POKOK KATEKESE IMAN KITA 5
Bambang Kussriyanto
Tujuan
dari Wahyu itu – baik yang kodrati maupun yang ilahi – bukanlah supaya kita
memahami Allah selengkap-lengkapnya. “Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi” – Dei
Verbum (selanjutnya disingkat DV) – dari Konsili Vatikan II menyatakan :
Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya, Allah berkenan mewahyukan
diriNya dan memaklumkan rahasia kehendakNya... Melalui perwahyuan ini... Allah
yang tidak kelihatan dari kelimpahan kasihNya menyapa manusia sebagai
sahabat-sahabatNya dan tinggal di antara mereka, untuk mengundang mereka dan
menyambut mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya (DV 2).
Pernyataan ini menegaskan bahwa
Allah menyingkapkan diri dan kehendak-Nya “dari kelimpahan kasih-Nya” dengan
tujuan mengundang kita di dalam suatu hubungan persahabatan pribadi yang hidup
dan persekutuan dengan Bapa dan Pencipta kita. Di sini kita menemukan makna dan
kegembiraan hidup yang sejati. Santo Agustinus menyatakan, “Ya Allah, Engkau
telah menciptakan kami bagiMu sendiri. Hati kami gelisah sebelum kami menemukan
ketenteraman dalam Dikau.”(Confessiones
1,1,1.)
Menurut KGK 51: "Allah berkenan
mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu
manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam
Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi" (DV 2).
Allah tidak hanya sekedar menyatakan
rencana kasih-Nya. Ia juga bertindak menunjukkan kasih dan kerinduan-Nya untuk
berada dalam hubungan yang mesra dengan kita, dengan datang berkunjung dan
tinggal di antara kita sebagai seorang manusia – Yesus Kristus. Maka wahyu
Allah itu bersifat pribadi karena datang kepada kita melalui pribadi
Yesus. Yesus mengundang masing-masing
dari kita untuk mengenal Allah sebagai Bapa kita dan hidup dalam persekutuan
dengan Dia. Wahyu mengantar pada hidup yang sejati, dengan segala kelimpahannya
di dunia (lihat Yoh 10:10) dan hidup abadi bersama dengan Allah di masa yang
akan datang.
KGK 52 menyatakan: “Allah ‘yang
bersemayam dalam terang yang tak terhampiri’ (1 Tim 6:16) hendak menyampaikan
kepada manusia, … hidup ilahi-Nya sendiri, supaya melalui Putera-Nya yang
tunggal Ia mengangkat mereka menjadi anak-anak-Nya. Dengan mewahyukan Diri,
Allah hendak menyanggupkan manusia untuk memberi jawaban kepada-Nya,
mengakui-Nya dan mencintai-Nya dengan cara yang jauh melampaui kemampuan
manusia itu sendiri.”
Hidup abadi bukanlah sesuatu yang
dapat diperoleh manusia karena jasa, atau akan diterima sebagai hak. Yesus
menunjukkan bahwa banyak orang tidak akan mencapai hidup kekal, dan secara
abadi terpisah dari Allah (lih Mat 7:13, 14). Namun Yesus tidak datang “untuk
menghukum, melainkan untuk menyelamatkan dunia” (Yoh 12:47) dengan menyampaikan
Sabda Bapa yang diberikan kepada-Nya untuk diwartakan. “Barangsiapa menolak
Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang
yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman” (Yoh
12: 48). Kepenuhan dari Sabda yang amat-sangat penting ini di dalam Wahyu yang
datang kepada kita dari Allah Bapa, adalah dalam pribadi Yesus Kristus.
Allah Berbicara Kepada Kita Melalui Sejarah
Dokumen
Konsili Vatikan II Dei Verbum menjelaskan
bahwa Allah mewahyukan diri baik melalui perbuatan maupun perkataan (DV 2). KGK
53 juga menegaskan bahwa keputusan wahyu ilahi itu diwujudkan "dalam
perbuatan dan perkataan yang bertalian satu sama lain". Di dalamnya
tercakup "kebijaksanaan mendidik" dari ilahi yang khas: Allah menyatakan
Diri secara bertahap kepada manusia; Ia mempersiapkan manusia secara berangsur-angsur
untuk menerima wahyu diri-Nya yang
adikodrati, yang mencapai puncaknya dalam pribadi dan perutusan Yesus Kristus,
Sabda yang menjadi manusia.
Dengan menggunakan kiasan bahwa
Allah dan manusia seakan-akan saling membiasakan diri satu sama lain, Santo
Ireneus dari Lyon berulang kali berbicara tentang pedagogi ilahi ini.
"Sabda Allah berdiam dalam manusia dan menjadi putera manusia, supaya
manusia membiasakan diri untuk menerima Allah, dan Allah membiasakan diri untuk
tinggal dalam manusia seturut perkenanan Bapa" (Haer. 3,20,2).
Iman Kristiani dan Yahudi didasarkan
pada kepercayaan bahwa Allah bertindak dengan cara yang unik dan khas dalam
sejarah manusia, dan bahwa Dia juga berbicara kepada manusia dengan berbagai
ragam cara.
Proses perwahyuan mengalami
perkembangan tahap demi tahap. KGK secara garis besar menggambarkan tahap-tahap
Wahyu di mana Allah membiarkan diri dikenal pada awal mulanya dari lingkungan
yang lebih sempit, kemudian melebar. Pada mulanya Ia mewahyukan diri kepada
suatu pasangan (Adam dan Hawa), lalu kepada satu keluarga (Nuh), lalu kepada
satu bangsa (Abraham), dan akhirnya kepada seluruh dunia (dalam dan oleh Yesus
Kristus).
Perjanjian
dengan Adam
Maka "Allah, yang menciptakan
segala sesuatu melalui Sabda-Nya (lih. Yoh 1:3) serta melestarikannya dalam
mahluk-mahluk, senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia
(lih. Rm 1:19-20). Dan karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di
surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan diri kepada manusia pertama"
(DV3), Adam dan Hawa. Ia menghimpun mereka dalam suatu persatuan yang erat
dengan diri-Nya di Taman Firdaus, menganugerahi mereka dengan rahmat dan
keadilan (lih KGK 54).
Kisahnya mulai dari Kitab Kejadian,
ketika Allah memberi Adam “kekuasaan” atas “seluruh bumi” dan semua mahluk di
dalamnya, mulai dari ikan dan burung hingga ternak dan serangga (Kej 1:26).
Adam diciptakan dalam “citra” Allah dan dalam “keserupaan” dengan Allah, yang
melukiskan hubungan bapa-putera, ayah-anak, dan suatu delegasi atau pelimpahan
tanggungjawab rajawi. Lelaki dan perempuan diciptakan untuk mengabdi sebagai
anak-anak sulung yang mewakili pemerintahan Allah.
Allah “memahkotai” semua umat
manusia dalam Adam dan memberikan “kekuasaan” dan “pengaturan” atas
pasangan-pasangan awal dan keturunannya.
Dalam penciptaan, kita lihat Allah
menyelenggarakan dunia dan kemudian menetapkan manusia sebagai keluarga
rajawi-Nya di atas bumi. Dengan meriah Ia memeteraikan ketentuan-Nya ini dengan
mengadakan suatu perjanjian kekal.
Salah satu syarat dari perjanjian
Allah dengan bangsa manusia adalah kekuasaan (dominasi): Adam dan Hawa harus
memenuhi bumi dan menguasainya. Dengan demikian Allah mengadakan kosmos untuk
kebaikan dan kebahagiaan manusia. Ia membuat kosmos ini dapat dipahami oleh
manusia dengan suatu cara yang tidak diketahui binatang. Pengertian kita akan
alam ciptaan berbeda dengan pengertian binatang, bukan hanya dalam derajatnya,
tetapi juga macamnya. Pikiran manusia dengan demikian disesuaikan dengan alam
ciptaan; dan alam ciptaan diselenggarakan untuk pikiran manusia. Ini merupakan
prinsip antropik kosmis (manusia kosmis) dalam bentuk awalnya. Dan persyaratan
perjanjian ini, piagam kekuasaan dan rajawi ini, bersama dengan pentingnya
bahwa alam ciptaan itu dapat dipahami – memungkinkan sains tentang alam dan
teknologi .
Namun karena kesombongan dan
ketidakpatuhan, Adam dan Hawa kehilangan status khusus mereka. Ketika iblis
dalam rupa ular mencobai mereka, mereka melepaskan jabatan yang diberikan pada
mereka oleh ilahi. Adam gagal menjaga kesucian taman dari penyusup yang
mematikan; dan dengan memetik buah terlarang, ia dan Hawa menolak menyampaikan
persembahan demi hasrat mereka akan barang-barang duniawi. Mereka juga menolak
untuk melaksanakan kekuasaan mereka atas binatang yang diberikan pada mereka. Persatuan dengan Allah ini dirusak
oleh kesalahan manusia pertama yang melawan ketentuan Allah.
Tetapi Wahyu tidak putus oleh dosa
leluhur kita. “Karena
sesudah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan Allah mengangkat mereka
untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej 3:15). Tiada putus-putusnya Ia
memelihara umat manusia, untuk mengaruniakan hidup kekal kepada semua yang
mencari keselamatan dengan bertekun melakukan apa yang baik (lih. Rm 2:6-7)” (DV 3, KGK 55). Tradisi doa
menyatakan keyakinan “Ketika manusia kehilangan persahabatan dengan Dikau
karena tidak setia, ia tidak Kaubiarkan merana di bawah kekuasaan maut. Berulang
kali Engkau menawarkan perjanjian kepada mereka" (MR, Doa Syukur Agung IV, 118). Kitab Suci Perjanjian Lama menceritakan
berbagai tindakan penyelamatan oleh Allah. Allah mewahyukan diri kepada Nuh,
Abraham, Musa, para nabi, dan pria dan wanita dari Perjanjian Lama melalui
mimpi, penglihatan, suara, malaikat utusan dan sarana-sarana lainnya.
Perjanjian
dengan Nuh
Dalam
bab-bab selanjutnya dari Kitab Kejadian, keluarga manusia menjadi makin ganas
memberontak, mulai dari Kain yang membunuh saudaranya, Habel, dan berlanjut
pada kemerosotan menyeluruh pada zaman Nuh. Allah menata ulang sebagian dari
tatanan kosmis dengan menyelamatkan keluarga Nuh.
Banjir besar yang diceritakan dalam
Kej 6-9 yang meliputi semua daratan. Air bah membinasakan semua mahluk hidup
karena kejahatan manusia (Kej 6:5). Hanya Nuh dan keluarganya saja yang
diselamatkan karena “Nuh hidup bergaul dengan Allah dan Nuh adalah orang yang
benar dan tidak bercela di antara sesamanya” (Kej 6:9). Nuh kemudian dipilih
untuk menjadi pengantara perjanjian yang kedua dan ikut serta dalam penciptaan
baru. Allah berjanji tidak akan menghancurkan mahluk hidup dengan air bah lagi.
Persis seperti yang dilakukannya dengan Adam, Allah memerintahkan agar Nuh
“beranak-cucu dan bertambah banyak memenuhi bumi, dan memberinya kuasa atas
binatang, burung, dan ikan-ikan (Kej 9:2).
“Dalam perjanjian yang Ia lakukan
dengan Nuh sesudah air bah, kehendak keselamatan ilahi dinyatakan kepada
'bangsa-bangsa', artinya kepada manusia-manusia, yang tinggal di 'negerinya
masing-masing dan mempunyai bahasa serta suku-sukunya sendiri' (Kej 10:5, KGK
56). Sebab kemudian dari anak keturunan Nuh lahirlah bangsa-bangsa yang sangat
banyak yang pada awalnya dibuat daftarnya dalam kitab Kej 10. “ Itulah segala
kaum anak-anak Nuh menurut keturunan mereka, menurut bangsa mereka. Dan dari
mereka itulah berpencar bangsa-bangsa di bumi setelah air bah itu” (Kej 10:32).
Oleh Allah, “Pengaturan
bangsa-bangsa yang banyak, yang dipercayakan oleh penyelenggaraan ilahi kepada
pengawalan para malaikat, adalah sekaligus kosmis, sosial, dan religius. Aturan
ini dimaksudkan untuk membendung kesombongan umat manusia yang sudah jatuh,
yang bersatu dalam cita-cita yang jahat, untuk membentuk dirinya menjadi
kesatuan seturut model Babel (Kej 11). Tetapi karena dosa, maka aturan
sementara ini selalu terancam dan dapat jatuh ke dalam penyimpangan kafir yakni
politeisme dan pendewaan bangsa serta pemimpinnya” (KGK 57).
Perjanjian dengan Nuh berlaku pada
zaman bangsa-bangsa sampai kepada pewartaan Injil di seluruh dunia. (KGK
58). Dengan demikian Kitab Suci
menegaskan kesucian agung yang dapat dicapai oleh mereka yang hidup tekun
sesuai dengan perjanjian Nuh sambil menantikan Kristus yang akan datang "untuk
mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai" (Yoh
11:52).
Allah
Memilih Abraham
Dosa
timbul lagi dalam dunia. Karena kesombongan pemujaan diri sendiri di Menara
Babel yang hendak dibangun sampai ke langit, keluarga manusia sekali lagi
terpencar berserakan, terasing dari Allah, bahkan dari satu sama lain.
Angkatan-angkatan yang jahat ini semakin jauh dari panggilan Allah yang awal
bagi manusia.
Lalu datanglah Abraham, tokoh iman,
pada siapa Allah menjanjikan pemulihan perjanjian kosmis di masa depan. Kepada
Abraham dan keturunannya, Allah menjanjikan berkat untuk semua keluarga di bumi
(Kej 12:3); tanah yang makmur (Kej 12:1); keturunan rajawi (Kej 17:6). Dan
Allah memeteraikan setiap janji-Nya (lihat Kej 15; 17:4-8; dan 22:15-18),
dengan demikian menyambung kembali ikatan kekerabatan di antara Allah dan
keluarga manusia. Melalui Abraham inilah kita juga bertemu dengan seorang
raja-imam, Melkisedek, raja Salem (Kej 14:18), yang memberkati Abraham dengan
mempersembahkan korban anggur dan roti kepada Allah.
Untuk mengumpulkan kembali umat
manusia yang tercerai-berai, Allah memilih Abram dan memanggilnya keluar dari
negerinya, dari kaum keluarganya dan
dari rumah bapanya, untuk menjadikannya Abraham yang berarti "bapa
sejumlah besar bangsa" (Kej 17:5): "Karena engkau Aku akan memberkati
semua bangsa di bumi" (Kej 12:3 LXX; lih juga KGK 59).
“Keturunan dari Abraham menjadi
pembawa janji yang Allah ikrarkan kepada para bapa bangsa” (KGK 60). Yang
dimaksud para bapa bangsa adalah tokoh utama laki-laki dalam Kitab Kejadian,
terutama Abraham, Ishak, dan Yakub.
Riwayat utama para bapa bangsa
diceritakan dalam Kej 12-50, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian besar dengan
fokus kisah masing-masing pada Abraham (Kej 12-25), Ishak (Kej 25-26) dan Yakub
serta anak-anaknya (Kej 27-50). Kitab Kisah Para Rasul juga memberikan gelar “bapa
bangsa” kepada kedua belas anak-anak Yakub, antara lain Yusuf yang menjadi
pemimpin di Mesir, dan kepada Raja Daud (Kis 2:29; lih juga KGK 61, 205).
Para bapa bangsa adalah mereka yang
lebih dahulu menerima janji-janji Allah bagi generasi-generasi berikutnya. Kej
12-50 menceritakan rangkaian episode yang terkait dengan janji, yang merunut
sampai ke permulaannya rencana keselamatan dalam sejarah manusia. Kitab-kitab
lain di dalam Kitab Suci selanjutnya memetakan pelaksanaan dari janji-janji ini
yang memuncak di dalam pemenuhan final pada Yesus Kristus (KGK 704–706; 2570–2574). Para bapa bangsa dengan demikian
lebih dari sekedar bapa-bapa dalam silsilah Israel. Mereka adalah para bapa
rohani bagi umat beriman (Ibr 4:1-28). Maka iman kesalehan Abraham membuatnya
menjadi “bapa semua orang yang percaya” (Rm 4:11; bdk Kej 12:2; 15:5-6).
Maka berdasar gambaran di atas
dikatakan bahwa “Keturunan dari Abraham menjadi pembawa janji yang Allah
ikrarkan kepada para bapa bangsa menjadi bangsa terpilih yang dipanggil dengan
maksud mempersiapkan pengumpulan semua anak Allah dalam kesatuan Gereja. Bangsa
ini menjadi akar pohon, yang padanya akan dicangkokkan orang-orang kafir, kalau
mereka sudah percaya” (KGK 60). “Para bapa bangsa, para nabi dan tokoh-tokoh
besar yang lain dalam Perjanjian Lama dari dulu dan terus dihormati dalam semua
tradisi liturgi sebagai orang-orang kudus” (KGK 61).
Musa,
Hakim-hakim dan Nabi-nabi : Allah Membentuk Bangsa-Nya Israel bagi Diri-Nya
Karena
bahaya kelaparan, keturunan Yakub yang disebut Israel pindah, menetap dan
bertambah banyak di Mesir, dan “orang-orang Israel beranak cucu dan tak
terbilang jumlahnya; mereka bertambah banyak dan dengan dahsyat berlipat ganda,
sehingga negeri itu dipenuhi mereka” (Kel 1:7). Tetapi nasib mereka berubah
dramatis di bawah pemerintahan firaun-firaun baru yang tidak lagi mengenal
semua kebaikan yang telah dibuat bapa bangsa Yusuf bagi Mesir, dan mereka
menindas orang-orang Israel dan menjadikan mereka budak-budak, menjadikan
mereka tenaga kerja paksa untuk membangun (atau membangun kembali) kota-kota
Pitom dan Raamses.
Musa dipilih oleh Tuhan untuk
memimpin bangsanya keluar dari belenggu perbudakan. Ia menggunakan kuasa ilahi
yang diberikan kepadanya untuk menghancurkan kekerasan kepala Firaun, demi
kebebasan kaum Israel (Kel 6:1-5). Lalu kisahnya berlanjut dengan pertarungan
antara Musa dengan imam-imam Mesir (Kel 7:11.22; 8:7.18) dan kemudian sepuluh
tulah di Mesir (Kej 7:14-12:30; Mzm 78:42-51; 105:28-36) yang memuncak dengan
peristiwa Paska.
Dari Sukot iring-iringan orang
Israel terus bergerak ke Etam (Kel 13:20) dan kemudian ke Pi-Hahirot di dekat
laut (Kel 14:2). Dari tempat itu orang Israel yang terjepit di antara laut dan
pasukan Mesir yang mengejar diberi jalan pelarian menyibak laut dengan mujizat
dari Tuhan (Kel 14:21-31).
Setelah menyeberangi laut teberau,
orang Israel menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan atas pembebasan mereka (Kel
15) dan segera menuju ke gurun Sur selama tiga hari (Kel 15:22) dan akhirnya
mencapai Elim (Kel 15:27). Dari sana, mereka melanjutkan ke Gurun Sin. “Pada
hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir”
(Kel 16:1) mereka mencapai Sinai.
Tema pokok dari Keluaran dinyatakan
oleh Tuhan kepada Musa: “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan
menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, Tuhan, Allahmu, yang
membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir. Dan Aku akan membawa kamu ke
negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, Ishak
dan Yakub, dan Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu; Akulah
Tuhan" (Kel 6:7-8)
Keluaran merupakan perluasan dari
janji kepada Abraham bahwa Israel akan diberi tanah Kanaan (Kel 3:8; 6:8).
Bagian kedua dari kitab Keluaran
(Kel 19:1-40:38) berkaitan dengan perjanjian (Kel 19 -24), penjabaran
ketentuan-ketentuannya menjadi Hukum Sinai diawali dengan Sepuluh Perintah
Allah dan suatu kode hukum sosial dan etika agama (Kel 20-23).
Maksud dari kitab Keluaran dan
perjanjian dinyatakan Allah kepada Musa: “Jadi sekarang, jika kamu
sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka
kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab
Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan
bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang
Israel." (Kel 19:5-6). Israel ditampilkan oleh Allah, Bapanya, sebagai
putera yang sulung (Kel 4:2) dari antara segala bangsa di dunia, dengan peran
raja-imam sebagai saudara tertua bagi bangsa-bangsa lainnya. Hukum yang
menjabarkan perjanjian dimaksudkan untuk mengubah konfederasi yang longgar di
antara suku-suku menjadi bangsa Tuhan. Perjanjian dimeterai dengan meriah di
antara Tuhan, Musa, Harun, Nadab, Abihu dan tujuh puluh penatua Israel dengan
makan bersama di atas gunung (Kel 24:10).
Katekismus menggariskan suatu
ikhtisar: “Sesudah zaman para bapa bangsa, Tuhan menjadikan Israel bangsa-Nya.
Ia membebaskannya dari perhambaan di Mesir, mengadakan perjanjian dengannya di
Sinai, dan memberi kepadanya hukum-Nya melalui Musa, supaya mengakui diri-Nya
sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan benar, sebagai bapa penyelenggara dan
sebagai hakim yang adil, dan untuk menantikan Juru Selamat terjanji” (KGK
62). “Israel adalah bangsa imam-imam
Allah, yang telah diberkati dengan 'nama Allah' (Ul 28:10). Itulah bangsa
orang-orang, 'yang menerima Sabda Allah sebelum kita' (MR, Jumat Agung, Doa
umat meriah 6), bangsa 'kakak-kakak' dalam iman Abraham.” (KGK 63).
Sayangnya, pemenuhan janji dari
perjanjian Abraham ini tidak terlaksana di bawah perjanjian Musa, karena segera
terjadi pelanggaran perjanjian Sinai dengan dibuatnya patung anak lembu jantan
dari emas (Kel 32) untuk disembah. Insiden itu menentukan perlunya pengulangan
pembuatan perjanjian Musa kembali (Kel 34:1-35) di mana imamat umum anak sulung
bangsa Israel dipindahkan kepada suku Lewi (Kel 32:27-27-29; Bil 3:5-51) dan
ada banyak lagi tambahan hukum lainnya (Kel 35-Im 27). Pemberontakan bangsa
Israel lain yang terjadi di padang gurun (Bil 11, 12, 14, 16, 17), terutama
penyembahan berhala dan perzinahan di Betpeor (Bil 2) sekali lagi menyebabkan
pengulangan pembuatan perjanjian Musa yang dilukiskan dalam Kitab Ulangan.
Ditetapkan di Betpeor di Dataran Moab (Ul 1:5; 3:29; 4:44-46) hampir empat
puluh tahun sesudah peristiwa Sinai, perjanjian Ulangan (Deuteronomi) jelas merupakan suatu perjanjian yang berbeda yang
meningkatkan perjanjian yang terdahulu dan yang yang diperbarui di Sinai (juga
disebut Horeb, lihat Ul 29:1). Untuk yang pertama kalinya hukum yang diberikan
kepada Israel mengizinkan adanya raja manusia (Ul 17:14-20), perang total (Ul
20:16-18), dan perceraian (Ul 24:1-4).
Catatan sejarah Israel berikutnya di
bawah perjanjian Musa belang-belang, tetapi rencana Allah bagi umatNya memuncak
di bawah Daud dan awal pemerintahan Salomo (2Sam 5 sampai 1Raj 10). Daud
mempersatukan bangsa di bawah suatu pemerintahan pusat yang kuat di ibu
negerinya di Yerusalem (2Sam 5) dan membuat ibadat yang benar kepada Allah
sebagai prioritas nasional (2Sam 6-7). Allah menganugerahkan kepada Daud suatu
perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam 2Sam 7:5-16. Istilah perjanjian ini
menjadikan Daud dan pewarisnya anak-anak Allah (2Sam 7:14; Mzm 89:26-27) dan
raja-raja yang tinggi di bumi (Mzm 89:27; 2:6-9) yang pemerintahannya tak akan
berakhir (2Sam 7:13.16) dan yang akan membangun Rumah Allah – yaitu Bait Allah
(2Sam 7:13).
Sesudah periode kemuliaan yang
singkat di bawah raja Salomo, dalam mana janji-janji Allah tampaknya akan
terpenuhi (1Raj 4-10), kerajaan Daud memasuki periode kemerosotan yang panjang,
mulai dari pembagian Israel menjadi sepuluh kawasan suku-suku di utara dan
selatan Yehuda (2Raj 12). Dalam situasi umat Allah yang terbelah-belah itu para
nabi seperti Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel menyerukan akan datangnya suatu
perjanjian baru (Yer 31:31; bdk Yes 55:1-3; 59:20-21; 61:8-9; Yeh 34:25; 37:26)
yang akan berbeda dari perjanjian Musa yang gagal (Yer 31:32; bdk Yeh 20:23-28;
Yes 61:3-4). Serentak dengan itu, perjanjian Daud akan diperbarui (Yer
33:14-26; Yes 9, 11, 55:3; Yeh 37:15-28).
Katekismus menyampaikan ikhtisar
demikian: “Dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsa-Nya di dalam
harapan akan keselamatan, dalam menantikan satu perjanjian yang baru dan kekal,
yang diperuntukkan bagi semua orang dan ditulis dalam hati mereka. Para nabi
mewartakan pembebasan bangsa Allah secara radikal, penyucian dari segala
kejahatannya, keselamatan yang mencakup semua bangsa. Terutama orang yang
miskin dan rendah hati di hadapan Allah menjadi pembawa harapan ini.
Wanita-wanita saleh seperti Sara, Ribka, Rahel, Miriam, Debora, Hana, Yudit,
dan Ester tetap menghidupkan harapan akan keselamatan Israel itu; tokoh yang
termurni di antara mereka adalah Maria” (KGK 64).
Yesus
Kristus - Perantara dan Pemenuhan
Seluruh Wahyu
Dalam
Sabda-Nya Allah telah Mengatakan Segala-galanya
“Setelah
pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada
nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia
telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya" (Ibr l:l-2).
Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia, adalah Sabda Bapa yang tunggal,
yang sempurna, yang tidak ada taranya. Dalam Dia Allah mengatakan segala-galanya,
dan tidak akan ada perkataan lain lagi. Hal ini ditegaskan dengan jelas oleh Santo
Yohanes dari Salib dalam uraiannya mengenai Surat Ibrani 1:1-2: 'Sejak Ia
menganugerahkan kepada kita Anak-Nya, yang adalah Sabda-Nya, Allah tidak
memberikan kepada kita sabda yang lain lagi. Ia sudah mengatakan segala sesuatu
dalam Sabda yang satu itu ... Karena yang Ia sampaikan dahulu kepada para nabi
secara sepotong-sepotong, sekarang ini Ia sampaikan dengan utuh, waktu Ia
memberikan kita seluruhnya yaitu Anak-Nya. Maka barang siapa sekarang ini masih
ingin menanyakan kepada-Nya atau menghendaki dari-Nya penglihatan atau wahyu,
ia tidak hanya bertindak tidak bijaksana, tetapi ia malahan mempemalukan Allah;
karena ia tidak mengarahkan matanya hanya kepada Kristus sendiri, tetapi
merindukan hal-hal lain atau hal-hal baru' (Carm. 2,22)” (KGK 65).
Kitab Suci Kristiani (Perjanjian
Baru) mengisahkan karya kuasa Yesus dalam menyembuhkan, mengusir setan dan
akhirnya menebus umat manusia melalui wafat-Nya pada kayu salib. Perjanjian
Baru menyatakan bahwa dalam Yesus Kristus, Allah berbicara kepada manusia
dengan cara yang satu-satunya dan tiada taranya. Perkataan Yesus dan ajaran-Nya menyampaikan kepada kita wahyu yang sempurna
dan murni dari Allah, karena “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam
Dia” (Kol 1:19). Injil-injil, terutama Matius dan Lukas, dengan jelas
menggambarkan Yesus sebagai Putera (pewaris) Daud dan dengan demikian yang akan
memulihkan perjanjian Daud (Mat 1:1-25; Luk 1:31-33.69; 2:4). Pada episode Perjamuan
Terakhir, secara eksplisit Yesus menyatakan tubuh dan darahNya sebagai
Perjanjian Baru (Luk 22:20; 1 Kor 11:25) yang dijanjikan oleh para nabi (Yer
31:31), sehingga jelas-jelas memenuhi janji Yesaya bahwa Hamba Tuhan tidak
hanya membuat suatu perjanjian tetapi menjadi suatu perjanjian (Yes 42:6;
49:8). Menurut Surat Ibrani, Perjanjian Baru lebih unggul daripada yang lama
(yaitu perjanjian Musa) karena dibuat oleh pengantara yang lebih baik (Kristus
versus imam besar; Ibr 8:6; 9:25); didasarkan atas persembahan yang lebih baik
(darah Kristus versus darah binatang; Ibr 9:12.23), di tempat suci yang lebih
baik (surga versus kemah duniawi; Ibr
9:11.24).
Perjanjian Baru jauh lebih unggul
daripada perjanjian Musa; memulihkan dan menyempurnakan perjanjian Daud. Yesus
Kristus adalah Putera Daud yang akan memerintah selamanya dari Sion surgawi
(Ibr 12:22-24) dan menyatakan pemerintahan-Nya atas Israel dan segala bangsa
(Mat 28:18-20) melalui menteri utama, Petrus (bdk Mat 16:18-19; Yes 22:15-22,
terutama 22) dan pejabat-pejabat lainnya, yaitu para rasul (Luk 22:32; Mat
19:28; bdk 1 Raj 4:7). Demikianlah Yakobus memandang pertumbuhan Gereja di
antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain sebagai pemenuhan nubuat Amos bahwa
Allah akan memulihkan ”kemah” yang rubuh (yaitu kerajaan) dari Daud (Kis
15:13-18; bdk Am 9:11-12).
Perjanjian Baru meliputi pemenuhan
perjanjian-perjanjian yang lain dalam sejarah keselamatan juga. Maka Yesus
adalah seorang Adam yang baru (Rm 5:12-19) yang membuat kita ciptaan yang baru
(2 Kor 5:17; Gal 6:15). Ia memenuhi semua janji-janji yang diberikan kepada
Abraham (Luk 1:68-75, terutama 72-73), termasuk menjadi bangsa yang besar
(Gereja; 1 Ptr 2:9); pemerintahan raja (Why 19:16), bapa segala bangsa (Rm
4:16-18) dan berkat bagi bangsa-bangsa dialami dalam pencurahan Roh Kudus
kepada semua orang (Kis 3:25-26; Gal 3:6-9. 4-18). Bahkan perjanjian Musa, yang
dalam bagian tertentu telah diubah (Gal 3:19-25), pada dasarnya juga terpenuhi
oleh Perjanjian Baru yang menganugerahkan kepada kaum beriman kuasa Roh Kudus
untuk memenuhi inti Hukum Musa, yaitu perintah kasih kepada Allah dan kepada
sesama (Rm 8:3-4; 13:8-10; Mat 5:17; 22:37-40).
Roh Kudus Menyingkapkan
Kebenaran Allah
Allah
memasuki sejarah kita sebagai manusia, yaitu Yesus dari Nazaret. Namun tidaklah
mungkin mengenali siapa Yesus tanpa penerangan dari Roh Kebenaran, yaitu Roh
Kudus. Santo Paulus menulis bahwa “tidak ada seorang pun yang dapat mengaku
‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh Roh Kudus”
(1Kor 12:3). Begitu pula, hanya Roh Kuduslah yang memungkinkan kita mengenal
dan menyebut Allah sebagai “Abba, ya Bapa” (lih Rm 8:15,16; Gal 4:6).
Di dalam Injil Yohanes pada waktu
Perjamuan Malam Terakhir Yesus menyatakan kepada para rasulNya bahwa demi
merekalah Dia akan pergi, sebab dengan kepergianNya itu Dia dapat mengirimkan
Roh Kudus kepada mereka.
Masih banyak yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang
kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran,
Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran (Yoh 16:12-13).
Karena itulah kita dapat mengatakan
bahwa Roh Kudus-lah yang menyingkapkan semua itu, sumber perwahyuan Allah yang
setia di dalam Gereja. Injil Yohanes menyatakan bahwa Roh Kudus akan
mengingatkan semua perkataan dan ajaran Yesus (lih Yoh 14:26). Dia akan
“mengajarkan segala sesuatu kepadamu” (Yoh 14:26), dan “akan memberitakan
kepadamu hal-hal yang akan datang” (Yoh
16:13).
Gereja Katolik selalu menekankan
bahwa sumber terakhir dari perwahyuan
bukanlah sebuah buku (Kitab Suci), atau sesuatu (Tradisi), juga bukan
sekelompok orang atau seseorang (Magisterium atau Paus), tetapi Allah sendiri,
khususnya dalam pribadi Roh Kudus. Roh Kudus mengungkapkan kebenaran Allah
melalui saluran-saluran yang telah disebutkan itu (Kitab Suci, Tradisi, Magisterium,
Paus). Roh Kudus jugalah yang membimbing Gereja melalui saluran-saluran itu
kepada kepenuhan kebenaran.