Daftar Blog Saya

Kamis, 06 Oktober 2022

Fundamentalisme Protestan Evangelis

 


Suatu permintaan mengharapkan penjelasan tentang aliran fundamentalisme yang sering menyerang Gereja Katolik. Pada dasarnya tulisan berikut ini saya angkat dari dari paparan Karl Keating (Catholicism and Fundamentalism, Ignatius Press, SF, 1988) dan saya sampaikan dalam dua angsuran. Ini yang pertama mengenai asal-usul Fundamentalisme. 

Ada beberapa hal yang mungkin sedikit menyulitkan jika bicara tentang Fundamentalisme Kristen dan perlu catatan awal. Yang disebut fundamentalisme kristen sebenarnya hanya setitik saja dari Protestantisme. Fundamentalisme kristen secara populer adalah salah satu sayap dari aliran Evangelis. Mereka itu baik-baik saja. Banyak fundamentalis yang terkenal berjuang berdampingan bersama dengan umat Katolik dalam kegiatan sosial politik dan tidak pernah menggunakan kata-kata yang menyakitkan terhadap umat Katolik.  Tetapi yang menjadi fokus percakapan kita adalah aliran  fundamentalisme kristen yang secara aktif melakukan kegiatan anti-Katolik dengan mengusung pokok-pokok masalah tertentu. Dan karena fundamentalisme ini membentuk suatu sub-bagian dalam Protestantisme keseluruhan, maka fundamentalisme yang aktif anti-katolik bisa rancu tak terpisahkan dari fundamentalisme kristen secara keseluruhan. Di sini Fundamentalisme kita batasi pada kelompok yang menyebut diri fundamentalis dan bersikap anti-katolik.

Sejarah Fundamentalisme Kristen berawal di Amerika dan dapat dibagi dalam tiga babak utama.  Awalnya merupakan suatu aliran dalam protestantisme Amerika abad kesembilan belas yang hendak membedakan diri dari protestan liberal modern yang dipengaruhi pemikiran sekular, dan mau bertahan pada ajaran Injil saja. Yang pertama berlangsung satu generasi dari tahun 1890-an hingga Pengadilan Scopes tahun 1925. Di bawah dorongan separatis dan dipengaruhi oleh milenialisme dan dispensasionalisme (keterangan tentang milenialisme dan dispensasionalisme nanti akan disampaikan dalam tulisan ini),  fundamentalisme merebak dari evangelisme, walaupun tidak sepenuhnya, dan karena itu fundamentalisme dianggap sebagai salah satu sayap dari evangelisme. Dalam babak yang kedua, setelah mengalami apa yang oleh banyak orang dipandang sebagai kekalahan telak di Dayton, Tennessee, walaupun selanjutnya kabur keluar dari fokus pandangan namun fundamentalisme tak pernah sungguh-sungguh lenyap dan tak pernah benar-benar kehilangan landasan. Akhirnya, fundamentalisme mendapat perhatian lagi satu generasi yang lalu, dan sejak itu mendapatkan pertumbuhan yang luar biasa.

                Tanpa memperhatikan sekte-sekte setengah Kristen seperti Mormon dan Saksi Yehova, fundamentalisme mengalami pertumbuhan yang sangat besar dalam persentase dibanding dengan aliran kekristenan manapun. Mereka yang bergabung dengan fundamentalisme meliputi orang-orang kristiani yang tidak pernah menggereja maupun drop-out dari denominasi gereja lain. Yang mengherankan adalah bahwa sebagian besar pengikut mereka berasal dari Gereja Katolik. Gereja Katolik di Amerika meliputi seperempat penduduk, sehingga orang dapat memperkirakan seperempat pendukung fundamentalisme dulunya adalah umat Katolik. Memang ada sedikit harapan yang cukup beralasan, bahwa bahkan sebagian kecil dari mereka acuh tak acuh sikapnya karena sebagian sudah pernah punya ikatan dengan suatu gereja, sedangkan mereka yang dulunya tidak menggereja lebih bebas karena lebih terbatas ikatannya. Namun dalam banyak himpunan fundamentalis, sepertiga, separoh atau bahkan mayoritas pernah punya hubungan dengan Katolik Roma.  Memang ada variasi di wilayah  yang satu dengan wilayah lainnya.

                Gereja-gereja fundamentalis di Amerika sebelah selatan menyatakan bahwa di sana hanya sedikit saja pengikut yang dulunya Katolik, karena di kawasan itu memang hanya ada sedikit saja penduduk Katolik. Namun di Amerika bagian Timur-Laut dan Barat-Tengah, di mana jumlah orang Katolik banyak sekali, orang bisa mendapatkan mantan umat Katolik merupakan mayoritas dalam beberapa himpunan fundamentalis. Di Amerika bagian Barat Daya dengan populasi Hispanik yang tinggi, seluruh anggota himpunan fundamentalis adalah mantan umat Katolik. Satu dari setiap enam orang Hispanik di kawasan ini sekarang menjadi fundamentalis. Perkembangan eksodus besar ini terjadi sangat cepat, mengingat dua puluh tahun yang lalu tak ada seorang Hispanik pun yang fundamentalis.

                Walaupun fundamentalisme dewasa ini terutama berawal dari Amerika  dan merupakan gerakan di dalam atau yang searah dengan aliran Evangelis dan relatif agak baru, namun banyak dari pemimpinnya menyatakan bahwa fundamentalisme sudah lama timbul, kendati tersembunyi, bahkan dikatakan sejak zaman Kristus sendiri. Sekurangnya banyak orang, baik di dalam maupun di luar kalangan fundamentalis, mengira bahwa mereka itu agama Reformasi yang murni. Kesan ini dikuatkan oleh para profesional-anti-Katolik yang bicara dan menulis seperti para tokoh Reformasi yang mereka kagumi. Mereka menggeluti Institusi dari Calvin, dan karya-karya Luther, menggunakan kosa-kata abad keenam-belas. Tulisan lawan-lawan mereka sebut “surat-surat jerami” (begitulah Luther menyebut Surat Santo Yakobus). Dengan seenaknya mereka menebar tuduhan “Anti-Kristus” seolah-olah mereka itu wasit penjaga garis. Apa saja yang tidak mereka sukai mereka cap ”menghujat”, sekalipun persoalannya tidak ada hubungannya dengan hujatan. Dan apa yang mereka suarakan dari mimbar-mimbar mereka melahirkan peniru-peniru klise.

                Hubungan antara fundamentalisme dengan Reformasi sebenarnya kabur tidaklah sejelas yang dipikirkan mereka yang non-fundamentalis atau pun yang diharapkan oleh kaum fundamentalis sendiri. Hubungan langsung yang bersifat historis bukan hanya kabur, tetapi juga nyaris tidak ada. Pada tiga dasawarsa yang lalu fundamentalisme mendapat banyak sorotan media, dan khayalak menyadari maraknya gerakan itu kembali, tetapi banyak juga yang mengira bahwa fundamentalisme sudah ada selama berabad-abad dan baru sekarang menjadi terkenal. Keliru!

                Memang, ada orang-orang yang sejak lama menjadi pengikut Calvin, dan fundamentalisme bukanlah apa-apa jika tidak Calvinistis. Namun sampai beberapa waktu yang lalu fundamentalisme yang kita tahu bukanlah gerakan yang terpisah dari Protestantisme, sementara istilah fundamentalisme sendiri belum dikenal. Orang-orang yang sekarang disebut fundamentalis itu dulunya adalah jemaat Gereja Baptis atau Gereja Presbitarian atau apa saja; mereka tidak menganggap diri mereka berasal dari suatu faksi di dalam Protestantisme, suatu faksi yang mengatasi garis-garis denominasi gereja. Dalam dasawarsa terakhir abad kesembilanbelas barulah muncul masalah-masalah yang membuat mereka memisahkan diri dari aliran-aliran utama Protestantisme, hingga sampai sekarang pun, keturunan mereka masih tetap jemaat Gereja Baptis, atau Gereja Presbitarian atau apa saja, merekalah fundamentalis yang pertama, meskipun mereka malu dengan istilah itu dan menggunakan istilah lain yang tidak banyak disalah-gunakan oleh media sekular.

                Masalah yang mula-mula membedakan fundamentalisme jadi lain dari Protestantisme adalah Injil Sosial, suatu kecenderungan sekular dan liberal di dalam Protestantisme; teori evolusi  Darwin yang dianggap menggugat keandalan Kitab Suci, dan aliran kritik tingkat tinggi atas Kitab Suci yang berasal dari Jerman. Para pemikir baru berusaha memadukan sekularisme dengan Kristianitas, yang akhirnya menanggalkan Kristianitas, juga pemikiran-pemikiran yang konservatif. Menanggapi kecenderungan inilah para pemimpin awal fundamentalis bersatu di sekitar beberapa prinsip dasar, namun barulah ketika suatu seri buku dua-belas jilid berjudul “The Fundamentals”  diterbitkan, dari situlah gerakan itu mendapatkan namanya.



                Unsur-unsur dasar fundamentalisme dirumuskan tepatnya hampir seabad yang lalu di Seminari Teologi Princeton, Princeton, New Jersey, oleh Benjamin B. Warfield, Charles Hodge dan rekan-rekannya.  Hasilnya dikenal sebagai teologi Princeton dan menarik bagi Protestan konservatif yang sedang prihatin dengan gerakan Injil Sosial.

                Antara 1909 dan 1915 Milton dan Lyman Stewart bersaudara dengan kekayaan yang berasal dari minyak bumi menerbitkan “The Fundamentals”, yang terdiri dari dua belas jilid. Kata pendahuluan dari buku-buku itu menjelaskan tujuannya: “Pada tahun 1909 Tuhan menggerakkan dua orang awam Kristiani untuk menyisihkan sejumlah besar dana (USD 300.000) untuk menerbitkan dua belas buku yang mengutarakan fundamen-fundamen  (fundamentals)  dari iman Kristiani, yang dikirimkan kepada para pelayan Injil, para misionaris, para penilik Sekolah Minggu, dan orang-orang lain yang sibuk dengan karya Kristiani yang giat di seluruh dunia yang berbahasa Inggris”. Tiga juta eksemplar buku disebarkan. Setiap jilidnya memuat tujuh atau delapan karangan. Selain kajian yang sengit atas soal-soal ajaran, terdapat pula serangan terhadap kritik alkitabiah modern, kecaman terhadap teori-teori ilmiah, kesaksian pribadi, komentar-komentar atas karya misioner dan evangelisasi, dan catatan-catatan tentang bidaah. Kategori terakhir meliputi karangan-karangan tentang “Katolisisme: Apakah itu Kristiani?” dan “Roma, Lawan Bangsa”.

                Tercatat enampuluh empat penulis di dalam buku seri itu, termasuk sarjana-sarjana seperti C.I. Scofield, penyusun Scofield Reference Bible; W.J. Eerdman dan puteranya, Charles; H.C.G. Moule, Uskup Anglikan di Durham; James M. Gray, pemimpin pada Moody Bible Institute; dan Warfield sendiri. Mereka  meliputi para pendeta Gereja Presbitarian, para penginjil Gereja Methodist, para redaktur majalah keagamaan, para profesor, bahkan ahli tentang Mesir (Egyptologist).  Seperti yang dikatakan oleh Edward Dobson, rekan pastor pada Gereja Baptis Thomas Road dari Jerry Falwell, “Mereka itu pastilah bukan kaum fanatik yang anti-intelektual, pawang-ular, dukun dan ahli tenung.”

                Dari fundamen-fundamen yang terdapat di dalam seri buku itu, walau orang berbeda-beda tentang jumlahnya, sebagian menghitung ada empat belas pokok. Sebagian komentator sepakat sekurang-kurangnya dengan kelima hal ini: (1) inspirasi dan tidak bisa kelirunya Kitab Suci; (2) keAllahan Kristus, termasuk kelahiranNya dari seorang Perawan; (3) kematian Yesus sebagai silih tebusan atas dosa manusia; (4) kebangkitanNya dari mati; dan (5) kedatanganNya yang Kedua-kalinya. Dobson menulis, “Walaupun ada yang menambahkan daftar ini, misalnya dengan persoalan surga dan neraka, memenangkan jiwa-jiwa, pribadi Setan, dan Gereja lokal, namun ciri ajaran fundamentalisme tetap memusat di sekitar kelima fundamen itu.”

                Buku-buku itu menarik perhatian banyak orang yang tidak senang pada pandangan-pandangan yang dinyatakan di dalamnya. Pada 22 Mei 1922, Harry Emerson Fosdick yang adalah seorang teolog liberal, mengucapkan khotbah dengan judul: “Bisakah Kaum Fundamentalis Menang?” Ia menggunakan judul buku seri itu untuk menyebutkan orang-orang yang dilawannya, dan sejak itu label Fundamentalis digunakan. Namun bukan dia yang memunculkan istilah Fundamentalis itu. Kehormatan sebagai pengguna pertama istilah itu jatuh pada Curtis Lee Law, yang dalam suatu kolom editorial pada koran Watchman-Examiner New York pada tanggal 1 Juli 1920 merumuskan kaum “fundamentalis” sebagai “mereka-mereka yang bermaksud memperjuangkan fundamen-fundamen itu”. Karya-karya baku tentang fundamentalisme termasuk James Barr, Fundamentalism (Philadelphia, Westminster, 1977), Gabriel Hebert, Fundamentalism and the Church (Philadelphia, Westminster, 1957); George Mardsden, ed. Evangelicalism and Modern America (Grand Rapids: Eerdmans, 1984); Jerry Falwell, The Fundamentalist Phenomenon (New York: Doubleday, 1981); Ernest R. Sandeen, The Roots of Fundamentalism (Chicago: University of Chicago Press, 1970).

                Setidaknya demikian itulah menjelaskan bagaimana nama itu lalu eksis. Gerakannya sendiri membingungkan asal-usulnya. Tidak ada pendirinya, dan tidak ada suatu peristiwa yang dianggap sebagai saat kelahirannya. Para penulis fundamentalis – terutama mereka yang menentang Gereja Katolik – menyatakan bahwa fundamentalisme semata-mata kelanjutan dari aliran asli Kristiani, yang ada sampai tiga abad setelah Kristus, lalu tenggelam di bawah permukaan selama dua belas abad, muncul kembali bersama dengan gelombang Reformasi, mendapat kekuatan dari berbagai sumber, bolak-balik berpengaruh namun semakin kurang nampak. Menurut para partisannya, fundamentalisme adalah apa yang tersisa dari seluruh dunia kekristenan  (jika masih layak menyandang nama kristen) yang jatuh dalam penyelewengan dari prinsip.

                Kisah yang sebenarnya dari fundamentalisme lebih gamblang. Gerakan itu terutama adalah suatu fenomena Amerika yang dipengaruhi oleh Evangelisme Inggris, dan kemudian sulit dilacak keberadaannya lebih jauh dari Zaman Kebangunan Raya (Great Awakening) 1720-an, yang pada ujung akhirnya sekitar dua dasawarsa kemudian, mungkin sepertiga dari penduduk dewasa di daerah-daerah koloni masuk menjadi pemeluk agama. Zaman Kebangunan Raya dapat dikatakan membuat banyak orang Amerika jadi sadar agama, dan maraknya penyebaran rasa keagamaan merupakan lahan yang subur bagi apa yang disebut fundamentalisme itu.

                Kebanyakan para pengamat menganggap abad kesembilanbelas sebagai permulaan dari fundamentalisme. Abad itu menjadi saksi pecah belahnya Protestantisme Amerika, dimulai dari satu kelompok yang tidak puas memisahkan diri dari denominasinya, diikuti oleh yang lain. Misalnya, sisa-sisa Metodis pada tahun 1866 menyelenggarakan perayaan 100 tahun didirikannya Gereja Metodis Amerika, yang memuncak pada Kamp Pertemuan Holiness di Vineland, New Jersey setahun kemudian, dan memuncak lagi dengan terjadinya skisma perpecahan, ketika Gereja-gereja Holiness memisahkan diri dari  Gereja Metodis, yang dulunya juga merupakan pecahan dari Anglikan.

                Abad kesembilan belas menyaksikan munculnya paham milenialisme dan paham dispensasionalisme, keyakinan-keyakinan yang berdekatan. Milenialisme merujuk pada  pemerintahan Kristus di dunia seribu hari (lihat Wahyu 5) dan biasanya disertai dengan kecenderungan menafsirkan nubuat yang dikaitkan dengan masa kini dan peristiwa-peristiwa historis yang besar dari masa belakangan, Perang Dingin dan status Israel. Ada banyak sekali ragam di dalam aliran milenialisme ini, tidak ada garis partai dalam hal itu di antara kaum fundamentalis. Ada sedikit kesepakatan saja tentang kapan terjadinya Kedatangan Kedua Kristus – apakah sebelum atau sesudah tiap ribuan tahun (milenium)? – dan lebih kecil lagi kesepakatan tentang bagaimana caranya memahami apa yang diketahui orang sebagai ramalan masa depan jangka pendek. Seabad yang lalu, milenialisme terutama sangat dikenal karena begitu seringnya unsur-unsur mereka jabarkan penuh persisi, namun kemudian ternyata keliru, menyangkut perkiraan saat-saat akhir dunia (hari kiamat). Sekarang kaum milenialis lebih hati-hati.

                Dispensasionalisme merupakan suatu teori yang dikembangkan oleh John Nelson Darby (1800-1882), pendiri dari Plymouth Brethern (Persaudaraan Plymouth). Darby membagi sejarah menjadi beberapa dispensasi atau era, di mana Allah tinggal dengan cara yang berbeda dengan umat yang berbeda pula. Dispensasionalis membedakan antara Israel dan Gereja – yang satu adalah Umat Allah duniawi, yang lain adalah Umat Allah surgawi. Kata-kata yang khas dari gerakan mereka adalah “Pembagian Sabda Kebenaran”. Ini merujuk pada penentuan mana bagian dari Kitab Suci yang untuk Israel dan mana yang untuk Gereja.

                Era sekarang ini dianggap “zaman Bangsa-bangsa Lain”, di mana Israel menderita menunggu pemenuhan nubuat alkitabiah. Nubuat-nubuat ini akan dipenuhi dimulai dari “Saat Kegirangan” ketika “para orang kudus” diangkat ke surga hidup-hidup. “Saat Kegirangan” ini mendahului “Pengadilan”, yang menyucikan dunia mengantisipasi pemerintahan Kristus. Tulisan-tulisan Darby mempengaruhi C.I. Scofield, dan dewasa ini banyak fundamentalis memperoleh ajaran dispensasionalisme dari The Scofield Reference Bible.



                Baik tokoh-tokoh milenialisme maupun dispensasionalisme tidak terlibat dalam pertengkaran antara Katolik dan fundamentalis, walaupun banyak dari yang terakhir, bersama dengan para Evangelis justru sibuk dengan soal itu, sebagaimana dibuktikan dengan popularitas buku-buku seperti karya Hal Lindsey “Late Great  Planet Earth”. Keluhan-keluhan mengenai Katolisisme jarang merujuk kepada kekhususan ajaran fundamentalis ataupun Evangelis; fokusnya selalu tertuju pada kekhususan ajaran Katolik. Sebaliknya, pihak Katolik tidak begitu berminat dengan milenialisme, walaupun pemikiran semacam itu mengganggu para leluhur pada abad ketujuh,  bahkan dispensasionalisme sama sekali tidak membuatnya bergeming.


Pragmatisme yang perlu diedit

 



Di antara beberapa kata yang dengan sangat tepat menggambarkan cara hidup dan sikap kebanyakan dari kita yang memerlukan editan adalah kata pragmatisme. Bagi banyak orang kata itu sungguh merupakan gambaran yang sepadan dari cara hidup Barat, terutama Amerika.

                Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani: Pragma, yang artinya “kesibukan”, namun juga mengandung konotasi efisien (hemat), masuk-akal, dan praktis bisa dilakukan.

                Pragmatisme bisa diuraikan secara singkat sebagai suatu filsafat dan cara hidup yang mengakui kebenaran dari sesuatu gagasan terletak pada kemungkinan praktisnya. Artinya, apa yang benar adalah apa yang dapat dilaksanakan. Batu uji kebenaran bukannya apakah sesuatu gagasan itu cocok dengan fakta realitas, melainkan apakah gagasan itu punya kegunaan konkret, apakah punya konsekuensi praktis, dan apakah dapat atau tidak dapat digunakan untuk mengolah dunia secara menguntungkan. Nilai sesuatu terletak pada apa yang bisa dicapai, pada prestasi. Sesuatu adalah baik jika dapat dijalankan, dan apa yang dapat jalan dan dijalankan dalam ari bisa bekerja dianggap bagus. Gagasan pragmatisme ini terdapat di setiap pikiran yang mendasari masyarakat teknologi, dan disucikan dengan sungguh-sungguh di dalam sistem dan struktur pendidikan, lalu tampak di dalam ketidaksabaran kita kepada apa pun (atau siapa pun) yang tidak tampak praktis, berguna dan efisien. Nilai-nilai diletakkan atas dasar kepraktisan!

                Banyak bagian dari sistem ini memang baik. Tak disangkal bahwa banyak hal dalam dunia modern telah membantu menjadikan hidup ini lebih baik – kedokteran, wahana dan sistem perjalanan, kemajuan teknologi dan komunikasi – sebagian besar adalah hasil dari pragmatisme. Tidaklah adil jika kita ikut menikmati manfaat dari semua ini dan secara semena-mena mengecam filsafat dan cara hidup yang menghasilkannya. Namun, dengan segala pengakuan dan penghargaan itu, perlu juga diketahui bahwa pragmatisme selain menghasilkan hal-hal yang baik juga membawa pengaruh yang merugikan.

 

i)                    Karena nilai diletakkan pada prestasi, kita cenderung menilai orang dari apa yang dilakukan ketimbang siapa sebenarnya dia

Dengan menerapkan prinsip pragmatis, yang baik adalah yang bekerja/berjalan, maka dapat juga dikatakan : siapa pun hanya baik sejauh ia bekerja... dan seberapa kebaikan orang diukur dari pekerjaan yang dilakukan. Sayangnya dalam suatu masyarakat pragmatik, orang merasa sudah nyaman aman dan mapan dengan diri sendiri ketika berprestasi, menghasilkan dan menyumbangkan sesuatu dengan cara yang prgamatik. Ini berarti bahwa seseorang merasa baik dan penting jika  melakukan hal-hal yang dihargai masyarakat sebagai baik dan penting; sebaliknya orang merasa tidak berguna dan tidak penting jika melakukan pekerjaan yang oleh masyarakat dianggap tidak berguna dan tidak penting. Penghargaan dan penghormatan diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, lebih dari dasar prestasi pragmatis daripada dari dasar keutamaan moral dan kualitas pribadi. Di dalam masyarakat pragmatik, bekerja diperhitungkan, sedangkan berada tidak diperhitungkan.

                Pengaruh dari sikap ini dapat dirasakan di mana-mana: prestasi dari pencapaian tujuan profesional/pekerjaan lebih didahulukan dari pada kehidupan keluarga, keutamaan pribadi dan kesenggangan; mereka yang telah pensiun, yang tidak bekerja, atau berada di rumah dengan anak-anak, merasa tidak bernilai dan tidak berguna; tak ada tempat bagi mereka yang cacat, yang sudah tua, yang sakit; kita mengorbankan apa pun demi untuk mempunyai riwayat hidup profesional yang ideal (karena kita tahu apa yang dianggap bernilai oleh masyarakat, maka nilai diri kita bergantung pada penilaian masyarakat itu); akhirnya kita menjadi bagian dari cara hidup seperti balapan tikus (yang serba mau cepat bergerak, tergesa-gesa), tak punya waktu, tak punya kesenggangan; tekanan darah tinggi, dan cita-rasa kegembiraan (terkait menikmati hidup) yang berkurang, dan tak tahu lagi bagaimana kita terjerumus dalam situasi seperti itu atau bagaimana menjauhkan diri dari tekanan seperti itu; dan akhirnya, jika bekerja adalah segalanya dan berada tidak dihargai, tak ada sesuatu yang perlu disiapkan untuk menyongsong kematian, untuk melepas dan merelakan pergi, karena yang berharga bagi kita adalah kemampuan kita untuk menghasilkan, sehingga kita memeluk kuat-kuat karir dan pekerjaan seolah-olah hanya itu saja hidup ini.

ii)                    Karena pikiran untuk memecahkan persoalan, kita tidak sabar kepada gagasan-gagasan yang tidak praktis

Di dalam dunia pragmatik, tujuan pikiran manusia bersifat instrumental. Gagasan-gagasan dimaksudkan untuk membantu kita menyesuaikan diri agar lebih nyaman pada lingkungan yang bergejolak. Konsekuensinya, kita belajar menjadikan diri lebih sebagai alat, bukan tujuan. Pendidikan lebih diarahkan pada upaya mempelajari ketrampilan hidup ketimbang mempelajari kebijaksanaan hidup. Sistem pendidikan, pemberian dana penelitian, dan semua pendekatan yang kita lakukan dalam pembelajaran, memperlihatkan prioritas itu. Disediakan banyak uang untuk melakukan penelitian bagi pengembangan karet yang lebih baik bagi ban mobil kita daripada untuk meneliti sejarah atau kebudayaan. Laju perkembangan teknologi lebih cepat dari pada kapasitas produksi  untuk menghasilkan hal-hal yang baru, dan serentak dengan itu tak dapat ditemukan cara yang lebih baik untuk hidup bersama di dalam perkawinan, berkomunitas, bernegara dan di dunia sebagai keseluruhan. Prioritas dalam pendidikan yang digariskan oleh suatu budaya yang pragmatik memang terbukti sangat berguna dalam menghasilkan nilai-nilai yang membantu menciptakan kehidupan yang baik, tetapi terbukti kurang berguna di dalam menghasilkan nilai-nilai yang dapat kita bagikan secara merata dan secara bersahabat satu sama lain, dan di dalam memberikan alasan kepada anak-anak untuk menghargai kehidupan.

 

iii)                 Karena tujuan pemikiran adalah pragmatik, hanya metode yang ilmiah saja yang dihargai.

Jika tujuan pikiran adalah agar dapat secara pragmatik mengolah segala sesuatu demi kemaslahatan bagi manusia, maka metode ilmiah menempati tempat sentral di panggung kita, dan akhirnya, menguasai seluruh panggung gagasan itu. Di dalam masyarakat yang sedemikian pragmatik, hanya ilmulah yang mendapat hak untuk menentukan fakta. Temuan-temuan ilmu dianggap obyektif. Sedang yang diajukan oleh disiplin pengetahuan yang lain, dengan menggunakan metode yang berbeda untuk mencapai pengetahuan: metafisika, filsafat, mistisisme, puisi atau teologi – dianggap murni subyektif, persoalan iman pribadi dan pilihan buta. Pada hal, tak seorang ilmuwan profesional maupun seorang awam pun pernah melihat atom. Namun mereka tak meragukan keberadaannya. Ilmu tidak hanya meyakinkan kita bahwa atom itu ada, namun ilmu juga secara positif menggunakan atom untuk menciptakan energi nuklir. Siapa yang dapat meragukan keberadaannya? Begitu pula, tak seorang mistikus profesional atau pun orang biasa, pernah melihat Tuhan di dunia ini. Mengapa keberadaan Tuhan diragukan, kendati faktanya para mistikus meyakinan kita akan realitas keberadaan Tuhan itu, dan kita melihat dalam kehidupan banyak orang yang percaya (entah kepada Kristus, Buddha dan Muhammad) adanya bukti yang sangat konkret, bahwa mereka mengalami sesuatu yang nyata di dalam apa yang mereka nyatakan sebagai pengalaman akan Tuhan. Seperti para ilmuwan, mereka itu juga memecahkan atom yang melepaskan energi. Namun, di dalam suatu masyarakat yang bersifat teknologis, kita hanya mengenal dan memahami satu macam energi saja, yaitu pragmatik. Penyusutan kenyataan kepada hanya satu segi ini seperti yang akan kita lihat nanti, merupakan suatu pemiskinan yang melumpuhkan.

                Banyak dari pemiskinan semacam itu berkaitan dengan berkurangnya kemampuan daya kemampuan rohani kita. Bagaimana pragmatisme merugikan kesadaran hidup rohani?



                Suatu ketika Thomas Merton* ditanyai oleh seorang wartawan, apa yang menurut dia menjadi penyakit rohani yang utama di zaman kita. Di antara banyak hal yang dapat dikatakannya (kurangnya doa, kurangnya cita-rasa berkomunitas, kurangnya perhatian untuk keadilan dan kemiskinan) Merton menyampaikan jawaban dengan satu kata saja, efisiensi. Mengapa? Ia melanjutkan, “sebab dari biara sampai ke Pentagon (markas besar militer Amerika Serikat) semuanya harus terus bekerja... dan hanya tersisa sedikit waktu atau energi saja untuk melakukan hal-hal yang lain.” Yang hendak ditunjukkan Merton ialah bahwa sehubungan dengan Tuhan dan agama, masalah-masalah kita tidak diperlakukan setara soal pekerjaan. Pendek kata, kita kurang mengembangkan hidup rohani, karena tuntutan hidup menyerap seluruh waktu dan energi kita.

                Suatu ketika majalah Time menurunkan laporan utama yang diberi tajuk “Rat Race, How America is Running Itself Ragged” (“Cara hidup serba sibuk seperti balapan tikus, Bagaimana Amerika Memiskinkan Diri”)[i]. Laporan itu menunjukkan bagaimana waktu menjadi komoditi yang paling berharga di dunia sekarang ini, bagaimana para orangtua harus membuat janji pertemuan lebih dahulu untuk meluangkan waktu dengan anak-anak mereka sendiri, bagaimana teknologi memacu irama jantung generasi sekarang, bagaimana bagi banyak orang tuntutan untuk tetap berada di  puncak karir mereka menyerap seluruh waktu dan energi mereka, dan bagaimana orang yang menelepon kantor-kantor mengeluh karena semua mesin fax mereka begitu sibuk terus menerus! Laporan itu menyatakan bahwa wujud gejala yang paling jelas dari segala tekanan dan ketergesaan akibat tuntutan-tuntutan di tempat kerja (kelelahan yang luar biasa, ketergantungan pada alkohol dan pada narkotika) belumlah merupakan akibat yang paling parah. Namun semua tekanan ini menurut laporan itu menyebabkan orang makin gelisah, makin tidak sabar, dan makin tidak mampu berkonsentrasi agak lama. Karena kita sedemikian sibuknya maka yang terjadi adalah kita tak punya waktu senggang untuk dinikmati, tetapi kita menggunakannya untuk melakukan sesuatu yang tidak menuntut pemikiran dan sekedar mengalihkan perhatian saja. Tidak ada lagi energi yang tersisa untuk soal lain.

                Akibat dari semua ini atas kontemplasi sudah jelas. Tak ada lagi waktu dan energi (dan pada titik tertentu bahkan tak ada lagi kemampuan) untuk berdoa atau mengembangkan hidup rohani. Ungkapan “terperangkap dalam cara hidup seperti balap tikus yang serba sibuk” menyatakan hal itu. Kata majalah Time, “hanya ada sedikit waktu untuk tidur, dan makin sedikit lagi waktu untuk bermimpi”.

                Di luar akibat yang jelas pada menurunnya hidup rohani itu bisa dilihat juga suatu cara yang pelik di mana pragmatisme menghalangi dan berlawanan dengan kontemplasi. Jika nilai diri seseorang bergantung kepada prestasi kerja, maka hanya sedikit saja orang yang akan meluangkan waktu untuk berdoa dan melakukan kontemplasi, karena doa dan kontemplasi dianggap tidak menghasilkan manfaat nyata, dari sudut pandang pragmatik tidak berguna, suatu pemborosan waktu, suatu waktu yang tidak menghasilkan apa-apa. Salah satu alasan utama mengapa kita tidak menjadi lebih kontemplatif, mengapa kita tidak lebih banyak berdoa, dan mengapa tidak punya waktu lagi untuk mencium semerbak harum bunga, ialah bahwa semua kegiatan ini tidak menghasilkan sesuatu yang nyata, tidak mencapai sesuatu, atau praktisnya tidak menambahkan sesuatu pada hidup. Kita merasa nyaman jika kita melakukan sesuatu yang berguna. Kegiatan kontemplatif berdasarkan pengertiannya adalah tidak berguna menurut sudut pandang pragmatik.

                Waktu kita hanya sedikit untuk apa yang dianggap tidak berguna dan karena itu dari sudut kontemplasi kita menjadi makin miskin. Kita begitu terperangkap di dalam efisiensi yang dituntut oleh suatu budaya pragmatik, sehingga kita seperti mereka yang menolak undangan raja untuk menghadiri pesta perjamuan nikah dalam perumpamaan dari Yesus[ii]. Mereka tidak ikut dalam perjamuan bukan dengan menolak undangan itu karena mereka tidak saleh, tidak religius atau secara moral kekurangan. Mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh eksplisit menolak undangan itu. Mereka hanya tidak datang, karena mereka begitu sibuk membeli lembu, menikah, dan mengukur tanah. Di dalam pragmatisme, matinya kontemplasi dan hidup rohani bukan karena keburukan-keburukan, melainkan karena orang terlalu sibuk.


Diolah dari bahan Ron Rolheiser OMI: The Shattered Lantern,.2004.

* Thomas Merton lahir pada tahun 1915, menjadi katolik pada 1938. Pada tahun 1941 menjadi biarawan trappist dan ditahbiskan menjadi imam pada 1949. Ia menulis lebih dari 60 buku keagamaan yang bersifat mistik dan sangat berpengaruh dewasa ini. Ia cinta perdamaian dan menentang perang mempengaruhi banyak aktivis katolik. Ia meninggal pada  1968.

 



[i] Marguerite Michaels dan James Willwerth, “How America Has Run Out of Time,” dalam Time Magazine, 24 April 1989, hal 48-55.

 

[ii] Luk 14:16-24 dan Mat 22:1-14.

 


KHK kan 1- kan 34 Buku I Norma-norma Umum

 

 


BUKU I NORMA-NORMA UMUM

Kan. 1 - Kanon-kanon Kitab Hukum ini berlaku hanya untuk Gereja Latin.

Kan. 2 - Pada umumnya Kitab Hukum tidak menentukan ritus yang harus ditepati dalam perayaan-perayaan liturgis; karena itu, undang-undang liturgis yang berlaku sampai sekarang tetap mempunyai kekuatan hukum, kecuali kalau ada yang bertentangan dengan kanon-kanon Kitab Hukum ini.

Kan. 3 - Kanon-kanon Kitab Hukum ini tidak menghapus seluruhnya atau sebagian perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh Takhta Apostolik dengan negara atau masyarakat politik lain. Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut masih tetap berlaku seperti sekarang, walaupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini.

Kan. 4 - Hak-hak yang telah diperoleh tetap utuh; demikian juga privilegi-privilegi yang sampai sekarang diberikan Takhta Apostolik kepada perorangan atau badan hukum dan yang masih berlaku serta tidak dicabut, kecuali dengan jelas dicabut oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini.

Kan. 5 - § 1. Kebiasaan-kebiasaan, baik universal maupun partikular, yang berlaku sampai sekarang dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon ini serta ditolak oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini, dinyatakan hapus sama sekali dan selanjutnya jangan dibiarkan hidup kembali; juga yang lain-lain hendaknya dinyatakan hapus, kecuali Kitab Hukum ini dengan jelas menyatakan lain, atau sudah berumur lebih dari seratus tahun, atau tidak diingat lagi awalmulanya, yang menurut penilaian Ordinaris dapat dibiarkan, mengingat keadaan tempat dan orang-orangnya, tidak dapat ditiadakan.

§ 2. Kebiasaan-kebiasaan di luar hukum yang berlaku sampai sekarang, baik universal maupun partikular, tetap berlaku.

Kan. 6 - § 1. Dengan berlakunya Kitab Hukum ini dihapuslah seluruh-nya:

1° Kitab Hukum Kanonik yang diundangkan pada tahun 1917;

2° juga undang-undang, baik universal maupun partikular, yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini, kecuali mengenai undang-undang partikular dengan jelas ditentukan lain;

3° hukum pidana apapun, baik universal maupun partikular, yang dikeluarkan Takhta Apostolik, kecuali dimasukkan dalam Kitab Hukum ini;

4° juga undang-undang disipliner universal lain, yang bahannya secara menyeluruh telah diatur oleh Kitab Hukum ini.

§ 2. Kanon-kanon Kitab Hukum ini, sejauh diambil dari hukum lama, harus ditafsirkan menurut tradisi kanonik.

JUDUL I UNDANG-UNDANG GEREJAWI

Kan. 7 - Undang-undang mulai ada pada saat diundangkan.

Kan. 8 - § 1. Undang-undang gerejawi universal diundangkan dengan diterbitkannya dalam lembaran Acta Apostolicae Sedis, kecuali untuk kasus tertentu cara pengundangannya ditentukan lain. Undang-undang itu baru mulai mempunyai kekuatan setelah tiga bulan, terhitung dari tanggal yang tercatat pada nomor Acta itu, kecuali dari hakikatnya serta merta mengikat atau dalam undang-undang itu sendiri secara khusus dan jelas ditentukan masa tenggang yang lebih pendek atau lebih panjang.

§ 2. Undang-undang partikular diundangkan dengan cara yang ditentukan oleh pembuat undang-undang itu dan mulai mewajibkan setelah satu bulan, terhitung dari hari pengundangannya, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan batas waktu yang lain.

Kan. 9 - Undang-undang berlaku mengenai hal-hal yang akan datang dan tidak mengenai hal-hal yang sudah lewat, kecuali disebut jelas-jelas di dalamnya bahwa berlaku juga untuk hal-hal yang sudah lewat.

Kan. 10 - Yang harus dipandang sebagai undang-undang yang menjadikan-tindakan-tidak-sah (lex irritans) atau menjadikan-orang-tidak-mampu (lex inhabilitans), hanyalah undang-undang yang menen-tukan dengan jelas, bahwa tindakan tidak sah atau orang tidak mampu.

Kan. 11 - Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.

Kan. 12 - § 1. Undang-undang universal mengikat di mana saja semua orang baginya undang-undang itu dibuat.

§ 2. Namun, dari undang-undang universal yang tidak berlaku di wilayah tertentu, dibebaskan semua orang yang sedang berada di wilayah itu.

§ 3. Undang-undang yang dibuat untuk wilayah tertentu, mengikat mereka, yang baginya undang-undang itu dibuat, dan yang mempunyai domisili atau kuasi-domisili di tempat tersebut, dan serentak sedang berada di situ, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 13.

Kan. 13 - § 1. Undang-undang partikular tidak diandaikan bersifat personal melainkan teritorial, kecuali ditentukan lain.

§ 2. Para pendatang tidak terikat:

1° oleh undang-undang partikular wilayah sendiri selama mereka tidak berada di tempat, kecuali pelanggarannya menyebabkan kerugian di wilayah sendiri atau undang-undang itu bersifat personal;

2° oleh undang -undang wilayah tempat mereka berada, kecuali yang mengenai tata-tertib umum atau yang menentukan formalitas untuk tindakan tertentu atau yang mengenai benda tak-bergerak di wilayah itu.

§ 3. Pengembara terikat oleh undang-undang baik universal maupun partikular, yang berlaku di wilayah tempat mereka berada.

Kan. 14 - Undang-undang, juga yang menjadikan-tindakan-tidak sah atau menjadikan-orang-tidak-mampu, tidak mewajibkan kalau ada keraguan hukum; kalau ada keraguan fakta, Ordinaris dapat memberi dispensasi dari padanya, asalkan mengenai dispensasi yang direservasi, biasa diberikan oleh kuasa yang mereservasi.

Kan. 15 - § 1. Ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai undang- undang yang-menjadikan-tindakan-tidak-sah atau yang menjadikan orang-tidak-mampu, tidak mencegah akibatnya, kecuali dengan jelas dinyatakan lain.

§ 2. Adanya ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai Undang-undang, hukuman atau mengenai fakta dirinya sendiri, atau fakta tentang orang lain yang diketahui umum, tidak diandaikan; sedangkan fakta tentang orang lain yang tidak diketahui umum diandaikan, sampai terbukti kebalikannya.

Kan. 16 - § 1. Undang-undang ditafsirkan secara otentik oleh pembuat undang-undang dan oleh orang yang diberi kuasa olehnya untuk menafsirkan secara otentik.

§ 2. Penafsiran otentik yang diberikan dalam bentuk Undang-undang mempunyai kekuatan yang sama seperti undang-undang itu sendiri dan harus diundangkan; kalau hanya menerangkan kata-kata undang-undang, yang pada dirinya pasti, penafsiran itu berlaku surut; kalau mempersempit, memperluas, atau memperjelas keraguan Undang-undang, penafsiran tidak berlaku surut.

§ 3. Namun, penafsiran dalam bentuk putusan pengadilan atau tindakan administratif dalam kasus tertentu, tidak mempunyai kekuatan undang-undang dan mengikat hanya orang-orang dan mengenai perkara-perkara yang bersangkutan.

Kan. 17 - Undang-undang gerejawi harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri, dalam teks dan konteksnya; kalau itu tetap meragukan dan kabur, maka orang harus mengacu pada tempat-tempat yang paralel, kalau ada, pada tujuan serta hal-ikhwal undang-undang, dan pada maksud pembuat undang-undang itu.

Kan. 18 - Undang-undang yang menentukan hukuman atau yang mem-persempit penggunaan bebas hak-hak atau yang memuat pengecualian dari undang-undang, ditafsirkan secara sempit.

Kan. 19 - Jika mengenai hal tertentu tidak ada ketentuan jelas dari undang-undang, baik universal maupun partikular, atau tidak ada juga kebiasaan, maka hal itu, kecuali mengenai hukuman, harus diselesaikan dengan memperhatikan undang-undang yang diberikan dalam kasus-kasus yang mirip, prinsip-prinsip yuridis umum yang diterapkan dengan kewajaran kanonik, yurisprudensi dan praksis Kuria Roma, dan penda-pat yang umum dan tetap dari para ahli.

Kan. 20 - Undang-undang yang dikeluarkan kemudian menghapus undang-undang yang sebelumnya, seluruhnya atau sebagian, jika hal itu dikatakan dengan jelas atau langsung bertentangan dengannya, atau jika undang-undang itu mengatur kembali seluruh materi undang-undang sebelumnya secara menyeluruh; tetapi undang-undang universal sama sekali tidak mengurangi hukum partikular atau khusus, kecuali dengan jelas ditentukan lain dalam hukum.

Kan. 21 - Dalam keraguan, pencabutan undang-undang yang terdahulu tidak diandaikan, tetapi undang-undang yang kemudian harus dikaitkan dengan yang terdahulu, dan sedapat mungkin diserasikan dengannya.

Kan. 22 - Undang-undang sipil yang dirujuk oleh hukum Gereja harus ditepati dengan efek-efek yang sama dalam hukum kanonik, sejauh tidak bertentangan dengan hukum ilahi, dan tidak ditentukan lain dalam hukum kanonik.



JUDUL II KEBIASAAN

Kan. 23 - Hanyalah kebiasaan yang dimasukkan oleh suatu kelompok orang beriman mempunyai kekuatan undang-undang, kalau telah disetujui oleh pembuat undang-undang, menurut norma kanon-kanon berikut.

Kan. 24 - § 1. Tiada kebiasaan dapat memperoleh kekuatan undang-undang, kalau bertentangan dengan hukum ilahi.

§ 2. Tidak juga dapat memperoleh kekuatan undang-undang suatu kebiasaan, yang melawan atau yang di luar hukum kanonik, kecuali yang masuk akal; tetapi suatu kebiasaan yang dengan jelas ditolak dalam hukum, tidaklah masuk akal.

Kan. 25 - Tak satu kebiasaan pun memperoleh kekuatan Undang-undang, kecuali dilaksanakan oleh suatu kelompok, yang sekurang-kurangnya mampu untuk menerima undang-undang, dengan maksud untuk memasukkannya sebagai hukum.

Kan. 26 - Kecuali disetujui secara khusus oleh pembuat Undang-undang yang berwenang, suatu kebiasaan yang melawan hukum kanonik yang berlaku atau yang berada di luar hukum kanonik, hanya memperoleh kekuatan undang-undang, kalau telah dilaksanakan dengan legitim secara terus-menerus selama genap tigapuluh tahun; tetapi suatu kebiasaan, yang melawan undang-undang kanonik dengan klausul yang melarang kebiasaan di masa mendatang, hanya dapat dipertahankan kalau sudah berumur seratus tahun atau awal-mulanya tidak diingat lagi.

Kan. 27 - Kebiasaan adalah penafsir yang paling baik dari Undang-undang.

Kan. 28 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 5, kebiasaan, baik yang melawan maupun yang di luar undang-undang, dicabut melalui suatu kebiasaan atau undang-undang yang berlawanan; tetapi, kecuali disebut dengan jelas, undang-undang tidak mencabut suatu kebiasaan yang ber-umur seratus tahun atau awal-mulanya tidak diingat lagi, dan undang-undang universal tidak mencabut kebiasaan-kebiasaan partikular.

JUDUL III DEKRET UMUM DAN INSTRUKSI

Kan. 29 - Dekret-dekret umum dengannya pembuat Undang-undang yang berwenang memberikan aturan-aturan umum bagi suatu kelompok yang mampu menerima undang-undang, adalah sama dengan undang-undang dan diatur oleh ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.

Kan. 30 - Yang mempunyai kuasa eksekutif saja tidak dapat mengeluar-kan dekret umum seperti yang disebut dalam kan. 29, kecuali dalam kasus-kasus partikular sesuai dengan norma hukum, kuasa itu dengan jelas diberikan kepadanya oleh pembuat undang-undang dan syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian itu ditepati.

Kan. 31 - § 1. Dekret-dekret umum eksekutif, dengannya ditentukan secara lebih persis cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaan Undang-undang, dapat diberikan dalam batas kewenangannya oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif.

§ 2. Mengenai pengundangan dan masa tenggang dekret-dekret yang disebut dalam § 1, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 8.

Kan. 32 - Dekret-dekret umum eksekutif mewajibkan mereka yang terikat oleh undang-undang, yang cara-cara penerapannya ditentukan atau keharusan pelaksanaannya ditandaskan oleh dekret-dekret itu.

Kan. 33 - § 1. Dekret-dekret umum eksekutif, biarpun dikeluarkan dalam pedoman-pedoman atau dalam dokumen-dokumen dengan nama lain, tidak mengurangi undang-undang, dan ketentuan-ketentuannya yang bertentangan dengan undang-undang tidak mempunyai kekuatan apapun.

§ 2. Dekret-dekret itu berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara eksplisit atau implisit oleh otoritas yang berwenang, dan dengan berhentinya undang-undang, yang pelaksanaannya diatur oleh dekret-dekret itu, tetapi tidak berhenti dengan berakhirnya hak orang yang menentukan, kecuali dengan jelas ditentukan kebalikannya.

Kan. 34 - § 1. Instruksi-instruksi, yaitu yang menjelaskan ketentuan undang-undang serta menjabarkan dan menentukan cara-cara yang harus ditepati dalam pelaksanaannya, diberikan supaya dipakai oleh mereka yang bertugas mengusahakan agar undang-undang dilaksanakan dan mewajibkan mereka dalam pelaksanaan Undang-undang. Instruksi-instruksi itu dikeluarkan dengan sah, dalam batas kewenangannya, oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif.

§ 2. Aturan-aturan instruksi tidak mengurangi undang-undang dan kalau tidak dapat disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang, tidak mempunyai kekuatan apapun.

§ 3. Instruksi-instruksi berhenti mempunyai kekuatan, tidak hanya dengan dicabutnya secara eksplisit atau implisit oleh otoritas yang berwenang yang mengeluarkannya atau oleh atasannya, tetapi juga dengan berhentinya undang-undang yang dijelaskannya atau yang pelaksanaannya diperintahkannya.


Dipetik untuk keperluan studi dari Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi terjemahan Bahasa Indonesia, KWI 2005.


Sejarah Hukum Gereja dan KHK 1983

 


Sudah sejak zaman Gereja Purba terdapat kebiasaan untuk menghimpun kanon-kanon suci dalam satu kesatuan, supaya lebih mudah diketahui, dipergunakan dan ditepati, khususnya oleh pelayan-pelayan rohani, karena, seperti telah diperingatkan oleh Paus Celestinus dalam suratnya kepada para Uskup di Apulia dan Kalabria, "janganlah ada seorang pun dari para imamnya tidak mengetahui kanon-kanonnya" (21 Juli 429. Bdk. Jaffé n. 371; Mansi, IV, kol. 469). Senada dengan kata-kata itu, Konsili Toledo IV (633), setelah disiplin Gereja dipulih-kan kembali di wilayah orang-orang Visigoth yang dibebaskan dari arianisme, menetapkan: "para imam hendaknya mengetahui Kitab Suci dan kanon-kanon" sebab "ketidaktahuan, ibu dari segala kesesatan, harus dihindarkan terutama dari para imam Allah" (kan. 25: Mansi, X, kol. 627).

Memang, selama sepuluh abad pertama berkembanglah himpunan-himpunan undang-undang gerejawi yang hampir tak terbilang banyaknya. Sebagian besar dihimpun atas prakarsa pribadi, dan di dalamnya terdapat terutama norma-norma yang dikeluarkan oleh Konsili-konsili dan para Paus dan kutipan-kutipan lain yang diambil dari sumber-sumber yang kurang penting. Pada pertengahan abad XII kumpulan himpunan-himpunan dan norma-norma yang tak terbilang banyaknya itu, yang tak jarang saling bertentangan satu sama lain, disusun kembali oleh seorang rahib bernama Gratianus, sekali lagi atas prakarsa pribadi, menjadi sebuah kumpulan terpadu dari Undang-undang dan himpunan-himpunan. Concordia ini, yang kemudian disebut Decretum Gratiani, merupakan bagian pertama kumpulan undang-undang Gereja yang, mencontoh Corpus Iuris Civilis dari Kaisar Justinianus, disebut Corpus Iuris Canonici. Corpus Iuris Canonici itu berisikan undang-undang yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi para Paus, dengan bantuan para ahli hukum yang disebut glossatores, selama hampir dua abad lamanya. Himpunan hukum itu, selain memuat Decretum Gratiani yang berisikan norma-norma sebelumnya, memuat juga Liber Extra dari Gregorius IX, Liber Sextus dari Bonifasius VIII, Clementinae yaitu himpunan dari Paus Klemens V yang diundangkan oleh Yohanes XXII, ditambah lagi dengan Extravagantes dari Paus ini juga serta Extravagantes Communes yaitu Decretales dari berbagai Paus yang belum pernah dikumpulkan dalam satu himpunan otentik. Hukum gerejawi yang termuat dalam himpunan ini merupakan hukum klasik Gereja Katolik dan biasanya juga disebut dengan nama itu.

Himpunan hukum Gereja Latin itu dalam salah satu cara mirip dengan Syntagma Canonum atau Corpus Canonum Orientale dari Gereja Yunani.

Undang-undang berikutnya, terutama yang pada masa reformasi katolik dibuat oleh Konsili Trente dan kemudian dikeluarkan oleh berbagai Dikasteri Kuria Roma, tak pernah dikumpulkan menjadi satu himpunan; itulah sebabnya maka perundang-undangan yang tersebar di luar Corpus Iuris Canonici lambat laun menjadi "tumpukan Undang-undang yang luar biasa besarnya, yang bertumpang-tindih satu sama lainnya". Di sana bukan hanya terjadi ketidakteraturan, melainkan juga ketidakpastian, ditambah lagi ketidakgunaan dan kekosongan Undang-undang, yang makin hari makin membawa disiplin Gereja ke dalam bahaya dan krisis yang besar.

Karena itulah maka sudah sejak masa persiapan Konsili Vatikan I diminta oleh banyak Uskup agar dipersiapkan himpunan Undang-undang baru dan tunggal untuk melaksanakan reksa terhadap umat Allah dengan lebih pasti dan aman. Karena karya itu tidak dapat diselesaikan melalui kegiatan Konsili, kemudian Takhta Apostolik mempertimbangkan suatu tatanan hukum baru tetapi hanya mengenai hal-hal yang mendesak yang berhubungan dengan disiplin Takhta Apostolik itu sendiri. Akhirnya Paus Pius X, yang baru saja diangkat menjadi Paus, mengambil-alih urusan itu; karena beliau berminat me-ngumpulkan dan memperbaharui semua hukum gerejawi, memerintah-kan agar karya itu, dibawah pimpinan Kardinal Petrus Gasparri, akhirnya diselesaikan.

Dalam karya yang begitu besar dan berat yang harus dilaksa-nakan itu, pertama-tama harus diselesaikan masalah bentuk intern dan bentuk ekstern dari himpunan yang baru itu. Dengan ditinggalkannya cara pengumpulan yang mengharuskan membawa kembali setiap Un-dang-undang kepada teks aslinya yang panjang, dianggap baik memilih cara modern dalam kodifikasi, sehingga teks-teks yang berisikan dan menguraikan suatu perintah disusun kembali ke dalam bentuk yang baru dan lebih pendek; adapun seluruh materi disusun dalam lima buku, mengikuti sistem perundangan romawi, yaitu menge-nai orang, barang dan perbuatan-perbuatan. Pekerjaan itu diselesaikan dalam duabelas tahun, dengan kerjasama dari para ahli, para konsultor dan para Uskup dari seluruh Gereja. Ciri Kitab Hukum Baru ini secara jelas dinyatakan dalam pengantar kanon 6: "Kitab Hukum ini pada umumnya memper-tahankan disiplin yang berlaku sampai sekarang, walaupun membawa-serta perubahan-perubahan yang baik". Jadi, tidak bermaksud membuat hukum baru, melainkan terutama mengatur hukum yang berlaku sampai waktu itu dengan metode baru. Setelah Paus Pius X wafat, kumpulan hukum universal, eksklusif dan otentik itu diundangkan oleh penggantinya, Benediktus XV, pada tanggal 27 Mei 1917, dan mendapat kekuatan hukum sejak tanggal 19 Mei 1918.



Hukum universal dari Kitab Hukum Pius-Benediktus itu disahkan dengan kesepakatan semua orang, dan di zaman kita telah membantu mengembangkan tugas penggembalaan secara efisien sung-guh-sungguh di seluruh Gereja yang sementara itu mengalami perkem-bangan baru. Tetapi, baik keadaan-keadaan ekstern Gereja di dunia masa kini, yang dalam beberapa tahun telah mengalami perubahan keadaan dengan begitu cepat dan perubahan adat-istiadat secara hebat, maupun perubahan-perubahan intern yang melaju dari persekutuan gerejawi, maka perlu dan bahkan mendesak serta dituntut revisi baru atas hukum kanonik. Tanda-tanda zaman ini telah ditangkap dengan jelas oleh Paus Yohanes XXIII, yang ketika mengumumkan untuk pertama kalinya Sinode Roma dan Konsili Vatikan II pada tanggal 25 Januari 1959, sekaligus menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu juga merupakan persiapan untuk melakukan pembaharuan Kitab Hukum yang sangat diharapkan.

Pada kenyataannya, walaupun Komisi Pembaharuan Kitab Hukum Kanonik telah dibentuk pada tanggal 28 Maret 1963, ketika Konsili Ekumenis telah dimulai, dibawah pimpinan Kardinal Petrus Ciriaci dan sekretarisnya RD. Yakobus Violardo, para Kardinal anggota Komisi dalam sidangnya tanggal 12 November tahun itu juga, sependapat dengan Ketua bahwa pekerjaan yang sebenarnya dan khusus untuk mengadakan pembaharuan harus ditunda, dan hanya dapat dimulai setelah Konsili selesai. Sebab pembaharuan harus dilakukan sesuai dengan anjuran-anjuran dan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Konsili itu sendiri. Sementara itu, pada tanggal 17 April 1964 Bapa Suci Paulus VI pengganti Paus Yohanes XXIII menambahkan tujuh puluh orang konsultor pada Komisi. Kemudian dia mengangkat Kardinal- kardinal lain menjadi anggota Komisi dan memanggil para konsultor dari seluruh dunia untuk menyumbangkan tenaga mereka dalam menyelesaikan tugas itu. Pada tanggal 24 Februari 1965 Paus menunjuk RP. Raimundus Bidagor SJ sebagai Sekretaris baru Komisi, karena RD. Yakobus Violardo diangkat menjadi Sekretaris Konggregasi untuk urusan disiplin Sakramen-sakramen, dan pada tanggal 17 November tahun yang sama RD. Wilhelmus Onclin diangkat sebagai Sekretaris Pembantu pada Komisi. Kardinal Ciriaci meninggal dunia, maka pada tanggal 21 Februari 1967 Uskup Agung Pericles Felici, yang sebelum-nya menjadi Sekretaris Jenderal Konsili Vatikan II, diangkat sebagai pejabat Ketua baru. Ia pada tanggal 26 Juni tahun yang sama diangkat menjadi anggota Kolegium Suci para Kardinal dan kemudian memangku jabatan sebagai Ketua Komisi. Disamping itu, karena RP. Raimundus Bidagor, yang pada tanggal 1 November 1973 berusia delapan puluh tahun meletakkan jabatannya sebagai sekretaris, maka pada tanggal 12 Februari 1975 Yang Mulia Mgr. Rosalius Castillo Lara SDB, Uskup Tituler Precausa dan Uskup Koajutor Trujillo di Venezuela, diangkat sebagai Sekretaris baru Komisi, dan pada tanggal 17 Mei 1982 ia diangkat menjadi Pejabat Ketua Komisi, karena Kardinal Pericles Felici telah meninggal dunia secara tak terduga.

Menjelang berakhirnya Konsili Vatikan II, dengan dihadiri Paus Paulus VI, tanggal 20 November 1965 diadakan sidang meriah. Pada Sidang itu hadir para Kardinal Anggota, para Sekretaris, para Konsultor dan petugas-petugas Sekretariat yang waktu itu dibentuk. Sidang bermaksud membuka secara resmi karya pembaharuan Kitab Hukum Kanonik. Dalam amanat Paus boleh dikatakan telah dilontarkan dasar- dasar seluruh pekerjaan, dan khususnya diingatkan bahwa Hukum Kanonik yang mengalir dari kodrat Gereja sendiri, akarnya terletak pada kuasa yurisdiksi yang diserahkan Kristus kepada Gereja, dan bahwa tujuan harus diletakkan dalam reksa jiwa untuk mencapai keselamatan abadi; selain itu diterangkan hakikat hukum Gereja, dibuktikan pentingnya hukum Gereja melawan keberatan-keberatan yang lebih umum, disinggung sejarah perkembangan hukum dan himpunan-himpunan hukum, tetapi terutama dijelaskan kepentingan mendesak dari revisi yang baru, agar disiplin Gereja secara tepat disesuaikan dengan keadaan yang telah berubah.

Tambahan pula Paus menunjukkan kepada Komisi dua unsur yang harus menuntun seluruh pekerjaan. Pertama, bahwa masalahnya bukan hanya mengenai susunan baru undang-undang, seperti yang terjadi dalam menggarap Kitab Hukum Pius-Benediktus, melainkan juga dan terutama pembaharuan norma-norma yang harus disesuaikan dengan suasana pemikiran baru dan kebutuhan-kebutuhan baru, meskipun hukum lama harus memberikan dasarnya. Kedua, dalam karya pembaharuan ini harus diperhatikan dengan cermat semua Dekret dan Akta Konsili Vatikan II, karena di dalamnya terdapat garis-garis khusus untuk pembaharuan legislatif, baik karena kenyataan bahwa telah dikeluarkan norma-norma yang secara langsung menyangkut lembaga-lembaga baru dan disiplin gerejawi, maupun karena kekayaan ajaran Konsili itu, yang telah banyak membantu kehidupan pastoral, juga dalam perundangan kanonik harus mempunyai kesimpulan dan pelengkapnya yang perlu.

Dengan banyak amanat, perintah dan nasihat, juga pada tahun-tahun berikutnya, dua unsur tersebut diingatkan kembali kepada para anggota Komisi oleh Paus yang tak henti-hentinya lebih mengarahkan dan dengan tekun mengikuti seluruh pekerjaan.

Agar subkomisi-subkomisi atau kelompok-kelompok studi dapat menangani pekerjaan itu secara organis, perlulah bahwa sebelum-nya dibahas dan disetujui beberapa prinsip yang menentukan arah yang harus diikuti dalam seluruh karya pembaharuan Kitab Hukum. Kelompok inti para konsultor mempersiapkan sebuah teks dokumen yang atas perintah Paus telah diserahkan kepada Sidang Umum Sinode para Uskup pada bulan Oktober 1967, untuk dipelajari. Prinsip-prinsip berikut telah disetujui dengan hampir suara bulat:

1) Dalam pembaharuan hukum, sifat yuridis Kitab Hukum baru harus dipertahankan seutuhnya. Demikianlah tuntutan kodrat sosial Gereja itu sendiri. Jadi, Kitab Hukum harus menyajikan norma-norma agar umat beriman kristiani dalam kehidupan kristiani dapat mengambil bagian dalam harta-kekayaan yang disediakan oleh Gereja, yang menghantar mereka kepada keselamatan abadi. Karena itu, demi tujuan itu Kitab Hukum harus merumuskan dan melindungi hak-hak dan kewajiban-kewajiban setiap umat beriman terhadap orang lain dan terhadap persekutuan gerejawi, sejauh menyangkut kebaktian kepada Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.

2) Antara tata-lahir dan tata-batin, yang khas bagi Gereja dan telah berlangsung selama berabad-abad, hendaknya terdapat koordinasi sedemikian sehingga dihindarkan benturan antar keduanya.

3) Untuk memajukan reksa pastoral atas jiwa-jiwa secara maksimal, di dalam hukum baru, disamping keutamaan keadilan, hendaknya juga diperhatikan cintakasih, pengekangan diri, kemanusiaan, keugaharian; dengan semua itu diusahakanlah kesamaan tidak hanya dalam penerapan Undang-undang oleh pihak para gembala jiwa-jiwa, melainkan di dalam perundangan sendiri, dan karena itu hendaknya norma-norma yang terlalu kaku ditinggalkan, bahkan lebih baik dialihkan kepada anjuran-anjuran dan nasihat-nasihat, di mana tidak perlu melaksanakan undang-undang secara ketat demi kesejahteraan umum dan disiplin gerejawi umumnya.

4) Supaya Pembuat undang-undang Tertinggi dan para Uskup dalam reksa pastoral bekerjasama secara terpadu dan tugas para gembala tampil dengan cara yang lebih positif, kewenangan-kewenangan untuk memberikan dispensasi dari undang-undang umum, yang sampai sekarang ini masih bersifat luar-biasa, hendaknya dijadikan biasa, dan direservasi bagi Kuasa Tertinggi Gereja universal atau otoritas tinggi lainnya hanya hal-hal yang menuntut pengecualian demi kesejahteraan umum.

5) Hendaknya betul-betul diperhatikan prinsip yang muncul dari prinsip sebelumnya dan disebut prinsip subsidiaritas untuk lebih diterapkan dalam Gereja, karena jabatan para uskup, yang dikaitkan dengan kekuasaan, adalah dari hukum ilahi. Asalkan dijaga kesatuan legislatif dan hukum universal serta umum, dengan prinsip itu dipertahankan pula kewajaran dan perlunya mengusahakan apa yang baik terutama bagi masing-masing lembaga, lewat hak-hak khusus dan otonomi yang sehat dari kuasa eksekutif partikular yang diberikan kepada mereka. Jadi, dengan berpangkal pada prinsip itu, hendaknya Kitab Hukum yang baru menyerahkan hal-hal yang tidak penting bagi kesatuan disiplin Gereja universal kepada hukum-hukum partikular atau kuasa eksekutif sedemikian, sehingga terlak-sanalah apa yang disebut "desentralisasi" yang sehat, seraya menjauhkan bahaya perpecahan atau terbentuknya Gereja-gereja nasional.

6) Karena kesamaan azasi semua orang beriman kristiani dan perbe-daan jabatan serta tugas berakar pada susunan hirarkis Gereja itu sendiri, maka baiklah bahwa hak-hak semua orang dirumuskan secara tepat dan dilindungi. Hal ini akan berakibat bahwa pelaksa-naan kekuasaan lebih jelas nampak sebagai pelayanan, pengguna-annya lebih diteguhkan, dan penyalahgunaan dijauhkan.

7) Agar hal-hal itu dipraktekkan dengan baik, perlulah bahwa diberi-kan perhatian khusus bagi penataan prosedur yang menyangkut perlindungan hak-hak perorangan. Jadi, dalam memperbaharui hukum hendaknya diperhatikan hal-hal yang sangat diinginkan, yaitu rekursus administratif dan pelayanan keadilan. Untuk mencapai hal itu, perlulah bahwa secara jelas dibedakan berbagai tugas kuasa gerejawi, yaitu tugas legislatif, administratif dan yudikatif, dan bahwa dengan tepat dirumuskan oleh organ mana masing-masing tugas harus dilaksanakan.

8) Dengan suatu cara haruslah prinsip mempertahankan sifat teritorial dalam melaksanakan pemerintahan gerejawi diperiksa kembali; sebab alasan-alasan kerasulan masa kini rupanya menganjurkan kesatuan-kesatuan yurisdiksi personal. Maka di dalam hukum baru yang harus dibuat hendaknya ditetapkan prinsip, yang menentukan penggembalaan bagian dari umat Allah berdasarkan wilayah sebagai peraturan umum; namun tak sesuatu pun menghalangi untuk, di mana dianggap perlu, menentukan alasan-alasan lain, sekurang-kurangnya bersama dengan alasan-alasan teritorial, menjadi kriteria dalam menata penggembalaan jemaat beriman.

9) Mengenai hukum pidana, yang dibutuhkan Gereja sebagai masya-rakat lahiriah, kelihatan dan berdaulat, hendaknya hukuman-hukum-an pada umumnya bersifat ferendae sententiae, dan hendaknya dija-tuhkan dan dihapuskan hanya dalam tata-lahir. Hukuman-hukuman yang bersifat latae sententiae hendaknya dibatasi pada beberapa kasus saja, dijatuhkan hanya atas delik-delik yang sangat berat.

10) Akhirnya, seperti diakui semua orang secara unanim, susunan sis-tematis yang baru dari Kitab Hukum yang dituntut oleh pembaha-ruan, memang sejak semula dapat dibayangkan, namun tidak dapat digariskan secara tepat dan belum dapat diputuskan. Susunan itu hanya dapat dicapai setelah bagian masing-masing diperiksa secukupnya, bahkan hanya setelah hampir seluruh karya itu selesai.

Dari prinsip-prinsip yang harus mengarahkan jalannya pembaharuan Kitab Hukum itu, nampak jelas perlunya menerapkan di sana-sini ajaran tentang Gereja yang telah diuraikan oleh Konsili Vatikan II, karena ajaran itu menyatakan agar tidak hanya diperhatikan segi-segi lahiriah dan sosial Tubuh Mistik Kristus, melainkan juga dan terutama hidup batinnya.

Memang dalam kenyataannya para konsultor dalam mengerjakan teks Kitab Hukum yang baru telah dibimbing oleh prinsip-prinsip itu.

Sementara itu dengan surat tanggal 15 Januari 1966 yang dikirimkan oleh Yang Mulia Kardinal Ketua Komisi kepada para Ketua Konferensi para Uskup, para Uskup di seluruh dunia katolik diminta untuk mengajukan pandangan-pandangan dan nasihat-nasihat mereka mengenai hukum yang harus dibuat itu sendiri dan juga mengenai cara yang harus ditempuh untuk mengadakan hubungan secara tepat antara Konferensi para Uskup dan Komisi untuk mendapatkan kerjasama yang maksimal dalam hal itu demi kesejahteraan Gereja. Selain itu diminta pula supaya kepada Sekretariat Komisi dikirim daftar nama para ahli hukum kanonik, yang menurut penilaian para Uskup di wilayah masing-masing menonjol dalam ajaran, dengan menyebutkan keahlian mereka yang khusus sehingga dari mereka dapat dipilih dan diangkat para konsultor dan rekan kerja. Memang, sejak awal mula dan kemudian selama berlangsungnya pekerjaan, disamping para anggota Yang Mulia, telah dipilih para konsultor Komisi yang terdiri dari para Uskup, imam, religius, awam, yang ahli dalam ilmu hukum, teologi, reksa pastoral jiwa serta hukum sipil, dari seluruh dunia kristiani, untuk menyumbang-kan tenaga mereka dalam mempersiapkan Kitab Hukum yang baru. Untuk seluruh waktu kerja, orang-orang yang telah menyumbangkan tenaga bagi Komisi sebagai anggota, konsultor dan rekan kerja lainnya adalah 105 Kardinal, 77 Uskup agung dan Uskup, 73 imam diosesan, 47 imam religius, 3 religius perempuan, 12 awam, berasal dari lima benua atau dari 31 negara.

Sebelum sidang terakhir Konsili Vatikan II, pada tanggal 6 Mei 1965, para konsultor Komisi telah dipanggil untuk suatu sidang privat. Pada kesempatan itu, dengan persetujuan Bapa Suci, Ketua Komisi mengajukan tiga pertanyaan pokok untuk dipelajari, yaitu haruskah disusun satu atau dua Kitab Hukum, yakni untuk Gereja Latin dan Gereja Timur; tata-kerja manakah yang harus diikuti dalam merumus-kannya, atau bagaimanakah Komisi dan organ-organnya harus menerus-kan pekerjaan; akhirnya, bagaimanakah pekerjaan dapat dibagikan secara tepat kepada berbagai Subkomisi yang akan bekerja serentak? Atas pertanyaan-pertanyaan itu disusun jawaban-jawaban oleh tiga kelompok yang dibentuk untuk itu, kemudian disampaikan kepada semua anggota.

Para Yang Mulia anggota Komisi pada tanggal 25 November 1965 mengadakan sidangnya yang kedua untuk membicarakan pertanyaanpertanyaan di atas. Mereka diminta untuk menjawab beberapa keraguan dalam soal tersebut.

Mengenai susunan sistematik Kitab Hukum baru, berdasarkan keinginan kelompok inti para konsultor yang bersidang dari tanggal 3 sampai tanggal 7 April 1967, telah disusun suatu prinsip yang harus disodorkan kepada Sinode para Uskup. Sesudah sidang Sinode, dianggap berfaedahlah untuk membentuk suatu kelompok khusus para konsultor pada bulan November 1967, yang bertugas mempelajari susunan sistematik tersebut. Dalam sidang kelompok yang diadakan pada awal bulan April 1968, semua setuju untuk tidak memasukkan ke dalam Kitab Hukum baru undang-undang khas liturgi, norma-norma penggelaran Beato dan Santo, demikian pula norma-norma mengenai hubungan Gereja ke luar. Semua juga setuju bahwa dalam bagian tentang Umat Allah ditetapkan status pribadi semua orang beriman kristiani dan dengan tegas dibahas kuasa-kuasa dan kewenangan-kewenangan yang menyangkut pelaksanaan berbagai jabatan dan tugas-tugas. Akhirnya semua juga sependapat bahwa struktur Buku-Buku Kitab Hukum Pius-Benediktus tak dapat dipertahankan lagi secara utuh dalam Kitab Hukum yang baru.

Dalam sidang ketiga para Yang Mulia anggota Komisi pada tanggal 28 Mei 1968, para Bapa Kardinal menyetujui isi pokok susunan sementara, sehingga kelompok-kelompok studi yang telah ditentukan sebelumnya itu disusun kembali dalam tatanan baru, yakni: "Susunan sistematik Kitab Hukum", "Norma-norma umum", "Hirarki suci", "Tarekat-tarekat kesempurnaan", "Awam", "Pribadi fisik dan pribadi moral pada umumnya", "Perkawinan", "Sakramen-sakramen, kecuali perkawinan", "Magisterium gerejawi", "Hukum harta benda Gereja”, "Hukum acara", "Hukum pidana".

Bahan yang dipelajari kelompok "Orang-perorangan dan Badan Hukum" (demikianlah kemudian hari disebut) dimasukkan ke dalam Buku "Norma-norma Umum". Pun pula dianggap berfaedah membentuk kelompok "Tempat dan waktu suci serta ibadat ilahi". Demi lebih luasnya wewenang diubahlah nama kelompok-kelompok lainnya: kelompok "Kaum awam" mengambil nama "Hak-hak serta perserikatan-perserikatan umat beriman dan kaum awam"; kelompok "Para religius" disebut "Tarekat-tarekat kesempurnaan" dan akhirnya disebut "Tarekat-tarekat hidup-bakti dengan pengikraran nasihat-nasihat injili”.

Mengenai metode yang digunakan dalam karya pembaharuan selama lebih kurang enam belas tahun, secara singkat harus disebut bagian-bagian yang pokok: para konsultor tiap-tiap kelompok dengan semangat pengurbanan yang sangat besar telah menunjukkan kerja yang gemilang, dengan hanya memperhatikan kesejahteraan Gereja, baik dalam mempersiapkan secara tertulis pandangan-pandangan mengenai bagian-bagian rancangan, maupun dalam pembahasan selama sidang-sidang yang lama, yang pada waktu-waktu tertentu diadakan di Roma, juga dalam pemeriksaan catatan-catatan, pandangan-pandangan dan pendapat-pendapat mengenai rancangan itu yang sampai pada Komisi. Cara kerjanya ialah sebagai berikut: delapan sampai empatbelas konsultor membentuk satu kelompok studi, dan diserahi satu pokok bahasan yang harus dipelajari bersandarkan pada hukum dari Kitab yang masih berlaku. Masing-masing, setelah meneliti masalahnya, secara tertulis menyampaikan pendapatnya kepada Sekretariat Komisi, dan salinannya diberikan kepada pelapor, dan bila waktunya cukup diberikan juga kepada semua anggota kelompok. Dalam rapat-rapat kerja yang diadakan di Roma menurut jadwal kerja, berkumpullah para konsultor kelompok dan setelah penyajian pelapor, semua masalah dan pendapat dipertimbangkan, sampai teks kanon-kanon, juga per bagian, ditetapkan dengan pemungutan suara dan dirumuskan kembali menjadi rancangan. Dalam sidang, pelapor dibantu oleh seorang petugas yang bertindak sebagai penulis.

Jumlah sidang untuk setiap kelompok, banyak sedikitnya tergantung pada bahan-bahan konkret, dan pekerjaan-pekerjaan itu berlangsung bertahun-tahun.

Diadakan pula sidang-sidang kelompok gabungan, khususnya pada tahun-tahun berikutnya, dengan maksud agar pokok-pokok persoalan yang secara langsung menyangkut beberapa kelompok dan perlu diputuskan dengan perundingan bersama, dibahas oleh beberapa konsultor dari berbagai kelompok.

Selesai pengolahan beberapa rancangan yang dikerjakan oleh kelom-pok-kelompok studi, kemudian dimintakan petunjuk-petunjuk konkret dari Pembuat Hukum Tertinggi sehubungan dengan langkah berikut yang harus diikuti dalam kerja; menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan ketika itu, langkah berikutnya adalah:

Rancangan-rancangan (schema), bersama dengan laporan penjelasan, dikirim kepada Paus yang memutuskan apakah masih harus dikonsultasikan. Setelah diperoleh izin tersebut, rancangan-rancangan yang telah dicetak dikirimkan untuk diperiksa oleh seluruh episkopat dan organ-organ konsultasi lainnya (yaitu Dikasteri Kuria Roma, Universitas-universitas dan Fakultas-fakultas gerejawi, dan Persatuan Pemimpin-pemimpin Tertinggi Tarekat), agar organ-organ tersebut, dalam waktu yang telah ditentukan secara arif – tidak kurang dari enam bulan – berusaha menyatakan pendapat mereka. Sekaligus rancangan-rancangan tadi juga dikirimkan kepada Yang Mulia Anggota Komisi, supaya sejak tahap pekerjaan ini mereka mengadakan pengamatan entah secara umum atau secara khusus.

Inilah urutan pengiriman rancangan untuk dikonsultasikan: tahun 1972, rancangan "Prosedur Administratif”; tahun 1973, "Sanksi-sanksi dalam Gereja"; tahun 1975, "Sakramen-sakramen"; tahun 1976, "Prosedur perlindungan hak-hak atau hukum acara"; tahun 1977, "Ta-rekat-tarekat hidup-bakti dengan pengikraran nasihat-nasihat injili"; "Norma-norma umum"; "Umat Allah"; "Tugas Gereja Mengajar"; "Tempat dan waktu suci serta ibadat ilahi"; "Hukum harta benda Gereja".

Tak dapat diragukan lagi bahwa Kitab Hukum Kanonik yang diperbaharui tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa kerjasama yang tak ternilai dan terus-menerus, yang diberikan kepada Komisi oleh para Uskup dan Konferensi para Uskup berupa catatan-catatan yang begitu banyak dan sangat penting, terutama yang bersifat pastoral. Sebab para Uskup telah membuat banyak catatan secara tertulis: entah secara umum, yakni mengenai rancangan-rancangan sebagai keseluruh an, entah secara khusus, yakni mengenai masing-masing kanon.

Selain itu, sangat berguna juga catatan-catatan yang dikirimkan oleh Kongregasi-kongregasi Suci, Pengadilan dan Lembaga-lembaga Kuria Roma lainnya, yang berdasarkan pengalaman mereka sendiri sekitar pemerintahan pusat Gereja. Demikian juga usul-usul yang bersifat ilmiah dan teknis, serta saran-saran yang diajukan oleh Universitas-universitas dan Fakultas-fakultas gerejawi yang mencerminkan berbagai aliran dan cara berpikir yang berbeda-beda.

Mempelajari, meneliti dan membicarakan secara kolegial semua catatan umum dan khusus yang dikirimkan kepada Komisi, sungguh membawa-serta pekerjaan yang berbobot dan amat besar. Hal ini berlangsung selama tujuh tahun. Sekretariat Komisi dengan amat teliti mengusahakan agar semua catatan, dan usul-usul dan saran-saran disusun secara teratur dan terpadu; setelah dikirimkan kepada para konsultor untuk diselidiki dengan seksama, bahan-bahan itu kemudian dibicarakan dalam sidang-sidang kerja kolegial yang harus diadakan oleh sepuluh kelompok studi.

Tak ada satu catatan pun yang tidak dipertimbangkan dengan perhatian dan kecermatan yang sangat besar. Hal ini juga berlaku bagi catatan-catatan yang bertentangan satu sama lain (hal yang tidak jarang terjadi); tidak hanya diperhatikan bobot sosiologisnya (yaitu jumlah organ-organ konsultasi dan pribadi-pribadi yang mengusulkannya), melainkan terutama nilai doktrinal dan pastoralnya, serta keselarasannya dengan ajaran dan norma-norma pelaksanaan Konsili Vatikan II dan tugas mengajar Paus; demikian pula sejauh secara khusus menyangkut masalah teknis dan ilmiah, perlu diperhatikan keselarasan dengan sistematika yuridis kanonik. Bahkan setiap kali muncul keraguan atau menemui soal-soal yang amat khusus, sekali lagi dimohon pendapat para Yang Mulia anggota Komisi yang berkumpul dalam sidang pleno. Tetapi dalam kasus-kasus lain, dengan memperhatikan bahan yang dibahas, juga dikonsultasikan kepada Kongregasi untuk Ajaran Iman dan Dikasteri Kuria Roma lainnya. Akhirnya atas permintaan atau saran dari para Uskup serta organ-organ konsultasi lainnya diterima banyak koreksi dan perubahan dalam kanon-kanon rancangan sebelumnya, sehingga beberapa rancangan sama sekali diperbaharui atau diperbaiki.

Setelah semua rancangan ditinjau kembali, Sekretariat Komisi dan para konsultor mencurahkan tenaga untuk pekerjaan berat berikutnya. Sebab mengenai koordinasi intern semua rancangan yang harus diperhatikan, keseragaman istilah harus dijaga, terutama yang berhubungan dengan segi teknis-yuridis, kanon-kanon harus dirumuskan dalam rumusan lebih singkat dan baik, dan akhirnya susunan sistematik harus ditetapkan secara definitif, sehingga semua dan masing-masing rancangan yang disiapkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda bersatu padu menjadi satu Kitab Hukum yang terpadu dalam semua bagian.

Susunan sistematik baru yang seolah-olah muncul secara spontan sementara pekerjaan pelan-pelan menjadi matang, berdasar pada dua prinsip; yang pertama mengenai kesetiaan kepada prinsip-prinsip umum yang telah ditetapkan oleh kelompok pusat, dan yang lain adalah kegunaan praktis, agar Kitab Hukum yang baru tidak hanya dapat dimengerti dan digunakan dengan mudah oleh para ahli, melainkan juga oleh para gembala, bahkan juga oleh semua kaum beriman kristiani.

Maka Kitab Hukum baru terdiri dari tujuh buah buku yang berjudul: "Norma-norma umum", "Umat Allah", "Tugas Gereja Mengajar", "Tugas Gereja Menguduskan", "Harta-benda Gereja", "Sanksi-sanksi dalam Gereja", "Hukum Acara". Meskipun dari perbedaan-perbedaan rubrik pada masing-masing buku Kitab Hukum Kanonik lama dan baru telah nampak jelas dari perbedaan antara kedua sistem, namun pembaharuan susunan sistematik akan tampak lebih jelas lagi dari bagian, seksi, judul, dan artikel. Malahan dapat dipastikan bahwa susunan baru tidak hanya lebih cocok dalam hal bahan dan sifat khas hukum kanonik, bila dibandingkan dengan susunan yang lama, melainkan, dan ini yang lebih penting, lebih sesuai dengan eklesiologi Konsili Vatikan II dan prinsip yang muncul dari padanya yang telah diajukan sejak awal pembaharuan.

Pada tanggal 29 Juni 1980, pada pesta Rasul Petrus dan Paulus, rancangan seluruh Kitab Hukum yang telah dicetak dipersembahkan kepada Paus. Beliau memerintahkan agar rancangan itu dikirimkan kepada masing-masing Kardinal Anggota Komisi untuk diperiksa dan diputuskan secara definitif. Agar semakin memperjelas partisipasi seluruh Gereja pada tahap terakhir pekerjaan-pekerjaan itu, Paus memutuskan agar ditambahkan pada Komisi anggota-anggota lain, yaitu para Kardinal dan Uskup yang dipilih dari seluruh Gereja - atas usul Konferensi para Uskup atau Dewan-dewan atau Gabungan Konferensi para Uskup - sehingga Komisi bertambah jumlah anggotanya, menjadi 74 orang. Pada awal tahun 1981 mereka sudah mengirimkan banyak catatan, yang kemudian diperiksa dengan teliti, dipelajari dengan cermat, dan dibicarakan secara kolegial oleh Sekretariat Komisi dengan bantuan para konsultor yang memiliki keahlian khusus atas bahan-bahan yang dibicarakan. Perpaduan semua catatan bersama dengan jawaban-jawaban dari Sekretariat dan dari para konsultor, pada bulan Agustus 1981 diserahkan kepada para Anggota Komisi.

Atas perintah Paus, dari tanggal 20 sampai 28 Oktober 1981 diadakan Sidang Pleno di Aula Sinode para Uskup, untuk memper-timbangkan seluruh naskah Kitab Hukum yang baru dan mengadakan pemungutan suara secara definitif. Dalam sidang itu diadakan pembahasan terutama mengenai enam soal yang dianggap berbobot dan penting, tetapi juga mengenai soal-soal lain yang diajukan oleh sekurang-kurangnya sepuluh Bapa. Pada akhir Sidang Pleno diajukan pertanyaan: Apakah para Bapa menyetujui bahwa setelah rancangan Kitab Hukum Kanonik diteliti dalam sidang pleno, diadakan perbaikan-perbaikan, dan dimasukkan hal-hal yang mendapat suara terbanyak dalam sidang itu, serta setelah diperhatikan catatan-catatan lain dan dipoles gaya bahasa dan bahasa latinnya (semua tugas itu diserahkan kepada Ketua dan Sekretaris), maka rancangan dianggap layak untuk dipersembahkan selekas mungkin kepada Paus, supaya dapat dikeluar-kan sebagai Kitab Hukum dengan cara dan pada saat yang berkenan kepada Beliau?" Para Bapa dengan suara bulat menjawab: Ya!

Demikianlah naskah Kitab Hukum seutuhnya disusun dan disetujui, ditambah dengan rancangan kanon-kanon dari Undang-undang Dasar Gereja yang karena materinya perlu dimasukkan ke dalam Kitab Hukum, dan juga setelah dipoles bahasa Latinnya, akhirnya dicetak kembali dan pada tanggal 22 April 1982 diserahkan kepada Paus agar dapat maju ke tahap pengundangan.

Adapun Paus, secara pribadi dan dengan bantuan beberapa ahli dan setelah mendengarkan pendapat Pejabat Ketua Komisi Kepausan untuk pembaharuan Kitab Hukum Kanonik, memeriksa rancangan terbaru itu dan setelah mempertimbangkan semuanya dengan matang, memutuskan bahwa Kitab Hukum yang baru akan diundangkan pada tanggal 25 Januari 1983, yaitu pada hari ulang tahun pengumuman pertama pembaharuan Kitab Hukum, yang dilakukan oleh Paus Yohanes XXIII.



Jadi, Komisi Kepausan yang dibentuk untuk karya itu, setelah selama kurang lebih duapuluh tahun, dengan rasa bahagia berhasil me-nyelesaikan tugas berat yang dipercayakan kepadanya. Kini tersedialah bagi para gembala dan kaum beriman kristiani hukum Gereja yang terbaru, yang sederhana, jelas, harmonis dan sesuai dengan ilmu hukum; selebihnya, tidak bertentangan dengan cinta kasih, kewajaran, kemanu-siaan, dan diresapi sepenuhnya oleh semangat kristiani sejati, berusaha menjawab sifat ekstern dan intern yang diberikan oleh Tuhan kepada Gereja, dan sekaligus bermaksud menjawab situasi dan kebutuhan Gereja di dunia zaman sekarang ini. Jika karena perubahan-perubahan yang amat cepat dari masyarakat zaman sekarang ini, beberapa hal sudah menjadi kurang tepat waktu hukum ini disusun dan kemudian membutuhkan pembaharuan lagi, Gereja mempunyai tenaga-tenaga melimpah sehingga, tak ubahnya seperti pada abad-abad yang lampau, Gereja siap untuk sekali lagi mengadakan pembaharuan atas undang-undang hidupnya. Tetapi sekarang orang tak dapat menyangkal adanya undang-undang: para Gembala memiliki norma-norma yang pasti untuk mengarahkan kegiatan pelayanan suci mereka secara tepat; dengan Kitab Hukum itu diberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengenal hak-hak dan kewajiban masing-masing, dan ditutup jalan untuk bertindak sewenang-wenang; penyalahgunaan yang mungkin timbul dalam disiplin gerejawi karena tidak adanya Undang-undang, dengan lebih mudah dapat dilenyapkan dan dicegah; semua karya kerasulan, lembaga-lembaga dan prakarsa-prakarsa memang mempu-nyai dasar untuk maju dan berkembang, sehingga ketertiban yang sehat dalam tatanan yuridis memang perlu agar persekutuan gerejawi menjadi kuat, bertumbuh dan berkembang. Semoga Allah yang Mahabaik membuat hal itu dengan Perantaraan Santa Perawan Maria, Bunda Gereja, dan suaminya Santo Yusuf, Pelindung Gereja, serta Santo Petrus dan Paulus.

 

Dipetik dari bagian Pendahuluan Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi terjemahan Bahasa Indonesia, 2005.