Allah
Pencipta segala sesuatu.
Allah adalah sempurna dan mahakuasa, esa, satu dalam tiga pribadi (Bapa, Putera
dan Roh Kudus). Dalam terjemahan Indonesia “Allah” (dengan A besar) adalah nama
pribadi Ilahi Tertinggi, sedang allah, atau ilah, adalah kata benda umum untuk
“yang ilahi” lainnya, yang disebutkan dalam Kitab Suci.
Umat Kristen mendapatkan pengertian mereka tentang Allah dari
dua sumber: Kitab Suci dan akal-budi. Keduanya saling menunjang dan saling
mengukuhkan. Akal budi mengatakan kepada kita bahwa harus ada Allah yang esa;
Kitab Suci menunjukkan kepada kita siapa Allah karena Ia mewahyukan, menyatakan
diriNya sendiri kepada manusia.
Di dalam Kitab Suci, Allah dilukiskan dengan berbagai cara yang
berbeda. Orang yang tidak beriman menemukan Dia di dalam alam ciptaan; Umat
Pilihan menjumpai Dia dalam alam ciptaan dan sejarah; dan kemudian seluruh dunia
menemukan Dia di dalam alam ciptaan, di dalam sejarah, dan di dalam pribadi
Yesus Kristus.
Perjumpaan kita dengan Tuhan selalu merupakan perjumpaan dua pribadi. Allah adalah Pribadi yang
bekerja, dan manusia menjadi saksi dari karyaNya. Maka apa yang kita ketahui
tentang Allah belum lengkap, dan sepenuhnya bergantung kepada kehendak dan
tindakan Allah yang mewahyukan diriNya sendiri. Pengetahuan kita akan dijadikan
lengkap jika kita melihat Dia muka dengan muka pada pernyataan diri yang tuntas
dalam pemandangan kudus nanti.
I.
Mengenal Allah Melalui Akal Budi
A. Allah Tampak dalam
Ciptaan
B. Bukti Keberadaan
Allahdari Santo Tomas
C. Keterbatasan Akal
budi
II.
Perjanjian Lama dan Baru
A. Rencana Perwahyuan
B. Wahyu Allah dalam
Perjanjian Lama
C. Penyempurnaan
Perwahyuan Allah dalam Perjanjian Baru
III.
Kodrat dan Sifat Ilahi
A. Mengenal Allah
dari WahyuNya
B. Kesempurnaan Allah
C. Kekekalan Allah
D. Kemahakuasaan
Allah
E. Kekudusan Allah
F. Kasih Allah
IV.
Kebapaan Allah
A. Israel Sebagai
Anak Allah
B. Keikutsertaan Umat
Kristen dalam Keputraan Kristus
V.
Nama-nama Allah
I. Mengenal Allah Melalui Akal Budi
A. Allah Tampak dalam Ciptaan
Santo Paulus
menulis: “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang
kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia
diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Rm 1:20; bdk Kis 14:15;
17:27-28; Keb 13:1-9).
Allah sudah menunjukkan kepada semua orang
– yang beriman maupun tidak beriman sama saja – kemuliaan dan dayanya yang
kreatif di dalam gerakan-gerakan benda langit, kepastian musim, dan keindahan
dan kelimpahan dunia ini. Dari zaman permulaan adanya manusia, manusia melihat
kebenaran ini dan berusaha menyatukan diri dengan Sang Pencipta melalui ibadat
penyembahan.
B. Bukti Keberadaan Allah dari
Santo Tomas
Ahli-ahli filsafat
menjumpai Allah melalui akal budi sebagai Yang Mahakuasa yang tetap mengatasi
segalanya dan ada di luar dunia. Santo Tomas mengajarkan bahwa akal-budi saja
dapat membuktikan keberadaan Allah dalam lima cara.
1. Argumen gerakan. Karena segala sesuatu
yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu yang lain, maka pasti ada Penggerak
pertama (Prime mover).
2. Argumen penyebab efisien. Sesesuatu ada
karena suatu sebab. Dan karena itu pasti ada Sebab yang Pertama.
3. Argumen kemungkinan dan keniscayaan.
Semua yang ada di dunia ini berasal dari sesuatu yang lain, mengalami
kerusakan, dan akhirnya tak ada lagi. Tetapi jika semuanya kemudian tidak ada,
akan mustahil bahwa ada sesuatu, maka
harus ada keberadaan yang tidak berubah, yang sudah berada dalam dan dari
dirinya sendiri.
4. Argumen gradasi. Segala sesuatu ada yang
lebih benar atau kurang benar, lebih bagus atau kurang bagus, dan sebagainya.
Namun pasti ada sesuatu yang paling baik dan paling benar.
5. Argumen rancangan: semua yang kekurangan
pengertian pada dirinya sendiri bertindak mengikuti hukum tertentu, maka pasti
ada sesuatu yang merancang dan mengatur jalannya semesta.
C. Keterbatasan Akal budi
Tetapi wahyu semacam itu
tidak lengkap. Paulus mengeluh tentang para ahli filsafat: “Mereka
berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka
menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan
manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat maupun
binatang-binatang yang menjalar” (Rm 1:22- 23).
Ada penghambat di dalam usaha mengenal Allah dengan cahaya akal
budi saja. Paus Pius XII menulis:
"Karena
kebenaran yang menyangkut Allah serta hubungan antara Allah dan manusia sungguh
melampaui tata dunia yang kelihatan; kalau diterapkan pada cara hidup manusia
untuk membentuknya, maka kebenaran-kebenaran itu akan menuntut pengurbanan diri
dan penyangkalan diri. Akan tetapi, akal budi manusia mengalami kesulitan dalam
usahanya untuk mencari kebenaran-kebenaran yang demikian itu, bukan hanya
karena dorongan pancaindera dan khayalan, melainkan juga karena nafsu yang
salah, yang merupakan akibat dari dosa asal. Maka, terjadilah bahwa manusia
dalam hal-hal yang demikian itu, mudah meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang mereka
tidak inginkan sebagai benar adalah palsu atau paling kurang tidak pasti"
(Pius XII, Ens."Humani Generis":
DS 3875).
Karena itu manusia memerlukan pencerahan dari wahyu ilahi.
Allah dengan bebas memilih untuk mewahyukan DiriNya sendiri dengan “menyingkapkan
rahasia Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia
rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia
menyingkapkan rencana keselamatan Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera
Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus” (KGK 50).
Ini tidak
dimaksudkan untuk mengatakan bahwa akal budi tidak berguna. Sebaliknya, akal
budi membantu mengarahkan kita pada iman. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan
dua cara untuk mengetahui keberadaan Allah: “Kemampuan
manusia menyanggupkannya untuk mengenal adanya Allah yang berkepribadian.
Tetapi supaya manusia dapat masuk ke dalam hubungan yang akrab dengan Allah,
maka Allah hendak menyatakan Diri kepada manusia dan hendak memberikan rahmat
kepadanya supaya dengan kepercayaan dapat menerima wahyu ini. Namun bukti-bukti
mengenai adanya Allah dapat menghantar menuju kepercayaan dan dapat membantu
supaya mendapat pengertian bahwa kepercayaan tidak bertentangan dengan
akal budi manusia” (KGK 35; Konsili Vatikan I, Dei Filius 2; DS 3004).
II. Perjanjian Lama dan Baru
A. Rencana Perwahyuan
Karena akal budi saja tidak
memadai, terutama karena kodrat kita yang berdosa, maka Allah berkenan untuk
mewahyukan DiriNya sendiri dan mewartakan keselamatan kekal. Allah mewahyukan
diri secara langsung kepada kita di dalam Kitab Suci dan dalam pribadi Yesus
Kristus, Sabda yang Menjadi Manusia.
Dokumen Konsili Vatikan II,
Dei Verbum, menyatakan:
Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan
mewahyukan Diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat
rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi
daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr
1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim
1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai
sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka
(lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan Diri-Nya
dan menyambut mereka di dalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui
perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang
dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan
meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata,
sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang
tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya
tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang
sekaligus menadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu” (DV 2)
B. Wahyu Allah dalam Perjanjian Lama
Allah membuat DiriNya
dikenal oleh manusia pertama, orangtua keluarga manusia. Tetapi wahyu Allah
tidak terhenti oleh dosa Adam dan Hawa. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka
penyelamatan di masa depan, dan Ia tidak pernah meninggalkan mahluk yang
dikasihiNya itu (1 Kej 3:15; Rm 2:6-7).
Wahyu Allah berlanjut melalui perjanjian
dengan Nuh dan kemudian dengan Abraham. Abraham dan keturunannya menyembah
Allah yang esa dan benar – suatu ibadat yang dasarnya adalah kasih dan
kesetiaan Allah yang tiada habisnya kepada umatNya. Allah mengutus Musa
memimpin umatNya keluar dari Mesir dan mengadakan perjanjian di Gunung Sinai.
Perjanjian yang memanggil Israel untuk menjadi bangsa imamat yang kudus,
saudara sulung dari bangsa-bangsa, dan “supaya mengakui Diri-Nya sebagai
satu-satunya Allah yang hidup dan benar, sebagai bapa penyelenggara dan sebagai
hakim yang adil, dan untuk menantikan Juru Selamat yang dijanjikan” (KGK 62; bdk
DV 3)
C. Penyempurnaan Perwahyuan Allah dalam Perjanjian Baru
Sesudah
berbicara melalui nabi-nabi, dan dengan demikian terus membina kerinduan dan
harapan akan keselamatan, Allah mewahyukan Diri secara definitif dan tuntas
dalam Yesus Kristus (bdk Ibr 1:1-2; Yoh 1:1-18). Yesus, Sabda yang menjadi
manusia, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, “dan meneguhkan dengan
kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari
kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal.
Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak
pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang
baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya
(lih. 1Tim 6:14 dan Tit 2:13). (DV4).
III. Hakekat dan Sifat Ilahi
A. Mengenal Allah dari WahyuNya
Karena Allah
menunjukkan DiriNya sendiri dalam alam ciptaan dan Kitab Suci, kita dapat memahami
sesuatu mengenai hakekat dan sifatNya.
Allah pada hakekatnya yang paling murni
adalah Roh (Kej 1:2-3), sebagaimana dinyatakan Kristus kepada wanita Samaria di
sumur: “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam
roh dan kebenaran'' (Yoh 4:24). Dengan
demikian Allah hadir dengan tanpa tubuh atau fisik (bdk Rm 1:20; Yoh 1:8). Jika Kitab Suci membicarakan Allah
dalam tata-peristilahan manusia (misalnya punya emosi seperti marah, atau punya
mata dan telinga), hal itu dilakukan dalam bahasa antropomorfis (bentuk tubuh
manusia) yang mengungkapkan begitu dekatnya Allah dan karya tindakanNya di
dalam sejarah manusia sekaligus mengakui transendensi ilahi yang sepenuhnya ada
padaNya, bahwa Ia sungguh melampaui segala sesuatu.
B. Kesempurnaan Allah
Hakekat Allah
adalah mutlak sempurna dan jauh di atas kemampuan kita untuk memahamiNya.
Pengetahuan kita akan Allah adalah terbatas, bahasa kita tentang Dia-pun
tentulah juga tidak sempurna.
Tetapi karena kita diciptakan dalam
gambar/citra Allah dan keserupaan dengan Dia, kita bisa berusaha memahami Dia
dengan merenungkan diri kita sendiri, pengalaman kita, dan daya-daya rohani
kita. Kesempurnaan dalam kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang kita ketahui
mencerminkan kesempurnaan Allah yang tiada batas dan paling tinggi (KGK 39-43).
Kesempurnaan Allah dapat dilihat dengan berbagai ragam cara, misalnya dalam
transendensiNya (Ia mengatasi segala sesuatu), dalam imanensiNya (Ia berada
dalam segala sesuatu), dalam konstanta-Nya
(Ia tidak berubah), dalam kekekalanNya, dalam ke-Mahatahu-anNya, kekudusan dan
kasihNya. Konsili Vatikan I (1869-1870) menyatakan bahwa Allah “adalah Allah
yang esa, benar dan hidup, Pencipta langit dan bumi, mahakuasa, kekal, tiada
batas, mengatasi pemahaman, mahatahu dan kehendakNya tiada terperi, sempurna
segalanya....Roh yang tiada duanya, sangat sederhana dan tak berubah... pada
hakekatnya sungguh berbeda dari dunia, sepenuhnya mulia dalam DiriNya sendiri
dan dari DiriNya sendiri dan niscaya jauh lebih tinggi dari segala sesuatu
lainnya yang sesungguhnya, atau yang dipikirkan, terpisah dari Dia.”
Keberadaan Allah yang tiada batasnya itu
meliputi daya mahatahuNya (Ia tahu akan segala sesuatu), kehadiranNya di mana
saja (tidak terbatas oleh tempat tertentu), dan daya kuasanya (Ia mempunyai
kuasa yang bersifat mutlak). Selanjutnya, Ia mengatasi segala sesuatu, yang
berarti bahwa Ia mengatasi alam kodrat, membimbing dan mengarahkannya (bdk Yes
40:12-17), sekaligus ada pada segala sesuatu, hadir di mana-mana dalam alam
ciptaanNya. Ia tidak berdiri terpisah dari dunia, sebab Ia terus menopang
keberadaan ciptaanNya dan selalu hadir bagi ciptaanNya hingga kekal.
C. Kekekalan Allah
Kehadiran
Allah yang kekal sudah dinyatakan dalam sabdaNya kepada Musa, “: "AKU
ADALAH AKU…. katakan kepada orang Israel itu: ‘AKULAH AKU telah mengutus aku
kepadamu’." (Kel 3:14). Allah ada pada permulaan dunia, pada masa Abraham,
ketika Israel dikeluarkan dari Mesir, dan ketika sejarah keselamatan melalui zaman-zaman.
Mazmur menyatakan: “Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia
diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah”
(Mzm 90:2) Maka kata Yesus kepada mereka: ''Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.'' (Yoh 8: 58). Dan Paulus berkata kepada
para ahli filsafat di Atena: “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala
isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil
buatan tangan manusia, dan juga tidak
dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah
yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang” (Kis
17:24-25).
D. Kemahakuasaan Allah
Kehadiran
Allah yang kekal juga menunjukkan daya kuasaNya yang meliputi segalanya. Dalam
Kitab Suci Ia disebut sebagai “Tuhan sekalian alam”, Tuhan alam semesta, dan
penguasa sejarah (bdk Kej 49:24; Yes 1:24; Mzm 24:8-10, 135:6; Yer 27:5; 32:17;
Luk 1:37). Kitab Kebijaksanaan menyatakan : “Bertindak sesuai dengan besarnya
kekuasaanMu senantiasa ada dalam kemampuanMu, dan siapa gerangan dapat bertahan
terhadap kekuatan lenganMu?” (Keb 11:21; bdk Est 4:17; Ams 21:1; Tob 13:2).
E. Kekudusan Allah
Dalam besarnya
kekuasaanNya, Allah juga sungguh maha kudus, pengampun dan penyayang. Segala yang
kudus berasal dari Allah, sebab hanya Dia-lah yang kudus (Yes 6:3). Di mana
saja Ia berada dan apa saja yang disentuhNya menjadi kudus (bdk Kej 28:16; Kel
3:4; Im 16:12), sebagaimana semua tempat yang dipilihNya untuk berdiam; maka
Kemah Suci yang dipilihNya untuk berdiam termasuk apa yang disebut “tempat maha
kudus” (Kel 26:33-34), dan |Rumah Allah adalah kudus ( 1 Taw 29:3; Yes 64:10).
Altar dan pelayan ibadat kepada Allah disebut kudus (Kel 40; Im 8-9) begitu
juga semua aspek dari ibadat dan liturgi (bdk Im 22:10-16; 1 Sam 21:5-7; Neh
10:32). Kekudusan Allah dinyatakan melalui seluruh Kitab Suci, mulai dari awal cerita
Penciptaan dalam Kitab Kejadian sampai kalimat terakhir Kitab Wahyu). Allah
menyatakan dalam Kitab Yehezkiel : “Aku akan menguduskan namaKu yang besar yang
sudah dinajiskan di tengah bangsa-bangsa, dan yang kamu najiskan di
tengah-tengah mereka. Dan bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan,
demikianlah firman Tuhan Allah, manakala Aku menunjukkan kukudusan-Ku kepadamu
di hadapan bangsa-bangsa” (Yeh 36:23; bdk Yeh 20|:41; 39:27; Y|es 40:25-26;
41:13-16).
Ke hadapan kekudusan Allah yang tiada
batasnya itu, segala mahluk-Nya dibawa bersemuka dengan segala dosa mereka (bdk
Kel 34:30-35; Mrk 9:1-7), ketika ampunan Allah yang tiada batasnya dan kasihNya
yang tiada terhingga serentak memancar di hadiratNya. Berkat belas kasihanNya,
Allah memberikan janji harapan kepada para pendosa: Ketika bicara tentang belas
kasih Allah itu, pengarang Kitab Kebijaksanaan berkata, ”Karena Engkau berkuasa
atas segala sesuatu, maka semua orang Kaukasihani” (Keb 11:21).
F. Kasih Allah
Kasih Allah
dinyatakan sehabis-habisnya oleh Yesus Kristus. Kasihmerupakan dasar dari
penciptaan, dan kasih Allah tak pernah hilang, sekalipun berhadapan dengan
ketidaksetiaan Israel (bdk Ul 4:37; Yes 43:4; 48:14; Mzm 33:5; 37:28; 146:8).
Karena kasihNya itu, Allah rela memberikan Anak-Nya sendiri untuk membawa
keselamatan bagi seluruh umat manusia (Rm 5:8-9; Yoh 3:16; 1 Yoh 4:10-11).
Kristus menyatakan bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8) dan melalui Kristus umat beriman diundang untuk ikut
serta di dalam kekudusan dan menikmati kemesraan yang mendalam dengan Allah.
Berkat kasihNya, Allah membawa umat Kristen ke dalam hidup Tritunggal Mahakudus
dan melaksanakan adopsi, mengangkat anak umat beriman, sebagai seorang bapa
yang menjadikan seseorang sebagai putranya (Rm 8:14-17) (KGK 26-141; 198-324;
2807-2827).
IV. Kebapaan Allah
A. Israel Sebagai Anak Allah
Allah
memanggil Israel menjadi puteraNya, anak sulungNya (Kel 4:22), dan di dalam
perjanjian Sinai Tuhan mengharapkan Israel menjadi “suatu kerajaan imam dan
bangsa yang kudus” (Kel 19:6), yang diutus Bapa kepada bangsa-bangsa dunia,
memenuhi peran sebagai imam kerajaan dan kakak sulung (bdk Mat 28:20; Luk
4:25-27; 24:47; Yoh 10:16; 17:11; 20:21). Allah tetap setia pada janjiNya menjadi
Bapa (bdk Hos 11:1; Mal 1:6), dan Israel menjadi anak-anakNya, sebagai
anggota-anggota dari suatu bangsa yang diberi status anak (Ul 14:1). Bangsa
Israel diharapkan menjadi anak-anak yang setia, tetapi status merek tidak
berubah sekalipun mereka meunjukkan ketidak-setiaan (Yes 30:9).Keanggotaan
dalam umat Israel uyang lebih luas juga dipandang sebagai pemberian status anak
perorangan dan suatu hubungan yang mesra dengan Allah (bdk Keb 2:13-16).
B. Keikutsertaan Umat Kristen dalam Keputraan Kristus
Perjanjian
Baru membawa penyempurnaan pengakuan bahwa Allah adalah Bapa, dengan
menampilkan Dia sebagai Bapa bukan saja bagi Israel, tetapi juga bagi semua pria
dan wanita. Kristus berbicara tentang Allah sebagai “BapaKu”, dan kepada paa
murid dikatakanNya bahwa Allah adalah “Bapamu”. Ia mengajar mereka berdoa “Bapa
Kami” (Mat 6:9). Yesus memanggil BapaNya sebagai Abba (Mrk 14:36), suatu
sebutan yang mengungkapkan kemesraan yang mendalam di antara mereka. Dengan
mengajak murid-murid menyebut Allah “Bapa”, Yesus berbagi dengan umat Kristen
kemesraan hubungan itu.
Ketika melukiskan Bapa, Yesus mengajarkan
wewenang dan kuasa Allah yang melebihi segala sesuatu sekaligus kebaikan dan
kasih Allah yang memerhatikan semua anak-anakNya. Allah melampaui semua kata
dan istilah, analogi dan gambaran manusia; dan Dia juga melampaui kebapaan dan
keibuan manusiawi, juga sekalipun Dia adalah teladan dan asal mereka: sebab tak
ada seorangpun sebagai bapa dapat dibandingkan dengan Allah Bapa yang di surga (bdk Mzm 27:10; Ef
3:14; Yes 49:15; Mat 6:32; 7:7-11; 10:29; Luk 15:1-32; 7:50). Katekismus mengajarkan: “Yesus
mengajarkan bahwa Allah adalah ‘Bapa’ dalam arti yang tiada terkira; Ia adalah
Bapa tidak hanya dalam arti sebagai Pencipta; Dia adalah Bapa yang kekal dalam
hubungan dengan Putera TunggalNya, yang selamanya adalah Putera hanya di dalam
hubunganNya dengan BapaNya. ‘tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan
orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakanNya’ (Mat 11:27).” (KGK 240).
Paulus menyebutkan kebapaan Allah jika ia
mengajar tentang keputraan umat Kristiani. Ia menulis dalam Surat Kepada Jemaat
Galatia: “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus
Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan
Kristus” (Gal 3:26-27). Umat Kristen menjadi anak-anak Allah berkat baptis
mereka, sakramen yang memberikan hidup baru dan pengangkatan sebagai anak-anak
Allah. Kesatuan yang erat-mesra antara Kristus dan Allah dengan demikian
membuat Allah menjadi Bapa umat Kristen dalam arti kata yang sebenarnya dan
bukan hanya dalam arti kiasan menurut Hukum Lama (Taurat). Pengangkatan anak
ini memberikan keleluasaan dan hak khusus kepada umat Kristen untuk menyebut
Allah sebagai “Bapa”, sama seperti Kristus Tuhan kita menyebut Dia Bapa: “tetapi
kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita
berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’ Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita,
bahwa kita adalah anak-anak Allah....dan jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli
waris.... yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita
menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama
dengan Dia (Rm 815-17; Gal 4:6) (KGK 238-242).
V. Nama-nama Allah
Ada tiga nama
pokok – El, Elohim, dan Yahweh – yang digunakan bagi Allah dalam Perjanjian
Lama [terutama yang berbahasa Ibrani.
Dalam terjemahan Indonesia, Alkitab
dari LAI, nama-nama ini tidak disebutkan lagi. Tetapi dalam Kitab Suci Komunitas Kristiani nama Yahweh muncul lagi. Pnjmh].
Tetapi juga ada beberapa nama khusus lainnya.
● El (“ilahi” atau “ilah”) yang digunakan
bagi ilah dalam arti kata yang sangat luas. Nama ini juga digunakan untuk dewa
tertinggi dalam sistem banyak dewa penduduk asli Kanaan: puteranya adalah Baal. Di dalam Kitab Suci, sebutan ini
muncul sebagai kata keterangan (adjectiva)
atau gelar predikatif [seperti “Sang/Hyang”
yang kemudian menjadi “Yang” dalam
bahasa Indonesia -- Pnjmh], di dalam sebutan-sebutan seperti El Shaddai
(Allah “Yang” Mahakuasa), El Elyon (Allah “Yang” Mahatinggi), El Bethel (Allah “yang
[telah menampakkan diri kepadamu]
di” Betel; Kej 31:13). Dalam bentuk jamak, nama ini menjadi Elohim. El Elyon,
“Allah Yang Mahatinggi” adalah sebutan yang digunakan dalam ibadat Melkisedek
(Kej 14:19-20). Salah satu versi yang lain dari El adalah Eloah, bentuk tunggal
dari Elohim, yang ditemukan terutama dalam tulisan-tulisan puisi alkitabiah
(bdk Ul 32:15)
● Elohim. Bentuk jamak dari El, tetapi
juga merupakan nama dari ilahi tertinggi dan diperlakukan sebagai tunggal.
Ketika digunakan dalam bentuk jamak, Elohim biasanya didahului oleh kata
sandang yang tertentu untuk mengungkapkan “ilah-ilah” (misalnya, Kel 18:11, diterjemahkan “segala allah” [Alk]
dan “semua
allah” [KKK]). Ketika
menyatakan ilahi yang tertinggi, di dlm PL sebutan Elohim merujuk pada
satu-satunya Allah Israel sebagai yang mahatinggi, Allah segala/semua ilah.
Cakupan keilahian yang dinyatakan oleh nama Elohim itu adalah untuk
perbandingan dengan kodrat manusia yang terbatas (bdk Bil 23:19) dan diucapkan
dalam hubungan di antara ilahi tertinggi, yang mahakuasa namun merupakan
pribadi, dengan tata-ciptaan (bdk Kej 1:1).
● Yahweh. Nama pribadi Allah dalam PL. Karena
kekudusan dan rasa hormat yang tersirat pada nama Allah itu, sebutan Adonai
diucapkan menggantikan Yahweh dalam bahasa tutur/lisan, sedang dalam teks
tertulis, tanda-tanda huruf hidup (lihat Bahasa
Ibrani) dari Adonai digabungkan dengan huruf mati YHWH, supaya pembaca tahu
bahwa ia harus mengucapkan Adonai, bukannya Yahweh. Nama Yehova berasal dari
pengucapan huruf-huruf seperti yang tertulis. Nama ilahi YHWH muncul lebih dari
enam ribu kali dlm PL, dan pada umumnya diucapkan sebagai Yahweh.
Di dalam Kitab
Kejadian pasal 1 dan 2, kita melihat contoh yang baik di mana nama-nama Elohim
(Allah) dan Yahweh (Tuhan) digunakan secara berbeda dlm PL. Dalam Kej 1, Elohim
menciptakan alam semesta; dlm Kej 2 Yahweh menciptakan Adam dari tanah dan
menempatkannya di Taman Eden. Kedua nama itu menunjukkan bentuk kegiatan ilahi
yang berbeda. Elohim melukiskan daya kuasa yang tidak ada batasnya dari Sang
Pencipta, sementara Yahweh menggambarkan kasih perjanjian Allah. Sesuatu yang serupa
tampak dalam pergantian antara sebutan “Allah” yang bersifat luas dan generik,
dengan penggunaan “Abba, ya Bapa” yang lebih mesra, yang diucapkan Yesus. Kunci
untuk penafsiran perbedaannya adalah Sabat, lambang perjanjian Allah dengan
ciptaan. Dalam pergeseran dari Elohim ke Yahweh, Kitab Kejadian mengajarkan
bahwa di dalam penciptaan dunia dan di dalam penciptaan Adam – penetapan
perjanjian Allah dengan ciptaan – Allah menjadi lebih dari sekedar Sang
Pencipta. Dia adalah juga Bapa yang penuh kasih; dan manusia menjadi
keluargaNya menurut perjanjian.
● Adonai. Bahasa Ibrani ‘adonay, “Tuhan”
berasal dari kata ‘adon (“tuan”) dan digunakan sebagai nama ilahi. Sama dengan
istilah ba’al (yang juga berarti
“tuan”). Adonai digunakan secara luas dalam kitab nabi-nabi, terutama dalam
Kitab Yehezkiel, di mana sang nabi menggunakannya untuk membedakan Allah Israel
dari ilah-ilah (dewa-dewa) Babilonia (lih juga Yahweh).
● Yahweh Sabaoth
(“Tuhan Semesta Alam”; Bahasa Yunani: kyrios
pantokrator, “Tuhan Mahakuasa”) adalah sebutan yang digunakan sekitar tiga
ratus kali dlm PL dan dua kali saja dalam PB (Rm 9:29; Yak 5:4) untuk
menekankan kebesaran dan kekuasaan Yahweh.