Daftar Blog Saya

Minggu, 22 Januari 2023

MOTU PROPRIO APERUIT ILLIS TENTANG MINGGU BIASA KETIGA SEBAGAI HARI SABDA ALLAH

 


SURAT APOSTOLIK “APERUIT ILLIS” DARI PAUS FRANSISKUS 

DALAM BENTUK “MOTU PROPRIO” 

YANG MENETAPKAN HARI MINGGU SABDA ALLAH 

1. ”Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45). Itulah salah satu tindakan terakhir yang dilakukan Tuhan yang bangkit, sebelum Kenaikan-Nya. Ia menampakkan diri kepada para murid ketika mereka berkumpul; Ia memecah-mecahkan roti bersama mereka dan membuka pikiran mereka untuk mengerti Kitab Suci. Kepada mereka yang sedang ketakutan dan cemas itu, Ia menyingkapkan makna misteri Paskah, yakni bahwa, seturut rencana kekal Bapa, Yesus harus menderita dan bangkit dari antara orang mati untuk menawar-kan pertobatan dan pengampunan dosa (Luk. 24:26; 46-47); dan Ia menjanjikan Roh Kudus yang akan memberikan kekuatan kepada mereka untuk menjadi saksi-saksi Misteri keselamatan itu (Luk. 24:49). 

Relasi antara Tuhan yang bangkit, komunitas orang beriman, dan Kitab Suci sangat penting bagi identitas kita. Tanpa Tuhan yang membuka pikiran kita, tidaklah mungkin kita memahami Kitab Suci secara mendalam. Namun sebaliknya benar juga: tanpa Kitab Suci peristiwa-peristiwa perutusan Yesus dan Gereja-Nya di dunia tidak dapat dimengerti. Dengan tepat Santo Hieronimus dapat menyatakan: ”Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus” (Komentar pada Kitab Nabi Yesaya, Prolog: PL 24:17). 

2. Pada penutupan Tahun Yubileum Luar Biasa Belas Kasih, saya telah mengusulkan agar dipikirkan “suatu hari Minggu yang seluruhnya diperuntukkan bagi Sabda Allah, untuk memahami kekayaan yang muncul dari dialog Allah dengan umat-Nya yang terus menerus, suatu kekayaan yang tak pernah akan habis” (Surat Apostolik Misericordia et misera, 7). Memperuntukkan secara khusus satu hari Minggu dalam Tahun Liturgi bagi Sabda Allah, pertama-tama memungkinkan Gereja mengalami kembali tindakan Tuhan yang bangkit, yang membuka juga bagi kita kekayaan SabdaNya agar kita di dunia ini mampu menjadi pewarta kekayaan yang tak pernah akan habis itu. Di sini kami diingatkan akan pengajaran Santo Efrem: ”Ya Tuhan, siapakah yang mampu memahami seluruh kekayaan sabda-sabda-Mu, meski hanya satu saja? Lebih banyak luput dari pemahaman kami dari pada yang bisa kami mengerti. Kami seperti orang-orang kehausan yang minum dari mata air. Aneka sudut Sabda-Mu sama banyak dengan sudut-sudut pandang mereka yang mempelajarinya. Tuhan telah mewarnai Sabda-Nya dengan beragam keindahan, agar semua orang yang mempelajarinya bisa mengkontemplasikan apa yang menyukakan mereka. Tuhan telah menyembunyikan dalam Sabda-Nya segala harta, agar kita masing-masing menemukan suatu kekayaan dalam apa yang dikontemplasikan” (Komentar atas Diatessaron, 1:18). 

Dengan surat ini saya bermaksud menjawab banyak permintaan yang disampaikan kepada saya dari sisi Umat Allah, agar di dalam seluruh Gereja dapat dirayakan Hari Minggu Sabda Tuhan dengan tujuan bersama. Sekarang telah menjadi praktik umum untuk menjalani saat-saat di mana komunitas Kristen merenungkan nilai tinggi yang dimiliki Firman Allah dalam kehidupan sehari-harinya. Di Gereja –gereja lokal sudah ada suatu kekayaan kegiatan yang membuat Sabda Allah makin mudah diakses oleh umat beriman, hingga membuat mereka merasa bersyukur atas anugerah yang begitu besar, berusaha menghayatinya dalam hidup sehari-hari, dan merasa bertanggung jawab untuk memberi kesaksian tentangnya dengan konsisten. 

Melalui Konstitusi Dei Verbum, Konsili Vatikan II telah memberi dorongan besar untuk membuka kembali Sabda Allah. Teks Dei Verbum yang selalu patut direnungkan dan dihayati, menguraikan secara jelas sifat Kitab Suci, pewarisannya dari generasi ke generasi (Bab II), ilham ilahi Kitab Suci (Bab III) yang mencakup Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Bab IV dan V) dan pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja (Bab VI). Untuk mengembangkan pengajaran itu, Paus Benediktus XVI pada tahun 2008 mengumpulkan Sidang Sinode para Uskup dengan tema ”Sabda Allah dalam Hidup dan Misi Gereja”, yang disusul dengan penerbitan Seruan Apostolik Verbum Domini, yang berisi ajaran sangat penting bagi komunitas-komunitas kita (Bdk. AAS 102 (2010), 692-787). Dokumen ini secara khusus mendalami sifat performatif Sabda Allah, teristimewa ketika dalam perayaan liturgis muncul ciri khas sakramentalnya (Sakramentalitas Firman dapat dimengerti analog dengan kehadiran nyata Kristus dalam wujud roti dan anggur yang dikonsekrasikan. Dengan mendekati altar dan mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi kita sungguh mengambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus. Pewartaan Firman Allah dalam perayaan menuntut pengakuan bahwa Kristus sendiri hadir, bahwa Ia berbicara kepada kita untuk didengarkan. (Verbum Domini  56).

Oleh karena itu, hidup umat kita sepatutnya selalu ditentukan oleh relasi dengan Sabda yang hidup yang tanpa lelah disampaikan oleh Tuhan kepada Mempelai-Nya, agar bisa tumbuh dalam cinta kasih serta pemberian kesaksian iman. 

3. Oleh karena itu, saya menetapkan bahwa Hari Minggu III Dalam Masa Biasa diperuntukkan bagi perayaan, pendalaman, dan penyebaran Sabda Allah. Hari Minggu Sabda Allah ini akan jatuh pada suatu momen tahunan yang sangat cocok, yakni ketika kita diundang untuk mempererat hubungan dengan umat Yahudi dan berdoa bagi kesatuan umat kristiani. Hal ini lebih dari sekadar bertepatan waktu: merayakan Hari Minggu Sabda Allah mempunyai nilai ekumenis, karena Kitab Suci, bagi mereka yang mendengarkannya, menunjukkan jalan yang perlu diikuti untuk mencapai kesatuan yang otentik dan kokoh. 

Masing-masing komunitas akan menemukan caranya sendiri untuk menghayati Hari Minggu itu sebagai hari meriah. Namun akan penting bahwa dalam perayaan Ekaristi, Kitab Suci bisa ditahtakan, sehingga tampak bagi umat nilai normatif Sabda Allah. Pada hari Minggu itu, dengan cara khusus, pentinglah memberi tekanan pada pewartaannya dan menyusun homili sedemikian sehingga pelayanan yang diberikan kepada Sabda Tuhan menjadi tampak. Pada Hari Minggu ini para Uskup bisa merayakan upacara pelantikan Lektor atau pelayanan yang serupa, untuk menggarisbawahi pentingnya pewartaan Sabda Allah dalam liturgi. Sungguh, sangat pentinglah setiap usaha menyiapkan beberapa umat beriman untuk menjadi pewarta-pewarta Sabda yang sejati dengan suatu persiapan yang memadai, sebagaimana sudah biasa dilakukan bagi para akolit atau para prodiakon yang melayani Komuni. Demikian juga, para pastor bisa mencari jalan untuk memberikan Alkitab, atau salah satu kitabnya, kepada seluruh umat untuk menunjukkan pentingnya melanjutkan dalam hidup sehari-hari pembacaan, pendalaman, dan doa dengan Kitab Suci, khususnya melalui praktik lectio divina. 

4. Kembalinya orang-orang Israel ke tanah air mereka, sesudah masa pembuangan di Babel, secara jelas ditandai dengan pembacaan Kitab Taurat Musa. Kitab Nehemia menggambarkan peristiwa itu bagi kita secara mengharukan. Seluruh rakyat berkumpul di Yerusalem di halaman di depan Pintu Gerbang Air untuk mendengarkan Hukum Taurat. Setelah tercerai-berai karena pembuangan, sekarang mereka berkumpul ”seperti satu manusia” di sekitar kitab suci (Neh. 8:1). ―Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan dari kitab suci (8:3), dengan menyadari bahwa di dalam kata-kata itu mereka dapat menemukan makna peristiwa-peristiwa hidup mereka. Mereka menanggapi pewartaan Sabda itu dengan terharu dan menangis: “Bagian-bagian dari kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti. Lalu Nehemia, yakni kepala daerah itu, dan imam Ezra, ahli kitab itu, dan orang-orang Lewi yang mengajar umat itu, berkata kepada mereka semuanya: ’Hari ini adalah kudus bagi TUHAN Allahmu. Jangan kamu berdukacita dan menangis!, karena semua orang itu menangis ketika mendengar kalimat-kalimat Taurat itu” (8:8-10). 

Kata-kata itu memuat suatu ajaran yang penting. Kitab Suci bukan hanya milik beberapa orang, apalagi bukan suatu koleksi kitab bagi beberapa orang yang diistimewakan. Kitab Suci pertama-tama adalah milik umat yang berkumpul untuk mendengarkannya dan mengenali dirinya di dalam kata-kata itu. Sering, ditemukan kecenderungan untuk memonopoli teks suci dengan membatasinya pada beberapa kalangan atau kelompok terpilih. Tidak boleh demikian. Alkitab adalah kitab milik Umat Tuhan yang, dalam mendengarkannya, bergerak dari keterasingan dan perpecahan menuju kesatuan. Sabda Allah menyatukan orang-orang beriman dan menjadikan mereka satu umat. 

5. Dalam kesatuan yang berasal dari mendengarkan, terutama para gembala memiliki tanggung jawab besar untuk menjelaskan Kitab Suci dan membantu semua orang untuk memahaminya. Karena Kitab Suci adalah kitab umat, maka mereka yang dipanggil menjadi pelayan Sabda harus merasakan kebutuhan mendesak agar komunitas mereka mendapat akses kepada Kitab itu. 

Khususnya homili mempunyai fungsi yang sangat istimewa, karena memiliki ”sifat kuasi-sakramental” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 142). Ketika mengantar umat masuk secara mendalam di dalam Sabda Allah, dengan bahasa yang sederhana dan selaras dengan para pendengar, imam dapat menyingkapkan juga ”keindahan kiasan yang dipakai oleh Tuhan untuk mendorong orang melakukan kebaikan” ( ibid.). Ini adalah kesempatan pastoral yang tidak boleh dilewatkan! 

Sesungguhnya bagi banyak umat beriman, homili adalah satu-satunya kesempatan yang mereka miliki untuk menangkap keindahan Sabda Allah dan mengenali hubungannya dengan kehidupan sehari-hari mereka. Maka kita perlu menyediakan waktu yang cukup untuk mempersiapkan homili. Penafsiran bacaanbacaan suci tak bisa diimprovisasi. Kita para pengkhotbah hendaknya tidak memberikan khotbah yang panjang dan berlebihan atau dengan topik-topik yang tidak terkait. Ketika kita mengambil waktu untuk merenungkan teks Kitab Suci dan berdoa dengannya, kita mampu berbicara dari hati untuk mencapai hati para pendengar, sambil mengungkapkan hal-hal pokok yang ditangkap dan menghasilkan buah. Hendaknya kita tidak pernah lelah menyediakan waktu dan doa bagi Kitab Suci, agar diterima ”bukan sebagai perkataan manusia, tetapi — dan memang sungguh-sungguh demikian — sebagai firman Allah” (1 Tes. 2:13). 

Baik juga bila para katekis, dalam pelayanannya untuk membantu umat tumbuh dalam iman, merasakan kebutuhan mendesak untuk membarui dirinya melalui keakraban dengan Kitab Suci dan pendalamannya. Ini akan membantu mereka menyuburkan dialog sejati antara para pendengar mereka dan Sabda Allah. 

6. Sebelum menjumpai para murid di dalam rumah dengan pintu-pintu terkunci, dan membuka pikiran mereka untuk mengerti Kitab Suci (Luk. 24:44-45), Tuhan yang bangkit menampakkan diri kepada dua murid dalam perjalanan dari Yerusalem ke Emaus (24:13-35). Cerita Penginjil Lukas mencatat bahwa hari itu tepat hari Kebangkitan, yakni hari Minggu. Dua murid itu membicarakan kejadian-kejadian terakhir, penderitaan dan kematian Yesus. Perjalanan mereka ditandai dengan kesedihan dan kekecewaan karena akhir hidup Yesus yang tragis. Mereka telah mengharapkan Dia sebagai Mesias pembebas, namun sebaliknya mereka menghadapi skandal Mesias Yang Tersalib. Dengan hati-hati, Dia yang bangkit mendekati dan berjalan bersama murid-murid itu, namun mereka tidak mengenal-Nya (ay. 16). Di tengah jalan, Tuhan menanyai mereka, dengan menyadari bahwa mereka tidak mengerti makna penderitaan dan kematian-Nya. Ia menyebut mereka ”bodoh dan lamban hati” (ay. 25) dan ”menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi” (ay. 27). Kristus adalah penafsir pertama! Kitab-kitab Perjanjian Lama tidak hanya menubuatkan apa yang akan Dia lakukan, tetapi Dia sendiri ingin setia kepada Sabda itu untuk memperlihatkan kesatuan sejarah keselamatan yang menemukan kepenuhannya dalam Kristus. 

7. Maka Alkitab, sebagai tulisan suci, berbicara tentang Kristus dan mewartakan-Nya sebagai Dia yang harus melewati penderitaan untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (ay. 26). Bukan hanya satu bagian saja, namun seluruh Kitab Suci berbicara tentang Dia. Lepas dari Kitab Suci, wafat dan kebangkitan-Nya tidak bisa dipahami. Karena itu salah satu pengakuan iman paling kuno menggarisbawahi bahwa ”Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas” (1 Kor. 15:3-5). Karena seluruh Kitab Suci berbicara tentang Kristus, kita dapat percaya bahwa kematian dan kebangkitan-Nya bukanlah bagian dari mitos, namun sejarah dan inti iman para murid-Nya.

Ada hubungan mendalam antara Kitab Suci dan kepercayaan umat beriman. Karena iman timbul dari pendengaran dan pendengaran terfokus pada sabda Kristus (Rm. 10:17), orang-orang beriman diundang dan didesak untuk mendengarkan dengan penuh perhatian Sabda Tuhan, baik di dalam perayaan liturgi maupun dalam doa dan renungan pribadi. 

8. Perjalanan Yesus yang bangkit dengan murid-murid Emaus berakhir dengan perjamuan malam. Penjelajah yang misterius itu menerima permintaan mendesak dari kedua murid: ”Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Luk. 24:29). Ketika duduk makan, Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada mereka. Pada saat itu mata mereka terbuka dan mereka mengenal-Nya (ay. 31). 

Dari adegan ini kita menangkap betapa tak terpisahkan hubungan antara Kitab Suci dan Ekaristi. Konsili Vatikan II mengajarkan: ”Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan baik dari meja sabda Allah maupun dari meja Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman” (Dei Verbum, 21). 

Membaca Kitab Suci secara teratur dan merayakan Ekaristi memungkinkan kita untuk mengenali diri sebagai bagian satu sama lain. Sebagai orang kristiani kita merupakan satu bangsa yang berziarah dalam sejarah, kuat berkat kehadiran Tuhan di tengahtengah kita. Dia berbicara kepada kita dan memberi kita makan. Hari Minggu yang diperuntukkan bagi Alkitab hendaknya terjadi bukan ”satu kali setahun” melainkan satu kali untuk seluruh tahun, karena kita merasa sungguh perlu menjadi bersahabat dan akrab dengan Kitab Suci dan Yesus yang bangkit, yang tidak pernah berhenti membagikan Sabda dan Roti di dalam komunitas umat beriman. Karena itu kita perlu menjalin relasi kepercayaan dengan Kitab Suci; jika tidak, maka hati akan tetap dingin dan mata tetap tertutup, karena kita terserang begitu banyak jenis kebutaan. 

Kitab Suci dan Sakramen-sakramen adalah tak terpisahkan. Sakramen-sakramen, bila diperkenalkan dan diterangi oleh Sabda Allah, akan lebih tampak sebagai tujuan suatu perjalanan di mana Kristus sendiri membuka pikiran dan hati kita untuk mengenal karya penyelamatan-Nya. Dalam konteks ini tidak boleh dilupakan pengajaran yang datang dari Kitab Wahyu. Kitab ini mengajarkan bahwa Tuhan berdiri di pintu dan mengetuk. Jika seseorang mendengar suara-Nya dan membukakan pintu bagi-Nya, Dia masuk untuk makan bersamanya (3:20). Kristus Yesus mengetuk pintu kita melalui Kitab Suci; jika kita mendengarkan dan membuka pintu akal budi dan hati kita, maka Ia masuk ke dalam hidup kita dan tinggal bersama kita. 

9. Paulus, dalam Surat Kedua kepada Timotius, yang dalam arti tertentu merupakan testamen rohaninya, mendesak rekan kerjanya yang setia itu untuk senantiasa membaca Kitab Suci. Paulus yakin bahwa ”segala tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (3:16). Anjuran Paulus kepada Timotius ini merupakan basis bagi Konstitusi Dei Verbum untuk membicarakan tema besar inspirasi Kitab Suci. Dari situ muncullah aspek-aspek khusus maksud penyelamatan, dimensi spiritual dan prinsip inkarnasi bagi Kitab Suci. 

Pertama-tama, dengan mengingat kembali anjuran Paulus kepada Timotius, Dei Verbum menggarisbawahi bahwa ”buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (no. 11). Karena Kitab Suci mengajar kita dengan tujuan keselamatan oleh iman  kepada Kristus (2 Tim 3:15), kebenaran-kebenaran di dalamnya berguna bagi keselamatan kita. Kitab Suci bukanlah suatu kumpulan kitab-kitab sejarah, bukan juga kronik, namun sepenuhnya ditujukan kepada keselamatan utuh manusia. Tak dapat disangkal bahwa kitab-kitab yang termuat dalam Kitab Suci memiliki akar sejarah, namun jangan lupa akan tujuan utama itu: keselamatan kita. Semuanya diarahkan pada tujuan itu yang terungkap dalam sifat Alkitab sendiri, yang disusun sebagai sejarah keselamatan di mana Allah berbicara dan bertindak untuk menjumpai semua manusia dan menyelamatkan mereka dari dosa dan kematian. 

Untuk mencapai tujuan penyelamatan itu, Kitab Suci oleh karya Roh Kudus, mengubah kata-kata manusia yang ditulis dengan cara manusiawi menjadi Sabda Allah (Dei Verbum, 12). Peran Roh Kudus dalam Kitab Suci adalah mendasar. Tanpa karya Roh Kudus, akan ada risiko bahwa kita tinggal terjebak dalam teks tertulis saja. Hal ini membuka jalan bagi interpretasi fundamentalis, yang perlu dihindari, agar tidak mengingkari sifat Kitab Suci sebagai tulisan yang diilhami, dinamis, dan spiritual. Sebagaimana diingatkan oleh Paulus ”Hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Kor. 3:6). Maka Roh Kudus mengubah Kitab Suci menjadi Sabda Allah yang hidup, yang dihayati dan diteruskan dalam iman umat-Nya yang kudus. 

10. Tindakan Roh Kudus tidak hanya menyangkut pembentukan Kitab Suci, namun berkarya juga di dalam mereka yang mendengarkan Sabda Allah. Pentinglah penegasan dari Para Bapa Konsili bahwa “Kitab Suci yang ditulis dalam Roh Kudus harus dibaca dan ditafsirkan dalam terang Roh yang sama itu juga” ( Dei Verbum, 12). Dengan Yesus Kristus pewahyuan Allah mencapai penggenapan dan kepenuhannya; namun demikian, Roh Kudus terus berkarya. Sesungguhnya, adalah kurang bila karya Roh Kudus dibatasi hanya pada inspirasi ilahi pada Kitab Suci dan berbagai pengarang manusianya. Oleh karena itu, kita perlu yakin bahwa karya Roh Kudus berlanjut terus untuk mewujudkan bentuk khusus inspirasi ketika Gereja mengajar Kitab Suci, ketika Magisterium menafsirkannya secara otentik (ibid ., 10), dan ketika setiap orang beriman menjadikannya norma spiritualnya. Dalam arti itu kita bisa mengerti kata-kata yang diucapkan Yesus kepada para murid ketika mereka mengatakan bahwa mereka tahu arti dari perumpamaan-perumpamaan-Nya: ”Setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Surga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya” (Mat. 13:52). 

11. Akhirnya, Dei Verbum memperjelas bahwa ”sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, menyerupai pembicaraan manusiawi, sama seperti dulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia” (no. 13). Kita bisa mengatakan bahwa Inkarnasi Sabda Allah memberikan bentuk dan makna kepada hubungan antara Sabda Allah dan bahasa manusia dengan kondisi historis dan kulturalnya. Di dalam peristiwa itu mulai terbentuk Tradisi , yang adalah juga Sabda Allah (ibid. ,9). Sering ada bahaya orang memisahkan Kitab Suci dan Tradisi, tanpa memahami bahwa keduanya bersama-sama adalah satu-satunya sumber Pewahyuan. Sifat tertulisnya tidak mengurangi sedikit pun bahwa Kitab Suci sepenuhnya Sabda yang hidup; demikian juga Tradisi Gereja yang hidup, yang meneruskan Sabda yang hidup tanpa hentinya sepanjang abad dari generasi ke generasi, memiliki Kitab Suci itu sebagai ”norma iman yang tertinggi” ( ibid., 21). Bahkan, sebelum menjadi teks tertulis, Kitab Suci diteruskan secara lisan dan tetap hidup oleh iman umat yang mengakuinya sebagai sejarahnya dan asas identitasnya di tengah banyak bangsa lain. Maka iman biblis berdasarkan pada Sabda yang hidup, bukan pada sebuah kitab. 

12. Kitab Suci, ketika dibaca dalam terang Roh yang sama yang dengannya ia ditulis, tinggal selalu baru. Perjanjian Lama tidak pernah lama, setelah menjadi bagian dari yang Baru, karena semua telah ditransformasikan oleh satu-satunya Roh yang mengilhaminya. Seluruh teks suci memiliki fungsi profetis yang menyangkut bukan masa depan melainkan masa kini dari mereka yang membekali diri dengan Sabda itu. Yesus sendiri menyatakan hal ini dengan jelas pada awal pelayanan-Nya: ”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya" (Luk. 4:21). Orang yang setiap hari membekali diri dengan Sabda Allah menjadi, seperti Yesus, orang sezaman dengan semua orang yang ia jumpai; ia tidak tergoda untuk jatuh ke dalam nostalgia mandul masa lalu, tidak juga untuk memimpikan utopia masa depan yang tak pernah akan terwujud. 

Manisnya Sabda Allah mendorong kita untuk membagikannya dengan semua orang yang kita jumpai di dalam hidup kita, untuk mengungkapkan kepastian pengharapan yang ada di dalamnya (1 Ptr. 3:15-16). Pahitnya, pada gilirannya, sering muncul ketika kita menyadari betapa sulitnya bagi kita untuk menghayatinya secara konsisten, atau mengalami bagaimana Sabda Allah ditolak karena dianggap tidak bernilai untuk memberi makna bagi hidup. Maka hendaknya kita tidak pernah menganggap Sabda Allah sebagai sesuatu yang biasa saja, tetapi sebaliknya membekali diri dengannya untuk menemukan relasi kita dengan Allah dan saudara-saudari kita, dan menghayatinya secara mendalam. 

Kitab Suci menggenapi karya profetisnya terutama dalam mereka yang mendengarkannya. Ia membangkitkan rasa manis maupun pahit. Kita diingatkan akan kata-kata nabi Yehezkiel. Ketika diminta oleh Tuhan untuk memakan gulungan kitab, ia mengatakan: ―”Rasanya manis seperti madu di dalam mulutku” (3:3). Juga Yohanes Penginjil di pulau Patmos menggemakan kembali pengalaman Yehezkiel yakni memakan gulungan kitab, tetapi menambahkan sesuatu yang lebih spesifik: ”Di dalam mulutku ia terasa manis seperti madu, tetapi sesudah aku memakannya, perutku menjadi pahit rasanya” (Why. 10:10). 

13. Tantangan lain yang muncul dari Kitab Suci menyangkut cinta kasih. Sabda Allah terus menerus mengingatkan kita akan kasih dan belas kasih Bapa yang meminta kepada anak-anak-Nya untuk hidup dalam cinta kasih. Hidup Yesus adalah ungkapan penuh dan sempurna dari kasih ilahi, yang tidak mengharapkan apa pun bagi diri-Nya, tetapi memberikan diri-Nya sendiri tanpa batas. Dalam perumpamaan tentang Lazarus yang miskin kita menemukan petunjuk berharga. Ketika Lazarus dan si Kaya meninggal, dan yang terakhir melihat si miskin Lazarus di pangkuan Abraham, ia meminta agar Lazarus dikirim kepada saudara-saudaranya agar  mengingatkan mereka untuk mengasihi sesamanya, untuk mencegah mereka mengalami siksaan seperti dirinya. Jawaban Abraham pedas: ”Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu” (Luk. 16:29). Mendengarkan Kitab Suci untuk mempraktikkan belas kasih: itulah suatu tantangan besar bagi hidup kita. Sabda Allah mampu membuka mata kita sehingga kita bisa keluar dari individualisme yang membuat kita picik dan tidak berbuah. Pada saat yang sama Sabda itu membuka jalan untuk saling berbagi dan solider. 

14. Salah satu adegan paling penting dalam hubungan antara Yesus dan para murid adalah kisah tentang Transfigurasi. Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke atas sebuah gunung untuk berdoa. Para Penginjil menceritakan bahwa sementara wajah dan pakaian Yesus berkilau-kilau, dua orang bercakap-cakap dengan Dia: Musa dan Elia, yang masing-masing mewakili Hukum Taurat dan Para Nabi, yakni Kitab Suci. Reaksi Petrus terhadap penampakan ini adalah penuh kekaguman yang menggembirakan: ”Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Luk. 9:33). Pada saat itu suatu awan menaungi mereka dan para murid dipenuhi ketakutan. 

Transfigurasi mengingatkan kita akan Pesta Pondok Daun, ketika Ezra dan Nehemia membacakan kitab suci bagi umat sesudah mereka kembali dari pembuangan. Pada saat yang sama, transfigurasi mengantisipasi kemuliaan Yesus, sebagai persiapan atas skandal kesengsaraan. Kemuliaan ilahi juga dinyatakan oleh awan yang menaungi para murid, sebagai simbol kehadiran Allah. Transfigurasi serupa itu juga terjadi dengan Kitab Suci, yang melampaui dirinya sendiri ketika menjadi bekal hidup orang-orang beriman. Sebagaimana diingatkan oleh Verbum Domini : ”Dalam menetapkan relasi antara pelbagai makna Kitab Suci, pentinglah untuk memahami transisi dari huruf ke roh. Transisi ini bukanlah sesuatu yang terjadi otomatis dan spontan; sebaliknya, huruf itu perlu dilampaui” (no. 38) 

15. Di jalan menyambut Sabda Allah, kita ditemani Bunda Tuhan yang diakui sebagai yang berbahagia karena telah percaya bahwa apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana (Luk. 1:45). Sabda bahagia tentang Maria ini mendahului semua sabda bahagia yang diucapkan oleh Yesus tentang mereka yang miskin dan yang menangis, yang lemah lembut, para pembawa damai, dan mereka yang dianiaya, karena merupakan syarat yang perlu untuk setiap sabda bahagia yang lain. Yang miskin tidaklah berbahagia karena mereka miskin; mereka menjadi berbahagia jika, seperti Maria, percaya kepada pemenuhan Sabda Allah. Hal ini diingatkan oleh seorang murid dan guru agung Kitab Suci, Santo Agustinus: ”seorang perempuan dari antara orang banyak dengan antusias berseru kepada-Nya: ‘Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau’. Tetapi Yesus menjawab, ’Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya‘. Seolah-olah di sini dikatakan: Ibu-Ku, yang kamu sebut berbahagia itu, sungguh berbahagia justru karena ia memelihara Sabda Allah, bukan karena di dalam dia sang Sabda menjadi daging dan tinggal di antara kita, tetapi karena ia memelihara Sabda Allah yang olehNya ia diciptakan, dan yang di dalam rahimnya menjadi daging” (Komentar tentang Injil Yohanes, 10:3). 

Hari Minggu Sabda Allah dapat membantu umat Allah tumbuh dalam keakraban yang saleh dan tekun dengan Kitab Suci, sebagaimana diajarkan oleh pengarang suci pada zaman dulu: ”Firman ini sangat dekat padamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan” (Ul. 30:14).

Dikeluarkan di Roma, di Basilika Santo Yohanes Lateran, pada tanggal 30 September 2019, pada peringatan Santo Hieronimus, di awal tahun ke-1600 kematiannya. 

FRANSISKUS

PERGI MENGIKUT YESUS



RENUNGAN ANGELUS BERSAMA PAUS FRANSISKU

Lapangan Santo Petrus, Vatikan, 22 Januari 2023

Injil dari liturgi hari ini (Mat 4:12-23) menceritakan panggilan para murid pertama yang, di tepi danau Galilea meninggalkan segalanya untuk mengikut Yesus. Ia telah bertemu dengan beberapa dari mereka, terima kasih kepada Yohanes Pembaptis, dan Allah telah menempatkan benih iman di dalam diri mereka (bdk. Yoh 1:35-39). Jadi, Yesus mencari mereka di mana mereka tinggal dan bekerja. Tuhan selalu mencari kita. Tuhan selalu mendekat kepada kita, selalu. Kali ini, dia menyampaikan panggilan langsung kepada mereka: "Ikutlah Aku!" (Mat 4:19). Dan “mereka segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia” (ayat 20). Mari luangkan waktu sejenak merenungkan adegan ini. Momen perjumpaan yang menentukan dengan Yesus, yang akan mereka ingat sepanjang hidup mereka, dan akan diceritakan di dalam Injil. Sejak saat itu, mereka mengikuti Yesus. Dan untuk mengikutinya, mereka pergi.

Pergi untuk mengikut Yesus. Dan selalu demikianlah dengan Yesus. Ini dapat dimulai dari rasa ketertarikan, mungkin melalui orang lain. Kemudian kesadaran ini menjadi semakin neresap dalam pribadi dan menyalakan cahaya di hati. Menjadi sesuatu yang indah untuk dibagikan: “Anda tahu, perikop Injil itu mengejutkan saya…. Pelayanan itu begitu mengesankan…” – sesuatu yang menyentuh hati. Inilah yang terjadi dengan para murid pertama (bdk. Yoh 1:40-42). Cepat atau lambat, akan tiba  saatnya merasa perlu pergi untuk mengikut Dia (bdk. Luk 11:27-28). Saat itulah orang harus membuat keputusan: Haruskah saya meninggalkan beberapa situasi yang sudah pasti dan memulai petualangan baru, atau akankah saya tetap seperti semula saja? Ini adalah saat yang menentukan bagi setiap orang Kristiani, karena arti dari segala sesuatu dipertaruhkan di sini. Jika seseorang tidak punya keberanian untuk memulai perjalanan, risikonya adalah tetap menjadi penonton dari keberadaannya sendiri, dan menjalankan imannya setengah-hati.



Oleh karena itu, mengikut Yesus membutuhkan keberanian untuk pergi, dan memulai perjalanan. Apa yang harus kita tinggalkan? Keburukan dan dosa kita, tentu saja, yang seperti jangkar menahan kita dan mencegah kita berlayar. Untuk beranjak pergi, sudah selayaknya kita mulai dengan meminta maaf – maaf atas hal-hal yang buruk. Saya meninggalkan semua ini agar bergerak maju. Tetapi penting juga  meninggalkan apa yang menghalangi kita untuk dapat hidup sepenuhnya, misalnya, ketakutan, perhitungan yang egois, jaminan rasa nyaman aman, sekadar bertahan. Itu juga berarti meninggalkan sikap membuang waktu untuk begitu banyak hal yang tidak berguna. Betapa indahnya meninggalkan semua ini untuk mengalami, misalnya, risiko pelayanan yang melelahkan tetapi bermanfaat, atau mendedikasikan waktu untuk berdoa agar dapat bertumbuh dalam persahabatan dengan Tuhan. Saya teringat sebuah keluarga muda yang meninggalkan kehidupan yang tenang nyaman, membuka diri pada petualangan yang tidak pasti namun indah dalam peran menjadi ibu dan ayah. Itu pengorbanan,   yang diperlukan hanyalah memandang seorang anak untuk membantu memahami itulah pilihan yang tepat untuk meninggalkan ritme hidup dan kenyamanan tertentu untuk mendapatkan sukacita ini. Pikiran saya juga tertuju pada profesi tertentu, misalnya, dokter atau petugas kesehatan, yang memberikan banyak waktu luang untuk belajar, menyiapkan diri, dan berbuat baik, mendedikasikan banyak waktu siang dan malam, dan menghabiskan energi fisik dan mental begitu banyak untuk orang sakit. Saya mengenangkan para pekerja yang meninggalkan kenyamanan, bekerja untuk dapat menyediakan makanan di atas meja. Singkatnya, untuk menjalani hidup, kita perlu menerima tantangan untuk pergi. Hari ini, Yesus menyampaikan undangan ini kepada kita masing-masing.

Maka, saya mengajukan pertanyaan tentang ini. Pertama: ingatkah saya “momen yang kuat”, saat di mana saya berjumpa dengan Yesus? Kita masing-masing dapat mengingat kisah kita sendiri – dalam hidup saya, pernahkah ada momen penting ketika saya berjumpa Yesus? Dan, apakah ada sesuatu yang indah dan penting yang terjadi dalam hidup saya sehingga saya meninggalkan hal-hal lain yang kurang penting? Dan sekarang ini, apakah yang Yesus minta agar saya tinggalkan? Apa materi, cara berpikir, atau sikap yang perlu saya tinggalkan agar benar-benar sanggup berkata "ya" padaNya? Semoga Maria membantu kita untuk menjawab “ya” sepenuhnya kepada Tuhan, seperti yang dia lakukan, untuk tahu   apa yang harus ditinggalkan agar dapat mengikuti Dia dengan lebih baik. Jangan takut untuk beranjak pergi jika ingin mengikut Yesus. Kita akan selalu menemukan diri kita menjadi lebih baik.

=====

Hari Minggu Biasa Ketiga ini didedikasikan secara khusus untuk Sabda Allah. Marilah kita menemukan kembali dengan takjub fakta bahwa Allah berbicara kepada kita, khususnya melalui Kitab Suci. Mari kita membaca Kitab Suci, mempelajarinya, merenungkannya, berdoa darinya. Mari kita membaca satu bagian dari Alkitab setiap hari, terutama dari Injil. Yesus bicara kepada kita di situ, Dia menerangi kita, Dia membimbing kita. Dan saya ingatkan kembali sesuatu yang telah saya katakan di lain waktu: Mari kita memiliki Kitab Injil kecil, Injil saku, yang dapat dimasukkan dalam tas, agar selalu bersama kita. Dan jika ada waktu di siang hari, bacalah satu perikop dari Injil itu. Yesuslah yang menyertai kita. Jadi, Bawalah selalu Injil ukuran kecil itu.

PERU BERGOLAK, DEMOKRASI DIUJI

 



Pada awal tahun 2000 orang bicara: "Sekarang dasawarsa Amerika Latin". Mereka membuka perekonomian nasional untuk kerjasama dengan negara lain, terutama investor dari RRT. Pendapatan nasional meningkat. Pertumbuhan ekonomi di Brazil beberapa ttahun berturut-turut mencapai angka 7% setahun. Tetapi kemudian ekonomi RRT sendiri melemah. Amerika Latin terpengaruh. Harga-harga komoditi produksi nasional turun menyebabkan pendapatan pemerintah merosot. Sedang harga barang-barang kebutuhan hidup rakyat naik. Inflasi meningkat cepat. Harapan masyarakat sudah terlanjur tinggi. Mereka takut mimpi indah mereka hilang. Brazil, Venezuela, Argentina dilanda resesi. Di Chile kepercayaan pada presiden merosot. Pemerintah disalahkan karena tidak dapat memenuhi harapan rakyat. Sekarang Amerika Latin bergejolak ketika rakyat turun ke jalan menuntut pemerintah situasi yang lebih baik. Pada umumnya sistem demokrasi sedang digoyang dan berada dalam ujian di Amerika Latin.


Di Peru, Presiden Pedro Castillo, seorang mantan guru sekolah, kendati mendapat dukungan luas rakyat pedalaman dalam situasi ekonomi nasional yang menurun kesulitan membentuk kebijakan ekonomi yang pro rakyat. Gagasannya tidak bisa diterima DPR yang dikemudikan para elite politik. Mayoritas rakyat Peru berada di sektor ekonomi informal. Para elite politik lebih mementingkan ekonomi formal. Karena selalu menubruk dinding politik, Presiden Castillo mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR. Ini melanggar konstitusi Peru. Hasilnya, justru Presiden Castillo ditangkap dan dimasukkan penjara karena dianggap makar (lalu timbul tuduhan lain melakukan praktek nepotisme, bahwa keluarganya korupsi). Wakil Presiden Dina Boluarte otomatis naik menggantikan Pedro Castillo dan disumpah menjadi Presiden perempuan pertama di Peru pada bulan Desember 2022. Sejak itu rakyat pendukung Pedro Castillo turun ke jalan menuntut pembubaran DPR, mencopot Dina Boluarte, dan melakukan pemilihan umum segera.

Demonstrasi terjadi di mana-mana dan pesertanya semakin bertambah banyak. Polisi dan tentara menahan gerak maju para demonstran menggunakan gas air mata. Bentrokan terjadi. Sekitar 46 orang tewas dalam bentrokan selama maraknya demo dan sembilan lainnya dalam kecelakaan lalu lintas terkait barikade yang didirikan di tengah protes.

Dilaporkan banyak warga Peru terluka setelah suasana panas terjadi lagi pada Jumat, 20 Januari 2023, saat polisi bentrok dengan pengunjuk rasa, dengan pasukan keamanan di ibu kota Lima. Para demonstran melakukan aksi demo dengan duduk memblokir jalan akses ke gedung DPR.

Polisi Peru menangkap lebih dari 200 orang yang dituduh memasuki kampus universitas besar di Lima secara ilegal. Suatu gedung bersejarah terbakar di kota Lima pada Kamis 19 Januari 2023 di tengah terjadinya demontrasi.






Di wilayah Cusco, pintu gerbang benteng Inca di Machu Picchu ditutup; Ini untuk mengantisipasi mengalir masuknya para demonstran dari pedalaman. Tambang tembaga utama Antapaccay Glencore menghentikan operasinya setelah pengunjuk rasa menyerang tempat itu, salah satu tambang tembaga terbesar di Peru, untuk ketiga kalinya bulan ini.

Bandara di Arequipa, Cusco, dan kota selatan Juliaca juga diserang oleh para demonstran, memberikan pukulan baru bagi industri pariwisata Peru.

Dengan nada murka, Presiden Dina Boluarte mengutuk kekerasan yang merebak. Ia bersumpah akan mengadili para agitator dan memenjarakan mereka jika terbukti bersalah. Ia menuduh para agitator mengompori tindak kekerasan dan berjanji akan membuat mereka memetik buah yang setimpal dari perbuatan mereka. Presiden Dina Boluarte berjanji akan melaksanakan Pemilihan Umum tahun depan. Seharusnya, Pemilihan Umum di Peru dalam keadaan normal akan diselenggarakan pada 2026.

Sekitar 75% (25 juta) dari penduduk Peru (34 juta) memeluk agama Katolik. Ada beberapa misionaris dari Indonesia bekerja di Peru. Semoga mereka baik-baik saja dalam situasi Peru yang mendekati khaos.

Sabtu, 21 Januari 2023

Menghayati Tindakan Liturgi Sepenuhnya

 



Pada Jumat 20 Januari 2023 para peserta dan pengajar kursus “Menghayati Tindakan Liturgi Sepenuhnya”, yang diselenggarakan Dikasteri Ibadat Suci dan Disiplin Sakramen Vatikan, mengadakan audiensi dengan Paus Fransiskus di Ruang Konsisteri Istana Kepausan, Vatikan. Berikut sambutan Paus Fransiskus:

“Kursus ini, yang akan segera berakhir, sesuai dengan petunjuk Surat Apostolik Desiderio Desirevi tentang pembinaan liturgi. Memang, penyelenggaraan liturgi membutuhkan persiapan dan komitmen. Kami para uskup, dalam pelayanan kami, sangat menyadari hal ini, karena kami membutuhkan kerja sama dari mereka yang mempersiapkan liturgi dan membantu kami memenuhi mandat kami untuk memimpin doa umat kudus. Pelayanan Anda pada liturgi membutuhkan, selain pengetahuan liturgi yang mendalam, juga pengertian pastoral. Karena itu saya senang melihat bahwa sekali lagi Anda memperbarui komitmen Anda untuk mempelajari liturgi. Seperti dikatakan Santo Paulus VI – liturgi adalah “sumber utama tindakan ilahi di mana kehidupan Allah dikomunikasikan kepada kita, sebagai sekolah pertama jiwa kita” (Alokusio untuk penutupan sesi II Konsili Vatikan II, 4 Desember 1963). Maka liturgi tidak pernah sepenuhnya dikuasai, tidak dipelajari sebagai gagasan, keahlian teknis, keterampilan manusia. Melainkan seni utama Gereja, yang membentuk dan mencirikannya.

Saya ingin mempercayakan kepada Anda beberapa poin refleksi untuk pelayanan Anda ini, yang ditempatkan dalam konteks implementasi reformasi liturgi.

Hari ini kita tidak lagi berbicara tentang "pembawa acara", orang yang mengatur "upacara sakral"; sebaliknya buku-buku liturgi merujuk pada pemimpin perayaan. Dan guru yang mengajar Anda liturgi membimbing Anda untuk menemukan misteri Paskah Kristus; pada saat yang sama ia harus mengatur segalanya agar liturgi bersinar dengan khidmat, sederhana dan tertib (lihat Caeremoniale Episcoporum, 34). Pelayanan memimpin liturgi adalah diakonia: dia bekerja sama dengan uskup dalam pelayanan komunitas. Itu sebabnya mengapa setiap uskup menunjuk seorang guru liturgi yang bertindak dengan bijaksana, giat, tidak menempatkan ritus di atas apa yang diungkapkannya, tetapi membantu komunitas memahami makna dan semangatnya, menekankan dengan tindakannya bahwa pusat liturgi adalah Kristus yang disalibkan dan bangkit.

Khususnya di katedral, penanggung jawab perayaan uskup mengoordinasikan, sebagai rekan sekerja  Uskup, semua orang yang menjalankan pelayanan tindakan liturgi, sehingga mendorong partisipasi dari umat Allah. Konsili Vatikan II mengingatkan: kita harus selalu memperhatikan kebaikan komunitas, reksa pastoral umat beriman (bdk. ibid., 34), untuk memimpin umat kepada Kristus dan Kristus kepada umat. Itu adalah tujuan utama, yang juga harus diutamakan saat Anda mempersiapkan dan memimpin perayaan. Jika kita mengabaikan ini, kita akan menyajikan ritual yang indah, tetapi tanpa kekuatan, tanpa rasa, tanpa makna karena tidak menyentuh hati dan keadaan umat Allah. Dan ini terjadi ketika pemimpin liturgi de facto bukan uskup, imam , tetapi adalah pembawa acara, dan ketika kepemimpinan liturgi ini beralih kepada pembawa acara, semuanya berakhir. Pemimpin liturgi adalah orang yang memimpin, bukan pembawa acara. Sesungguhnya, semakin tersembunyi pembawa acara, semakin baik.  Semakin berkurang penampilan pembawa acaea, semakin baik. Tapi Anda mengoordinasikan segalanya. Kristuslah yang membuat hati bergetar, perjumpaan dengan Dialah yang menarik semangat. "Suatu perayaan liturgi yang tidak menyampaikan Injil,  tidak otentik" (Desiderio desiravi, 37). Itu adalah "balet", balet yang indah, estetis, bagus, tetapi bukan liturgi yang otentik.

Konsili memiliki tujuan antara lain mendampingi umat untuk memulihkan kemampuan menghayati liturgi secara penuh dan terus takjub dengan apa yang terjadi dalam perayaan di depan mata kita (bdk. Desiderio Desirevi, 31). Perhatikan, Konsili tidak bicara tentang sukacita estetis, misalnya, atau citarasa estetis; tidak; melainkan ketakjuban. Takjub itu sesuatu yang berbeda kenikmatan estetis: takjub adalah perjumpaan dengan Tuhan, hanya perjumpaan dengan Tuhan yang memberi Anda ketakjuban. Bagaimana ini bisa dicapai? Jawabannya sudah disampaikan dalam Sacrosanctum Concilium. Artikel 14, pembinaan umat dianjurkan, tetapi - Konstitusi menyatakan - "tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya Liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan Liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan Liturgi klerus dimantapkan." Oleh karena itu, guru liturgi itu sendirilah  yang harus pertama-tama tumbuh dalam sekolah liturgi dan berpartisipasi dalam misi pastoral, membina klerus dan umat beriman.

Salah satu aspek pembaruan yang paling kompleks adalah implementasi praktisnya, yaitu bagaimana ketetapan dari para Bapa Konsili diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan di antara mereka yang pertama-tama bertanggung jawab atas pelaksanaan praktis adalah guru liturgi, yang bersama-sama dengan direktur reksa pastoral liturgi mendampingi keuskupan, komunitas, para imam dan para pelayan lainnya untuk melaksanakan praktek perayaan yang ditunjukkan oleh Konsili. Ini dilakukan terutama dengan merayakan liturgi. Bagaimana kita belajar melayani Misa sebagai anak-anak? Melihat teman-teman kita yang lebih senior melakukannya. Pelatihan liturgi itulah yang saya tulis dalam Desiderio Desiravi. Khidmat, sederhana, dan tertib terwujud ketika setiap orang perlahan-lahan selama bertahun-tahun, menghadiri upacara liturgi, merayakannya, menjalaninya, memahami apa yang harus mereka lakukan. Tentu saja, seperti dalam orkestra besar, setiap orang harus mengetahui bagian mereka, tindakn, gerak tubuh, teks yang mereka ucapkan atau nyanyikan; maka liturgi bisa menjadi simfoni pujian, simfoni yang dipelajari dari lex orandi Gereja.

Sekolah praktik liturgi didirikan di katedral. Ini inisiatif yang bagus. Kita merenungkan "mistagogis" apa yang kita rayakan. Gaya perayaan dievaluasi, untuk mempertimbangkan kemajuan dan aspek yang harus diperbaiki. Saya mendorong Anda agar membantu para pemimpin seminari untuk memimpin liturgi dengan sebaik-baiknya, untuk menjaga pewartaan, isyarat, tanda, sehingga para imam masa depan, bersama dengan studi teologi liturgi, belajar merayakan dengan baik: dan inilah gaya dari posisi pemimpin liturgi. Anda belajar dengan setiap hari mengamati seorang imam yang tahu bagaimana memimpin, bagaimana merayakannya, karena dia hidup dalam liturgi dan, ketika dia merayakan, dia berdoa. Saya mendorong Anda untuk membantu mereka yang bertanggung jawab atas para pelayan altar untuk mempersiapkan liturgi paroki dengan mendirikan sekolah-sekolah kecil pembinaan liturgi, yang menggabungkan persaudaraan, katekese, mystagogy, dan praktik perayaan.

Ketika penanggung jawab perayaan menemani uskup ke suatu paroki, ada baiknya menghargai gaya perayaan yang dilaksanakan di sana. Tidak perlu ada "perarakan" yang bagus ketika uskup ada di sana dan kemudian semuanya kembali lagi seperti semula. Tugas Anda bukan untuk mengatur ritus sehari, tetapi untuk mengusulkan liturgi yang dapat ditiru, dengan adaptasi yang dapat dimasukkan oleh komunitas agar tumbuh dalam kehidupan liturgi. Dengan demikian, sedikit demi sedikit gaya perayaan keuskupan tumbuh. Sebenarnya, pergi ke paroki dan tidak mengatakan apa-apa di hadapan liturgi yang agak ceroboh, serampangan, dan tidak dipersiapkan dengan baik berarti tidak membantu komunitas, tidak mendampingi mereka. Sebaliknya, dengan lembut, dalam semangat persaudaraan, ada baiknya membantu para pastor merenungkan liturgi, mempersiapkannya bersama umat beriman. Dalam hal ini pemimpin perayaan harus menggunakan kebijaksanaan pastoral yang baik: jika berada di antara umat, dia akan segera mengerti dan akan mengetahui dengan baik bagaimana mendampingi para konfrater, bagaimana menyarankan kepada komunitas apa yang cocok dan pantas, apa langkah-langkah yang diperlukan untuk menemukan kembali keindahan liturgi dan merayakannya bersama.



Dan akhirnya saya mendorong Anda untuk memulihkan saat keheningan. Di era ini kita bicara, bicara terus… Diamlah. Apalagi menjelang perayaan – momen yang terkadang dianggap sebagai arisan, kita bicara: “Ah, apa kabar? Bagaimana kabarmu, bagaimana keadaanmu? – Keheningan membantu imam dan konselebran untuk berkonsentrasi pada apa yang akan dilakukan. Seringkali sakristi berisik sebelum dan sesudah perayaan, tetapi keheningan membuka dan mempersiapkan misteri: keheninganlah yang mempersiapkan Anda untuk misteri, memungkinkan proses peresapan, memungkinkan Sabda yang didengarkan bergema. Persaudaraan itu indah, saling menyapa itu indah, tetapi perjumpaan dengan Yesuslah yang memberi makna pada pertemuan kita, pada penemuan kita satu sama lain. Kita harus menemukan kembali dan menghargai keheningan!

Saya ingin sangat menekankan hal ini. Dan di sini saya mengatakan sesuatu yang terkait dengan keheningan, tetapi untuk para imam. Tolong, homili jangan jadi bencana; kadang-kadang saya mendengar seseorang berkata: “Ya, saya pergi ikut Misa di paroki itu… yah, dapat pelajaran filsafat yang bagus, 40, 45 menit… Delapan, sepuluh menit saja: jangan lebih! Dan selalu pikirkan kasih sayang dan gambaran. Buatlah orang membawa pulang sesuatu. Dalam Evangelii Gaudium saya  menggarisbawahi hal ini. Saya telah mengatakannya berkali-kali, karena ini adalah sesuatu yang tidak pernah selesai hanya dengan pemahaman kita: homili bukan suatu konferensi, melainkan  sakramental. Luther mengatakan bahwa sakramen adalah sakramental - saya percaya itu pandangan Lutheran -; bahwa yang sakramental itu bukan konferensi. Homili dipersiapkan dalam doa, dipersiapkan dengan semangat kerasulan. Maka tolong, homili jangan dijadikan bencana.

Teman-teman yang terkasih, sebelum salam terakhir, sekali lagi saya ingin mendorong agar apa yang kalian lakukan adalah pelayanan pelaksanaan pembaruan liturgi yang telah dipercayakan oleh para Bapa Konsili kepada kita. Mari kita semua berkomitmen untuk melanjutkan pekerjaan baik yang telah dimulai. Kita bantu komunitas untuk hidup dari liturgi, untuk membiarkan diri mereka dibentuk olehnya, sehingga – seperti yang dikatakan Kitab Suci – “barangsiapa yang haus hendaklah ia datang; dan barangsiapa yang mau, hendaklah dia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma" (Wahyu 22:17). Kita menawarkan kepada setiap orang mata air yang mengalir deras dari liturgi Gereja.

Saya berharap Anda bekerja dengan baik dan saya memberkati Anda dengan tulusdari lubuk hati saya. Dan tolong, saya meminta Anda mendoakan, jangan lupa. Terima kasih!”


SELAMAT TAHUN BARU IMLEK 2023

 



Tahun Baru Imlek jatuh pada 22 Januari 2023.

Mengikuti kalender yang didasarkan siklus bulan, maka tahun baru Imlek berbeda dari Tahun Baru kalender Gregorian yang mengikuti siklus matahari. Tahun Baru Imlek selalu jatuh di antara 20 Januari - 21 Februari kalender Gregorian.

Dikaitkan dengan zodiak  perbintangan Tiongkok yang bersumber pada mitologi kuno, setiap tahun diwarnai hewan tertentu, tahun 2023 ini adalah tahun yang mengikuti sifat Kelinci Air. Hewan keempat dalam zodiak perbintangan Tiongkok.


Orang merayakan Tahun Baru Imlek selama 16 hari. Tahun ini mulai dari 22 Januari hingga 5 Februari 2023. Di beberapa negara Asia 22  - 29 Januari 2023 adalah hari libur nasional. Perayaan tahun baru Imlek biasanya ditutup dengan Pesta Lentera.


Sebelum 2023 ini tahun-tahun kelinci adalah 1927, 1939, 1951, 1963, 1975, 1987, 1999 dan 2011. Tahun-tahun dalam almanak Tiongkok mengikuti daur lima unsur: logam, air, kayu, api, tanah. Tahun 2023 adalah Tahun Kelinci Air, sama dengan Tahun 1963.

Mereka yang lahir pada tahun Kelinci pada umumnya bersifat "penuh perasaan" dan pandai merajut persahabatan akrab. Tenang adem dan damai.



Pada tahun 1963 terbit Ensiklik Pacem in Terris, Damai di Dunia dari Paus Yohanes XXIII. Semoga tahun ini terwujud Damai di Dunia bagi semua orang yang berkehendak baik. 



Tanda-tanda zaman menurut zodiac Kelinci Air adalah tahun untuk "letting go", melepas kelekatan pada hal-hal yang buruk meracuni, termasuk kejadian-kejadian dalam hubungan-hubungan antar pribadi. Sebaliknya, membuka lembaran baru yang menurut sifat Kelinci merupakan "keberuntungan ekstra dan peluang bagus".


Selamat Tahun Baru Imlek untuk teman-teman yang merayakan. Gong Xi Fa Cai. Semoga banyak senang, bahagia dan sukacita, makmur limpah rezeki. Tuhan memberkati.





Jumat, 20 Januari 2023

MENJELANG HARI KAUM MUDA SEDUNIA (WYD) 2023 DI LISBON



Ditetapkan pada tahun 1985 oleh Paus Santo Yohanes Paulus II, World Youth Day (WYD, Hari Kaum Muda Sedunia) adalah forum perjumpaan ziarah yang menarik dan penuh iman bagi kaum muda Katolik dari seluruh dunia. Suatu perayaan kaum muda, cara untuk mengalami Gereja global, dan momen evangelisasi yang intens. Peziarah usia antara 18-35 menghabiskan waktu seminggu bertemu Kristus dan Gereja-Nya saat mereka berjumpa dengan teman-teman baru dari budaya yang berbeda di kota tuan rumah kelas dunia yang menarik. Meskipun WYD adalah acara Katolik, partisipasi terbuka untuk siapa saja, tidak peduli seberapa dekat atau jauh mereka dari Gereja, asalkan mereka ingin bertumbuh dalam iman dan persahabatan dengan Kristus dan umat Kristiani lainnya, serta mengalami kemeriahan dan inspirasi. suasana acara yang luar biasa ini.

WYD 2023 akan diselenggarakan enam hari di Lisbon, ibu kota Portugal, dari 1-6 Agustus (kurang dari tujuh bulan lagi!).  “Acara utama” – adalah enam hari bersama Paus Fransiskus dan ribuan umat muda Katolik di Lisbon. Ini akan meliputi acara-acara besar seperti Jalan Salib keliling kota dan Misa penutup dengan Paus Fransiskus, di samping kesempatan pengakuan dosa dan katekese, dan kegiatan seperti konser dan festival budaya kaum muda. Dan tentu saja, para peziarah akan berkenalan budaya Portugal dan kuliner lokal Lisbon. 

Menyambut perjumpaan kaum muda sedunia itu Paus Fransiskus menyampaikan pesan video pada hari Jumat 20 Januari 2023.

Video: https://youtu.be/Tm2MaL-ga2Q

"Kaum muda yang terkasih,

Semakin dekat, tinggal beberapa bulan lagi, kita akan sampai pada Hari Kaum Muda Sedunia dan sudah 400.000 anak muda yang mendaftarkan diri. Ini menarik perhatian saya dan memenuhi saya dengan sukacita bahwa ada begitu banyak anak muda akan mengikuti WYD, karena mereka perlu berpartisipasi. Beberapa berkata, "Saya pergi sebagai turis". Tetapi setiap orang muda yang menghadiri WYD, pergi ke sana karena jauh di lubuk hatinya, dia haus untuk berpartisipasi, berbagi, menceritakan pengalamannya dan menerima pengalaman orang lain. Mereka haus akan cakrawala.

Kalian para muda, sudah 400 ribu dari kalian yang terdaftar, haus akan cakrawala. Pada pertemuan  selama WYD ini, belajarlah untuk selalu melihat ke arah cakrawala, untuk selalu melihat ke luar. Jangan memasang dinding di depan hidup Anda. Dinding menutup kalian, sedang cakrawala membuat kalian tumbuh kembang. Pandanglah cakrawala itu senantiasa, tetapi terutama, lihatlah dengan hati kalian. Bukalah hatimu untuk budaya lain, untuk laki-laki lain, untuk perempuan lain, yang juga hadir di Hari Kaum Muda Sedunia ini.

Bersiaplah untuk membuka cakrawala, untuk membuka hati Anda. Dan terima kasih karena telah mendaftarkan diri sejauh ini sebelumnya. Mari kita berharap yang lain akan mengikuti langkah. Semoga Tuhan memberkati, semoga Perawan Maria menjaga kalian. Berdoalah untuk saya, seperti saya berdoa untuk kalian. Jangan lupa bilang 'tidak' untuk tembok, tapi 'ya' untuk cakrawala. Terima kasih."

ILMU TIDAK AKAN MEMBUAT IMAN, FILSAFAT-TEOLOGI, AGAMA JADI USANG

 


Informasi yang kita punya tentang alam semesta masih terbatas dan kurang. Keingintahuan kita semakin besar namun tidak akan pernah terpuaskan. Semakin dalam dan luas ilmu mencari jawaban, semakin bertambah "lubang-lubang misteri" yang ditemukan dan memerlukan panduan untuk maju mencari pengertian. Di mana ilmu sampai pada pinggir batasnya, di situ filsafat, teologi, iman dan agama memberi tuntunan untuk kemajuan perkembangan ilmu selanjutnya. Maka ilmu tidak akan pernah membuat filsafat, teologi, iman dan agama menjadi usang.

Lihat: Science won't make philosophy/religion obsolete

Sehubungan dengan itu universitas/sekolah berbasis keagamaan akan tetap memberi sumbangan kepada kemajuan ilmu. Universitas/sekolah berbasis keagamaan semakin inklusif, terbuka kepada sumbangan-sumbangan ilmu pengetahuan, memberi tempat kepada hasil-hasil penelitian, eksperimen dan kesimpulan-kesimpulan ilmu, sekaligus menangkap sisi-sisi gelap yang ditemukan ilmu, yang belum ada penjelasannya. Dengan mengembangkan pengetahuan dan penelitian di bidangnya sendiri, universitas/sekolah berbasis keagamaan memberi perspektif-perspektif baru untuk kemajuan ilmu, baik melalui konten yang mereka tawarkan, maupun sumberdaya manusia keilmuan yang semakin luas.

Lihat juga : The fate of the religious university and why it matters


Suatu perspektif untuk dialog yang membangun.




Masa Sidang Pertama Konsili Vatikan II (1962)



Kita masih akan mengenangkan Paus Benediktus XVI/Kardinal Joseph Ratzinger yang wafat 31 Desember 2022 dengan artikel-artikel tentang beliau. Untuk memberikan konteks tulisan-tulisan itu, dari sisi sejarah disampaikan kembali di sini ikhtisar jalannya Konsili Vatikan II. Ihktisar ini dalam versi panjang dimual dalam artikel Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970 bagian Prolog pada bulan September 2022 yang lalu. Di sini disampaikan penggalan-penggalan per masa sidang setiap tahun dari 1962. Semoga dapat membangkitkan imajinasi historis yang melatar-belakangi peran dan kontribusi Paus Benediktus XVI/Joseph Ratzinger, dan semoga dapat membangkitkan "semangat Konsili Vatikan II" dan mengembangkannya dalam karya-karya Gerejawi kita di tahun-tahun mendatang.

Lihat juga: Joseph-Ratzinger-Dalam-Konsili-Vatikan 1962

Konsili Vatikan II Dari Perspektif Sejarah

Bambang Kussriyanto

Masa Sidang Pertama Konsili Vatikan II (1962)

Sesi I Konsili Vatikan II berlangsung dari 11 Oktober  hingga 8 Desember 1962.

Amanat Pembukaan Konsili Vatikan II dari Paus St. Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962 menyatakan  “Sering terjadi dalam pengalaman kita melaksanaan pelayanan kerasulan sehari-hari, kita mendengarkan suara-suara dari orang-orang, yang sungguh sangat kami sesalkan, yang  meskipun dikobarkan oleh semangat agama, namun kurang matang  dan cermat dalam pertimbangan. Dalam kondisi masyarakat manusia dewasa ini, mereka melulu melihat keruntuhan dan bencana. Menurut mereka dibandingkan dengan  masa-masa  yang lalu zaman sekarang bertambah semakin  buruk, dan mereka bersikap seolah mereka sama sekali tidak belajar dari sejarah yang sesungguhnya adalah guru kehidupan. Mereka bersikap seolah-olah pada masa Konsili-konsili yang terdahulu segala sesuatu penuh dengan kejayaan gagasan dan hidup kristiani dan untuk kebebasan Gereja.

 Kami rasa kami tidak sepakat dengan para nabi kehancuran, yang selalu melihat bencana semata, seolah-olah kiamat sudah dekat.

Dalam situasi dunia sekarang, Penyelenggaraan Ilahi  tampak membimbing kerja keras manusia dalam membarui tata kemasyarakatan dengan usaha mereka sendiri yang harus diakui berhasil, bahkan umumnya melampaui harapan, menuju kepada terlaksananya rencana ilahi yang tak terperikan dan unggul. Dan segala sesuatu, termasuk perbedaan-perbedaan manusia, mengarah kepada kesejahteraan yang lebih besar bagi Gereja.

Sungguh mudah untuk memahami realitas ini jika kita memperhatikan dengan cermat betapa sibuknya dunia sekarang dengan  isu-isu politik dan kontroversi  ekonomi  hingga seolah-olah mereka tak punya waktu lagi untuk menata realitas rohani yang menjadi bidang keprihatinan Magisterium Gereja. Cara bertindak ini tentu saja keliru, dan memang tidak bisa disetujui....

Ajaran Kristiani harus dijaga dan sekaligus diwartakan dengan lebih efektif. Ajaran ini untuk seluruh umat manusia yang adalah mahluk jasmani dan rohani seutuhnya. Dan walaupun sedang berziarah di dunia, ajaran ini mengajaknya agar selalu mengarahkan hati ke surga.

Ditunjukkan bagaimana hidup kita yang fana diatur sedemikian rupa agar memenuhi kewajiban kita baik sebagai warga dunia maupun warga surga, dan dengan demikian mencapai tujuan akhir kita sebagaimana telah ditentukan Tuhan.  Yaitu bahwa semua orang baik perorangan maupun sebagai masyarakat wajib selalu mengarahkan hidupnya sepanjang hayat kepada hal-hal surga dan menggunakan hal-hal dunia untuk maksud itu saja, artinya, bahwa penggunaan harta benda duniawi janganlah mengurangi kebahagiaan surga.

Tuhan bersabda : "Carilah pertama-tama  Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 6,33). Kata "pertama-tama" menunjukkan secara khusus kemana semua usaha dan pikiran kita harus diarahkan; namun jangan dilupakan pula perkataan Tuhan berikutnya: "maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu" (Mat 6:34)...

Namun agar ajaran ini dapat meresapi begitu banyak bidang kegiatan manusia, baik perorangan, keluarga maupun masyarakat, pertama-tama dan terutama Gereja sendiri harus selalu akrab  dengan warisan suci kebenaran yang diterima dari para Bapa itu. Dan serentak dengan itu harus selalu memerhatikan keadaan sekarang, kondisi-kondisi baru dan bentuk-bentuk baru kehidupan yang diperkenalkan zaman modern yang membuka jalan-jalan baru bagi kerasulan Katolik.

Untuk itu, Gereja tak boleh menutup mata pada kemajuan besar  temuan-temuan kecerdasan manusia, dan jangan terlambat ketinggalan dalam memberikan penilaian dengan tepat. Tetapi seraya mengikuti jalannya perkembangan, janganlah ia lalai mengingatkan manusia agar melampaui dan di atas segala yang dicerap indera, mereka selalu mengarahkan hati kepada Allah, sumber segala kebijaksanaan dan keindahan. Dan agar mereka tidak melupakan perintah yang paling utama: “Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat 4:10; Luk 4:8), sehingga pesona hal-hal yang fana tidak menghambat kemajuan yang sejati.

Tentang cara pewartaan ajaran iman dan bagaimana hal itu  ditetapkan, menjadi jelas sangat diharapkan dari sidang Konsili yang berhubungan dengan ajaran iman. Yakni, Konsili Ekumenis Keduapuluhsatu – yang akan  menimba dari pengalaman berlimpah di bidang hukum, liturgi, kerasulan dan pemerintahan dukungan yang efektif dan sangat berharga, harapan untuk menyampaikan ajaran iman Katolik, secara murni dan lengkap,  tanpa cacad atau gangguan,  yang diteruskan selama dua puluh abad kendati  berbagai kesulitan dan pertentangan, menjadi tuntunan umum bagi semua orang. Suatu tuntunan yang walau pun belum diterima dengan baik oleh semua orang, namun selalu merupakan harta kekayaan besar yang selalu tersedia bagi mereka yang berkehendak baik.

Maksud utama Konsili ini dengan demikian bukan membahas lagi pokok-pokok ajaran  Gereja,  yang sudah berulangkali dibicarakan para Bapa dan teolog dari zaman dulu hingga sekarang secara rinci, yang kami anggap kita semua sudah memahaminya dengan baik  dan fasih.

Bukan untuk itu Konsili ini diperlukan. Tapi dari kesetiaan yang diperbarui,  murni dan jernih kepada  seluruh ajaran Gereja seutuhnya dan setepat-tepatnya, seperti yang diwariskan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I kepada kita,  umat kristiani katolik di seluruh dunia  dengan semangat apostolik menghendaki  agar kita maju selangkah lagi dalam meresapkan ajaran iman dan membina kesadaran  kaum beriman serta kesetiaan penuh pada ajaran yang autentik  yang dipelajari dan diteguhkan dengan metode-metode penelitian serta bentuk tulisan yang dapat diterima oleh semua orang di zaman kita. Pokok-pokok ajaran iman yang asli adalah satu hal, sedang cara menyajikannya adalah hal yang lain. Untuk yang terakhir itulah kita memberikan pertimbangan sebanyak mungkin dengan kesabaran sejauh mungkin, semuanya dengan bentuk dan proporsi yang terukur dalam suatu magisterium yang terutama bercorak pastoral.

Demikianlah, Gereja Katolik, seraya meninggikan suluh kebenaran agama melalui Konsili Ekumenis ini, ingin menunjukkan dirinya sebagai  ibu yang mengasihi untuk semua,  baik hati, sabar, murah hati dan penuh kebaikan terhadap sesaudara yang terpisah darinya. Kepada mereka yang tertindas banyak kesulitan, Gereja berkata, seperti Petrus kepada  orang miskin yang meminta derma darinya: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan padamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah” (Kis 3:6). Dengan kata lain Gereja tidak memberi kekayaan yang fana kepada manusia zaman ini, juga tidak menjanjikan kebahagiaan duniawi saja. Tetapi ia membagikan kebaikan  rahmat ilahi yang, dengan mengangkat  manusia kepada martabat  anak-anak Allah, adalah perlindungan yang paling efektif dan bantuan ke arah hidup yang lebih manusiawi. Gereja membuka keran mata air ajaran iman yang memberi hidup yang memampukan manusia, diterangi oleh cahaya Kristus, memahami kenyataan dirinya, martabatnya yang luhur dan tujuan hidupnya, dan akhirnya, bersama putera-puterinya, Gereja  menyebarkan di mana saja kepenuhan kasih Kristiani  sebagai sarana yang paling efektif untuk mengatasi benih-benih perseteruan, memajukan persamaan pendapat, perdamaian yang adil, dan kesatuan semua umat manusia dalam persaudaraan.

Tekad Gereja untuk memajukan dan menegakkan kebenaran berasal dari fakta bahwa, menurut rencana Tuhan, yang menghendaki  agar semua orang diselamatkan  dan sampai kepada pengertian akan kebenaran  (1Tim 2,4), tanpa pertolongan sepenuhnya dari ajaran  yang diwahyukan, mereka tidak dapat mencapai kesatuan pikiran yang lengkap dan kuat, yang terkait dengan damai sejati dan keselamatan abadi.

Kesatuan dalam kebenaran yang kita lihat ini, sayangnya, belum sepenuhnya dicapai oleh seluruh keluarga Kristiani.

Karena itu Gereja Katolik menganggap sebagai kewajibannya untuk aktif mengupayakan agar sejauh mungkin dapat terpenuhilah  misteri besar kesatuan yang oleh Kristus Yesus, menjelang sengsara  dan wafatNya, dengan doa yang sangat khusyuk dimohonkan dari Bapa Surgawi. Gereja bersukacita dalam damai, karena tahu bahwa dirinya erat terkait dengan doa  Kristus itu; dan bersorak gembira ketika permohonan doa itu meluaskan khasiat buah keselamatan, bahkan kepada mereka yang berada di luar kawanannya.



Saudara-saudara yang mulia, demikianlah tujuan dari Konsili Ekumenis Vatikan Kedua ini, yang seraya menghimpun sebaik mungkin seluruh daya Gereja dan mengusahakan agar manusia lebih siap menerima kabar gembira dan keselamatan, menyiapkan dan mengkonsolidasikan jalan menuju kesatuan umat manusia yang perlu sebagai landasan agar kota dunia menjadi semakin menyerupai kota surgawi, di mana kebenaran meraja, kasih menjadi hukumnya, dan terentang hingga kekal .”

Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam persidangan pertama (26 uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr Arntz OSC, Mgr Bergamin SX,  Mgr Demarteau MSF,  Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr Hermelink Gentiaras SCJ, Mgr.Mgr Grent MSC, Mgr  J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr Paul Sani Kleden SVD, Mgr Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr Soegijapranata SJ, Mgr JH Soudant SCJ,  Mgr Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr v.d. Tillart SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen SSCC,  Mgr v. Kessel  SMM, Mgr Verhouven MSC. Delegasi para Uskup Indonesia dalam mengikuti Sidang Pertama Konsili Vatikan II dipimpin oleh Mgr Soegijopranata SJ, dalam kapasitasnya sebagai  Ketua MAWI.  

Dua belas komisi persiapan Konsili telah mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan di antara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang dimulai pada musim gugur 1962.

Dalam sidang kerja pertama, pada 13 Oktober 1962 para Uskup tidak bersedia menerima daftar nama anggota komisi-komisi kerja Konsili yang disiapkan lebih dulu, karena dominasi Kuria Vatikan. Sebaliknya mereka ingin memilih sendiri para anggota komisi-komisi kerja yang umumnya dipimpin 10-12 kardinal dan bersifat internasional demi karakter Konsili yang disebut ekumenis. Hal itu menunjukkan, bahwa banyak Uskup melalui intervensi  Kardinal Frings (Jerman) dan Kardinal Lienart (Prancis)  tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah yang telah disiapkan dan bersifat Roma-centris. Naskah untuk dibahas yang telah diserahkan kepada para Bapa Konsili  meliputi antara lain draft tentang Sumber-sumber Wahyu, Perbendaharaan Iman, Tatanan Moral Kristiani, Kemurnian-Perkawinan-Keluarga dan Keperawanan,  Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristiani.

Dengan alasan mereka perlu waktu secukupnya untuk saling mengenal dan memilih para anggota komisi-komisi, mereka berkelit dari agenda debat dan pengambilan suara atas naskah-naskah, dan menghendaki proses konsultasi berlangsung leluasa seperti biasa terjadi dalam tradisi konsili-konsili yang lalu. Dewan  pemimpin Konsili  menghadap Paus Yohanes pada 16 Oktober 1962 membawa pesan para Uskup. Mereka meminta urutan pembahasan dibalik, mulai dari Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristen. Draft lain-lainnya dibahas dalam masa sidang berikutnya. Paus menyetujui. Maka dikirimkanlah nota kepada para Bapa Konsili: “Animadversiones in "Primam Seriem" schematum constitutionum ad decretorum”, bahwa urutan pembahasan dibalik menurut skema yang utama dulu, dari konstitusi ke dekrit. Mengomentari perubahan itu Kardinal Montini (yang nanti menjadi Paus Paulus VI) pada 18 Oktober 1962 mengirim catatan kepada Kardinal Sekretaris Negara mencemaskan bahwa Konsili tidak mempunyai rencana kerja  yang rapi dan baku.

Pada  22 Oktober 1962 tema Konstitusi Liturgi dipilih untuk pembahasan pertama karena draft yang dihasilkan lebih tertata rapi; secara keseluruhan sangat bagus, juga dalam bagian-bagiannya, menurut penilaian para Uskup Eropa Tengah. Walaupun demikian, debat mengenai  Konstitusi Liturgi sangat alot. Pokok perdebatan menyangkut  gaya bahasa teks yang lebih puitis ketimbang teologis. Ada ketidakjelasan ajaran yang perlu diperbaiki secara teologis.  Tentang bahasa Liturgi: Latin atau bahasa setempat. Komuni dua rupa. Konselebrasi. Dan otoritas atas liturgi. Pada 6 November 1962 dimintakan kesepakatan tentang penghentian debat mengenai hal-hal yang telah cukup didiskusikan. Pembahasan tentang Konstitusi Lturgi berakhir pada 13 November 1962 dan kemudian diambil suara atas pernyataan:  “Konsili Vatikan II setelah meninjau dan memeriksa skema tentang Liturgi suci, dengan ini menyetujui arah umum yang cermat dan arif, bermaksud membuat bagian-bagian tertentu dari Liturgi lebih hidup dan lebih mudah dipahami umat beriman selaras kebutuhan pastoral di masa kini. Perubahan-perubahan yang didiskusikan dalam sidang konsili sesegera mungkin akan dipelajari dan disusun dalam bentuk yang tepat oleh komisi Konsili untuk Liturgi, dan akan disampaikan pada waktunya kepada sidang umum, dan dengan pemberian suaranya para Bapa Konsili niscaya membantu atau mengarahkan komisi dalam menyiapkan teks yang telah direvisi dan pasti untuk disampaikan kepada sidang umum lagi”. Dari 2215 Bapa Konsili yang hadir, 2162 setuju (melampaui kuorum duapertiga atau 1476). 46 suara tidak setuju.

Diskusi selanjutnya adalah untuk membahas skema tentang komunikasi sosial, Gereja timur dan Hakekat Wahyu Allah. Terutama untuk skema yang terakhir, Hakekat Wahyu Allah, sebagian besar Bapa Konsili menolak teks yang diajukan karena mengakui dua sumber wahyu: kitab suci dan tradisi; keduanya dipandang saluran dari satu sumber saja, Sabda Tuhan. Nada skema dinilai terlalu bersifat skolastik hingga dirasa kering, kurang kehangatan, dan perlu memerhatikan kebutuhan Gereja, sehingga teks itu  perlu ditulis ulang melalui suatu tinjauan teologis yang lebih baik. Walau ketika diambil suara, jumlah yang menolak hanya 1.368 suara, kurang dari kuorum 2/3 yaitu 1.473 suara, namun tetap merupakan mayoritas melebihi  55%. Maka Paus berkenan memutuskan untuk merombak teks dengan wawasan teologi yang lebih lengkap.

Untuk revisi dan penulisan ulang teks maka hingga masa sidang sesi pertama berakhir pada 8 Desember 1962, belum ada dokumen apa pun yang dihasilkan Konsili Vatikan II.


Lihat kembali: Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970 bagian Prolog 


DIALOG BERBASIS EKOLOGI

Kemarin Kamis, 19 Januari 2023, Paus Fransiskus menerima kunjungan delegasi umat Buddhis dari Kampuchea. Menarik untuk dicatat, perjumpaan itu mengangkat tema "pertobatan ekologis" sebagai jembatan dialog. Berikut petikan sambutan Paus Fransiskus:

"Pada saat keluarga manusia dan planet kita menghadapi ancaman besar, Anda telah memilih “Pertobatan Ekologis” sebagai tema yang cocok untuk pertemuan Anda. Ini adalah tanda positif dari tumbuhnya kepekaan dan kepedulian terhadap kesejahteraan bumi, rumah kita bersama, dan atas kontribusi penting yang, terinspirasi oleh keyakinan agama dan tradisi spiritual Anda, dapat Anda persembahkan kepada negara Anda dalam perjalanan menuju penyembuhan dan rekonstruksi ekonomi setelah krisis sosial-politik beberapa dekade terakhir.



"Kemiskinan dan kurangnya rasa hormat terhadap martabat kaum terpinggirkan menyebabkan banyak penderitaan dan kekecewaan di zaman kita; mereka harus diatasi dengan strategi komprehensif yang meningkatkan kesadaran akan kerapuhan mendasar lingkungan kita. Ada kebutuhan mendesak, melalui dialog di semua tingkatan, untuk mencari solusi terpadu berdasarkan saling ketergantungan di antara keluarga manusia dan alam. Untuk alasan ini, mengikuti jalan yang telah digariskan oleh para pendahulu saya, saya terus mendesakkan kepedulian terhadap rumah kita bersama, suatu kepedulian yang juga merupakan “panggilan untuk menghormati ciptaan, menghormati sesama kita, menghormati diri kita sendiri dan Sang Pencipta” (Sambutan Kepada Para Peserta Pertemuan “Iman dan Ilmu Pengetahuan: Menuju COP26”, 4 Oktober 2021). Namun ini tidak dapat terjadi tanpa perubahan hati, visi dan praktik.

"Pertobatan ekologis terjadi ketika sebab-sebab manusia dari krisis lingkungan saat ini dibicarakan; ketika pertobatan sejati mengarah pada perlambatan atau penghentian tren, ideologi dan praktik yang merusak dan tidak menghormati bumi dan ketika orang berkomitmen untuk mempromosikan model pembangunan yang menyembuhkan luka yang disebabkan oleh keserakahan, pengejaran keuntungan finansial yang berlebihan, kurangnya solidaritas dengan tetangga dan tidak menghargai lingkungan. Pertobatan ekologis bertujuan untuk mengubah “apa yang terjadi di bumi kita sebagai derita pribadi kita sendiri dan dengan demikian menemukan apa yang dapat kita lakukan masing-masing” (Laudato Si’, 19). Itu memanggil kita “untuk mengganti persneling, mengubah kebiasaan buruk agar dapat bermimpi, berkreasi bersama, dan bertindak bersama untuk mewujudkan masa depan yang adil dan merata” (Kata Pengantar Laudato Si’ Reader, 13).



"Dialog mengungkap kekayaan mendalam yang berasal dari tradisi agama kita masing-masing dalam upaya berkelanjutan untuk menumbuhkan tanggung jawab ekologis. Dalam mengikuti prinsip-prinsip wasiat Sang Buddha sebagai warisan kepada murid-muridnya (Pratimoksa), termasuk praktik metta, yaitu tidak menyakiti makhluk (bdk. Metta Sutta sn 1.8), dan menjalani gaya hidup sederhana, umat Buddha dapat welas asih. melindungi bagi semua makhluk, termasuk bumi, habitatnya. Untuk bagian mereka, umat Kristiani pun memenuhi tanggung jawab ekologis mereka ketika, sebagai pemelihara yang dapat diandalkan, mereka melindungi alam ciptaan, amanat tugas yang telah Allah percayakan kepada mereka “untuk mengolah dan memelihara” (Kej 2:15; cf. Laudato Si’, 95; 217)."