggota-anggota yang kebanyakan Uskup-uskup, § 3. Sinode para Uskup, yang dihimpun dalam sidang khusus, terdiri dari anggota-anggota yang dipilih terutama dari kawasan-kawasan yang merupakan sasaran diadakannya sinode, menurut norma hukum khusus yang mengatur sinode. 

Kan. 347 - § 1. Bila sidang sinode para Uskup ditutup oleh Paus, berakhirlah tugas yang dipercayakan kepada para Uskup dan anggota-anggota lainnya di dalam sinode itu. § 2. Bila Takhta Apostolik menjadi lowong setelah sinode dipanggil, atau sementara berlangsung, sidang sinode menurut hukum sendiri ditangguhkan, demikian pula tugas yang dipercayakan kepada para anggota dalam sidang itu, sampai Paus yang baru memutuskan untuk membubarkan atau melanjutkannya. 

 Kan. 348 - § 1. Hendaknya sinode para Uskup mempunyai sekretariat jenderal yang tetap, yang dikepalai oleh sekretaris jenderal, ditunjuk oleh Paus dan dibantu oleh dewan sekretariat; dewan itu terdiri dari Uskup-uskup, sebagian dipilih oleh sinode para Uskup sendiri menurut norma hukum khusus, sebagian lagi ditunjuk oleh Paus; tetapi tugas mereka semua itu selesai bila sidang umum berikutnya dimulai. § 2. Selain itu, untuk setiap sidang sinode para Uskup ditetapkan satu atau beberapa sekretaris khusus yang diangkat oleh Paus, dan mereka menjalankan tugas yang diserahkan itu hanya sampai selesainya sidang sinode.

PAUS TENTANG SURAT PERNYATAAN MENGUNDURKAN DIRI - DITULIS TAHUN 2013

 

Belakangan marak spekulasi kalangan penyuka konspirasi, bahwa Paus Fransiskus akan mengundurkan diri. Lalu dalam berbagai media ada spekulasi tentang calon-calon pengganti Paus Fransiskus, artikel yang membuat media itu laris manis karena banyak orang suka spekulasi dan bau-bau konspirasi.



Spekulasi sudah mulai beredar tahun lalu pada bulan Juli 2021, ketika Paus Fransiskua menunda atau membatalkan suatu perjalanan kunjungan ke suatu negara.

Paus Fransikus pada hari Minggu 18 November menerima wartawan ABC dan mengemukakan keadaan yang sebenarnya. Sejak diangkat menjadi Paus pada 2013, sebenarnya Paus Fransiskus sudah menulis surat mengundurkan diri dengan catatan: "seandainya kondisi fisik dan medis tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan tugasnya". Surat pernyataan itu diserahkan kepada Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Tarcicio Bertone, sehari setelah Paus Fransiskus diresmikan sebagai Paus, menggantikan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri juga karena alasan kesehatan. 

Paus Fransiskus merayakan ulang-tahun ke 86 pada Sabtu, 17 Desember 2022. Ketika ditanya, bagaimana kondisi lututnya yang menyebabkan ia beberapa kali jatuh? Paus tertawa....

"Seseorang memimpin dengan kepalanya, bukan dengan kakinya..." Paus Fransiskus makin sering tampil menggunakan kursi roda atau ditopang tongkat.



Namun kembali kepada soal surat pengunduran diri itu, Paus Fransiskus telah melakukan semacam antisipasi, mengikuti teladan Paus Benediktus XVI (sekarang 95 tahun), yang karena alasan kesehatan mengundurkan diri pada Februari 2013 pada usia 86 tahun. Pada waktu itu juru bicara Vatikan Frederico Lombardi SJ menyatakan: "Gereja memerlukan seseorang yang memiliki energi fisik dan rohani lebih besar untuk mengatasi masalah dan tantangan dunia yang berubah-ubah dan memimpin Gereja".

SELAMAT ULANG TAHUN KE 86, 17 DESEMBER 2022 PAUS FRANSIKUS.