Daftar Blog Saya

Senin, 16 Januari 2023

JOSEPH RATZINGER DALAM KONSILI VATIKAN II 1962

 


Almarhum Paus Benediktus XVI adalah Paus terakhir yang terlibat dalam Konsili Vatikan II. Ia lebih dikenal dengan nama aslinya, Joseph Ratzinger. Bersama pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II, atau Karol Woytila, keduanya sama-sama berkontribusi pada Konsili Vatikan II. Tetapi umumnya orang menghargai kontribusi Joseph Ratzinger lebih besar.


Ratzinger baru berumur 35 tahun ketika Konsili Vatikan II dibuka pada 1962. Pada tahun 1961 ia bertemu dengan Kardinal Frings dari Cologne. Kardinal Frings waktu itu mendapat undangan untuk bicara tentang "Teologi Konsili" di suatu pertemuan di Genoa 20 November 1961. Ia meminta Ratzinger membantunya menyusun suatu pidato teologi. Naskah pidato itu menyatakan bahwa suatu Konsili baru sungguh dirindukan, karena kekatolikan dalam kebudayaan selalu paling kontemporer, dan kemajuan ilmu dan teknologi sudah mengubah dunia setelah Konsili Vatikan I. Sementara itu dominasi Barat yang sekularis akan mendapat tantangan dari budaya-budaya Asia dan Afrika. Gereja dapat memetik manfaat dari pembaruan kerohanian, liturgi, telaah kitab suci dan teologi yang sudah berjalan untuk mengembangkan persekutuan yang diharapkan umat manusia dan tidak dapat dipuaskan oleh ideologi. Pidato itu berkesan bagi Paus Yohanes XXIII. Banyak pemikiran dan ungkapan dari pidato itu nantinya digunakan oleh Paus Yohanes XXIII dalam amanat pembukaan Konsili Vatikan II. Misalnya, "sebagai suatu Konsili pembaruan, Konsili hendaknya tidak banyak merumuskan ajaran." Gereja dianjurkan masuk dalam "dialog" dengan dunia sekular, menawarkan Kekristenan sebagai alternatif. “Dalam suatu masa Katolisisme yang sungguh mendunia, dan karena itu menjadi Katolik sejati, Gereja harus semakin menyesuaikan diri. Sebab tidak semua aturan dapat dijalankan di setiap negara. Terutama, liturgi yang mencerminkan kesatuan juga harus menjadi ungkapan yang tepat dari sifat budaya partikular". “Dalam banyak cara agama akan menerima bentuk yang berbeda. Lebih ramping dalam bentuk dan isi, tapi mungkin lebih mendalam. Umat zaman sekarang sungguh mengharapkan Gereja membantu mereka dalam proses perubahan ini. Mungkin Gereja perlu meninggalkan banyak rumusan kuno yang sudah tidak cocok lagi [ … ], bersedia menanggalkan busana iman yang berkait waktu.” Paus Yohanes XXIII yang begitu terkesan pada pidato itu mengundang Kardinal Frings ke kantornya; dan ketika Kardinal memberi tahu Paus orang yang menulis naskah pidato itu, Paus menyarankan agar Frings menjadikan Ratzinger yang agak liberal itu sebagai peritus (asisten teologi)-nya dalam Konsili nanti. Pengaruh Ratzinger menentukan nada dasar Konsili, dan dalam Vatikan II perannya bertambah besar sebagai penasihat teologi Kardinal Frings.




Bagi Joseph Ratzinger, kolegialitas uskup, otoritas paus, liturgi, masalah kebebasan beragama, ekumenisme, dan pendekatan Gereja pada agama-agama lain dan budaya sekular semuanya merupakan keperluan mendesak sebagai elemen-elemen pembaruan bagi para bapa-konsili.  Joseph Ratzinger termasuk di antara  "kaum progresif" yang paling berpengaruh  dalam istilah Paus Paulus VI.

Kemudian tibalah dokumen persiapan untuk Konsili. Setelah resmi menjadi peritus Kardinal Frings, Ratzinger memeriksa dokumen persiapan yang dikirimkan kepada Kardinal Frings dan menulis komentar-komentar. Berkenaan dengan skema tentang Gereja, ia menulis "kosa kata bagian ini sungguh kuno". "Kita perlu berusaha menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti orang modern". Mengenai skema  On the True Preservation of the Deposit of Faith "sungguh tidak layak untuk disajikan dalam Konsili" maka "sebaiknya skema ini didrop seluruhnya". Pandangan Ratzinger sangat penting, sama dengan pentingnya Kardinal Frings sebagai anggota Komisi Pusat Persiapan Konsili. 

Joseph Ratzinger segera tampak kurang menghargai dokumen-dokumen yang disiapkan komisi-komisi khusus yang dibentuk Vatikan. Terutama karena nadanya yang konservatif.  Ratzinger dari awal "bertabrakan dengan kelompok konservatif" dalam Konsili. 

Sejalan dengan penasihatnya, kritik Kardinal Frings sendiri tajam sekali. Ia mengumpamakan skema On the True Preservation of the Deposit of Faith dari Kardinal Ottaviani sebagai "hasil karya seorang inkuisitor yang duduk di sarangnya seperti singa dan mengamati siapa yang dapat ia makan". Ia menilai dokumen itu "lebih negatif ketimbang positif" dan berisi "kata-kata yang melukai perasaan".

Pada Oktober 1962 Ratzinger mengecam satu skema dan mengusulkan "menghapus konsep infalibilitas yang berlebihan, yang dapat dipersoalkan dari sisi riset kesejarahan dan tidak berpadanan dengan Kitab Suci, dan menggantinya dengan konsep infalibilitas yang lebih tepat". Maksudnya, tekanan diberikan lebih besar kepada Kitab Suci dan para bapa Gereja ketimbang magisterium saat itu.

Dalam pandangan Ratzinger beberapa skema dapat diperbaiki, namun satu skema yang penting memerlukan perubahan seluruhnya. Skema tentang Wahyu Ilahi dianggap urat achilles Konsili maka perlu sempurna. Skema ini menjadi penentu arah Gereja Katolik ke depan. Ratzinger walau mengakui konsep tradisional tentang Wahyu ilahi dengan dua sumber, Kitab Suci dan Tradisi, namun ia dengan mendesak mengajukan hanya satu sumber, yaitu Allah yang bersabda dan mewahyukan diri. Dari satu sumber itu, menurut Ratzinger, mengalirlah Kitab Suci dan Tradisi Suci. Maka ia mengusulkan mengganti judul skema dari De fontibus revelationis menjadi De verbo Dei, yang akhirnya berkembang jadi Dei Verbum.

Pada bulan Oktober 1962, bersama Kardinal Frings terbanglah Joseph Ratzinger ke Roma dengan rencana untuk menyampaikan pidato di hadapan suatu grup besar peserta Konsili tentang Dua Sumber Wahyu Ilahi itu.

Sebelum Konsili, Joseph Ratzinger sudah bertemu dengan Karl Rahner SJ, penasihat teologi Kardinal Franz Konig dari Wina, secara rahasia. Rahner menginginkan suatu kelompok kecil pertemuan strategis yang bersifat rahasia. Kelompok ini dimaksudkan untuk menyiapkan saran alternatif pengganti dokumen-dokumen yang berasal dari Roma. Pada bulan April 1962 Rahner memberitahu bahwa rekannya Profesor Otto Semmelroth punya rencana menyiapkan draft alternatif itu bersama-sama. Dari 15-25 Oktober kelompok kecil yang terdiri dari empat orang termasuk Uskup Hermann Volk, melaksanakan rencana mereka.




Pada waktu itu Ratzinger sudah menyusun satu skema yang ditulis dalam bahasa Latin yang diterima dengan senang oleh kelompok. Rahner sendiri menunjukkan ketidaksukaannya pada naskah yang berasal dari Roma, yang mengingatkan "sekolah teologi Roma yang loyo dan lusuh" yang sulit "dipahami orang zaman sekarang".

Kolaborasi dengan Karl Rahner ini pada saat itu  rumit, karena Rahner dipandang sebagai seorang teolog “progresivis”, yang Mariologinya telah “menjadi korban sensor ordo [Jesuit] dan tidak diizinkan untuk diterbitkan.” Dengan  Ottaviani di latar belakang, Rahner baru diberitahu beberapa bulan sebelum Konsili bahwa tulisannya akan diperiksa sebelum diterbitkan. Sensor terencana ini memicu kemarahan beberapa pelindungnya, seperti Kardinal Döpfner, Frings, dan König, yang ikut campur di hadapan Paus Yohanes XXIII. Paus kemudian secara efektif menjauhkan diri dari Ottaviani.

Ratzinger, yang menjadi bagian kelompok Rahner, dipilih Kardinal Frings untuk berbicara pada pertemuan semua Bapa Konsili berbahasa Jerman yang akan berlangsung pada malam upacara pembukaan Konsili, 10 Oktober. Frings menjadi tokoh kunci selama persiapan Konsili, setelah berpartisipasi dalam 47 pertemuan di Roma antara November 1961 hingga Juni 1962. Hampir semua presentasinya berisi argumen dan formulasi yang telah disiapkan oleh penasihatnya. Pendekatan dasar teologis Ratzinger menjadi jelas dalam analisisnya, dan pendekatan ini tidak pernah berubah sepanjang hidup Ratzinger. 

Ratzinger mendapatkan persamaan sikap dengan para imam berbahasa Jerman lainnya yang bertemu secara teratur selama sesi Konsili di Collegio Teutonico di Santa Maria dell'Anima, seminari Jerman, di Roma. Seperti disebutkan, pertemuan pertama mereka dimulai bahkan sebelum sesi pertama Konsili.  Santa Maria dell'Anima berada di jantung pusaran perkembangan yang menyebabkan debat sengit, dari 'krisis Oktober', 'krisis November' dan 'Kamis Hitam' yang terkenal, yang membawa seluruh Konsili berdiri di tepi jurang. Dan di tengah-tengah itu semua Ratzinger dari awal menjadi tokoh dari Jerman yang memengaruhi jalannya Konsili. Pada 10 Oktober 1962, dalam pertemuan pertama peserta dari Jerman dalam Konsili, tepat sebelum Konsili resmi dibuka, hanya ada pembicara tunggal, dan dia adalah Joseph Ratzinger. 


Nouvelle théologie

Berbicara tentang periti lain, Ratzinger menyukai Yves-Marie Joseph Congar, Henri de Lubac, serta Karl Rahner dari Jerman – yang semuanya “belakangan dicurigai sebagai bid'ah.” Agar kecurigaan tidak bertambah besar, Congar – salah satu periti dalam Konsili – menasihati agar pertemuan mereka diusahakan tidak menimbulkan kesan sedang berkomplot “menyiapkan rancangan”.

Terlepas dari soal kecurigaan, Ratzinger ”secara sadar mengecilkan signifikansinya sendiri”. Namun, tetap saja hampir tidak ada orang yang datang ke Roma dengan persiapan sebaik Ratzinger. Saat berbicara pada 10 Oktober, Ratzinger menjelaskan bahwa banyak dokumen yang sudah disiapkan cacat terutama skema tentang Wahyu Ilahi yang vital peranannya dan akan menentukan seluruh hasil Konsili, dan dia mengajukan kemungkinan untuk mengganti dengan teks alternatif.

 

Bermain Api

Tidak jelas apakah Ratzinger tahu efek kata-katanya yang dapat menggagalkan Konsili. Tapi dia pasti tahu dia sedang bermain api.” Dari refleksi Ratzinger pada tahun 2005, dia menyadari “tanggung jawab untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuh para uskup Jerman berada di pundak saya.” Ketika berbicara kepada kelompok berbahasa Jerman, Ratzinger langsung mempermasalahkan dokumen konsili – De fontibus revelationis – yang telah disetujui Paus Yohanes XXIII dan Kardinal Ottaviani. Bagi Ratzinger, judul skema ini “mengandung bahaya penyempitan konsep Wahyu.” Di sini, dia menolak paham yang mapan tentang sumber Wahyu, yaitu Kitab Suci dan Tradisi Suci, yang baginya "bukanlah sumber Wahyu." Baginya, sumber utama wahyu adalah perkataan dan pernyataan diri Tuhan sendiri, dan darinya, Kitab Suci dan Tradisi, menjadi saluran alirannya. Ia melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa menggunakan formulasi "yang tidak menggambarkan tatanan realitas tetapi hanya menunjukkan akses kita kepada realitas", berbahaya dan sepihak.

Berdasarkan tesis ini, Ratzinger melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa “Wahyu itu sendiri selalu lebih besar dari yang diungkapkan secara tetap di dalam Kitab Suci; Wahyu adalah Firman yang hidup, sejauh ditangkap dan diungkapkan Kitab Suci.” Hampir semua poin kritik dari Ratzinger kemudian diperhitungkan. Ratzinger menyatakan pada hari itu skema tentang Wahyu itu "sepenuhnya memancar dari semangat anti-Modernis, yang telah berkembang sekitar pergantian abad," sehingga "roh serba menentang ini pasti akan memiliki efek dingin, bahkan mengecutkan.”


Persiapan Kardinal Frings

Semacam kudeta yang terbentuk sesudah presentasi Ratzinger mungkin tidak direncanakan. Namun juga jauh dari dorongan sesaat. Frings sendiri telah berkonsultasi dengan seorang sejarawan Gereja pada bulan Mei 1962 tentang cara terbaik untuk mempengaruhi hasil Konsili, dan langkah pertama adalah untuk "membentuk minoritas pemblokir" dalam komisi yang menentukan. Maka, pada malam 10 Oktober 1962 itu, kelompok berbahasa Jerman merenungkan cara mengubah daftar anggota komisi yang telah ditetapkan, dan dengan perubahan daftar anggota komisi itu, mengubah dokumen itu sendiri.

Ada karakter revolusioner dari intervensi yang dipimpin Jerman dalam Konsili. Kelompok yang paling siap untuk Konsili – setelah mempelajari dengan cermat dokumen persiapan dan menyiapkan proposal untuk perbaikan – adalah Aliansi Rhine: para uskup Prancis, Jerman, Belgia, dan Belanda serta penasihat mereka, yang selanjutnya mewujudkan “Tujuh Hari yang Mengubah Selamanya Gereja Katolik.”

Salah satu pemimpin mereka, Kardinal Achille Liénart, melanggar protokol Konsili. Ia mengambil alih mikrofon pada hari pertama Konsili, 13 Oktober, meminta agar debat ditunda dan meminta waktu untuk mengenal calon anggota komisi lebih dahulu sebelum dilakukan pemilihan seperti yang telah direncanakan. Frings melakukan hal yang sama setelahnya, meminta lebih banyak waktu untuk berdiskusi sebelum pemilihan anggota komisi. Intervensi Liénart dan Frings telah disiapkan sehari sebelumnya, dan mereka berhasil: pemilihan anggota komisi ditunda.




Ratzinger di kemudian hari menegaskan bahwa “itu bukanlah tindakan revolusioner, tetapi tindakan hati nurani, tanggung jawab, dari pihak para Bapa Konsili.” Bagi kawan lain, Kardinal Leo Joseph Suenens, jelas apa yang terjadi adalah “kudeta bahagia” dan “pelanggaran aturan yang berani.” Dalam komentarnya: “Arah Konsili sebagian besar diputuskan pada saat itu. Paus Yohanes XXIII menyukainya,” tulis Suenens. Ratzinger sendiri juga senang, ketika dia menyatakan, Konsili “bertekad untuk bertindak independen dan tidak diturunkan martabatnya menjadi sekedar badan eksekutif bagi Komite Persiapan.” Tentu saja menyakitkan, bahwa Kardinal Ottaviani dipermalukan pada hari yang sama. Kardinal Alfrink mematikan mikrofon yang digunakan Ottaviani begitu saja setelah dia berbicara lebih lama dari waktu yang diizinkan, dan di antara hadirin, terdengar tepuk tangan meriah.

Menempatkan komponen progresif dalam Komisi-komisi Konsili

Setelah mendapatkan waktu, para uskup – Frings, Suenens, Alfrink, Liénart, König, dan Döpfner – bertemu pada sore hari tanggal 13 Oktober 1962 untuk mulai menjalin aliansi dengan uskup lain di dunia. Mereka menyusun daftar calon komisi mereka sendiri, untuk mempengaruhi hasil kerja tiap-tiap Komisi. Mereka misalnya, mencegah berkembangnya front persatuan di antara para uskup Italia. Untuk itu mereka menghubungi Kardinal Giovanni Montini yang sangat kolaboratif, yang kemudian menjadi Paus Paulus VI. Pada malam tanggal 15 Oktober, sekretaris Frings berhasil mengumpulkan daftar calon, yang dicetak 2.000 eksemplar dan disampaikan kepada para Bapa Konsili. Upaya ini berhasil : dari 109 kandidat dalam daftar mereka, 79 dipilih oleh Konsili, meliputi 49% dari semua kursi yang tersedia. Frings memperoleh banyak pendukung dari negara-negara misi Amerika Selatan dan di tempat lain, karena dia, sebagai pendiri lembaga donor Misereor dan Adveniat di Jerman, mendapatkan “kepercayaan, ” tentunya juga karena donasinya yang murah hati.

Jika tidak ada perlawanan atas pemilihan anggota Komisi pada hari pertama Konsili, perkembangan Konsili niscaya normal dan konsisten menurut dokumen yang disiapkan dan dilaksanakan Komisi Persiapan. Intervensi Frings/Liénart mengubah segalanya. Pemilihan anggota Komisi setelah jeda waktu persiapan “sangat mempengaruhi jalannya Konsili selanjutnya,” dalam kata-kata Frings, yang menyadari bahwa sangat penting untuk menyebarkan pengaruh dalam Komisi yang bertanggung jawab atas dokumen-dokumen Konsili. Dia kemudian mendengar Paus Yohanes XXIII tidak senang bahwa daftar calon anggota Komisi yang asli telah diubah. Ini mengisyaratkan, bahwa tanpa dukungan Paus, perubahan seperti itu tidak akan pernah bisa dilaksanakan. Bagaimanapun, keberhasilan 10 Oktober telah menyemangati sayap progresif di Konsili bahwa mereka bahkan mungkin akan berhasil mengubah skema yang cacat. Mereka bertemu setiap Senin sore di Anima, terdiri dari sekitar 100 uskup dan teolog.

Draft alternatif Skema tentang Wahyu Ilahi
Pada tanggal 15 Oktober, Ratzinger menyerahkan kepada rekan-rekannya suatu draf dokumen alternatif tentang Wahyu Ilahi yang kemudian disempurnakan lebih lanjut oleh Karl Rahner, Hermann Volk, dan Otto Semmelroth. Empat hari kemudian, sekelompok 25 uskup dan teolog – di antaranya Ratzinger, Congar, Chenu, de Lubac, Küng, Rahner, dan Schillebeeckx – bertemu untuk “membahas dan menyepakati taktik pergumulan skema teologis,” dalam kata-kata Congar. . Pada tanggal 25 Oktober, Frings mengundang beberapa uskup terkemuka, dan mencoba memenangkan hati mereka untuk draf baru skema Wahyu Ilahi yang ditulis oleh Ratzinger dan Rahner. Ratzinger mempresentasikan draf tersebut kepada hadirin, di antaranya Suenens, Alfrink, dan Liénart.

Kelompok tidak berhenti hanya sampai di situ. Döpfner dan Hubert Jedin telah bertemu sehari sebelumnya sehingga mereka dapat memikirkan apakah ada sarana “daya ungkit” yang dapat digunakan untuk melemahkan protokol Konsili. Pada 6 November diskusi ini dilanjutkan, dengan hadirnya Ratzinger, Frings, Congar, dan Rahner. Mereka mengajukan permintaan kepada Sekretaris Negara agar setiap Bapa Konsili punya hak meminta amandemen skema, atau menolaknya sama sekali.

Perombakan Dokumen yang telah disiapkan

Pada tanggal 14 November 1962 Kardinal Ottaviani membuka sesi tentang skema Wahyu Ilahi, dengan nada membela teks yang telah disiapkan dan menegaskan bahwa tugas Konsili adalah membela dan memajukan ajaran Katolik. Namun kemudian, beberapa anggota sayap progresif – di antaranya König, Alfrink, Suenens, dan Bea – menyatakan bahwa mereka sama sekali menolak skema tersebut. Frings juga berbicara. Dia menyampaikan ceramah yang ditulis Ratzinger. Dia mengklaim skema yang disiapkan tidak memiliki "suara seorang ibu" (Gereja), tetapi "suara seorang kepala sekolah". Sebaliknya, menurut Frings/Ratzinger, penting untuk menerapkan “gaya pastoral” seperti yang diharapkan Paus Yohanes XXIII. Satu-satunya sumber Wahyu, kata Frings di aula Konsili, adalah "firman Tuhan". Karena perlawanan yang kuat di pihak sayap progresif dalam Konsili, Paus kemudian tiba-tiba memutuskan, pada tanggal 21 November 1962 menarik skema yang telah disiapkan tentang Wahyu Ilahi, dan demikian menambah pengaruh lebih besar kepada kelompok gerejawan ini. Dan meskipun beliau telah menyetujui skema tersebut, Paus menetapkan Komisi baru untuk draf baru skema Wahyu Ilahi, dan memutuskan Kardinal Augustin Bea, Frings dan Liénart dilibatkan di dalamnya.




Ratzinger memerhatikan bahwa “para uskup tidak lagi sama seperti sebelum Konsili dibuka,” “alih-alih sikap 'anti' dan serba negatif yang lama, harapan positif yang baru tampak muncul, meninggalkan sikap defensif dalam berpikir dan bertindak dengan mengenakan cara Kristiani yang positif. Api telah dinyalakan.”

Pada tanggal 24 November 1962 Paus Yohanes XXIII menerima para uskup Jerman dalam audiensi pribadi, menekankan bahwa Konsili harus menjadi “signum caritatis,” suatu tanda cinta. Namun dia menolak usulan Suenens dan Döpfner, agar Misa di awal setiap sesi perlu ditinggalkan!

“Spiritualitas Anti-Modernis”

Giuseppe Ruggieri, profesor teologi fundamental di Bologna, kemudian berkomentar bahwa pekan dari tanggal 14 hingga 21 November 1962, yang dikhususkan untuk perdebatan skema De fontibus revelationis, “adalah saat terjadinya perubahan yang menentukan masa depan Konsili dan Gereja Katolik : dari Gereja Pacelli, yang pada dasarnya memusuhi modernitas […] menjadi Gereja yang bersahabat dengan seluruh umat manusia, bahwa mereka sendiri adalah anak-anak dari masyarakat modern, budaya dan sejarahnya.” Bagi Ratzinger pekan itu juga menunjukkan penolakan terhadap "kelanjutan spiritualitas anti-Modernis" dan persetujuan pada "cara baru berpikir dan berbicara positif". Ottaviani sendiri, setelah dikesampingkan, mengucapkan kata-kata berat di aula Konsili: “Mereka yang sudah lama terbiasa berkata 'Ambil dan ganti' sudah membekali diri untuk bertarung. Saya akan memberi tahu Anda hal lain: bahkan sebelum skema yang ini didistribusikan, skema alternatif telah disiapkan. Jadi yang tersisa bagiku hanyalah diam. Karena seperti yang dikatakan Kitab Suci: ketika tidak ada yang mendengarkan, tidak ada gunanya berbicara".

Sejak saat itu, Ratzinger makin diwaspadai para uskup yang lebih konservatif. Dia dianggap mempedaya Kardinal Ottaviani, dan bersama Rahner ia disebut kaum integralis Prancis sebagai “bidat yang menyangkal neraka dan yang lebih buruk daripada Teilhard dan kaum Modernis”. Draft Ratzinger/Rahner juga digambarkan sebagai “teks tipikal Freemason”.

Bagaimanapun, “Frings dan penasihatnya [Ratzinger] telah membalikkan komposisi Konsili. Kelompok mereka yang menginginkan reformasi dari minoritas berubah menjadi mayoritas.”

Kardinal Giuseppe Siri sangat khawatir dan menggambarkan kecenderungan baru di dalam Konsili sebagai “kebencian terhadap teologi”, suatu penemuan “paradigma baru”, dengan penekanan pada “pelayanan pastoral” dan “ekumenisme”, dan memperingatkan bahwa ada upaya untuk “menggusur Tradisi, Gereja, dll.” di pihak mereka "yang ingin menyesuaikan segalanya dengan Protestan, Ortodoks, dll." “Tradisi Ilahi sedang dihancurkan,” Siri menyimpulkan.

Bahwa Ratzinger memainkan peran penting dalam perubahan ini juga dideteksi oleh majalah besar Jerman Der Spiegel, yang memperhatikan “serangan terhadap kediktatoran para penjaga agama yang otoriter” yang luar biasa dari pihak Frings dan "penasihat terpentingnya", Profesor Ratzinger yang berusia 36 tahun dari Jerman. Der Spiegel mengutip dari pidato Genoa Frings (yang ditulis oleh Ratzinger), “tentang bentuk-bentuk gerejawi kuno seperti Indeks”, lembaga sensor yang mengingatkan orang sezaman tentang “praktik totaliter.” Dia juga menekankan “gagasan toleransi” dan “penghormatan terhadap kebebasan intelektual orang lain.”

Minggu, 15 Januari 2023

KOMUNITAS ST YOHANES XXIII: RUMAH KELUARGA UNTUK YANG MEMERLUKAN KELUARGA

 


Komunitas Paus Yohanes XXIII mewujudnyatakan komitmen praktis dan konstan atas situasi kemiskinan dan marginalisasi sejak tahun 1968. Komunitas menghayati hidup sebagai “satu keluarga rohani”, untuk berbagai usia dan status hidup, berbagi kehidupan secara langsung dengan yang “paling kecil” dalam masyarakat dan berkomitmen untuk mengentaskan situasi mereka. Kasih bagi saudara dan saudari yang membutuhkan ini mengarah pada upaya meniadakan penyebab kemiskinan dan keterpinggiran mereka.

Untuk tujuan ini, Komunitas telah membuka lebih dari 500 rumah dan pusat dari berbagai jenis di seluruh dunia demi memenuhi dengan sebaik-baiknya kebutuhan orang-orang yang mereka terima.

“Rumah-keluarga” adalah jenis komunitas pertama dan inovatif, yang dimulai pada tahun 1973 hasil intuisi Pastor Oreste Benzi. Di dalamnya, pasangan menikah dan orang lajang berfungsi menjadi ayah dan ibu, saudara laki-laki dan perempuan bagi anak-anak yang bermasalah, penyandang cacat, mereka yang mengalami gangguan psikologis atau masalah kecanduan, yang menjadi korban perdagangan manusia dan mantan narapidana. Semua orang merasa penting dan berguna bagi orang lain dan didorong agar peduli pada siapa saja.

Pilihan untuk berbagi kehidupan dengan mereka secara langsung, sepanjang hari dan setiap hari, mengarah pada terciptanya ikatan yang menyembuhkan penyebab marginalisasi, kesepian, dan pengabaian.

Di setiap rumah dan pusat Komunitas ada orang-orang yang memilih untuk hidup secara berkelanjutan dan konsisten sebagai keluarha dengan mereka yang diterima, yang membutuhkan, sebagai rumah doa, rumah persaudaraan, tempat singgah orang dewasa dan anak-anak, pondok Bethlehem untuk para tunawisma, dan pusat pelayanan sepanjang hari.

Karisma Komunitas telah menghasilkan di seluruh dunia 35 entitas badan hukum yang dipromosikan oleh Komunitas. Meliputi 15 koperasi sosial yang merupakan “Consorzio Condividere Papa Giovanni XXIII”, pusat kerja dan kegiatan komersial seperti penerbit, hotel dan toko es krim, serta LSM “Condivisione fra i Popoli” yang menjalankan proyek pemberdayaan di luar Italia.

Selain itu, Komunitas Paus Yohanes XXIII mempromosikan, melalui para anggotanya, model-model baru organisasi sosial dan ekonomi di bidang pendidikan, profesional, sosial dan politik, yang bertujuan menghilangkan penyebab ketidakadilan.

Komunitas mempromosikan perdamaian melalui layanan sipil Italia di berbagai negara di seluruh dunia dan karya perdamaian "Operasi Merpati", yang berbagi hidup dengan para korban konflik di kedua pihak yang berlawanan, dengan tujuan  "membangun jembatan dan menyembuhkan luka".

Sejak tahun 2006 Komunitas mendapat Status Konsultatif Khusus dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC), mengadvokasi orang miskin di dunia dan bekerja untuk menghilangkan penyebab ketidakadilan, ketimpangan dan kemiskinan.



Kunjungan pada Paus Fransiskus

Pada 14 Januari 2023, staf dan keluarga Komunitas Paus Yohanes XXIII melakukan kunjungan pada Paus Fransiskus di Aula Audiensi Paulus VI Vatikan. 

"Terima kasih sudah datang mengunjungi saya" kata Bapa Suci. "Ada yang mengejutkan saya dalam daftar-hadir yang dikirimkan kepada saya beberapa waktu lalu: fakta bahwa kalian, anak-anak dan remaja, semuanya hadir, masing-masing dengan namanya sendiri. Tuhan, yang mengenal nama kita masing-masing, menyukai ini. Kami bukan anonim, bukan fotokopi, kalian semua asli! Dan begitulah seharusnya kita: asli, bukan fotokopi; Beato Carlo Acutis, remaja laki-laki seperti kalian, biasa mengatakan ini: Tuhan mengenal kita satu per satu, dengan nama dan wajah kita yang unik. Tentu saja kita juga punya kekurangan; beberapa dari kita sayangnya punya kekurangan besar yang harus ditanggung. Tetapi ini tidak mengurangi nilai seseorang: kita masing-masing adalah unik, putra atau putri Allah, masing-masing adalah saudara laki-laki atau perempuan Yesus yang unik.



Suatu komunitas Kristiani yang menyambut orang apa adanya membantu kita memandang sesama seperti Tuhan menatapnya. Dan bagaimana Tuhan melihat manusia? Dengan tatapan cinta. Tuhan juga melihat kekurangan kita, ya itu benar, dan Ia membantu kita dengan menanggung kekurangan itu; tetapi Tuhan terutama melihat hati, dan melihat setiap orang secara keseluruhan. Tuhan menatap kita sebagai citra Yesus, Putra Tunggal-Nya, dan dengan kasihNya Dia membantu kita agar menjadi semakin serupa dengan Dia. Yesus adalah manusia yang sempurna, kita tahu, Dia adalah kepenuhan manusia, dan kasih Allah membantu kita tumbuh menuju ukuran yang lengkap itu, menuju kepenuhan. Kita tahu bahwa kita akan mencapainya di surga nanti, tetapi dalam kehidupan di dunia ini, cinta membantu kita menjadi dewasa dengan cara ini. Ini seperti benih yang berkecambah dan tumbuh di ladang dengan bantuan hujan dan matahari, yang berkembang dan menjadi, seumpama gandum yang indah."



"Ada tanda-tanda yang membantu kita memahami bagaimana ketika seseorang diterima dengan cinta, ketika seorang anak, laki-laki atau perempuan, juga orang dewasa dari segala usia, dipandang dengan tatapan mata Tuhan, mereka yang diterima dengan cinta. Apa tanda-tandanya? Ada beberapa, tapi saya pilih salah satunya: senyum. Saya telah mendengar, lebih dari sekali, kalian menceritakan kisah: "Laki-laki atau perempuan itu punya kesulitan, tapi ia selalu tersenyum". Bagaimana bisa? Karena ia merasa dicintai, disambut apa adanya. Ketika seorang anak yang baru lahir berada di pelukan ibunya, yang menatapnya dan tersenyum, dia mulai membalas tersenyum. Senyum adalah bunga yang mekar dalam kehangatan cinta."



"Dalam cerita kalian, dan juga dalam pertanyaan kalian, suatu pengalaman yang menonjol dari kaliam semua adalah pengalaman "panti asuhan". ...“rumah asuh” itu timbul dari pikiran dan hati Pastor Oreste Benzi. Dia seorang pastor yang memandang anak-anak melalui tatapan mata Yesus, dengan hati Yesus. Dan, dengan menjadi dekat dengan anak-anak yang berperilaku buruk, yang tersesat, dia mengerti bahwa mereka itu kekurangan kasih sayang seorang ayah dan seorang ibu, kasih sayang saudara kandung. Maka Pastor Oreste, dengan kekuatan Roh Kudus dan keterlibatan orang-orang yang kepada mereka Tuhan telah memberikan panggilan ini, ia memprakarsai pengalaman keramah-tamahan sepenuh waktu, dengan berbagi kehidupan; dan dari sana, lahirlah apa yang disebut “casa famiglia”, rumah keluarga atau rumah asuh. Sebuah pengalaman yang lalu tumbuh berlipat ganda, di Italia dan di negara-negara lain, dan yang ditandai dengan benar-benar menjadikan anak-anak yang diterima sebagai anak mereka sendiri, ditumbuhkan oleh kasih Kristiani. Seorang ayah dan seorang ibu yang membuka pintu rumahnya untuk memberikan suatu keluarga kepada mereka yang tidak memilikinya. Keluarga sungguhan; bukan karena tugas, tapi sebagai pilihan hidup. Di dalamnya tersedia ruang untuk semua orang: anak di bawah umur, orang cacat, orang tua, Italia atau orang asing, dan siapa saja yang mencari titik awal untuk memulai lagi, atau keluarga untuk menemukan diri mereka sendiri. Keluarga adalah tempat di mana setiap orang diperhatikan, baik yang dibawa masuk di dalamnya maupun yang disambut, sebagai jawaban atas kebutuhan dasar akan hubungan yang ada pada setiap orang".

"Sekarang, saya ingin menyapa beberapa dari kalian secara pribadi. Saya menyapa Francesco, yang berumur enam tahun, yang tidak bisa datang hari ini,  saya berdoa untuk ibunya yang sedang sakit. Saya menyapa Biagio, yang berumur empat belas tahun: dia juga tidak bisa datang, dan saya mengirimikan berkat saya kepadanya. Dan kamu, Sara, yang berusia tiga belas tahun dan melarikan diri dari Irak dengan membawa harapan suci agar anak-anak tidak dirampok masa kecilnya: semoga Tuhan membantumu mewujudkan harapanmu! Kamu ingin melihat nenekmu yang telah pergi ke surga, berbicaralah dengannya di dalam hatimu dan ikuti teladan baiknya, dan suatu hari kamu akan berjumpa lagi dengannyai. Kamu yang, seperti banyak remaja lainnya, berjuang untuk merasakan keindahan Misa, jangan takut: pada saat yang tepat, Yesus yang hidup akan membuatmu merasakan kehadiranNya. Terima kasih, teman-teman kecil, kalian mengingat mereka yang tak berdosa yang dibunuh sewaktu di dalam rahim. Dan terima kasih yang tulus kepada kalian, anak-anak dan remaja, yang setiap hari Minggu bertemu secara daring untuk berdoa Rosario. ... Tuhan mendengarkan doa kalian untuk perdamaian, meskipun tampaknya tidak demikian. Tuhan mendengarkannya, dan kami percaya bahwa Tuhan memberi kita kedamaian, segera, hari ini! Tuhan memberikannya kepada kita, terserah apakah kita mau  menerimanya, di dalam hati dan dalam hidup kita. Yakinlah Tuhan mendengarkan doa kalian, dan teruslah maju!"

"Semoga Tuhan memberkati Komunitas Paus Yohanes XXIII, dan semoga Bunda Maria menjaganya selalu dalam iman, harapan dan cinta." 


KARDINAL PELL DIMAKAMKAN

 


Kardinal George Pell dari Australia wafat pada 10 Januari 2023. "Wafatnya mengejutkan kita semua, karena ketika memakamkan Paus Benediktus XVI seminggu sebelumnya, ia hadir dan ikut konselebrasi Misa. Ia tampak sehat kendati usianya 81 tahun," kata Kardinal Re, Ketua Kolegium Kardinal, yang memimpin Misa Konselebrasi pemakaman Kardinal George Pell, Sabtu, 14 Januari 2023, di altar Basilika St Petrus.



Kardinal Re mengenang Kardinal  George Pell sebagai seorang yang menonjol berteguh dalam iman dan bertekun dalam doa ketika masa-masa terakhirnya penuh penderitaan dan mengalami ketidak-adilan. Pada tahun 2017 ia dituduh melakukan pelecehan seksual di Australia. Ia dipidana dua tahun dalam penjara. Tetapi setelah menjalani pidana penjara 400 hari di Melbourne dan di Barwon, Mahkamah Agung Australia membatalkan hukumannya karena menganggap pengadilan perkaranya tidak cukup bukti. Ia dinyatakan tidak bersalah dan bebas murni.  



"Ia menjadi contoh penderitaan besar yang ditanggung dengan kesabaran iman dan keyakinan pada keadilan Allah. Kardinal Pell dengan rela menerima hukuman yang tidak adil dengan penuh martabat dan kedamaian batin."

"Iman dan doanya menjadi penghiburan besar selama ia menderita ketidak-adilan. Dan untuk menunjukkan betapa iman dan doa itu sungguh menjadi kekuatan dalam penderitaan, ketika ia masih di penjara, ia menulis dan menerbitkan buku harian".

Pada akhirnya, Kardinal Pell gambaran "manusia yang taat pada Allah dan pada Gereja, dengan iman yang teguh dan sangat setia pada ajaran, yang dibelanya tanpa ragu dan dengan berani, semata-mata untuk setia kepada Kristus".

Paus Fransiskus melaksanakan ritus Pelepasan dan Pemberkatan Peti Jenazah Kardinal Pell sesudah Ekaristi, untuk kemudian dimakamkan. 




Semoga Kardinal George Pell berbahagia di sisi Bapa. 


IBRANI -SURAT

 



Tiga pekan ke depan dalam Misa Harian Masa Biasa I-A kita akan merenungkan Surat Ibrani dalam bacaan pertama.

SURAT IBRANI adalah satu di antara sumber-sumber ajaran Kristen yang mendalam. Surat Ibrani menyampaikan suatu telaah kompleks Kristologi. Kitab ini menekankan keunggulan Perjanjian Baru atas yang Lama, mengungkapkan pola hidup Kristen dan terutama fokus atas keimaman dan kurban Kristus. Surat ini lebih merupakan suatu wacana teologis atau homili ketimbang suatu surat biasa. Pengarangnya sendiri menyatakannya sebagai “kata-kata nasihat” (Ibr 13:22).

 

I. Khalayak alamat surat

II. Pengarang dan Waktu Penulisan

III. Isi

IV. Maksud dan Tema

A. Kristus sebagai Raja dan Penebus

B. Kristus Imam Agung yang Lebih Unggul

C. Keunggulan Perjanjian Baru

D. Tanggapan Kita Pada Kristus

 

I. Khalayak alamat surat

Kalimat pertama sama sekali tidak memberikan petunjuk kepada siapa (atau kepada jemaat mana) surat ini ditujukan, juga tidak ada petunjuk di mana mereka berada. Judul surat “kepada Ibrani” adalah judul yang diberikan tradisi, maka ada keyakinan bahwa surat ini ditujukan kepada orang Yahudi yang menjadi Kristen. Namun sebagian ahli modern mengajukan teori bahwa surat ini ditujukan kepada bangsa lain dengan latar belakang budaya Yunani. Yang menopang pendapat ini adalah bahwa surat ini mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci Septuaginta yang berbahasa Yunani, bukan dari Perjanjian Lama berbahasa Ibrani, penggunaan gaya pidato (retorika) Yunani, dan mungkin pengaruh Philo dari Aleksandria. Di pihak lain, yang menunjang pendapat tradisional bahwa surat ini ditujukan kepada orang Yahudi Kristen adalah adanya asumsi yang jelas bahwa mereka bisa kembali merujuk kepada agama Yahudi tradisional (bdk Ibr 6:4-6; 10:29), ada banyak rujukan pada Perjanjian Lama, dan terutama adalah bahasan mengenai keunggulan Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama, yang praktis tidak penting bagi khalayak bangsa lain.

      Tempat keberadaan penerima surat juga menjadi perdebatan. Berbagai ahli serta penulis komentar kuno dan modern menyatakan bahwa alamat penerima surat adalah di Yerusalem, sedang yang lain mengajukan tempat lain, ada yang Roma, Korintus atau tempat lain di Asia Kecil. Karena surat membahas soal-soal yang relevan dengan kegiatan imam dan kurban, maka ada yang menyatakan bahwa surat ini ditujukan kepada para imam-imam Lewi yang baru saja menjadi Kristen (Kis 6:7). Kemungkinan yang lain adalah bahwa surat ini ditujukan kepada orang Yahudi Kristen di Italia.

 

II. Pengarang dan Waktu Penulisan

Soal siapa pengarang surat ini juga sudah lama menjadi perdebatan. Surat ini tidak menyebut nama penulisnya, walaupun para pembaca yang dituju surat ini sepertinya tahu siapa penulisnya (Ibr 13:18-19). Tradisi yang sangat tua di Gereja Timur menyatakan bahwa Santo Paulus-lah pengarangnya, suatu pandangan yang segera diikuti oleh Gereja Barat. Pada abad keempat dan kelima, tradisi Timur sebagian besar diterima melalui pengaruh Santo Hieronimus dan Santo Agustinus. Pandangan bahwa pengarang surat ini adalah Paulus tidak disangkal hingga abad keenambelas. Tetapi kemudian  banyak ahli menolak Paulus sebagai penulis surat atas dasar adanya perbedaan tajam dalam hal gaya sastra jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang sudah diakui sebagai tulisan Paulus, pokok persoalannya yang unik dan tidak adanya tanda-tanda khas dan salam dari Paulus.

      Mengenai penulis surat ini seandainya bukan Paulus, ada sejumlah kemungkinan yang diajukan, termasuk Barnabas, Lukas, Apolos, Silas dan Klemens dari Roma. Origenes menunjukkan kurangnya pandangan yang bersifat konsensus ketika menyatakan, “Hanya Tuhan saja yang tahu” siapa penulis surat ini. Mereka yang mendukung kedudukan Paulus sebagai penulis surat ini menunjukkan kemiripan di antara teologi Surat Ibrani dan teologi Paulus. Tentulah setidaknya si penulis dipengaruhi oleh Paulus. Penulis surat menyebut nama Timoteus (Ibr 13:23), mengisyaratkan bahwa ia juga kenal bahkan akrab dengan Paulus dan para pembantunya dalam perjalanan misinya (bdk Kis 16:1-3; Flp 2:19-24). Bobot bukti yang diajukan pihak yang menentang kedudukan Paulus sebagai penulis surat ini masih kurang memberi kepastian juga.

      Penetapan waktu kapan surat ini ditulis juga sulit dipastikan, tetapi karena surat ini tidak menyebut-nyebut kehancuran Yerusalem pada tahun 70 M, maka sangat boleh jadi Surat Ibrani ini ditulis sebelum peristiwa itu (lihat misalnya Ibr 10:1-3 di mana kurban-kurban tampaknya masih diselenggarakan di Bait Allah). Seandainya surat ini ditulis sesudah tahun 70 M, maka kehancuran Bait Allah akan menjadi bukti yang sangat kuat bahwa Perjanjian Baru memang langsung menggantikan Perjanjian Lama. Waktu penulisan yang mendekati kebenaran dengan demikian adalah tahun enampuluhan M.

 

III. Isi

I. Prolog (1:1-4)

II. Putera Lebih Unggul dari Malaikat (1:5-2:18)

A. Hak Prerogatif Kristus Sebagai Raja (1:5-14)

B. Beri Perhatian (2:1-4)

C. Kristus, Saudara Kita (2:5-18)

III. Imam Agung yang Rahim dan Setia (3:1-5:10)

A. Kristus dan Musa (3:1-6)

B. Pemberhentian  yang Dijanjikan Tuhan (4:1-14)

C. Yesus Imam Agung (4:15-5:10)

IV. Imam Agung Dari Perjanjian yang Baru yang Lebih baik (5:11-10:39)

A. Nasihat Supaya Bertahan (5:11-6:12)

B. Janji Allah kepada Abraham (6:13-20)

C. Keimaman Melkisedek (7:1-28)

D. Perjanjian Baru lebih unggul daripada Perjanjian Lama (8:1-9:28)

E. Kristus Imam Agung (10:1-18)

F. Seruan Agar Terus Berpegang Pada Iman (10:19-39)

V. Makna Iman (11:1-12:29)

A. Contoh Kesetiaan dalam Perjanjian Lama (11;1-40)

B. Teladan Yesus (12:1-13)

C. Rahmat Tuhan (12:14-29)

VI. Nasihat Penutup (13:1-25)

A. Ibadat kepada Tuhan (13:1-6)

B. Kepatuhan Kepada Pemimpin (13:7-19)

C. Doksologi dan Salam (13:20-25).

 

IV. Maksud dan Tema

Surat Ibrani dengan bagus sekali mengembangkan sejumlah tema, namun yang paling menyolok adalah keimaman Kristus, keunggulan Perjanjian Baru dibanding Perjanjian Lama, kemajuan wahyu Allah dalam sejarah dan kemajuan umat Kristen.

 

A. Kristus sebagai Raja dan Penebus

Tekanan Kristologis dari surat ini dipastikan sejak dari awal dengan suatu prolog yang menegaskan status yang tiada duanya dari Putera. Pengarang kemudian memaparkan kedudukan Kristus, baik sebagai Raja maupun sebagai Penebus (Ibr 1:5-3:1), dilihat melalui berbagai rujukan ayat Perjanjian Lama (1:5-14, yang disusun menurut upacara rangkap tiga pemasangan mahkota raja-raja Timur Tengah Kuno), kekuasaan Kristus atas alam semesta (2:5-10) dan karya penebusan Kristus yang dilaksanakan karena Inkarnasi dan kesediaanNya untuk mengenakan kodrat manusia (2:11-3:1).

 

B. Kristus Imam Agung yang Lebih Unggul

Keimaman Kristus lebih tinggi daripada keimaman Musa dan Harun dan dapat dilihat melalui perbandingan dengan contoh imam Melkisedek, raja Salem, yang muncul secara misterius dalam Kitab Kejadian (Ibr 3;2-5:10). Karena Kristus adalah “Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita” (Ibr 4:14). Seruan ini mencakup suatu ajaran penting mengenai sumpah perjanjian (Ibr 5:11-6:20), bahwa ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, “Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya” sedangkan manusia... “bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah itu menjadi suatu pengukuhan baginya, yang mengakhiri segala bantahan”  (Ibr 6:13.16), suatu kebenaran yang menjadi sumber “pengharapan yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya” (Ibr 6:19-20).

      Surat selanjutnya membahas keunggulan imamat Kristus (7:1-10:18) dan mengawalinya dengan tokoh Melkisedek sebagai tipologi dari Kristus (Ibr 7:1-28). Penulis surat menyatakan bahwa imamat Kristus sepenuhnya lebih tinggi daripada imamat Perjanjian Lama. Imamat Harun yang dilaksanakan murni sebagai pelayanan di dunia (Ibr 8:4) yang dilanda wabah dosa (Ibr 5:3) telah digantikan dengan yang lain karena kematian dan penyakit (Ibr 7:23), dan tidak dapat menghapuskan dosa (Ibr 7:27-10:1-4). Tetapi Kristus melaksanakan pelayanan surga (Ibr 8:1-6) melalui Kebangkitan (Ibr 7:16) dan KenaikanNya (Ibr 9:24), bebas dari noda dosa (Ibr 4:15), memerintah selamanya sebagai Imam Agung (Ibr 7:24) dan menghapus dosa dengan mempersembahkan hidupNya sebagai suatu tebusan kekal (Ibr 9:11-14; 10:5-18).

 

C. Keunggulan Perjanjian Baru

Kristus juga lebih unggul berdasarkan perjanjian yang didirikanNya. Kristus ”telah mendapat suatu pelayanan yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi Pengantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan atas janji yang lebih tinggi. Sebab, sekiranya perjanjian yang pertama itu tidak bercacat, tidak akan dicari lagi tempat untuk yang kedua” (Ibr 8:6-7). Selain itu kurban persembahanNya jauh lebih unggul karena Ia mengurbankan diriNya sendiri, di tempat kudus surgawi, yang terhadapnya kemah yang didirikan Musa hanyalah sebentuk tipologi saja (Ibr 9:1-10:18).

      Dari sini surat memaparkan keunggulan Perjanjian Baru dibanding Perjanjian Lama dan menunjukkan bahasan sejarah keselamatan yang masih tinggal sebagai rahasia dalam Perjanjian Lama. Kristus menerima beban kutuk perjanjian yang terjadi sejak dosa Adam (Ibr 2:5-15) dan pelanggaran perjanjian oleh Israel (Ibr 9:15-17). Sebagai gantinya, Kristus mengalirkan berkat yang telah dijanjikan Allah dalam perjanjianNya dengan Abraham (Ibr 2:16-18; bdk Kej 22:16-18) dan dengan Daud (Ibr 1:5; 3:1-6; 5:5-6; 7:11-28; bdk Mzm 110:4).

 

D. Tanggapan Kita Pada Kristus

Bab-bab terakhir Surat Ibrani menggambarkan perhatian penulisnya akan tanggapan umat Kristen kepada Kristus (Ibr 10:19—13:21). Imamat Kristus merupakan jalan kepada hidup, karena Ia telah membuka bait suci surga: dan karena “kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala Rumah Allah. Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni (Ibr 10:21-22). Sebagai tambahan dorongan diberikan contoh-contoh iman dari tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama: Habel, Henokh, Nuh, Abraham, Musa dan pahlawan-pahlawan Israel. Tetapi teladan iman yang paling tinggi adalah Yesus Kristus sendiri “yang menimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan tahta Allah (12:2).


Ibrani - Bangsa dan Bahasa

 


(Bhs Ibrani ‘ibri). Pengertian umum kata “Ibrani” adalah anggota bangsa Israel, atau sederhananya, orang Yahudi. 

Dalam Kitab Suci kata ‘ibri mempunyai jauh lebih banyak makna khusus; yaitu sebutan untuk orang Israel oleh bangsa lain (Kej 39:14.17; 41:12; Kel 1:16-19; 2:6.9; 3:18; 5:3; 7:16; 9:1; Yun 1:9) dan oleh orang Israel jika membahasakan dirinya sendiri terhadap orang asing (1 Sam 13:19; 14:11; 29:3). 

Asal-usul kata itu dilacak hingga kepada leluhur Abraham, Eber, (kadang bentuk transliterasinya Heber; Kej 10:24-25; 11:14-26; 1 Taw 1:18-19) serta rujukan silsilah yang berhubungan dengan Abraham (Kej 14:13; 39:14; 40:15; 43:32; Kel 2:6; Ul 15:12; 1 Sam 4:9). Kata “Ibrani” mula-mula dipakai bahasa Kitab Suci untuk Israel dalam bagian pembukaan kitab Sirakh. 

      Dalam Perjanjian Baru, “Ibrani” merujuk pada orang Yahudi yang menggunakan bahasa Aram yang berbeda dari orang Yahudi yang menggunakan bahasa Yunani (Kis 6:1; 2 Kor 11:22; Flp 3:5). Sebagai suatu bahasa, Ibrani disebut dalam bahasa Yunani Hebrais atau Hebraisti (bahasa orang Ibrani) dan dengan demikian lalu identik dengan bahasa orang Yahudi (Yoh 5:2; 19:13.17.20; 20:16; Kis 21:40; 22:2; 26:14; Why 9:11; 16:16). Maka sepertinya banyak rujukan kata “Ibrani” dalam Perjanjian Baru tertuju pada apa yang disebut ahli modern sebagai bahasa Aram ketimbang bahasa Ibrani.



Bahasa Ibrani  

Bahasa tutur yang digunakan oleh suku-suku Israel kuno dan bahasa yang digunakan untuk sebagian besar kitab Perjanjian Lama. Ibrani merupakan salah satu dialek yang termasuk keluarga bahasa Kanaan dalam rumpun bahasa Semit barat laut (yang meliputi bahasa Aram, bahasa Ugarit, dan bahasa Amorit). Dialek lain di dalam keluarga bahasa Kanaan adalah Bahasa Punisia, Moab, dan Edomit. Bahasa Kanaan diketahui berasal dari milenium kedua SM dan digunakan di seluruh Palestina dan Siria. Dialek Ibrani dikenal di dalam Perjanjian Lama sebagai “bahasa Yehuda” (2 Raj 18:26. 28; Yes 36:11.13; 2 Taw 32:18; Neh 13:24); atau sebagai “bahasa Kanaan” (Yes 19:18). Bersama dengan waktu berkembang pula dialek dan lafal pengucapannya; dalam Hak 12:6, variasi lafal “Syibolet” membedakan suku Efraim.



 

Aksara Ibrani

Huruf

Nama

א

‘alef

ב

bet

ג

gimel

ד

dalet

ה

he

ו

waw

ז

zayin

ח

het

ט

tet

י

yod

כ

kaf

ל

lamed

מ

mem

נ

nun

ס

samek

ע

‘ayin

פ

pe

צ

sade

ק

qof

ר

resh

ש

sin

ת

taw

Ibrani tetap menjadi bahasa utama Israel sampai dengan akhir masa Pembuangan Babilonia pada abad keenam SM. Bahasa Aram menjadi bahasa umum internasional di seluruh Timur Tengah sesudah masa Pembuangan itu, sebagai bahasa lisan. Ibrani berangsur-angsur merosot dan akhirnya hilang sebagai bahasa tutur Yahudi, walaupun tetap menjadi bahasa sastra dan kitab-kitab suci di tempat-tempat pendidikan para rabi sampai pada milenium pertama Masehi. Bahasa Ibrani lalu berkembang menjadi bahasa Mishna dan terutama Talmud. Lebih berkembang ketimbang bahasa Ibrani Kitab Suci, ragam bahasa Ibrani yang lebih baru ini terutama dipengaruhi oleh bahasa Aram. Jika teks PB merujuk   pada   bahasa   Ibrani

 

maka yang dimaksud adalah bahasa Aram (bdk Yoh 5:2; 19:13.17.20; 20:16; Kis 21:40; 22:2; 26:14), kecuali dalam Why 9:11.

      Perjanjian Lama sebagian besar tertulis dalam bahasa Ibrani, dengan beberapa kekecualian. Dan 2:4 – 7:28; Ezr 2:8 – 6:18 dan 7:12-16 serta Yer 10:11 menggunakan bahasa Aram; Kebijaksanaan dan 2 Makabe, Yudith dan mungkin bagian dari Daniel dan Ester yang termasuk kitab-kitab deuterokanonika hanya ada dalam terjemahan bahasa Yunani, tetapi aslinya dari bahasa Semit; Sirakh dan Tobit seluruhnya tersimpan hanya dalam bahasa Yunani, walaupun sebagian dari Kitab Sirakh Ibrani dan sebagian dari Tobit bahasa Aram yang asli sudah diketemukan.



Sabtu, 14 Januari 2023

FORUM EKONOMI DUNIA 2023 DAVOS

 


Pada tanggal 16-20 Januari 2023 nanti akan digelar Forum Ekonomi Dunia 2023 di Davos, Swiss. Ini akan merupakan pertemuan Forum ke 52 sejak yang pertama pada 1971. Indonesia akan ikut serta.

Pada awalnya, antara 24 Januari - 7 Februari 1971 diadakan Simposium Manajemen Eropa di Davos, di mana para manajer puncak perusahaan dapat bertemu dan berinteraksi dengan stake-holders mereka dan menjadi forum tukar pengetahuan dan pengalaman di antara para manajer senior Eropa berkenaan dengan konsep dan teknik manajemen terbaru. Pertemuan Davos itu melahirkan Forum Manajemen Eropa, suatu yayasan yang didirikan pada 8 Februari 1971, berdasar  – konsep partisipasi, kerjasama dan pertukaran ide multi-stakeholder. Yang dimaksud stakeholder adalah para pemangku kepentingan dari perusahaan. Mereka meliputi pemilik perusahaan dan pemegang saham, konsumen/pelanggan, manajemen, karyawan dan keluarga mereka, pemasok, pemerintah dan masyarakat termasuk komunitas di sekitar tempat perusahaan berada. Simposium diikuti lebih dari 450 peserta dari 31 negara termasuk akademisi dan media. Pertemuan dua minggu itu membahas dua tema: (1) Tantangan Masa Depan, dan (2) Strategi dan Struktur Perusahaan. Situasi seluruh dunia saat itu masuk dalam pembicaraan karena dianggap sebagai faktor yang menentukan, meliputi pergolakan politik, sosial, ekonomi dan perkembangan teknologi. Pengalaman Simposium Manajemen Eropa di Davos 1971 menjadi pola pertemuan selanjutnya.

Forum Manajemen Eropa mengadakan Simposium Manajemen Eropa di Davos yang kedua pada 22 Januari - 1 Februari 1972 dengan tema Eropa: Mengembangkan Strategi Perusahaan Eropa. Tema itu terkait perluasan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dari enam negara anggota menjadi sembilan negara anggota. Pertemuan dipimpin oleh Gubernur Bank Sentral Jerman, Hermann J. Abs, dan mendapat tamu kehormatan Presiden Luxemburg, Pierre Werner, yang memaparkan rencana Persatuan Moneter Eropa dan rencana penggunaan satu mata-uang tunggal untuk Eropa. Dan juga dihadiri para pemimpin Serikat Buruh Kimia, Energi, Pertambangan dan Pekerjaan Umum. 



Topik pembicaraan Pertemuan 1973 masih berbasis Eropa namun juga meluas ketika Aurelio Paccali memaparkan "Limits to Growth" dari kajian Club of Rome berkenaan dengan perkembangan ekonomi dunia. Pada 1974 Uskup Agung Dom Helder Camara dari Brazil hadir "sebagai wakil dua pertiga penduduk dunia yang menderita ketidakadilan distribusi sumber daya alam" menyerukan moral keadilan.



Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya semakin banyak pemimpin negara yang hadir dan selain membahas strategi manajemen perusahaan, topik-topik kebijakan sosial ekonomi dan moneter negara pun diperbincangkan. Davos mengglobal (1975). Peserta pun meluas  tidak hanya Eropa-Amerika, namun juga negara-negara Arab (1974, krisis minyak), RRT (1979), India (1984). Pada 1984 Forum mengadakan Informal Gathering of World Economic Leaders (IGWEL) dan Indonesia diwakili oleh Ali Wardhana (Menko Ekuin). Karena sambutan yang semakin besar dari negara-negara, masyarakat industri, organisasi masyarakat sipil, peran Forum pun semakin meluas pula ekonomi, politik, teknologi, sosial dan lingkungan hidup. Maka sejak 1987 Forum Manajemen Eropa mengganti namanya menjadi Forum Ekonomi Dunia (World Economy Forum, WEF). Teolog Hans Kung, Kardinal Turcson dan Paus Fransiskus pernah menyampaikan pesan moral dan etika kebersamaan yang tidak meninggalkan siapa pun dalam kemajuan ekonomi dunia.




Tahun ini tema Forum Ekonomi Dunia Davos 2023 berkaitan dengan sustainabilitas, pertumbuhan dan ketahanan ekonomi, globalisasi dan geopolitik, ketahanan energi dan pangan. Diperkirakan 2500 orang dari seluruh dunia akan hadir. Indonesia membuka suatu pavilyun. 



Semoga kita dapat ikut memetik buah-buah pertukaran pikiran dunia yang bermanfaat bagi kita semua.